Armenia yang Terampas/Bab 9

BAB IX


SERBUAN KE BIARA


Para wanita haremlik telah pensiun, kecuali tiga orang yang menunggu kami datang. Disana, kami ditempatkan pada koridor sempit dan panjang, oleh disinari oleh lampu tunggal, ke sayap terpisah dari rumah tersebut. Melalui pintu bertirai, kami memasuki serangkaian ruangan berlantai batu kecil, di tempat wanita tidur. pada akhirnya, kami dayang ke pintu kayu, yang dibukakan salah satu wanita, yang mendorongnya. Salah satu dari mereka menyalakan lilin.

Ruangan tersebut sumpek, bahkan dengan tanpa jendela. Di lantai, terdapat barisan karpet tidur, namun tak ada bantal. Sang wanita berkata kepada kami untuk melepaskan pakaian kami, dan menyerahkannya dari kami agar mereka bersihkan. Tanpa sepatah katapun, wanita tersebut meninggalkan kami, mengambil lilin dan mengunci pintu.

Melewati malam yang panjang, kami menunggu—untuk hal yang tak diketahui oleh kami. Kami ragu untuk tidur, bahkan jika kami melakukannya.

MENUNGGU APA YANG MEREKA TAK KETAHUI
Orang-orang Armenia dari sebuah kota makmur dikumpulkan di depan gedung pemerintahan, atas perintah otoritas. Mereka menunggu untuk dideportasi. Tepat di luar kota, mereka dibantai.

Kami mengetahui pagi telah datang ketika kami mendengar adzan subuh dari minaret terdekat. Kemudian, haremlik menjadi ramai. Kami gemetar ketika mereka menunggu pintu dibuka. Itu adalah negro besar yang akhirnya mengayunkannya lebar-lebar, menyinari ruangan dengan penerangan dari jendela yang dibuka dari ruangan lain dari haremlik. Salah satu wanita pelayan yang menerima kami semalam sebelumnya masuk setelah dia.

Untuk kami semua, wanita tersebut membawa entareh, atau busana rumahan Turki, dan alas kaki dan kaus kaki. Busana tersebut terbuat dari satin dan linen, namun sangat ringan. Meskipun aku menginginkan suatu hal yang dapat menutupi diriku sendiri, aku tak dapat menolak busana Turki yang aku benci. Wanita tersebut memandangku dan nampaknya paham.

“Kau akan memiliki hal yang lebih cantik setelah itu—setelah pertunanganmu!”

Setelah pertunanganku!

Ketika kami memakainya, dengan bantuan wanita tersebut, ia memerintahkan kami untuk mengikuti sang negro. “Apa yang kau akan lihat sekarang, seturut dengan keinginan Hadji Ghafour, akan dilayani untuk memandu perilakumu di haremlik,” ujar wanita tersebut.

Budak tersebut memawa kami melewati ruang kecil menuju ruang besar, ditempat berkumpulnya banyak wanita menarik berkerumun di sekitaran jendela.

Di jendela, budak tersebut mengintip keluar dan kemudian memerintahkan kami untuk mendekat. Jendela dibuka memperlihatkan pemandangan terbuka. Di sekitaran ruangan, terdapat banyak jendela kecil. Pada saat ini, aku tak melihat apapun selain tembok batu. Kemudian, mataku tertuju ke jendela yang lebih tinggi. Aku terkecut dan mundur. Jasad kakak dari gadis yang dipukuli sampai mati, orang yang dibawa pergi ketika ia diserahkan Hadji Ghafour, digantung kakinya dengan tali yang diikat pada jendela. Tangan gadis tersebut diikat di punggungnya dan kini digantung dari tubuhnya. Rambutnya menggantung dari kepalanya. Sebuah perban, yang masih terikat di mulutnya, telah meredam jeritannya.

Salah satu gadis yang bersama denganku, Lusaper, yang menangis sepanjang malam, berlutut dan menjadi histeris. Sang budak mengangkatnya dan berupaya untuk memperlihatkannya lagi. Ketika ia melihatnya, ia menjadi separuh gila. Sang budak membawa sang gadis ke sisi lain ruangan tersebut dan dua gadis budak negro kecil langsung mulai menenangkannya. Wanita lain juga mengerumuninya. Sang budak kemudian meninggalkan kami, seperti halnya pelayan wanita yang bersama dengan kami.

Wanita dari haremlik nampak ingin sangat berbaik hati. Wanita Turki lebih tua ketimbang wanita murtad. Dua istri Hadji Ghafour tidak berada di antara mereka, karena rumah susun mereka berada di tempat lain, dan aku tak tahu apa hubungan wanita lain dengannya, entah sebagai gundik atau kerabat. Nyaris seluruh wanita muda adalah gadis Armenia yang diculik. Mereka sangat meminta maaf kepada kami.

Maknan dibawa ke ruangan tersebut, dan kami makan bersama. Segera aku membuat pikiranku seberani yang aku dapat dan berharap serta berdoa agar aku dapat dikeluarkan dari rumah tersebut.

Seluruh gadis Armenia di haremlik memiliki satu kesempatan menjalani pengalaman seperti semalaman di hadapan Hadji Ghafour. Terdapat delapan diantara mereka, dan semuanya telah dimurtadkan dengan garap menyelamatkan para kerabat, hanya untuk diambil ke rumah Hadji Ghafour saat mereka datang ke Geulik. Hanya satu orang dari kami yang mengetahui apa yang terjadi pada keluarganya. Orang itu melihat ibunya dibunuh dan saudarinya diambil oleh orang-orang Kurdi pada jalan dari Malatia.

Empat hari aku bertahan di haremlik tanpa diperlakukan oleh Hadji Ghafour. Pada hari ketiga, seorang gadis “baru” lainnya datang kembali kepada kami pada pagi hari, diam dan malu, dengan mata menunduk. Pada hari yang sama, budak-budak harem dibawa ke entareh dan memberikannya busana yang kaya akan bordiran. Sepertinya adalah tanda bahwa ia telah “bertunangan.”

Mereka tak diijinkan ke luar haremlik. Setiap malam, mereka diwajibkan untuk menjalankan salat. Aku paham untuk berkata kencang kepada mereka dan menerjemahkan mereka dalam pikiranku pada kata-kata doa Kristen. Kepala pelayan haremlik, seorang wanita tua Turki, yang berbuat baik sebaik yang ia dapat, mengambil kesempatan setiap hari untuk memperingatkan kami bahwa jika kami berharap untuk hidup dan bahagia, kami harus memohon kepada Hadji Ghafour. Wanita lain berkata kepada kami soal para gadis yang didatangkan ke harem, tak pernah nampak lagi usai “pertunangan” mereka dengan induk semang. Ketika hal-hal yang dikatakan mereka tak dapat menolong memikirkan raga kami menggantung dari jendela di ruangan—yang merupakan cara Hadji Ghafour mengajar kami untuk menjadi penurut.

Kami tak ditempatkan dalam ruangan tak berjendela gelap lagi. Sesekali salah satu istri Hadji Ghafour datang ke harem untuk melihat kami. Ia berusia menengah, dan berasal dari Bagdad. Ia sesekali sangat cantik, aku pikir, namun terlihat kejam dan tanpa kasih sayang. Ia membawa kami ke hadapannya dan menanyai masing-masing dari kami mengenai pengalaman kami saat deportasi. Ia nampak ingin menjebak kami untuk menerima bahwa kami tak benar-benar menjadi Muslim.

Diantara gadis-gadis Armenia di harem, terdapat seorang yang datang dari Perri, sebuah desa antara kotaku sendiri dan Harpout. Sepanjang malam, ia mengisahkan kepadaku soal pembantaian-pembantaian di desanya, dan bagaimana orang-orang Turki menghindarinya karena ia menerima Islam, sampai mereka mencapai Malatia. Disana, ia diculik, mula-mula diambil ke rumah seorang bey dan kemudian dikirim dengan para gadis Armenia lain ke Geulik. Ia juga diambil ke rumah Hadji Ghafour. Ia pergi meskipun dengan “pertunangan”-nya, dan menemukan beberapa rasa pada mata orang-orang Turki.

Gadis kecil ini adalah Arousiag Vartessarian, yang ayahnya, Ohannes, memiliki lahan besar. ia dididik di Konstantinopel. Di Konstantinopel, ia belajar di bawah bimbingan orang Amerika, Tuan Cleveland Dodge, dari New York, yang mengajarkan banyak pendidikan di Turki. Semenjak aku datang ke Amerika, aku memahami hal yang sama bahwa Tuan Cleveland Dodge adalah sahabat orang-orang Armenia di seluruh dunia.

Arousiag diam-diam masih Kristen. Namun ia tak berharap untuk kabur dari harem. Ia berkata kepadaku bahwa Hadji Ghafour menahan gadis-gadis Armenia hanya sampai ia memeriksa mereka atau sampai menjadi lebih cantik. Kemudian, ia mengirim mereka ke teman-temannya, atau dijual ke para petani Turki. Ia berniat untuk memohon kepadanya, sehingga ia tak akan dijual dalam keadaan yang lebih buruk, karena terkadang gadis yang jatuh ke pasar budak akan dijual ke rumah publik untuk para prajurit dan zaptieh.

Pada sore hari kelima, jantungku berdetak kencang dan bulu kudukku merinding ketika seorang gadis budak negro kecil datang untuk menghadapkanku kepada Hadji Ghafour.

Wanita pelayan berkumpul di sekitaranku, masing-masing tak memahami kenapa aku tak bergembira. Hanya ketika air mataku jatuh, mereka berhenti bercanda saat datang—“akhirnya,” ujar mereka, saat penyiksaanku—mereka menyebutnya “nasib baik”ku.

Ketika aku dipakaikan busana, aku menutup mataku dan berdoa—tak selamat, karena sudah terlambat, namun untuk kekuatan dan kegembiraan mengetahui bahwa Tuhan akan menyaksikanku. Salah satu wanita harem berkata kepadaku di koridor sempit dan melalui pintu aku tak dapat melintas semenjak aku meninggalkan kehadiran Hadji Ghafour pada liam hari sebelumnya.

Sinar banyak lampu berpendar di ruangan. Di dalam pintu, negro besar menunggu. Pada bantalku, dengan nargilleh-nya di lantai sampingnya, terduduk Hadji Ghafour. Matanya menatap penuh kepadaku saat aku berhenti membunyikan pintu yang menutup di belakangku.

Ia bergerak kepadaku untuk memastikan dan duduk dibantalan pada kakinya. Secara tak sadar, aku terjatuh ke belakang dan tanganku memegangi mataku. Tak lama kemudian, aku merasa tangan sang negro memegangi tanganku. Aku berusaha untuk bangun dan aku berusaha untuk mengumpulkan keberanian untuk maju ke depan—Aku mengetahui bahwa harapan masa depanku yang lebih bahagia bergantung pada pengajuanku.

Sang negro menguatkan pegangannya. Di bawah napasnya, ia berujar, “Jadilah anak yang baik. Kau akan lebih baik karenanya.” Aku tak dapat melirik ke depan, namun aku ingin dan duduk di bantalan kaki Hadji Ghafour!

Aku tak perlu berkata lebih soal malam mengerikan tersebut!

Bagi Arousiag, aku percaya bahwa esok aku harus, dengan cara apapun, kabur dari rumah Hadji Ghafour. Karena masih ada penyiksaan lain dan mengurungkan kesempatan semacam itu akan dapat membuatku bertemu ibuku di Diyarbekir, di tempat para pengungsi dengan uang yang diijinkan oleh Wali untuk bertahan tepat di luar kota—menyediakan mereka bayaran bebas demi hak. Ketika mereka menyerahkan uang, mereka dikirim dengan orang pengasingan lain ke gurun Suriah.

Aku berniat untuk membujuk Hadji Ghafour untuk mengirim pembawa pesan ke Diyarbekir untuk menyelamatkan keluargaku jika mereka dapat ditemukan disana, atau mengetahui apa yang terjadi pada mereka. Ia tak menghiraukanku. “Aku adalah gadis Turki sekarang,” ujarnya, “dan kamu harus melupakan seluruh kaitan-kaitan masa lalu dengan para orang yang tidak percaya.”

Arousiag mengkhawatirkanku soal dampak yang aku dapatkan dalam upaya untuk melarikan diri. Para tahanan yang berniat lari sebelumnya dijual ke rumah-rumah publik, di tempat mereka kemudian meninggal. Ketika aku memahaminya, meskipun aku berresiko mengalami hal apapun selain bertahan di rumah Hadji Ghafour, ia berjanji untuk menolongku. Ia kemudian berkata kepadaku, ketika kami sendirian di ranjang kami pada malam hari, melirik ke barat, sepanjang dataran, menghadap Efrat, nampak sebuah biara, yang didirikan bertahun-tahun lampau oleh para Padri Dominikan Katolik Roma, yang datang ke Armenia sebagai misionaris. Sepanjang berabad-abad, para pengungsi relijius Armenia diterima di biara tersebut, Arousiag berujar kepadaku, dan dari sana banyak guru dikirim ke Suriah dan bahkan ke Kurdistan.

Seorang pria dari Albustan, yang sebenarnya adalah seorang Derder Armenia, atau pendeta, yang menyamar menjadi orang Turki dan melakukan perjalanan ke Kaukasus, di tempat ia berharap untuk memberikan bantuan untuk orang-orang pengasingan dari Rusia, berkata kepada Arousiag dari biara tersebut ketika aku berada di Malatia. Kebanyakan gadis Armenia ditemuakn selamat di sana, ujar Derder, seperti halnya para Padri di biara tersebut yang tak tersentuh, dan pengungsian mereka jauh dari jalan rombongan umat Kristen yang dideportasi. Beberapa tahun lampau, Derder berkata kepada Arousiag, para padri biara tersebut menyelamatkan nyawa pemimpin terkenal, dan terdapat legenda tentang biara tersebut yang bertahan dari orang-orang Kurdi yang menyerang biara tersebut. Karena beberapa alasan, orang-orang Turki tak menyentuhnya.

Arousiag meyakinkanku bahwa ia sering berencana kabur dari rumah tersebut dan berniat untuk pergi sendiri ke biara tersebut. Disana, ia yakin, akan selamat—untuk suatu waktu setidaknya. Namun setiap kali, keberaniannya terkikis. Kini, ia berkehendak untuk melakukan upaya tersebut, karena aku juga demikian, akan lebih berresiko terhadap hal apapun ketimbang masih menjadi korbanHadji Ghafour.

Jendela-jendela ruang-ruang tidur dinaikkan, dan tak dilarang, karena kami hanya membukanya pada bagian halaman. Arousiag mengetahui jalan perlintasan dari halaman ke divan-khane, atau ruang penyambutan, yang dibuka di jalanan. Seringkali, para pelayan haremlik datang ke jalanan tersebut melalui perlintasan tersebut.

Semalam datang ketika Hadji Ghafour awalnya mengirim gadis yang diinginkan olehnya. Ini terjadi lama sebelum jam penutupan haremlik. Arousiag dan aku berselipan dan menurunkan kami sendiri dari jendela ke halaman. Kami berusaha melewati divan-khane dan menuju ke jalanan. Kami mengkerudungi diri kami sendiri, dan, ketika berjumpa orang-orang Turki, kami disangka gadis Turki atau budak harem yang mencoba melarikan diri.

Ketika kami mendatangi gerbang kota, kami takut jika kami dihentikan—namun para prajurit Turki yang menjaga gerbang mengarahkan diri mereka sendiri kepada para pengungsi yang berkemah di dekat kota, dan terlalu sibuk menghibur diri mereka sendiri dengan para gadis yang mereka ambil. Kemudian, aku berada di luar kota, sendirian di tengah malam. Pasir berhempas diterpa angin, dan kami mengkhawatir setiap bayangan dari orang Kurdi.

Sepanjang dua puluh mil atau lebih, Arousiag yakin, menuju ke biara tersebut. Selama tiga hari kami berjalan, bersembunyi sepanjang siang hari di pasir karena takut akan para penduduk desa yang mengembara atau orang-orang Kurdi, dan berjalan sejauh yang mereka bisa pada malam hari. Kami tak memiliki roti atau makanan lain, dan hanya pada malam hari, ketika anjing-anjing di desa-desa tertidur, kami dapat menghampiri sumur desa untuk mendapatkan air.

Arousiag sangat kehausan pada hari keempat. Ia sangat membutuhkan air, yang tak kami dapatkan semalam sebelumnya, kemudian aku menangis dan lidahnya dijulurkan untuk mendapatkan air mataku.Pada akhirnya, ia tak dapat bergerak lebih jauh dan terjatuh ke tanah. Di kejauhan, terdapat sebuah desa Arab. Orang-orang Arab tak seperti orang-orang Kurdi—mereka terkadang sangat garang, dan tak seperti orang-orang Armenia, namun mereka dibayar oleh para pasya Turki agar mereka tak selalu kejam. Untuk menyelamatkan nyawa Arousiag, aku meninggalkannya dan datang ke desa tersebut.

Wanita Arab berkumpul di sekitaran aku, dan kepada mereka aku meminta makanan dan air, sebaik yang aku dapat. Wanita tersebut merasa kasihan kepadaku, dan ketika pria Arab datang untuk memeriksaku, mereka juga merasa berbelas kasih. Mereka membawa segentong air dingin, dan roti, dan beberapa wanita datang denganku ke tempat Arousiag dibaringkan. Air tersebut memulihkan dan menguatkannya, dan memberikanku kekuatan juga. Pakaian kami sangat compang-camping, dan wanita Arab memberikan pakaian lain untuk kami dan sandal untuk kaki kami. Mereka berkata, biara tersebut berjarak bermil-mil jauhnya, dan mereka menunjukkan kami jalan terdekat. Seorang pemuda Arab datang dengan mereka membujuk pria desa lain agar kami tak dilukai. Selain itu, pemuda tersebut memandu kami jauh dari sebuah desa Sirkasia, di tempat mereka melakukan penangkapan.

Ketika kami melihat tembok batu abu-abu nampak dari kejauhan, Arousiag dan aku berlutut ke tanah dan berterima kasih pada Juruselamat kami. Pemuda Arab tersebut berbalik dan berlari ke belakang ketika ia menyaksikan kami berdoa kepada Kristus dari “orang-orang tak percaya.” Namun kami sangat menghargainya.

Menjelang sore, para biarawan sedang berdoa. Kami berdiri di gerbang sampai beberapa dari mereka mendengar seruan kami, dan kemudian mereka menghampiri kami. Para biarawan tersebut sangat baik. Mereka berkumpul di sekitaran kami dan menyimak kisah kami. Kemudian, mereka membawa kami ke kapel kecil mereka dan berlutut di hadapan kami, sesambil priorat melantunkan doa terima kasih. Ketika doa selesai, seorang biarawan membawa kami ke bagian biara yang terpisah dari bangunan utama. Disana, kami menemukan lebih dari setengah ratus gadis dan mempelai janda Armenia, yang seperti kami, diungsikan para biarawan tersebut. Nyaris semua gadis dan wanita muda berasal dari Van, kota Armenia terbesar, atau dari distrik-distrik terdekat. beberapa orang berasal dari Bitlis, di tempat ribuan orang dibunuh dalam sejam, hanya para gadis dan mempelai yang dibiarkan hidup untuk kesenangan orang-orang Turki. Beberapa orang kabur dari Diyarbekir.

Semuanya diarahkan ke biara sebagai pengungsi oleh orang-orang Arab bersahabat atau Derder Armenia. Satu per satu atau secara berkelompok dua dan tiga orang diarahkan ke gerbang biara sebagaimana Arousiag dan aku, dan para biarawan mengambil mereka, tak peduli akan bahaya besar yang akan menimpa diri mereka sendiri.

Kami semua diminta tak menunjukkan diri kami sendiri ke luar bangunan kecil tersebut yang para biarawan berikan kepada kami, agar para pengembara Kurdi dan prajurit tak melihat kami dan kemudian menemukan bahwa biara tersebut menjadi tempat penarikan diri dari para pengungsi yang melarikan diri. Para biarawan berdoa dengan kami dua kali sehari dan merawat balik kesehatan orang-orang yang sakit. Arousiag kecil menjadi sangat senang ketika priorat membantunya bahwa Tuhan memahami, ketika ia menyangkali-Nya, bahwa di dalam hatinya ia masih setia kepada-Nya. Ketika priorat lansia berlutut dengannya sendiri dan berdoa khusus agar Tuhan mengampuni setiap doa penistaan yang ia buat kepada Allah ketika berada di bawah sorotan wanita harem yang menyaksikan di rumah Hadji Ghafour, ia kembali senang.

Selama dua pekan, kami aman di biara. Kemudian, mendadak, perdamaian kami berakhir. Suatu malam, lama setelah setiap orang di biara tersebut terlelap, kami dibangunkan oleh teriakan keras dan ketukan di gerbang. Dari jendela kami, kami dapat melirik ke halaman, namun kami tak dapat melihat gerbang itu sendiri. Ketika kami berembuk bersama, kami menyaksikan rombongan kecil biarawan, berjubah lengkap, dipimpin oleh priorat lansia mereka, membawa lilin yang dinyalakan, bergerak perlahan ke halaman. Ketika mereka bergerak menuju gerbang tersebut, teriakan tersebut mendadak berhenti, dan kami mendengar suara yang menuntut agar gerbang tersebut dibuka.

Aku pikir para biarawan menolak. Teriakan dimulai kembali, dan kami melihat para biarawan menarik diri ke pinggiran halaman. Tak lama kemudian, segerombolan orang asing, yang mengaku sebagai Tchetchen, atau bandit Sirkasia, mendorong ke halaman menuju pintu-pintu biara. Ketika para biarawan enggan membuka gerbang besar, mereka memanjati tembok.

Tchetchen lebih kejam dan jahat ketimbang Kurdi. Mereka kerap berperang, dengan Kurdi dan Arab, atau Turki sendiri. Pada pembantaian, Turki memajukan mereka dengan memberikan ijin kepada mereka untuk memangsa rombongan pengasingan Armenia di daerah mereka dan menculik sebanyak mungkin gadis Kristen semau mereka. Seringkali di masa lalu, orang-orang Tchetchen yang membawa gadis-gadis tercantik mereka ke harem-harem pasya, karena mereka tak diijinkan untuk mengambil putri dari bangsa mereka sendiri, Sirkasia, ke pasar-pasar budak Konstantinopel dan Smyrna.

Para biarawan berupaya membarikade diri mereka sendiri di kapel mereka. Priorat memohon melalui jendela berjeruji besi dengan pemimpin Tchetchen, meminta kepadanya untuk melakukan hal yang sama yang pernah Kurdi selalu berikan pada biara tersebut. Namun pemimpin Tchetchen mengetahui dalam beberapa hal bahwa para gadis Armenia ditempatkan di biara tersebut, dan ia menuntut agar mereka diserahkan sebagai bayaran belas kasihan untuk para biarawan.

Para biarawan menolak untuk membuka pintu kapel mereka atau membongkar tempat persembunyian mereka. Namun pintu-pintu kapel terbuat dari kayu —yang memberikan jalan ketika orang-orang Tchetchen merangsekinya. Kami menengar jeritan teman-teman kami, para biarawan. Terdapat tangisan untuk belas kasihan, doa kepada Tuhan dan teriakan brutal dari orang-orang Tchetchen. Perlahan tiada lagi jeritan, tiada lagi doa—hanya teriakan para bandit.

Tak ada cara kabur untuk kami. Orang-orang Tchetchen memeriksa sekitaran halaman bawah dan melalui ruang-ruang biara di dalam. Satu-satunya jalan keluar dari bangunan tersebut yang dipersiapkan para biarawan untuk kami adalah melalui perlintasan atau jendela yang menuju langsung ke halaman. Kami mendengar segerombolan Tchetchen menjebok pintu yang terbuka di ruangan di lantai bawah kami. Kami mengerumuni persimpangan, menunggu, gemetar, terlalu takut bahkan untuk berdoa.

Orang-orang Tchetchen menaiki tangga batu. Mereka mengutuki kami bila tak menemukan kami. Salah satu dari mereka mendorong pintu ruangan tempat kami berkumpul. Bulan bersinar melalui jendela dan para bandit melihat kami. Kemudian, kekhawatiran diam kami pecah—kami menjerit. Tak lama kemudian, rombongan Tchetchen mengerumuni ruangan.

Kami menyatakan rasa takut satu sama lain. Arousiag dan aku berlutut, dengan tangan kami menggandeng satu sama lain. Seorang Tchetchen menjambak rambutku dengan satu tangan dan menjambak rambut Arousiag dengan tangan lainnya dan menyeretk kami turun ke tangga. Yang lainnya diseret keluar dengan cara yang sama atau dibawa ke halaman dengan ditempatkan di pundak Tchetchen.

Nyaris setiap jalan kapel kami mendapati jasad para biarawan. Semuanya dibawa keluar ke kapel dan kemudian dibunuh. Orang-orang Tchetchen menyeret kami ke luar gerbang biara. Kami kemudian dikumpulkan pada kuda-kuda mereka dan membawa kami ke lapangan, di tempat kami ditinggalkan pada malam itu. Kemudian, orang-orang Tchetchen kembali kepada kami.

Setiap orang mengklaim seorang gadis atau para gadis yang ia tangkap dan diseret ke lapangan. Orang-orang yang tak puas dengan raihan mereka, membandingkan kecantikan mereka dengan orang-orang yang dijatuhkan ke tanah oleh orang lainnya, bertengkar. Lengan Arousiag patah ketika seorang Tchetchen, melihat bandit yang menangkap kami memiliki dua gadis, menarik Arousiag darinya. Penangkapnya tak memperdulikan jeritan lukanya. Ia menyiksanya dengan memutar lengannya yang patah sampai ia tak sadarkan diri.

Ketika siang tiba dan orang-orang Tchetchen dapat melihat wajah kami lebih jelas, mereka memilih orang-orang dari kami yang dianggap paling cantik, dan membunuhi sisanya. Mereka membunuh Arousiag karena lengannya patah. Kemudian, mereka menaikkan kami ke kuda-kuda mereka dan membawa kami ke Diyarbekir.