Putri dan Kue Donat

Premis

sunting

Putri ingin mendapatkan penghasilan sendiri. Ia pun berjualan donat di kantin sekolah. Ternyata berjualan untuk mendapatkan uang tidak semudah yang ia bayangkan. Hingga akhirnya ia mendapatkan sebuah ide yang membuat donatnya laku terjual.

  1. Putri
  2. Bu Winda

Lokasi

sunting
  1. Perumahan
  2. Kantin sekolah

Cerita pendek

sunting

Sore di hari Minggu.

“Tak tuk, tak tuk, tak tuk, tak tuk.”

Terdengar suara dari mainan yang dimainkan anak-anak di perempatan jalan sebuah perumahan. Dari gelagatnya, anak-anak itu seperti sedang beradu keterampilan memainkan mainan yang sedang menjadi tren saat ini. Mainan itu adalah lato-lato. Mainan sederhana yang terdiri dari dua buah bola keras berukuran kecil, yang dihubungkan menggunakan tali. Cara memainkannya pun tidak begitu rumit. Hanya membutuhkan keseimbangan ayunan agar kedua bola kecil itu dapat berayun, bertumbukan, dan menghasilkan suara. Entah apa yang sedang dipikirkan anak-anak itu. Yang pasti mereka begitu gembira dan menikmati permainan.

Tidak jauh dari tempat itu, seorang anak perempuan berdiri, bersandar di pagar rumah. Pandangannya tertuju ke arah teman-temannya yang sedang bermain. Sambil memegang wadah plastik berisi kue donat, anak perempuan itu memerhatikan gerakan tangan teman-temannya saat memainkan lato-lato. Sesekali ia tersenyum, bahkan tertawa kecil saat ada salah satu temannya gagal memainkan lato-lato.

“Yah ... gitu saja tidak bisa.” Anak perempuan itu berkata dengan suara pelan.

Anak perempuan itu bernama Putri Ayu Safitri. Ia berumur 11 tahun, kelas 5 sekolah dasar. Putri adalah anak pertama dari dua bersaudara. Kesehariannya, Putri adalah anak yang periang, pandai bergaul, dan penuh dengan ide-ide kreatif.

“Putri! Ayo, ke sini!” Tiba-tiba seorang anak perempuan memanggil Putri.

Putri hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia tahu, saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk bermain. Ia harus mengantar kue donat buatan ibunya ke warung-warung di sekitar komplek perumahan. Terdiam beberapa saat, Putri terus memandang ke arah teman-temannya bermain. Hingga suatu ketika terdengar suara yang membuatnya terusik. Ia mengenal suara itu.

“Put ... Putri .... Kenapa belum berangkat?” panggil seorang perempuan dewasa yang berdiri tak jauh di belakang Putri.

Seketika itu Putri membalikkan pandangan. Wajahnya meringis sebagai tanda pengakuan salah.

“Iya, Ibu. Maaf!” ucap Putri, lalu bergegas pergi.

Perempuan yang dipanggil Ibu oleh Putri itu, terdiam. Dari raut wajahnya, ia tampak begitu kesal. Saat Putri pergi, perempuan itu pun masuk ke dalam rumah. Ia adalah Bu Winda. Ibu kandung Putri Ayu Safitri. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai usaha sampingan sebagai pembuat kue donat. Usaha itu ditekuninya sejak setahun yang lalu, saat pandemi Covid 19 dinyatakan telah terkendali.

Di perjalanan, Putri sesekali menengok ke arah rumahnya. Sepertinya Putri ingin memastikan kalau ibunya sudah tidak lagi memerhatikannya.

“Sebaiknya aku ke warung Pak Totok dahulu,” kata Putri, kemudian berbelok memasuki gang menuju ke sebuah warung di gerbang komplek perumahan.

Dalam hitungan menit, Putri telah sampai di warung Pak Totok. Putri menyerahkan satu kotak berisi kue donat dan mengambil kotak plastik yang sudah kosong, tempat donat yang dititipkan sebelumnya. Saat itu juga, Putri menerima sejumlah uang hasil penjualan kue donat.

“Uangnya tiga puluh ribu ya, Put ...,” kata penjual di warung Pak Totok.

“Baik, Bu. Terima kasih,” jawab Putri, kemudian berpamitan pulang.

Dari warung Pak Totok, Putri melanjutkan perjalanan ke tiga tempat lainnya. Setengah jam berlalu, tugas Putri sore itu pun selesai. Tidak lupa Putri menyerahkan uang hasil penjualan dan kotak plastik kosong kepada Bu Winda.

“Nah ... ini uang buat Putri,” ucap Bu Winda sambil memberikan lembaran uang dua ribuan.

“Wah .... Terima kasih, Ibu.” Sambut Putri dengan wajah ceria.

Uang pemberian Bu Winda, makin hari terkumpul makin banyak. Suatu ketika, saat penjual mainan berkeliling komplek perumahan, timbul keinginan Putri untuk membeli lato-lato. Uang yang ia kumpulkan sudah lebih dari cukup untuk membeli lato-lato. Bahkan, masih ada sisa untuk membeli mainan yang lainnya.

“Ah! Ini tidak begitu penting!” ucap Putri sambil memasukkan kembali uangnya ke dalam dompetnya.

Putri beranjak pergi menemui Bu Winda yang saat itu sedang sibuk menyiapkan bahan untuk membuat kue.

Suatu hari, Putri mendapat kabar dari teman sekelasnya bahwa Santi mempunyai buku cerita baru. Saat itu juga timbul niatan Putri untuk berkunjung ke rumah Santi. Siapa tahu, ia diperbolehkan membaca buku cerita itu.

Sore harinya setelah mengantar kue donat, Putri menemui Bu Winda. Ia memberanikan diri meminta izin bermain ke tempat Santi.

“Boleh ya, Bu?” pinta Putri sambil memegang lengan Bu Winda.

“Baiklah. Tetapi, sebelum maghrib Putri harus sudah ada di rumah,” ucap Bu Winda mengingatkan Putri.

Di tempat lain, di teras rumah, Santi tengah membaca buku cerita. Buku itu ia dapat dari ayahnya sebagai hadiah ulang tahunnya. Buku itu menceritakan perjuangan seorang anak dari keluarga tak mampu, yang ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Ceritanya begitu seru dan menarik hingga Santi tidak mengetahui Putri telah berada di dekatnya.

“San!” sapa Putri sambil menepuk pundah Santi.

Santi terkejut. Buku yang dibacanya hampir saja terjatuh.

“Putri! Tega sekali kamu mengagetkan aku,” ucap Santi dengan nada kesal.

“Habis ... dari tadi aku panggil-panggil, tidak menyahut,” sanggah Putri.

Perselisihan di antara keduanya tidak berlangsung lama. Setelah itu mereka bercengkrama, membicarakan isi buku yang hampir selesai dibaca Santi. Walaupun belum sampai akhir, kelanjutan cerita dari buku itu sudah terbayang di benak Santi dan Putri.

“Hmm, aku ingin seperti Yasir,” ucap Putri menyebut tokoh utama dalam buku cerita itu.

“Iya. Sama. Gigih, pekerja keras, dan jujur,” ucap Santi seolah setuju dengan yang  diucapkan Putri.

Sejenak Putri terdiam. Gambaran seorang Yasir rupanya telah memberikan semangat bagi dirinya untuk melakukan sesuatu.

“Aku punya ide,” ucap Putri lirih.

Malam harinya, dengan keinginan yang kuat, Putri menemui Bu Winda. Ia menyampaikan niatnya untuk mencoba mencari uang saku sendiri.

“Ibu tidak salah dengar?” Perkataan Bu Winda makin membuat Putri bersemangat.

Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa melakukannya.

“Aku akan berjualan kue di sekolah, Bu.” Putri berusaha meyakinkan Bu Winda.

Putri akan berjualan kue dengan cara menitipkan kue donat di kantin sekolah. Namun, Putri mempunyai permintaan agar ukuran kue dibuat lebih kecil daripada biasanya. Ia ingin harga kue donat menjadi lebih murah.

“Bagaimana, Bu? Apakah Ibu setuju?” ucap Putri melihat ke arah Bu Winda.

“Baiklah. Terus kamu mau menjual dengan harga berapa?” tanya Bu Winda.

Mendengar pertanyaan ibunya, Putri hanya tersenyum.

“He he. Rahasia dong, Bu,” jawab Putri memperlihatkan wajah ceria.

Keesokan harinya, Putri berangkat lebih pagi dan langsung menuju kantin sekolah. Putri menemui Bu Firda yang saat itu bertugas mengelola kantin. Setelah menyampaikan keinginannya dan Bu Firda menyetujuinya, Putri menaruh kotak plastik berisi donat di tempat yang sudah disediakan.

“Kalau terjual semua, aku untung sepuluh ribu rupiah,” ucap Putri sambil membayangkan besaran uang yang akan diterimanya.

Putri menjual satu kue donat seharga dua ribu rupiah. Sedangkan, harga yang ia peroleh dari Bu Winda adalah seribu dua ratus lima puluh rupiah. Putri membagi kuntungan untuk kantin sekolah sebesar dua ratus lima puluh rupiah. Dan sisanya, yaitu sebesar lima ratus rupiah adalah keuntungan bersih yang akan ia terima.

“Mudah-mudahan rencanaku berjalan dengan baik,” gumam Putri sambil berjalan memasuki ruang kelas.

Bel tanda istirahat pertama sudah berbunyi. Anak-anak berhamburan keluar dari kelasnya. Ada yang bermain di halaman, ada juga yang langsung menuju kantin sekolah.

Di kantin, dari jarak yang tidak jauh, Putri terus memerhatikan ke arah kotak plastik miliknya. Putri berharap teman-temannya mau membeli kue donatnya. Namun, sampai waktu istirahat hampir berakhir, kue donat yang dititipkannya baru terjual satu. Masih ada sembilan belas kue yang belum terjual.

“Waduh, bagaimana ini? Modal saja belum kembali,” ucap Putri pelan.

Untuk mengembalikan modal awal, setidaknya kue donat harus terjual sejumlah lima belas kue. Selebihnya adalah keuntungan untuk Putri.

“Aku punya ide!” ucap Putri, lalu bergegas mengambil spidol dan selembar kertas.

Putri menuliskan kalimat, “Yuk jajan sambil berbagi/sedekah”, di selembar kertas itu. Ia menyelipkan kertas itu di tepi bawah kotak plastik. Rupanya Putri membagi keuntungan sebesar seratus rupiah untuk disumbangkan ke panti asuhan. Dengan begitu, pembeli kue donatnya akan mendapatkan dua manfaat sekaligus, yaitu menikmati kue donat yang enak dan mendapatkan pahala dari bersedekah.

“Semoga istirahat kedua, kue donatku akan terjual lebih banyak,” ucap Putri seketika itu juga mengamininya.

Ternyata strategi itu berhasil. Belum lama istirahat kedua berjalan, kue donatnya habis terjual. Latansa, laris manis tanpa sisa. Putri bersyukur. Akhirnya ia dapat menikmati hasil jerih payahnya.

Hari terus berganti. Uang dari hasil berjualan kue donat terkumpul makin banyak. Putri begitu gembira bisa mewujudkan keinginannya.

“Kini aku bisa membeli sendiri keperluan sekolahku,” ucap Putri dalam perjalanan pulang dari sekolah.

***