Armenia yang Terampas/Bab 14


BAB XIV


PESAN JENDERAL ANDRANIK


Selama dua malam, Vartabed Tua mendatangi. Namun setiap malam, ia mengisyaratkan dan aku menjawab. Pada malam ketiga, wajahnya muncul lagi di balik jendela.

“Bersiaplah, anakku—aku harus mengangkatmu keluar,” siulnya. Ia membawa batang baja yang diselipkan pada jeruji besi di jendela. Batang tersebut sangat tua—mungkin berusia ratusan tahun atau lebih yang mereka pakai untuk menutup para tahanan yang ditahan pada ruang bawah tanah yang sama di rumah besar Ahmed Bey. Aku berlutut untuk berdoa, dan aku sedang berlutut ketika Vartabed bersiul:

“Datanglah, anakku—berpeganglah tanganmu pada Vartabed Tua—ia akan mengangkatmu.”

Jeruji-jerujinya melengkung ke samping. Terdapat ruangan khusus gembala untuk masuk ke dalam dan mencapai ke bawah. Aku memegangi tangannya dan ia mengangkatku sampai aku dapat memegangi besi dan menolong diriku sendiri. Pada saat itu, aku melompat ke arah sang gembala berdiri, dan dari sini ke tanah. Domba tersebut, yang berrehat di sekitaran, terbangun dan mengembik ketika aku jatuh di sekitarannya, namun Vartabed Tua bersiul dan mereka pun diam.

“Kita harus pergi dengan cepat; gerbang tak dikunci. Kau harus menjauh, ke tempat yang aku akan katakan kepadamu, sebelum pagi datang dan kau lewatkan,” ujar Vartabed Tua seraya ia membuatku terburu-buru di halaman.

Ketika kami keluar gerbang, Vartabed Tua memakaikan jubahnya padaku, karena ketika itu sedang dingin. Kami sampai ke dataran, jauh dari kota dan menuju perbukitan hilir di kejauhan.

Vartabed Tua tak berbicara lebih banyak. ia sangat tua sehingga ia membutuhkan kekuatan. Ia membujuk agar aku pergi menjauh sebelum fajar. Ketika kami datang ke perbukitan, gembala tersebut menunjukkanku jalan dan berkata kepadaku untuk mengikutinya, dan berjalan sendiri sampai aku datang ke gubuk keluarga Kurdi yang bersahabat.

“Namun kamu, Vartabed Tua—apakah kamu tak datang denganku? Tidakkah Ahmed Bey mencurigaimu jika kau kembali?” tanyaku.

“Vartabed Tua terlalu tua untuk hidup di gurun, dan kemudian, siapa yang akan merawat dombaku?” jawab pria tua tersebut.

Malangnya, Vartabed Tua itu! Ahmed Bey membunuhnya pada pagi hari.

Aku berlari di sepanjang jalan yang ditunjukkan oleh gembala tersebut kepadaku sampai, setelah berjam-jam, aku datang ke gubuk Kurdi tersebut, yang Vartabed Tua katakan kepadaku. Mereka adalah penggembala Kurdi, dan sangat menghormati Vartabed Tua, yang berkata kepada mereka bahwa aku adalah putri bekas induk semangnya di Mamuret-ul-Aziz. Mereka menyambutku, dan sangat baik.

Ketika aku pikir Vartabed Tua kembali dengan dombanya, dan menghadap Ahmed Bey, aku menangis. Istri penggembala Kurdi dan para putrinya meminta maaf, dan orang Kurdi itu sendiri datang menuju dataran tempat rumah Ahmed berada, untuk mengetahui jika Vartabed Tua masih mengurusi dombanya. Pada malam itu, ia kembali dengan sangat tertekan. Ia mengetahui nasib Vartabed Tua. Bukannya sang gembala yang membantuku kabur, Ahmed Bey yang melakukannya. Ia menghampiri Vartabed Tua dan gembala tersebut mengaku, karena tidak ada lagi cara lainnya. Ahmed Bey mengirim para zaptiehnya. Vartabed Tua dibawa ke tempat ia menunggu untuk dibawa ke padang. Disana ia ditembak, dan ia mengorbankan nyawanya demi kebaikannya pada putri cilik dari bekas induk semangnya.

Orang Kurdi tersebut kemudian memperingatkanku. Ahmed Bey telah mengirim para zaptieh untuk melakukan pencarian di dataran dan perbukitan. Mungkin, mereka akan mendatangi gubuk tersebut.

Mereka tak akan mengirimku, namun aku mengetahui bahwa aku harus pergi. Gubuk tersebut terlalu dekat dengan rumah Ahmed, dan para zaptieh dapat mendatanginya ketika mencapainya. Sehingga, mereka memberikanku kaus kaki panjang, hal terbaik yang mereka miliki, sepotong besar roti musim dingin, kendi berisi air, dan selimut untuk menutupiku pada malam hari. Kemudian, aku datang ke perbukitan.

Di luar perbukitan tersebut, terdapat Dersim besar—dataran tinggi berrumput dan berpasir, dengan perbukitan dan pegunungan dimana-mana. Kali ini, pada beberapa mil di setiap arah tak ada orang yang hidup selain Kurdi Dersim, beberapa di pedesaan kecil, beberapa hidup berkelompok. Pada setiap sisi Dersim, tinggallah orang-orang Turki. Pada suatu ketika, orang-orang Armenia menghuni kota-kota Turki, namun kini seluruh orang Armenia telah hengkang—hanya orang-orang Turki yang tersisa.

Para penduduk gurun dan padang Dersim bukanlah ciri khas orang Kurdi yang tinggal di selatan di wilayah tempat mereka dideportasi dari tempat tinggal mereka. Orang-orang Kurdi di selatan adalah suku-suku nomadik, keras dan kejam. Kurdi Dersim banyak yang menjadi petani, dan seringkali memberontak melawan majikan Turki mereka. Mereka adalah Muslim fanatik, dan memiliki kebencian rasial terhadap seluruh “orang tak percaya,” ketika mereka melihat orang-orang Kristen. Namun mereka tak membunuhi orang sebagaimana umumnya pada suku-suku selatan. Untuk itu, aku mempertaruhkan nyawaku.

Selama lebih dari setahun, aku terperangkap dan berkelana di Dersim. Selama beberapa hari usai aku meninggalkan teman-temanku saat mengabari nasib Vartabed Tua, aku bersembunyi pada malam hari, berjalan, berjalan, selalu berjalan; di suatu tempat dan pada kali ini. Ketika sebuah pemukiman nampak di hadapanku, aku beralih ke jalan lain, berkelana tanpa tujuan di sepanjang dataran besar, melewati perbukitan atau gurun.

Rotiku kemudian habis, dan sulit untuk mendapatkan air, karena tempat adanya sumur serta mata air berada di dekat pemukiman Kurdi. Nyaris aku bersembunyi sepanjang sehari penuh, menunggu kesempatan untuk menerobos tanpa teramati dan mendinginkan tenggorokanku yang kering. Tidak ada kesempatan pada siang hari, dan ketika malam datang dan aku mengumpulkan keberanian untuk mendekati sumur. Namun, para anjing dari rumah-rumah berlari keluar dan menangkapiku. Aku terlalu kehausan untuk lari ketika para penduduk desa datang ke luar untuk melihat apa yang ditangkapi para anjing tersebut. Mereka membawaku ke pemukiman dan menutupku di sebuah gua selama semalam. Pada pagi hari, pemimpin pemukiman mengambilku sebagai budak dan menyuruhku untuk menaati perintah keluarganya.

Mereka membuatku melakukan pekerjaan yang dilakukan pria. Aku mengurusi ternak, membawa air dan bekerja di ladang. Ketika aku tak dapat bekerja, orang-orang kurdi memukuliku dengan batang tebal panjang mereka dan enggan memberikanku makanan. Ketika aku bekerja untuk memohon kepada mereka, para wanita akan melemparku dengan sepotong roti. Pada malam hari, aku tidur di tanah, di luar gubuk, dengan permadani dan obor agar terjaga dari kedinginan, namun aku tak pernah merasa hangat.

Setelah berpekan-pekan berlalu, aku terlalu lemah untuk bekerja lebih lama lagi. Aku terjatuh ketika aku datang ke ladang, dan tak dapat bangun ketika seorang Kurdi menendangku. Sehingga, mereka memberikanku separuh potong roti dan menyuruhku untuk pergi. Aku melewati jalan kecil dan kemudian berrehat selama dua hari. Keadaan tersebut lebih baik ketimbang menyeret alat bajak berbahan batang dari pagi hingga malam. Aku kemudian mengumpulkan tenagaku lagi. Dan kemudian aku mulai berjalan lagi.

Di luar Erzerum, aku mengetahui adanya pasukan Rusia—teman orang-orang Armenia. Aku berniat untuk mengarahkan wajahku ke tempat aku pikir Erzerum berada—seratus mil atau lebih melalui Dersim. Aku keluar dari desa-desa sampai aku dapat berjalan tak lagi untuk makanan atau minuman. Kemudian, aku akan menyerahkan diriku sendiri untuk bekerja sebagai budak lagi. Setiap kali, orang-orang Kurdi mengambilku sampai kekuatanku sirna. Kemudian, mereka memberikanku sepotong roti dan membiarkanku pergi.

Meskipun kini menjadi sangat dingin, aku tak memiliki pakaian. Orang-orang Kurdi takkan pernah membiarkanku memakai pakaian apapun. Salju yang turun di perbukitan memberikanku air, namun sepanjang aku bersantap selama berpekan-pekan, bahkan berbulan-bulan, pada suatu kali, terdapat kulit pohon dari pohon kecil, yang bertumbuh pada musim dingin, dan rumput-rumput mati yang aku temukan di bawah salju.

Salju meleleh ketika aku mencapai tepi Dersim di barat. Aku tak tahu bulan apa itu, karena aku tak lagi menghitung waktu, namun aku tahu bahwa musim semi telah datang karena salju telah hilang. Aku kini berada di wilayah kota-kota Turki. Terkadang, aku melihat orang-orang Turki, berjubah putih, berjalan di dataran. Aku melihat sekelompok domba pada saat ini dan kemudian, dan tainda lain bahwa aku berada di dekat kota-kota. Sehingga, aku harus menjauh dari kota-kota tersebut atau para penduduknya.

Suatu hari dari sisi bukit tempat aku bersembunyi, nyaris terlalu lemah akibat kelaparan untuk berjalan, aku melihat rombongan besar orang dengan keledai serta gerobak dan araba, melewati apa yang nampaknya merupakan jalan menuju selatan. Sepanjang yang aku dapat lihat, iring-iringan tersebut membentang luas. Selama berjam-jam, mereka berjalan di sepanjang dataran. Aku takjub dengan apa yang terjadi. Aku turun dari bukit dan, merangkak ke tanah, berniat mendekati sebisaku. Aku melihat orang-orang itu adalah orang-orang Turki, dan bahwa mereka membawa barang-barang rumah tangan beserta mereka. Aku juga melihat bahwa mereka terkesima dan nampak tak bahagia.

Aku melihat barisan keluarga Turki berdatangan sepanjang hari. Ketika hari mulai gelap, aku memutuskan untuk bergerak ke jalan yang mereka lalui. Entah mereka mengirim orang-orang Turki dari rumah-rumah mereka ke kota-kota di arah timur, tak ada hal apapun yang menyiratkan kemalangan seorang gadis dari orang-orang Armenia.

Kala aku melintasi Sungai Kara, cabang terjauh sungai Efrat. Di sepanjang jalan yang dilewati orang-orang Turki pada siang hari, terdapat potongan roti, kendi kaca dari buah-buah yang telah dikosongkan, dan sisa makanan lain. Aku mengumpulkannya untuk memberikanku kekuatan untuk berjalan.

Dataran yang aku lewati pada malam hari adalah wilayah yang sempat menjadi tempat dari Taman Eden, menurut ajaran-ajaran pendeta dan buku sekolah Minggu kami. Sungai Kara adalah salah satu dari Empat Sungai. Didekatnya adalah Acampis dalam Alkitab dan Chorok dan Aras, tiga sungai lainnya. Di antara bebatuan yang sama yang aku lewati secepat kekuatan yang aku bisa, Hawa sendiri sempat mengembara. Kemudian aku duduk beberapa kali pada tempat yang aku anggap tempat Hawa berrehat, dan takjub jik aku bertempat di atasnya, melihat ke atasku, salah saru orang terakhir dari ras bangsa besar pertama yang menerima ajaran-ajaran Kristus dan yang banyak menderita atas nama-Nya sepanjang beradab-abad yang berlalu semenjak taman Hawa bermekaran di dataran dan bertumbuh di sekitaranku.

Pada keesokan harinya, terdapat barisan pengungsi Turki lainnya. Mereka nampak terlambat dan khawatir akan kekeliruan besar. Para prajurit Turki nampak berada di antara mereka, dan terdapat banyak zaptieh. Dari kejauhan, aku melihat minaret-minaret dari sebuah kota. Aku mengetahui bahwa itu adalah Erzerum. Aku datang mendekat ke sebuah desa dan melihat para penduduknya bergegas dari rumah ke rumah dengan perasaan gembira.

Aku takut berjalan pada siang hari. Aku tak dapat pergi mendekati salah satu desa tersebut, bahkan untuk mengumpulkan air, karena aku tak mengenakan pakaian, dan akan memalukan, bahkan jika aku percaya bahwa aku tak akan ditangkap. Pada malam hari, aku mendekati kota yang jauh. Pada pagi hari, aku berdiri di tepi dataran, yang mengarah ke bawah menuju jurang dataran. Mnempel di dekat pepatuan, yang menyembunyikanku dari pandangan para pengungsi yang melintas sepanjang jalan, aku dapat melihat kota tersebut dari bawah.

Aku melihat orang-orang sangat terburu-buru. Raga para prajurit bergerak mendekat dan datang. Para pengungsi bergegas keluar dari kota dan bergabung dengan orang lainnya dari seluruh desa. Di kejauhan, aku dapat melihat apa yang aku ketahui sebagai tembakan senjata api.

Tembakan datang mendekat. Kini dan kemudian senapan-senapan besar bermunculan, mengguncang tanah di sekitarku. Aku melihat ledakan di kota tersebut. Rumah-rumah nampak runtuh setiap kali senapan-senapan besar mengeluarkan suara. Di kejauhan dari kota tersebut, mendadak muncul awan debu. Mereka datang mendekat. Para prajurit keluar dari gerbang kota mendekatiku, melindungi warga sipil.

Pada siang hari, baku tembak berhenti. Awan debu di luar kota makin mendekat. Diantara mereka, rombongan pasukan berkuda mendadak muncul. Mereka berkendara langsung menuju gerbang yang jauh. Rombongan prajurit Turki mendatangi mereka ke tembok kota. Terjadilah pertikaian. Orang-orang Turki dipukul mundur. Pasukan berkuda mengikuti. Terdapat senapan yang ditembakkan. Rombongan pasukan berkuda lainnya bermunculan dari segala arah di timur, melewati gerbang dan kota itu sendiri.

Pasukan Rusia telah datang!

Selama sejam, kota tersebut nyaris hening kembali. Dari kejauhan, aku menyaksikan sekumpulan besar pasukan bergerak perlahan. Di belakang pasukan Cossack, pasukan Rusia berdatangan. Orang-orang Turki di kota tersebut menyerah.

Ketika malam datang, aku bergerak dari bebatuan dan menuju kota tersebut. Aku berharap sebelum fajar datang, aku dapat menemukan pakaian, atau potongan kain, yang ditinggalkan dan dapat menutupi diriku. Teror pasukan Cossack membuat para warga yang berani untuk bertahan di rumah-rumah mereka. Jalan-jalan raya dikepung di pinggiran, kecuali ketika zaptieh mencuri, karena khawatir aku terlihat.

Mendadak, ketika aku melalui persimpangan jalan sempit, dekat dengan tembok, berharap agar kesempatan itu, atau keesokan harinya, akan membuatku mendekati salah satu rumah yang aku ketahui seharusnya diduduki oleh pasukan Rusia. Aku melihat penglihatan indah—bendera Amerika. Sinar dari lampu sorot dipasangkan pada bagian atasnya.

Sinar tersebut datang dari seluruh jendela di rumah yang mengibarkan bendera tersebut. Disitu, aku tahu, bahwa aku akan diselamatkan. Namun tidak sampai setelah fajar, aku berani untuk datang mendekat. Kemudian, aku melihat sekelompok pria bergerak di sekitaran halaman dan dekat jalan pintu. Aku lari dari tempat persembunyianku dan jatuh ke kaki pria tinggi berperawakan baik, yang datang dari pintu rumah, dan berbincang dengan seorang perwira Rusia.

Aku merasa pria tinggi tersebut berhenti dan menempatkan tangannya di atas kepalaku. Setelah itu, matahari nampak timbul dari fajar abu-abu dan menyinariku. Kemudian aku jatuh pingsan. Ketika aku membuka mataku lagi pada beberapa hari setelahnya, mereka berkata kepadaku. Aku berada pada kasur hangat, dan orang-orang baik semuanya berada di sekitarku. Ketika mereka berbincang denganku, dalam bahasa asing, aku berupaya untuk menanyai pria tinggi yang mengangkatku dari jalan di bagian pintu. Seorang penerjemah datang dan tak alam kemudian pria tinggi tersebut dayang dan tersenyum, dan aku mengetahui segalanya itu baik.

Pria itu, yang mereka katakan kepadaku, adalah dokter misionaris terkenal, Dr. F. W. MacCallum, yang dikenal karena kebaikannya pada orang-orangku sepanjang masa kekaisaran Turki. Ia memutuskan untuk meninggalkan Konstantinopel ketika perang terjadi, namun ia datang ke Erzerum dengan pasukan Rusia—untuk menjadi salah satu orang pertama yang membebaskan orang-orangku. Rumahnya sempat dijadikan misi Amerika. Para misionaris diperintahkan untuk pergi, namun mereka kembali dengan pasukan Rusia.

Dr. MacCallum, yang kini berada di New York dan menjadi teman baik pertama yang aku temukan usai kedatanganku di daerah tersebut, membawa ribuan gadis Armenia keluar dari perbudakan pada saat itu ketika pasukan Rusia menarik Turki dari Kaukasus. Dengan uang yang disuplai oleh American Committee for Armenian and Syrian Relief, ia membeli gadis-gadis tersebut dari para penangkap Turki mereka dengan harga $1. Orang-orang Turki, yang mengetahui bahwa pasukan Rusia akan membebaskan para gadis Kristen yang ditangkap jika mereka menemukannya, senang untuk menjual mereka dengan harga tersebut alih-alih berresiko kehilangan mereka tanpa mengumpulkan hal apapun.

Jenderal Andranik, pemimpin Armenia besar, yang menjadi pahlawan nasional kami, datang untuk melihatku. Selama bertahun-tahun, Jenderal Andranik menjaga hidup-hidup keberanian seluruh orang Armenia. Ia menjanjikan kebebasan kepada kami dan mempertaruhkan nyawanya untuk menjaga jiwa-jiwa bangsaku. Orang-orang Turki memberikan harga untuk kepalanya, dan ia diburu dari satu ujung kekaisaran ke ujung lainnya—namun ia selalu dapat melarikan diri. Ia memimpin resimen-resimen Armenia, yang terdiri dari orang-orang Armenia yang tinggal di Rusia, dalam tentara Rusia yang dikirim melawan Turki.

Ketika aku berkata kepada Jenderal Andranik soal bagaimana aku melihat orang-orang dekatku sendiri dibunuh, ia merasa sangat menyesal padaku. Ia menenangkan dan menyemangatiku, dan menyebutku “gadis kecil”-nya. Ia lebih suka ia menyatakan kepadaku ketimbang memberikanku seluruh kekayaan di dunia.

Seorang perwira Rusia yang dapat berbicara bahasa Armenia juga datang untuk berbincang denganku. Ketika aku berkata kepadanya segala hal yang ia tinggalkan, namun dalam sejam ia kembali. Kali ini seorang perwira berpenampilan sangat menarik, sangat tinggi, dengan wajah baik, menghampiriku. Aku tahu bahwa ia harusnya berpangkat sangat tinggi, karena terdapat banyak sambutan ketika ia memasuki rumah. Perwira tersebut berbicara denganku mula-mula dengan mengulang beberapa hal lain yang aku katakan kepadanya. Perwira berperawakan menarik tersebut kemudian berkata kepadaku, mula-mula dalam bahasa Rusia, dan kemudian dalam bahasa Prancis, yang aku pahami.

“Kamu merupakan gadis yang sangat kurang bahagia,” ujarnya, “dan aku sangat bahagia untuk menjalani waktu untuk menyelamatkanmu. Kami harus memberikan perawatan baik kepadamu, dan seluruh orang Rusia akan menjadi teman-temanmu.”

Ketika ia pergi, mereka berkata kepadaku bahwa ia adalah Adipati Agung, dalam komando ketentaraan di Kaukasus. Perwira yang mula-mula mengunjungiku adalah Jenderal Trokin, kepala staf Adipati Agung tersebut.

Ketika aku membaik dan kuat, Jenderal Andranik mengijinkanku untuk membantu merawat ratusan anak Armenia yang ditemukan di tangan Turki dan pengungsi Armenia yang berhasil bersembunyi di perbukitan dan pegunungan dan yang kini memohon perlindungan orang Rusia. Aku juga membantu untuk menenangkan para gadis yang dibawa keluar dari harem-harem.

Ketika Jenderal Andranik bergerak dengan pasukan Rusia, Adipati Agung memerintahkan agar aku dibawa dengan aman ke Sari Kamish, di tempat jalur kereta api bermula, dan dikirim dari sana ke Tiflis, ibukota Kaukasus Rusia. Ketika Jenderal Andranik berbaik hati kepadaku, ia berkata:

“Adipati Agung memberikan perintah agar kamu dikirim ke Amerika, di tempat orang-orang Armenia malang memiliki banyak teman. Ketika kami mencapai tanah tercinta tersebut kisahkan kepada orang-orangnya bahwa Armenia ditekan, dicabik dan berdarah, namun bakal bangkit lagi—jika Amerika hanya akan membantu kami—mengirim makanan untuk orang yang kelaparan, dan uang untuk dibawa mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika perang usai.”

Ketika aku memulai perjalanan tersebut, menuju Sari Kamish, Jenderal Andranik mengambil cincin indah dari jarinya yang, ia katakan, merupakan milik ayah dan kakeknya, dan memasangkannya ke jariku. Ini adalah cincin yang aku kenakan saat ini —semuanya ditinggalkan kepadaku dari negaraku.

Dari Sari Kamish, para prajurit Adipati Agung mengirimku ke Tiflis. Disana, aku diterima oleh para perwakilan American Committee for Armenian and Syrian Relief, dan disuplai dengan dana yang layak untuk mengambilku, dengan paspor Adipati Agung, menuju Petrograd, Swedia dan Amerika.

Namun ketika aku mencapai Petrograd, tak semuanya baik di kota tersebut. Czar telah dilengserkan dan pemerintahan Menteri Kerensky kehilangan kekuasaan terhadap penduduk. Pemberontakan di jalanan dimulai, dan otoritas dari Adipati Agung dan perwakilan Amerika di Tiflis yang mengirimku telah diusir atau dieksekusi.

Kembali, aku tanpa teman dan tanpa tempat singgah. Aku memiliki banyak uang, namun aku sulit membeli makanan apapun. Untuk lima puluh rubel, aku hanya dapat membeli sepotong roti. Ketika aku menjadi sangat lapar, aku menghentikan orang-orang berperawakan baik di jalanan untuk membujuk mereka agar mereka menolongku mengumpulkan beberapa hal untuk disantap, mereka melirikku dengan sedih, memberikanku segepok uang kertas, dan berkata bahwa mereka dapat memberikanku itu, namun bukan makanan. Setiap orang nampaknya memiliki sejumlah besar uang, namun hal-hal untuk disantap sangat langka.

Tidak ada yang rela mengambilku. Aku menemukan sebuah gereja Armenia, yang kini kosong dan ditinggalkan. Seluruh orang Armenia yang tinggal di Petrograd telah diusir. Mereka mula-mula menghadapi ketegangan, karena pengalaman mereka di negara mereka sendiri, dan menghilang. Aku bertahan di gereja yang ditinggalkan tersebut selama beberapa hari, khawatir untuk pergi ke jalanan, di tempat banyak pembunuhan dan perampokan. Baru pada awal pagi, ketika jalan sangat senyap, aku memutuskan keluar untuk mencari makanan.

Pada akhirnya, aku melihat orang Amerika yang melewati gereja tersebut. Aku berlari ke luar dan memohon kepadanya, dalam bahasa Prancis, untuk menolongku. Aku menunjukkannya pasporku dan ia menempatkanku ke sebuah droschky menuju Kedubes Amerika. Disini, setiap orang berbaik hati kepadaku. Pasporku diganti dan keesokan harinya aku mulai menuju Christiania.

Kereta yang aku tumpangi dihentikan beberapa kali oleh sekelompok prajurit, yang menuntut paspor setiap orang. Meskipun mereka mengambil beberapa orang dari kereta pada satu pemberhentian, pasporku dihormati dan aku dibiarkan. Sampai akhirnya, kami datang dari Petrograd ke wilayah yang lebih sunyi. Kemudian, kami meninggalkan seluruh ketegangan di belakang dan kereta melaju ke wilayah yang nampak damai dan bahagia.

Pada akhirnya, kami mencapai Christiania dan aku menemukan teman-teman baik disana. Mereka memberikanku makanan pertama yang benar-benar layak yang aku dapatkan dalam beberapa hari. Selain itu, mereka memberikanku kebaikan dan keheningan di rumah mereka. Ketika menunggu pesan dari Amerika Serikat, aku istirahat dan dapat mengembalikan tenagaku.

Dana lebih diberikan kepadaku di Christiania, dan kemudian aku menyadari diriku berada di kapal pesiar samudra menuju Halifax, pada perjalananku menuju tanah kebebasan. Dari Halifax, aku datang langsung ke New York. Ketika Patung Liberty nampak padaku, kami memasuki pelabuhan, aku bergembira tak hanya karena aku sendiri setidaknya sudah selamat, selain karena aku akhirnya mencapai negara di tempat aku dapat menyampaikan pesan yang akan membantu orang-orangku yang menderita.

Disini, aku menemukan teman-teman baik—orang-orang Amerika yang membuatku bahagia selama aku bisa. Dan, yang terbaik dari semuanya, mereka tak hanya berbaik hati pada gadis kurang beruntung—mereka mengirim pertolongan pada orang-orang yang aku tinggalkan di belakang—ke orang-orang yang masih hidup dan hilang di gurun pasir. Mereka membuatku memungkinkan mengisahkan dalam bukuku ini, apa yang Jenderal Andranik katakan kepadaku:

“Armenia percaya pada teman-temannya—masyarakat Amerika Serikat.”


SELESAI