Reuni Ngaji

Tung Widut


Minggu, hari yang paling dinantikan bagi pekerja. Dihari Minggu bisa santai. Tapi tidak berlaku bagi Bu Hastuti. Sedikit menggerutu pagi itu. Ingat sudah di japri Suminah teman SMP nya.

"Berangkat jam delapan ya," tulisnya di WA.

"Ok," jawaban singkat Bu Hastuti.

Hati makin tak rela di hari Minggu. Undangan yang tertulis jam sepuluh mengapa juga datang sepagi itu. Apalagi badan Bu Hastuti tak fitnes seperti biasa. Agak kembung terasa di perut gendutnya.


Dia bangkit dari kursi malasnya. Mulai ke dapur mencuci piring gelas setumpuk.

"Pyar," sarapan itu mengagetkan.

Anak dan suami Bu Hastuti muncul dari balik tembok. Mencari sarapan yang tadi dia dengar.

"Ada apa Bu?" tanya Shakila

"Apa?" tanya sami Bu Hastuti hampir bersamaan dengan sang anak.

Dari pandangan Bu Hastuti keduanya paham. Ada sebuah gelas yang tergeletak d lantai. Gelas bnih itu hancur menjadi neling bening-bening.

"Ya gelas ku,"rengek Shakila.

Dia merasa sangat kehilangan atas pecahnya gelas itu. Gelas kesayangannya.

"Maaf, ibu tidak sengaja menyenggol. Lain kali kalau meletakkan agak ke tengah," kata Bu Hastuti.

"Itu gelas bagus Lo," lanjut Shakila.

"Udah nanti dapat ganti," lanjut b Hastuti meredam.

"Dari mana ibu ganti. Itu souvenir dari mas Fian kan?" rengek Shakila.

"Ibu tak buwuh lagi biar dapat souvenir," kata Bu Hastuti.

Sang ayah tersenyum mendengar jawaban ibu.

Tangan Bu Hastuti dengan cepat membersihkan sisa kaca. Lanjut berbagai pekerjaan ibu-ibu lainya. Belum juga cucian di jemur, hp sudah berbunyi lagi.

"Hem," terdengar lirih desah tak iklas.

"Aku ke rumahmu sekarang," sarapan dari balik hp.

"Ya," jawab Bu Hastuti.

Sejam kemudian Bu Hastuti sudah berada di sebuah ruangan. Ruang yang lumayan luas itu masih ada beberapa orang yang duduk di sudut. Menghadap hidangan kue beraneka macam.

"Wah, datang juga dia," kata seseorang yang menepuk pundak Bu Hastuti.

Dengan alis mengkerut b Hastuti berusaha mmbokar memori yang pernah singgah di otak tiga puluh tahun lalu. Tangannya diulurkan dengan harapan yang menyapa menyebutkan kata yang mampu mengungkit ingatannya.

"Dulu kelas C kan," tanyanya.

Bu Hastuti hanya mengangguk.

"Aku sopo(siapa)," tanyanya memakai bahasa Jawa medok.

Memori itu tak muncul juga.

"Rumahmu mana?" tanya Bu Hastuti menghilangkan rasa penasaran.

"Sor gunung (bawah gunung)," jawabnya sambil tersenyum.

"Hahahahaha, bajigur," kata Bu Hastuti sambil tertawa lebar.

Lelaki itu juga ikut tertawa sambil malu-malu. Sedang Suminah terdiam. Dia merasa penasaran dengan tawa mereka.

"Sanusi kamu," kata Bu Hastuti sambil menepuk lengan lelaki yang di tebaknya. Sanusi justru balik bertanya. Mengapa Bu Hastuti terbahak mendengar pengakuan Sanusi.

"Sum. Ini dulu suka curi uangku di kotak pensil. Uangku diambil lalu dibelikan jajan. Nah jajannya itu diberikan kepadaku satu dia satu. Nah suatu saat uang itu untuk beli LKS. Sanusi dan saya dipanggil ke BK. Sanusi sanggup mengganti. Karena jajannya aku juga makan saya diajak Sanusi pulang ambil uang. Ya saking takutnya Sanusi berlari sampai terengah-engah," cerita Bu Hastuti kepada Suminah.

"Sudahlah, ku ganti uangmu. Kapan yuk ku traktir makan-makan bersama seluruh keluargamu," kata Sanusi.

Percaya juga, sekarang Sanusi sudah menjadi pejabat. Dia menjadi kepala Kominfo kabupaten Blitar. Betapapun seorang teman kala dulu tetap ingat dan sederajat. Sekarang pejabat tapi dulu sama-sama uang saku seratus rupiah.


Tawa demi tawa terurai siang itu. Semakin siang semakin banyak teman yang datang. Tiap teman yang datang selalu ada kue yang di bawa. Ada ongo-ongol ada yang bawa buah belimbing ada kacang godong banyak yang lainnya.

"Wau, sini -sini," segerombol teman yang berada di teras terdengar ramai. Bergerombol sampai tak terlihat barang yang dikerumuni.

"Aku,aku,aku,"

Sekotak fom bentuk tas memasuki ruang di bawa Bu Rita.

"Nah, tomboi satu ini bikin heboh saja," kata Suminah sambil melipat bibir.

Ketika kotak di buka, dalam ruangan pun menjadi heboh. Es drop Blitar menjadi rebutan sebelum acara tahlil dan tauziah.


29102024