Armenia yang Terampas/Bab 3
BAB III
VAHBY BEY MEMUTUSKAN PILIHANNYA
Pada waktu itu, Lusanne dan berdebat apakah kami harus kembali ke lapangan dan bertemu ibu, karena Miss Graham telah dicuri dan tak dapat menolong kami, atau apakah kami harus berupaya untuk melarikan diri karena sejauh ini kami lolos dari perhatian dalam penyamaran kami. Kami memutuskan agar, mungkin, jika kami dapat mencapai rumah orang Turki bersahabat, di luar kota, dan kami kenal beberapa dari mereka, kami mungkin dapat mencari cara untuk menyelamatkan ibu. Kami tak tahu bagaimana hal tersebut dapat dilakukan, namun kami menggantukan harapan agar seseorang akan membantu kami.
Ketika sudah sangat gelap, kami melalui pinggiran jalan menuju rumah kami yang ditinggalkan dan melewati taman tanpa menarik perhatian. Kami tak membuat penerangan, atau bertaahn di lantai bawah, para prajurit dapat memasuki rumah dengan cara apapun. Kami pikir, tempat teraman untuk bersembunyi adalah atap.
Di atap, terdapat sejumlah kotak barang lama milik ibu. Kami mencari sampai kami menemukan beberapa pakaian lama, dan masing-masing dari kami mengmabil gaun lama ibu di bawah jubah yang ia berikan kepada kami. Jika kami ditemukan, pakaian lama tersebut, kami pikir, dapat mengelabui orang-orang Turki jika mereka dapat menjaga wajah kami tertutup. Lusanne maupun aku tidur selama tiga hari, orang-orang Turki memperbolehkan wanita Armenia bersiap untuk deportasi. Menjelang pagi, kami berdua lelah hingga kami tertidur. Mendadak, aku terbangun mendapati seorang zaptieh jelek berdiri di hadapanku, dengan pedang di tangannya. Ia menendangku. Tiga atau empat orang lainnya, yang, dengan pemimpinnya, diketahui mencari barang-barang berjarga, mendatangi tangga menuju atap, dan salah satu orang yang menemukan kami berseru kepada mereka:
“Mouhadjirler — anleri keselim!”—(“Disini ada pengungsi — ayo bunuh mereka!”)
Teriakan zaptieh tersebut membangunkan Lusanne dan ia menjerit.
Pada waktu itu, orang-orang Turki mendorong kakiku, namun saat Lusanne menjerit, mereka menjatuhkanku. “Mereka bukan orang tua,” kata pemimpin zaptieh, ketika ia menirik saudariku. “Suaranya muda.”
Mereka menendangku saat mereka mengelilingi Lusanne, menangkapnya dan membawanya menuruni tangga menuju lantai bawah, di tempat ruang tidur kami. Disana, mereka menemukan lentera dan menyalakannya dari obor yang dibawa oleh salah satu dari mereka. Mereka mulai menguji Lusanne, yang menjerit dan melawan mereka. Aku mengikutinya ke bawah tangga dan berlari ke ruangan tersebut, namun saat mereka melirikku, salah satu dari mereka memukulku, dan aku terjatuh. Mereka menganggap aku setidaknya setua penampakan pakaianku. Salah satu dari mereka berkata, “Arahkan orang tua itu dengan bayonet jika ia tak bisa diam.” Aku tak dapat berbuat apapun selain bertahan di lantai tersebut, tersudut di tembok dan mengamati.
Seorang zaptieh melucuti kerudung dan gaun Lusanne. Ketika mereka melihat wajahnya dan bahwa ia terlihat muda dan bagus, mereka berteriak dan tertawa. Pemimpinnya menurunkan senjatanya dan memajukan pedangnya di meja dan kemudian mengambil Lusanne dari orang-orang lainnya dan merangkulnya. Ia berjuang keras agar orang-orang lain menolongnya sesambil perwira tersebut menciumnya. Setiap kami ia menciumnya, ia tertawa dan semua orang lainnya juga tertawa. Satu per satu zaptieh menggerayanginya, masing-masing melewatinya dengan yang lainnya, semuanya sangat terhibur oleh perjuangannya.
Saat gaun Lusanne dilucuti dan teriakannya makin kencang, atau tak dapat berdiri lebih lama lagi. Aku menyentuh pria tersebut dengan lututku dan meminta agar mereka menghentikannya. Aku tahu bahwa tak ada lagi harapan kami dapat melarikan diri, sehingga ia berkata: “Mohon bawa kami ke lapangan pada kerabat-kerabat kami; kami akan beri uang kepadamu jika kau hanya menginginkan kami.”
Mereka membolehkan kami untuk meninggalkan rumah, namun diikuti sepanjang jalan menuju lapangan. Kini sudah siang hari dan para wanita saling bertumpang tindih, berbagi roti dan daging satu sama lain yang dibawa oleh beberapa dari mereka. Para zaptieh membuat Lusanne bertahan dengan mereka saat aku mencari ibu. Ia merawat seorang bayi yang ibunya meninggal pada malam hari. Hal pertama yang ia katakan adalah, “Dimana Lusanne—apakah mereka membawanya?”
Ibu memberiku dua lira. Para zaptieh mengambilnya dan melepas Lusanne. Ia pingsan saat ia menyadari bahwa mereka telah membebaskannya.
Pada pagi dan malam pertama, tidak ada orang yang mengetahui apa yang terjadi. Para prajurit sepertinya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan hanya menyatakan bahwa Pasya telah memerintahkan para wanita dideportasi. Tidak diketahui bagaimana atau kapan. pada malam pertama, tiga ibu gadis yang dibawa oleh orang-orang Turki sehari sebelumnya meninggal. Salah satu dari mereka bunuh diri saat anak-anaknya yang lain tidur di sekelilingnya. Sangat banyak orang yang berkerumun di lapangan tidak semuanya dapat menemukan ruang untuk berbaring dan para prajurit membunuh siapapun yang berniat untuk bergerak ke jalan.
Di tengah lapangan, terdapat tempat orkes. Disana, kelompok musik Mutassarif seringkali bermian pada sore musim panas. Di tempat orkes, para prajurit menempatkan pada putra dan putri yang dibawa dari Panti Asuhan Kristen saat mereka diambil dari Miss Graham. Terdapat tiga puluh putri, tidak ada dari mereka yang berusia lebih dari dua belas tahun, dan nyaris sejumlah dengan para putra.
Anak-anak menangis kencang saat Lusanne dan aku, atas saran ibu, datang untuk melihat apakah kami tak dapat menolong untuk merawat mereka. Tak ada makanan untuk mereka kecuali apa yang para wanita dapat bawa dari toko-toko mereka sendiri. Orang-orang Turki tak pernah memberi makanan pada para tahanan mereka. Menjelang siap pada hari itu, Vahby Bey, panglima militer seluruh vilayet, yang nyaris menaungi korps tentara, bergerak ke kota tersebut dengan staf dan rombongan hamidieh, atau kavaleri Kurdi. Ia berjalan menuju Harpout, dari Erzindjan, sebuah kota besar di utara, dimana ia menghadiri dewan perang dengan Enver Pasua, Kepala Panglima Turki.
Vahby Bey berjalan dari markas besarnya ke lapangan umum, dikawal oleh stafnya. Ratusan wanita berkerumun di sekelilingnya, namun para perwira stafnya memukuli mereka dengan pedang dan batang.Jenderal tersebut berjalan sesekali ke tempat orkes dan melihat anak-anak . Abdoullah Bey, pemimpin gendarme, bersama dengannya, dan mereka berbincang dengan suara pelan.
ketika Vahby Bey pergi, beberapa prajurit mulai menanyai para gadis Armenia jika mereka akan suka ditemani para yatim piatu dan merawat mereka di tempat dimana pemerintah akan menempatkan mereka. Para prajurit berkata bahwa mereka aku mengambil beberapa gadis untuk keperluan tersebut, dan sehingga menyelamatkan mereka dari teror deportasi dan kematian, atau lebih buruknya, jika mereka mula-mula akan bersedia untuk menjadi Muslim.
Kebanyakan ibu menganggap ini sebagai satu-satunya cara untuk menyelamatkan para putri mereka dari harem. Beberapa wanita muda, yang beberapa diantaranya merupakan mempelai dari para suami yang telah dibunuh, sangat putus asa dan ketakutan untuk menerima keputusan ini. Para perwira berkata bahwa hanya gadis muda yang akan diterima, dan menyatakan bahwa seorang orang yang ingin mendapatkan kesempatan tersebut untuk berkumpul di tempat orkes. Lebih dari dua ratus orang berkumpul, dengan para ibu dan kerabat bergantung pada mereka. Aku tak berpikir bahwa mereka benar-benar berkehendal untuk menyangkali Kristus, namun kami menganggap bahwa mereka akan diampuni jika mereka nampaknya dapat untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari pembantaian, diculik di gurun atau dipaksa menjadi gundik.
Seorang perwira hamidieh, yang nampak cerdas dan berseragam mahal, berdiri untuk memilih para gadis. Ia memilih dua belas gadis yang paling cantik. Seorang gadis yang tinggi dan sangat menawan, dan yang ayahnya merupakan pedagang kaya, menolak untuk menyatakan syahadat Muslim meskipun dua adiknya juga menerimanya. Perwira tersebut menantanginya. Tiga gadis tersebut tak memiliki ibu, hanya beberapa adik laki-laki, dan para perwira berkata bahwa mereka akan ditemani para yatim piatu. Tiga bersaudari tersebut sangat senang mereka selamat. Salah satu dari mereka adalah teman Lusanne, dan ia berkata kepadanya: “Tuhan kami akan tahu kenapa kami melakukan ini; aku akan selalu berdoa kepada-Nya secara diam-diam.” Esther Magurditch, putri Boghos Artin, seorang pengarang dan penyair Armenia besar, yang tinggal di kota kami, juga menyatakan sumpah tersebut, dan terpilih. Esther merupakan salah satu teman mainku. Ibunya adalah seorang wanita Inggris, yang menikahi ayahnya ketika ia datang ke Eropa. Esther telah menikah dengan Vartan Magurditch, seorang pengacara muda, tepat sepekan sebelumnya. Saat ayah dan suaminya diambil darinya, ia nyaris kehilangan pikirannya.
Ketika semua empat belas gadis menyatakan rek’ah Islam, para prajurit membawa mereka dengan para yatim piatu ke rumah besar yang ditinggali keluarga Esther. Rumah tersebut adalah rumah Armenia terbesar di kota tersebut.
Saat anak-anak dan para gadis murtad tersebut memasuki rumah tersebut, Esther menyiapkan makanan untuk mereka dari roti dan makanan lain yang telah ditinggalkan. Saat anak-anak bersantap, para gadis dibawa ke bagian rumah lainnya. Disana, seorang wanita Muslim lansian menunggui mereka dengan yashmak, atau kerudung Turki, yang ia katakan kepada mereka bahwa mereka harus memakainya, karena mereka telah menjadi wanita Muslim dan seharusnya wajahnya mereka tidak diperlihatkan.
Para wanita muda kemudian dikatakan untuk mendudukkan diri mereka sendiri sampai seorang perwira datang untuk memberikan pengarahan lebih lanjut. Mereka masih menunggu di ruangan tersebut ketika suara kanak-kanak di bagian lain di bagian lain rumah tersebut muncul, dalam jeritan.Para gadis bergerak menuju pintu, namun pintu tersebut terkunci.
Mendadak, pintu dibuka dan Vahby Bey, dengan kepala stafnya, Ferid Bey, dan Ali Riza Effendi, Komisaris Polisi, yang markas besarnya berada di Harpout, masuk. Sejumlah perwira berseragam rapi lainnya datang bersama dengan mereka, yang datang dengan Jenderal Vahby. Para gadis berlutut di hadapan para perwira tersebut, dan memohon kepada mereka, dalam nama Allah, agar mereka mendatangi anak-anak. Para perwira tertawa. Tiga bersaudari tersebut, yang telah mengambil adik mereka dengan anak-anak, memohon kepada Jenderal Vahby untuk berkata kepada mereka soal apa yang terjadi pada anak-anak mereka. Vahby Bey tak menjawab, namun menunjuk orang paling tinggi dari tiga gadis tersebut, orang yang sangat menawan, dan berkata kepada kepala staf: “Orang ini akan aku ambil; jaga dia secara hati-hati.” Ferid Bey, kepala perwira, kemudian memerintahkan beberapa prajurit, yang mengambil gadis tersebut dan membawanya ke tangga menuju kamar yang telah ditempati oleh Vahby Bey. Vahby Bey disusul. Ferid Bey kemudian memilih Esther, dan para prajurit membawanya ke kamar lain. Ferid Bey disusul dan memerintahkan para prajurit untuk menempatkan penjagaan di luar pintunya dan yang lainnya di luar pintu kamar Vahby Bey.
Di bawah tangga, para perwira lain dari staf Vahby Bey masing-masing memilih seorang gadis, para perwira berpangkat yang lebih tinggi mengambil pilihan pertama. Tinggal tiga gadis yang tersisa, salah satu dari mereka saudari bungsu dari gadis Vahby Bey yang telah diambil, dan para prajurit berjaga di situ, yang tidak membiarkan mereka keluar dari kamar tersebut.
Apakah tiga gadis tersebut masih hidup tidak dapat aku kisahkan. Esther mengisahkan kepada kami apa yang terjadi pada siang itu di rumahnya, karena ia merupakan salah satu dari empat belas orang yang kabur hidup-hidup. Sebelum ia keluar dari rumah tersebut, ia melihat ke ruangan tempat para prajurit ditempatkan, dan melihat bahwa tiga gadis tersebut telah meninggal.
Esther berniat untuk melawan Ferid Bey, dan memohon kepadanya; namun Ferid Bey mengancam untuk membunuhnya. Saat ia berkata bahwa ia lebih baik mati, ia membuka pintu sehingga ia dapat melihat pasukan yang berdiri berjaga di tempat tersebut, dan berkata kepadanya:
“Baiklah kalau begitu; jika kau tak bisa diam, aku akan memberikanmu kepada para prajurit tersebut!”
Sesungguhnya Tuhan tak akan menyalahkan Esther karena karena menjauhkan diri dari penglihatan banyak pasukan tersebut dan membolehkan Ferid Bey, yang merupakan satu-satunya pria, untuk bertahan.
Para perwira menyibukkan diri mereka sendiri dengan gadis tersebut sampai sore. Ketika Ferid Bey meninggalkannya, Esther memohon kembali kepadanya untuk setidaknya memberitahukannya dimana anak-anak ikut, yang ia pikir dapat datang kepada mereka. Ia menyatakan kepadanya bahwa pada siang itu, para yatim piatu dalam keadaan selamat, dan bahwa para gadis dapat kemudian dapat kembali ke mereka. Kini ia tak lagi mengelak. “Kami tak punya waktu untuk berurusan anak-anak tak berkepercayaan itu,” katanya. “Kami menenggelamkan mereka di sungai!”
Ferid Bey menyatakan kebenaran tersebut. Kami menemukan beberapa jasad mereka saat kami melewati jalan tersebut pada waktu berikutnya. Para prajurit mengikat anak-anak tersebut dengan tali dalam kelompok sepuluh orang dan membawa mereka ke Kara Su, yang juga merupakan anak Sungai Efrat, yang berjarak sepuluh mil. Anak-anak yang terlalu kecil untuk berjalan atau berjalan dengan anak lainnya, para prajurit bunuh dengan bayonets atau senapan. Mereka meninggalkan jasad mereka, yang masih terikat bersama, di pinggiran jalan, Di tepian sungai, kami menemukan jasad lainnya yang telah membasah.
Kemudian, Ferid Bey pergi dan Esther mendengar para perwira lainnya berkumpul di lantai bawah, beberapa hal memperingatkannya untuk berniat untuk langsung kabur. Nyaris semua pakaiannya dibakar, namun ia tak peduli menunggu untuk menutupi dirinya sendiri. Ia memanjat ke atap dengan tangga kecil yang tak dijaga pasukan Turki, dan menyembunyikan dirinya sendiri disana.
Jenderal Vahby dan para perwiranya datang ke tempat tersebut. Para prajurit memburu para gadis tersebut yang telah keluar dari belakang. Esther mendengar mereka bertikai satu sama lain soal gadis yang paling cantik. Setelah itu, kebanyakan gadis tewas. Para prajurit membunuh sisanya dengan pedang mereka saat mereka merampungkannya. Dari situ, Esther mendengar mereka seraya berkata kepada satu sama lain soal apa yang mereka lakukan, ia meyakini bahwa mereka tak diperintahkan untuk meninggalkan wanita muda manapun dalam keadaan hidup sebagai saksi untuk Vahby Bey dan para perwira mereka yang melakukan hal semacam itu secara terbuka.
Esther keluar dari rumah dan merangkak melalui jalan belakang menuju lapangan. Ia menemukan ibunya dan terjatuh pada lengannya. Ketika hari mulai terang, seorang prajurit meliriknya dan mengakuinya sebagai salah satu gadis yang telah murtad sehari sebelumnya, dan para zaptieh membawanya pergi. Pada siang hari, para prajurit lainnya datang ke lapangan, dengan para zaptieh dan hamidieh, dan para perwira mulai mendatangi kami, berkata bahwa dalam satu jam kami dikirab. Mereka berkata kepada kami bahwa kami akan dibawa ke Harpout, namun mereka kemudian menentukan tempat tujuan kami mengarah ke Arabkir.
Pada jam terakhir di kota kami, yang menjadi tempat tinggal banyak leluhur keluarga kami selama berabad-abad, dan berada di luar perbatasan yang beberapa tetangga kami berkunjung, banyak ibu dan anak-anak mereka berdoa. Nyaris tak ada lagi tangisan atau ratapan. Wanita muda yang kuat bergabung di dekat kami, para lansia atau para ibu yang lemah dengan para bayi yang sangat muda. Setiap orang dari kami yang lebih kuat ketimbang kebutuhan kami sendiri berniat untuk menemuakn beberapa orang yang membutuhkan pembagian darinya. Kamin terdorong sedikit saat tiba waktunya untuk kami bergerak oleh kemurahan hati beberapa prajurit Turki yang baru, yang nampak menginginkan kami untuk merasa senyaman mungkin. Atas saran mereka, sebagian besar nenek lansia yang para putrinya memiliki lebih dari satu bayi ditempatkan bersama dalam sekelompok kereta kerbau, masing-masing dengan cucu yang telah disapih. Para prajurit berkata bahwa rencana ini akan memulihkan para ibu muda sehingga banyak anak menyaksikannya, dan akan menyertai wanita tua, ketika, secara bersamaan, para prajurit dapat membiarkan mereka tetap merasa nyaman.
Ketika tiga jam kami keluar dari kota, kereta-kereta kerbau tersebut jatuh ke belakang. Kini, para prajurit menjelaskan untuk tetap serombongan dengan sisa rombongan lainnya. Ketika mereka kami bertanya dimana para nenek dan bayi itu, para prajurit menjawab: “Mereka terlalu sangat bermasalah. Kami bunuh mereka!”
Perjalanannya sangat panas, dan jalanannya berpasir, dengan tanpa tempat teduh. Kebanyakan wanita dan anak-anak kemudian berjatuhan ke tanah karena kehausan. Para zaptieh memukul mereka secara berkelompok. Orang-orang yang tak dapat bangun dan berjalan secepat rombongan lainnya dipukuli sampai mereka mati, atau mereka bunuh sekejap.
Intimasi pertama kali dari apa yang terjaid kepada kami pada setiap waktu terjadi ketika kamiberada pada perjalanan selama empat jam. Kami kemudian datang ke sebuah titik kecil tempat adanya pohon-pohon dan mata air. Para prajurit yang berpawai menjejakkan diri mereka sendiri, dan memberikan kami ijin untuk rehat sejenak, dan mengambil air.
Seorang wanita menjadi pucat, ketika di sebuah jalanan kecil dari jalan tersebut, kami menyaksikan apa yang nampak sebagai seseorang yang sedang duduk di tanah. Beberapa dari kami berjalan ke jalan tersebut dan menyaksikan bahwa itu adalah seorang wanita Armenia. Di tanah sebelahnya, terdapat enam bundel berukuran berbeda, dari yang paling kecil sampai yang paling besarm, masing-masing ditutupi dalam kain putih yang memantulkan sinar matahari.
Kami tak butuh untuk bertanya untuk mengetahui bahwa dalam setiap bundel tersebut adalah jasad seorang anak. Wajah ibu tersebut sebagian tertutup oleh kerudung, yang berkata kepada kami bahwa ia memberikan harapan kepada Tuhan agar menyelamatkan anak-anak kecilnya—namun sia-sia!
Ia tak berbicara atau bergerak, hanya melirik kami dengan kesedihan besar di matanya. Wajahnya nampak familiar dan salah satu dari kami berlutut di sampingnya dan mengangkat kerudungnya. Kemudian, kami mengenalnya—Margarid, istri pastor, Badvelli Moses, dari Kamakh, sebuah kota kecil yang berjarak tiga puluh mil ke utara. Badvelli Moses sempat menjadi guru di sekolah kami di Tchemesh-Gedzak. Ia adalah lulusan perguruan tinggi di Harpout, dan Margarid lulus dari Seminari di Mezre. Mereka sangat dicintai oleh semua orang yang mengenal mereka. Seringkali Badvelli Moses kembali, dengan istrinya dan Sherin, putri sulungnya, yang seusia denganku, ke Tchemesh-Gedzak untuk berkunjung dan berkotbah di gereja-gereja kami. Selain Sherin, terdapat lima anak yang lebih kecil. Seluruh anak itu, yang berada di samping Margarid, dibalut dalam lembaran yang ia bawa dengannya ketika orang-orang kotanya dideportasi.
“Terdapat seribu orang dari kami,” kata Margarid ketika kami membawanya keluar dari kesedihan yang menyelimutinya. “Mereka membawa kami pergi dengan hanya ketentuan sejam. Pada malam pertama, para bandit Kurdish bandit bergerak mendapati kami dan menangkapi seluruh pria di jalanan kecil dan membunuh mereka. Kami melihat suami-suami kami meninggal, satu per satu. Mereka melucuti seluruh wanita dan anak-anak — bahkan yang paling kecil — sehingga mereka dapat mencari uang pada tubuh kami. Mereka membawa seluruh gadis cantik dan melecehkan mereka di hadapan mata kami.
“Aku memohon kepada panglima penjaga prajurit kami untuk melindungi Sherin-ku. Ia telah menjadi teman kami di Kamakh. Ia berjanji untuk menyelamatkan kami jika aku menjadi Muslim, dan atas dorongan Sherin, aku melakukannya. Ia membuat para bandit membolehkan kami untuk mengambil pakaian kami kembali dan Sherin dan aku menutupi wajah kami.
“Panglima menjelaskan para prajurit untuk membawa kami ke Harpout dan membawaku ke gubernur yang ada disana. Ketika kami meninggalkan orang-orang Kurdi dan para prajurit berniat untuk membunuhi para gadis, dan juga orang lainnya. Ketika mereka mencapai sini, para prajurit membunuh anak-anak kecilku dengan membenturkan kepala mereka bersamaan. Mereka menggerayangi Sherin saat mereka menahanku, dan kemudian memotong payudaranya, sehingga ia meninggal. Mereka meninggalkanku dalam keadaan hidup, kata mereka, karena aku telah menjadi Muslim.”
Kami berniat untuk membawa Margarid pada rombongan kami, namun ia tak mau. “Aku harus pergi kepada Tuhan dengan anak-anakku,” katanya. “Aku akan berdiam disini sampai Ia menjemputku.” Sehingga, kami meninggalkannya duduk disana dengan jasad-jasad orang tercintanya.
Larut malam dan bintang-bintang muncul saat mereka datang ke tepi Kara Su. Disini, mereka dikatakan oleh para prajurit bahwa mereka dapat berkemah pada malam itu. Di kejauhan, kami dapat melihat sinar pada menara di desa Gwazim, tempat ayah dan Paul tewas dalam pembakaran penjara.
Sepanjang jalan, para zaptieh membunuhi wanita dan anak-anak yang tak dapat bertahan dengan rombongan, dan banyak gadis cantik dikirim balik ke rombongan kemudian dengan tangisan dan rasa malu pada wajah mereka. Lusanne dan aku mengusap wajah kami dengan lumpur untuk membuat kami jelek, dan aku masih mengenakan jubah dan kerudung.
Pada suatu waktu, jika kami nampak belum digerayangi, sebagaimana para penjaga tersebut masih dalam kelompok kecil, dijauhkan dari kami. Hanya ada jeritan sekarang ini dan kemudian gadis yang meraih perhatian beberapa prajurit membuat kami mengingat agar kami tak boleh tidur.