Armenia yang Terampas/Bab 12


BAB XII


PERTEMUAN KEMBALI—DAN KEMUDIAN, SHEIKH ZILAN


Dengan sangat sedikit dari kami yang dikawal, dan nyaris kami semua muda atau tak terlalu tua, sepanjang malam dibuat takut oleh para zaptieh. Selama beberapa hari, mereka berjalan dengan kami, dan melakukan kejahatan biasa dan mempermalukan para gadis di tengah-tengah kegelapan pada tempat-tempat perkemahan. Orang-orang Turki yang direkrut dari desa-desa dan dijadikan pengawal atas kami yang secara khusus bersikap brutal. Ini adalah kesempatan pertama kami untuk mengunjungi orang-orang Kristen yang membenci ciri-ciri Islam sebagai “Orang tak percaya.”

Ketika kami mendekati Ourfa, kami digabung oleh sebuah rombongan yang berjumlah, aku pikir, empat atau lima ratus pengasingan dari Sandjak Marash, sebuah anak wilayah di utara Amanus, yang memiliki kota-kota besar yang meliputi Zeitoun, Albustan dan Marash. Nyaris semuanya berasal dari kota Marash sendiri—beberapa dari Zeitoun. Penyingkiran orang-orang Armenia dari Sandjak Marash dimulai belakangan ketimbang di belahan Asia Kecil lainnya. Ketika Haidar Pasya mula-mula mengeluarkan perintah untuk mendeportasi beberapa orang Armenia, beberapa orang Armenia melakukan pemberontakan bersenjata. Mereka enggan pergi atau menyerahkan diri kepada para zaptieh alih-alih mereka memberikan jaminan pengawalan yang akan mengijinkan mereka kembali ke tempat-tempat tinggal mereka usai perang.

Haidar Pasya memiliki sedikit prajurit yang dinaunginya. Ia dikirim ke Aleppo untuk bantuan membawa permintaannya untuk mengirim orang-orang Armenia pergi. Dari Aleppo mendatangkan Kapten Schappen, seorang perwira artileri Jerman, yang ditugaskan disana dengan perwira Jerman lainnya. Kapten Schappen menghimpun sejumlah besar zaptieh dan mengajari pemakaian senapan mesin kepada mereka. Ia kemudian memimpin mereka secara pribadi, dan dengan perwira Jerman lainnya dan tenaga bantuan mereka melakukan penyerbuan terhadap rumah-rumah Armenia. Di wilayah tempat adanya pemberontakan, ia mengerahkan senapan-senapan mesin terhadap rumah-rumah.

Dari Marash dan kota-kota terdekat dari empat belas ribu orang-orangku, pria, wanita dan anak-anak, dibawa perfi, dikawal oleh para zaptieh, di bawah komando kapten tersebut. Untuk beberapa alasan yang tidak diketahui orang-orang Kristen, pengasingan tersebut tak dilakukan secara langsung ke gurun menuju Bagdad, sebagaimana yang lainnya dari distrik tersebut, namun mereka dibiarkan beberapa hari, bahkan berpekan-pekan pada suatu waktu, di kamp dengan nyaris tanpa makanan atau air, kemudian hanya dipindahkan beberapa mil dan berkemah lagi. Mereka menjalani beberapa pekan mencapai sekitaran Ourfa. Ketika mereka bergabung dengan kami, dari empat belas ribu orang yang dibawa dari rumah-rumah mereka, hanya tiga atau empat ratus orang yang masih hidup! Tidak ada pria yang tersisa—hanya para ibu dan putri dan bibi dan kemenakan.

Kapten Schappen kembali, setelah tiga pekan perjalanan, ke Aleppo. Ia mengambil Puan Tchilingarian, yang berusia lima belas tahun, dan dikembalikan dari sekolah swasta di Jerman, di tempat orangtuanya mengirimnya untuk dididik. Ia singgah saat liburan ketika deportasi dimulai. Ia sangat cantik, kata orang-orang yang mengenalnya kepadaku, dan memiliki keterampilan dalam bidang musik. Keluarganya ingin ia menjadi penyanyi dan dibawa ke dunia Kristen luar Turki dengan kelompok musik indah dari orang-orangku. Kapten Schappen menemuinya pada malam pertama di perjalanan, dan ia dibawa ke tenda sang kapten. Ia kemudian memerintahkan zaptieh untuk mengawalnya secara khusus sampai sang kapten membawanya pergi. Ia juga diambil dengan Puan Sarafian, istri muda Dr. Dikran Sarafian, yang dididik di Swiss, dan merupakan salah satu dokter Armenia paling berpengaruh di tengah Turki. Puan Sarafian merupakan orang Swiss, dan menjalin hubungan dengan Dr. Sarafian ketika ia menjadi pelajar di daerahnya. Ia datang ke Marash untuk menikahinya tepat dua tahun sebelumnya. Kapten Schappen juga membawanya ke tendanya, tak lama usia mereka mulai berkirab, dan ketika suaminya menentangnya, perwira tersebut memerintahkan seorang zaptieh untuk menembaknya.

Ketika Kapten Schappen dan pasukannya memutuskan untuk kembali ke Aleppo, mereka mengirim para zaptieh mengitari daerah tersebut sepanjang bermil-mil untuk mengambil keledai-keledai. Untuk itu, para perwira memperdagangkan anak-anak putri. Anak yang cantik diberikan untuk satu keledai. Dari anak-anak yang diserahkan, para perwira menerima dua, atau terkadang tiga, untuk seekor keledai tunggal. Sehingga, mereka mengumpulkan sekumpulan besar keledai, yang mungkin dibutuhkan oleh tentara.

Pada hari lainnya setelah sisa-sisa orang Kristen dari Marash bergabung dengan kami, kami mencapai Ourfa. Mereka diperintahkan berkemah di dekat danau buatan—danau semacam itu seringkali ditemukan di luar kota-kota Muslim. Para pemimpin zaptieh kami diperintahkan untuk memasuki kota tersebut. Kemudian, pasukan Turki dengan seragam putih panjang datang keluar dari kota tersebut untuk melihat kami. Ketika mereka menyaksikan bahwa kami adalah rombongan yang nyaris semuanya terdiri dari wanita muda, dengan anak gadis yang masih bertahan, mereka menyebarkan berita di Ourfa. Puluhan orang Turki datang dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai lima orang.

Mereka berniat untuk mendorong para zaptieh kami untuk membiarkan mereka membawa wanita muda dan anak-anak yang diinginkan oleh mereka. Namun, para zaptieh tak akan mengijinkannya tanpa mereka membayar apa yang saat itu dianggap berharga tinggi untuk wanita Kristen. Mereka berkata bahwa mereka membawa kami menjauh, dan kini mereka menginginkan keuntungan—yang hanya mereka ijinkan kami untuk hidup karena mereka berharap untuk mendapatkan “harga yang bagus” untuk orang terpilih dari kami di pasar Ourfa.

Orang-orang Turki tak ingin membayar dalam harga tinggi, dan para zaptieh tak akan memperdagangkan kami. Para zaptieh berkata bahwa terdapat pasar yang bagus di Ourfa untuk wanita Armenia cantik, dan mereka berusaha untuk mendapatkan ijin Mutassarif untuk mencari para pembeli yang akan ditawarkan satu sama lain. Orang-orang Turki yang tak berniat kembali ke kota tersebut.

Pada malam itu, tepat usai senja, orang-orang Turki yang sama kembali dan membuka penutup yang dipasang pada danau buatan, yang membuat air menyebar di dataran dan membanjiri kemah kami. Kami berlari secepat kami dapat untuk menyelamatkan diri, dan terdapat kesalahan berat. Bahkan, para zaptieh mendadak kaget.

Pada kesempatan ini, orang-orang Turki menyerbu kami dan membantu diri mereka sendiri untuk gadis termuda kami—anak tercantik yang dapat dirampas oleh mereka. Kami tak berdaya untuk menyelamatkan mereka, karena setiap orang Turki membawa batang keras, yang dipakai oleh mereka untuk memukuli para ibu atau kerabat yang berniat untuk menyelamatkan anak-anak mereka. Pada waktu itu, mereka kabur dari air dan berkumpul lagi, dan para zaptieh pulih dari kepanikan mereka sendiri, orang-orang Turki pun pergi—dan dengan membawa lima belas atau dua puluh gadis kecil cantik.

Kemudian, aku menyadari apa nasib langsung anak-anak yang diambil ketika danau tersebut dibuka mengarah ke kami. Haidar Pasya merebut biara Katolik Armenia kuno disana, dan mengubahnya menjadi “sekolah pemerintahan untuk anak-anak pengungsi.” Semenjak aku datang ke Amerika, aku mengetahui bahwa keluhan-keluhan yang dibuat kepada Sultan di Konstantinopel oleh para dubes asing mengenai pengambilan anak-anak oleh para perwira Sultan dijawab dengan menyatakan bahwa mereka diambil untuk diperlakukan baik oleh pemerintah, yang diharapkan untuk menempatkan mereka dengan nyaman di “sekolah pemerintah” di Ourfa dan kota lainnya.

Namun apa yang menjadi “sekolah pemerintah” di Ourfa adalah:

Haidar Pasya mengirim prajuritnya, di bawah komando seorang bey, untuk mengambil pemanfaatan biara, sebuah bangunan batu besar. Mereka mengelilinginya dan memaksa para biarawan, yang salah satu orang diantaranya adalah Padri Antone dan Padri Shiradjian, dua pendeta yang sangat dicintai oleh Protestan serta Katolik Armenia, untuk berjalan di antara dua baris prajurit. Para prajurit menutup di belakang mereka dan dikirab dengan kami di luar tembok kota. Kemudian, para prajurit berhenti dan sang Bey bertanya berapa banyak biarawan yang berkehendak untuk menyatakan syahadat Islam dan menyangkali Kristus.

Ketika Bey berhenti berbicara, Padri Antone mengeluarkan suaranya dengan kata-kata dari lagu kuno Santo Thomas Aquinas yang bagus, dan semua biarawan mengikutinya. Ketika mereka bernyanyi, para prajurit menembaki mereka—satu per satu—sampai semuanya tiada. Biarawan terakhir tiada dengan menyanyikan lagu tersebut dengan mulutnya.

Haidar Pasya kemudian membersihkan biara tersebut dari seluruh relik dan lambang keagamaan. Beberapa diantaranya adalah beberapahal yang sangat akrab dengan orang-orangku. Contohnya, terdapat potongan tombak yang ditusukkan ke Yesus saat Penyaliban. Benda-benda yang diperlakukan demikian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Kristus, diri-Nya sendiri, dan disimpan oleh para Padri di biara tersebut tak aku ketahui. Mereka berkata bahwa benda-benda tersebut dibawa ke Damaskus dan ditempatkan di sebuah masjid yang berada disana, untuk dinistakan oleh kaum Muslim.

Ketika biara tersebut dibersihkan, Haidar Pasya berkumpul di antara orang-orang Armenia yang kala itu dibawa keluar dari kota, sejumlah gadis Armenia dari keluarga-keluarga mereka dan menempatkan mereka di biara tersebut. Ia kemudian mengambil ratusan anak gadis Armenia, dari 7 sampai 12 tahun, dan menutup mereka di biara, untuk diajari agama Islam dan dibesarkan sebagai Muslim. Ia memerintahkan para gadis yang lebih tua untuk mengajari keyakinan-keyakinan Islam kepada mereka, dengan ancaman yang amat kejam. Sampai ke biara tersebut, orang-orang Turki berdatangan dari seluruh belahan Asia Kecil untuk memilih sebanyak mungkin gadis jecil yang diijingkan mereka dan dapat dibeli untuk ditempatkan ke harem-harem mereka, di tempat mereka akan dibesarkan menjadi budak yang penurut.

Ketika kami menunggu di luar kota agar para zaptieh membuang kami sesuai rencana mereka yang aku lihat datang kepada kami, keluarlah rombongan hamidieh atau kavaleri Kurdi dari gerbang kota dengan sejumlah keledai dan araba, yang menandakan bahwa mereka melakukan perjalanan yang panjang. Mereka seharusnya merupakan resimen berkuda penuh, karena mereka mengisi dataran di luar kota sesambil membentuk barisan kirab mereka.

Ketika mereka datang mendekat, untuk menghampiri kami pada jarak sejauh seratus yard atau lebih, aku melihat sekelompok kecil wanita dan anak-anak ditempatkan pada keledai dan kuda poni di antara barisan pasukan berkuda. Aku mengenalinya sebagai orang-orang Armenia. Ini merupakan penampakan tak biasa. Orang-orang Armenia berada di bawah perlindungan alih-alih di bawah pengawalan. Pada hari-hari itu, rasa penasaranku muncul. Karena banyak hal tak lazim yang datang kepadaku sepanjang waktu, aku kehilangan rasa peminatanku akan segala hal yang sebetulnya tak aku urusi. Namun beberapa hal nampak berada dalam perhatianku pada rombongan berpenampakan aneh tersebut.

Aku berdiri dari tanah tempat aku duduk dan datang ke tepi perkemahan mereka untuk melihat para prajurit melintas. Baris pertama datang. Wanita Armenia datang mendekat. Mendadak, seluruh belahan dunia di sekitaranku nampak hilang dalam kabut. Aku merangsek di antara kuda-kuda, meneriakkan suaraku ke atas:

“Ibu! Ibu! Ibu!”

Aku mendengar, dan Hovnan, dan Mardiros, dan Sarah mendengar. Ibu turun ke tanah ketika aku berlari kepadanya. Aku berniat untuk memeluk lehernya, ketika adik-adikku menempel kepadaku. Namun ibu melepaskan tanganku dan menahan mereka. Matanya tertutup, dan ia masih bertahan dan diam. Aku menangis kepadanya untuk berbicara kepadanya. Rasa takut mendatangiku. Apakah ia sudah gila? Apakah ia kehilangan suaranya?

Aku menjerit—kali ini dengan kencang. Ibu membuka matanya.

“Bersabarlah, putriku,” ujarnya, dengan sikap manis kepada seluruh teman kami yang mengasihinya. “Bersabarlah, putriku, aku hanya berkata kepada Tuhan—berterima kasih kepada-Nya karena doaku menjadi kenyataan!” Ketika aku mencium dan menangisi Hovnan dan Mardiros dan Sarah, aku melirik lagi wajah ibu.

Aruciag kecil tak bersamanya. Ibu menjawab pertanyaan di hadapan mataku.

“Aruciag telah tiada. Ia kelelahan pada suatu hari dan tak dapat bertahan. Seorang prajurit melemparkannya ke jurang!”

Seorang perwira hamidieh datang untuk mengetahui apa yang terjadi, kenapa ibu dan anak-anaknya berdiri berhenti pada perjalanan pasukan berkuda. Ibu menjelaskan kepadanya bahwa aku adalah putrinya, yang telah kembali kepadanya. Ia berkata bahwa ia bergarak agar aku dapat berjalan dengannya. Perwira tersebut berbaik hati. Ia memberikan ijin dan berjanji untuk mengirim keledai lainnya untuk dinaiki olehku.

Terdapat empat gadis Armenia muda dengan ibu dan beberapa wanita tua, yang wajahnya menyiratkan tanda sangat menderita. Ketika kami berkendara bersama, ibu menjelaskan kepadaku.

Ketika aku diambil darinya dan rombongan kami dari Tchemesh-Gedzak, beberapa pekan sebelumnya, ia berbaring di pinggir jalan, dilukai dengan kejam oleh para prajurit. Namun, pikiran terhadap anak-anaknya membuatnya kembali hidup. Para teman merawatnya, dan keesokan harinya ketika rombongan bergerak, mereka membawanya dengan tangan mereka sampai ia dapat berjalan lagi.

Ia melintasi Malatia, Geulik dan Diyarbekir. Pada akhirnya, ia mencapai Ourfa. Pada kali ini, hanya delapan belas orang yang tersisa dari empat ribu pengasingan asli dari Tchemesh-Gedzak.

Di Ourfa, tinggallah pamanku, sepupu dari ibuku, Ipranos Mardiganian, yang pindah dari Tchemesh-Gedzak ke Ourfa pada beberapa tahun lampau—sebelum aku lahir. Paman Ipranos telah menjadi sangat kaya, dan telah mendirikan usaha dagang yang besar, yang bahkan memiliki cabang-cabang di Persia dan Konstantinopel.

Dalam pembantaian Abdul-Hamid 1895, Paman Ipranos didorong oleh teman-teman Turki berkuasanya di Konstantinopel dan Ourfa untuk menjadi Muslim dan sehingga menyelamatkan nyawanya. Ia berpura-pura melakukannya, dan diberikan jabatan kepercayaan tinggi dalam pemerintahan, dan mengembangkan lahan besar di kalangan Muslim. Ia mengadopsi nama Turki, dan menjadi dikenal sebagai Ibrahim Agha. Meskipun demikian, ia secara diam-diam masih berdoa kepada Tuhan dan memeluk Kristen.

Ibu mengisahkannya ketika ia mencapai Ourfa dengan para pengungsi. Ia tahu bahwa ia disukai orang-orang Turki, yang tak lagi nampak padanya sebagai orang Armenia. Ia membujuk salah satu prajurit dalam rombongannya jika ia akan mengirim surat kepadanya di kota tersebut, berjanji bahwa jika ia akan mengirimkan surat tersebut diam-diam, ia akan menerima bayaran. Prajurit tersebut membawa surat tersebut ke rumah Ibrahim Agha. Di dalamnya, ibu memohon kepada sepupunya agar membantu atas nama keluarganya, dan membujuknya untuk memberikan beberapa uang kepada prajurit tersebut.

Ibrahim Agha menjadi sedih akan surat ibu. Ia mengirim pesannya bahwa ia akan menolongnya. Ia sempat mendatangi Haidar Pasya dan meminta ijinnya untuk mengirim ibu dan anak-anaknya ke rumahnya. Ketika ia dayang kepadanya dan menempatkannya ke rumahnya. Di rumahnya, ibu menemukan empat gadis Armenia. Ibu-ibu mereka dideportasi dari Ourfa, namun sebelum mereka meninggalkan kota tersebut, mereka memohon kepada Ibrahim Agha untuk mengambil putri-putri mereka di bawah perlindungannya, dengan alasan untuk menyelamatkan mereka. Ia tak dapat menolak, meskipun ia membahayakan nyawanya sendiri, dan menjaga para gadis tersebut bersembunyi dari tetangga-tetangganya. Beberapa wanita tua juga berada di rumahnya, bersembunyi di ruang bawah tanah miliknya. Ia membawa mereka dari jalanan ketika para prajurit tak melihat.

Selama lebih dari sebulan, ibu dan anak-anak diselamatkan di rumah sepupunya. Kemudian, suatu hari, Haidar Pasya mengirimkannya perintah untuk datang ke gedung pemerintahan. Ia kembali dengan berat hati. Haidar Pasya berkata kepadanya bahwa tak aman baginya untuk menahan para kerabatnya di rumahnya lebih lama lagi; bahwa banyak perwira militer tinggi berada di Ourfa, dan jika beberapa dari mereka mendengar orang-orang Armenia yang mengungsi dilindungi semuanya dapat dibunuh, dan ia dan Ibrahim Agha dapat mengalaminya.

Namun Haidar Pasya menawarkan ijin militer dari jenderal Turki di Aleppo agar ibu dan anak-anak beserta pengasingan lainnya di rumahnya, yang pamanku kini katakan kepadanya, untuk berjalan kembali ke rumah mereka di utara dengan para prajurit yang dikirim ke Moush untuk bergabung dengan kampanye melawan pasukan Rusia. Untuk hal ini, Haidar Pasya menuntut biaya seribu lira—sekitar $5.000—dan ribuan lira lainnya ketika ibu dan lainnyaa agar ibu dan lainnya selamat mencapai rumah mereka dan menerima ijin dari otoritas kampung halaman mereka untuk menetap. Ijin yang dijanjikan oleh Pasya tersebut juga ditentukan.

Pamanku keberatan. Empat gadis tersebut tak memiliki rumah atau kerabat di utara, namun mereka juga pergi, atau dideportasi dan dirampas oleh orang-orang Turki. Ibu sepakat untuk membawa mereka ke rumahnya di Tchemesh-Gedzak—jika kami benar-benar dapat mencapai kesana dalam keadaan hidup.

Di Moush, sebuah korps tentara dikerahkan. Pasukan Turki telah pensiun sebelum laju pertama Rusia melalui Kaukasus, dan Dejevdet Bey, Wali Van, menggerakkan tentara mereka kesana untuk menangkis perlawanan Rusia, yang telah mencapai Van. Para prajurit menduduki semua rumah di Moush, di tempat orang-orang Armenia ditempatkan, dan para perwira hamidieh meyakini bahwa akan lebih baik bagi kami untuk berada di luar kota ketika pengaturan dibuat oleh sisa perjalanan kami. Ibu bergantung pada surat-surat yang diberikannya oleh Haidar Pasya untuk mengamankank ami dalam perjalanan dari Moush ke Tchemesh-Gedzak—dan Ibrahim Agha berkata kepada Haidar akan mengirim pesan telegraf kepada otoritas di Moush untuk memandu keselamatan kami.

Kami berhenti di Kurdmeidan, sebuah desa yang berjarak beberapa mil dari luar Moush, di kaki Gunung Antok. Terdapat banyak orang Armenia di desa tersebut, dan terdapat sebuah gereja Armenia. Namun, seluruh orang Kristen telah dibantai dan rumah-rumah mereka diduduki oleh para mouhajir—para imigran Muslim dari provinsi-provinsi hilang di Balkan. Kami mendatangi gereja yang ditinggalkan tersebut dan bersiap untuk singgah disana sampai pengaturan dibuat untuk kami untuk hengkang. Para perwira hamidieh menyebut desa tersebut sebagai Mudir dan ia berjanji bahwa kami dilindungi dan diberi makanan—yang merupakan “kekhususan yang disukai oleh Porte.”

Para penduduk desa memperlakukan kami dengan baik—sehingga tiada lagi kekhawatiran akan pihak “resmi” atau pemerintah. Hari demi hari berlalu dan kami tak hengkang dari kota tersebut. Kami mulai khawatir. Ibu ingin sekali melihat lagi rumah kami di Tchemesh-Gedzak. “Ini bukan untukmu dan anak-anak,” ujarnya kepadaku, “Aku akan lebih berkehendak untuk tiada di pintuku—jika Tuhan segera memperlihatkan rumah kita lagi kepadaku!” ujar ibuku yang malang!

Kami tak peduli pergi sendiri dari kota tersebut untuk menyelidiki akan yang terjadi pada kami—kami hanya dapat menunggu.

Suatu malam, usai salat Maghrib, jalanan kota kecil tersebut mendadak dikerumuni dengan pasukan berkuda. Beberapa wanita Turki yang tepat berada di luar gereja berkerumun untuk memberikan jalan langkah kuda. “Inilah Sheikh Zilan,” ujar mereka. “Sheikh Zilan dari suku Belek, yang telah dipanggil dari pegunungan dengan ribuan pasukan Kurdi-nya untuk berjuang demi Turki!”

Nama Sheikh Zilan sangat dikenal. Pasukan berkudanya ditempatkan di pinggiran daerah selama beberapa tahun. Ia dikatakan sering melakukan penyerbuan dengan sukunya ke Persia, dan bahkan ke Kaukasus Rusia sebelum perang, untuk menculik wanita untuk pasar-pasar budak rahasia di Turki Eropa.

Suku tersebut berada pada perjalanannya ke Moush. Bagian masuknya dihadang dari mereka usai gelap, setahu kami, sehingga mereka memutuskan untuk berkemah sepanjang malam di Kurdmeidan. Beberapa pengikut Sheikh melihat bangunan gereja Armenia tersebut, dan memutuskan untuk memakainya sebagai tempat para kuda Sheikh dan para pemimpinnya. Mereka mendobrak pintunya ketika ibu dan sisa-sisa orang dari kami tersudut. Tak lama kemudian, gereja tersebut dipenuhi para anggota suku liar.

Ibu menunjukkan surat-suratnya dari Haidar Pasya. Ini membuat orang-orang Kurdi terkagum pada saat itu, dan kami dikirim ke salah satu pemimpin mereka. Ketika pemimpin tersebut datang, ia membaca surat tersebut dengan hati-hati. Kemudian, ia menguji rombongan kami. “Pasya disini berkata bahwa ada seorang wanita Armenia dan para pelayannya bersama dengan tiga anak, yang dijanjikan kekebalan dan diselamatkan. Itu akan kami berikan, meskipun kata Pasya tak mengikat atas kehendak Shiekh Zilan yang agung. Namun tulisan Pasya tak menyatakan lima wanita Armenia muda, terlalu tua untuk disebut sebagai anak-anak dan terlalu muda untuk disebut sebagai pelayan. Kalian akan diambil, sebagaimana yang disampaikan Pasya tersebut.”

Mereka tak percaya bahwa aku juga merupakan putri ibu. Mereka mengambilku dan empat gadis yang ibunya dibawa dari rumah Ibrahim Agha. Pada saat yang bersamaan, ibu dipaksa untuk meninggalkan persinggahan gereja tersebut dan berkemah di halaman terdekat. Mereka mengeluarkan kami dari desa tersebut, di tempat kemah utama mereka berada.

Ketika berhenti, mereka mengikat tangan kami di belakang punggung kami dan kemudian mengikatkan kami satu sama lain dengan mengikatkan tali pada tangan kami. Kemudian, Sheikh Zilan sendiri datang untuk melihat kami. Ia nampak sangat senang ketika ia melihat wajah-wajah kami. Ia memberikan beberapa perintah yang tak dapat kami pahami, namun dilakukan untuk keselamatan kami, dan berjalan menjauh. Kami menjalani malam itu dengan duduk di tanah, karena kami diikat sedemikian rupa sehingga kami tak dapat melepaskan diri. Orang-orang Kurdi melihat kami dengan penasaran ketika mereka berjalan melewati kami, dan seringkali salah satu dari kami akan menendang mereka agar mereka memalingkan pandangan dari wajah kami. Namun pada kesempatan lain, mereka tak dapat menjamah kami.