Refarat kedokteran

== “”MANAJEMEN TERBARU DISLOKASI BAHU ANTERIOR PADA KASUS PERTAMA KALI” Khiami, Gerometta, P.Loriaut =

ABSTRAK : Manajemen terbaru dislokasi bahu anterior pada kasus pertama kali dimulai dengan analisis mekanisme penyebab dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis. Berdasarkan temuan, kasus ini dapat diklasifikasikan sebagai kasus simple atau disertai dengan komplikasi, terutama cedera pembuluh darah atau saraf. Dua proyeksi radiografi yang saling tegak lurus harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis kemudian diulangi setelah manuver reduksi. Studi pencitraan tambahan mungkin diperlukan untuk menilai lesi tulang yang terjadi bersamaan (lesi impaksi atau fraktur). Rotasi eksternal harus selalu dicoba setelah premedikasi sesuai dengan tingkat keparahan rasa nyeri. Anestesi umum mungkin diperlukan. Tidak ada konsensus mengenai teknik reduksi optimal, meskipun manuver yang tidak menyebabkan nyeri diakui secara universal. Imobilisasi saat ini yaitu dengan siku berada di samping lengan lalu diputar secara internal selama 3-6 minggu tergantung pada usia pasien. Cedera pembuluh dan saraf jarang terjadi tetapi dapat menyebabkan gangguan fungsional utama. Evaluasi tindak lanjut untuk memeriksa pemulihan fungsi normal, yang mungkin lebih sulit untuk dicapai pada pasien dengan lesi yang bersamaan; dan untuk mendeteksi ketidakstabilan bahu yang berulang dan lesi rotator cuff. Pada fase akut, operasi diindikasikan hanya pada pasien dengan komplikasi atau setelah manuver reduksi gagal. Imobilisasi bahu dengan lengan yang dirotasi secara eksternal dan perawatan bedah pada episode pertama masih kontroversial yang akan dibahas di sini. KATA KUNCI: Bahu, dislokasi anterior, dislokasi berulang, rotator cuff, imobilisasi eksternal


  1. PENDAHULUAN Dislokasi bahu adalah alasan umum untuk kunjungan ke ruang gawat darurat dan sekitar 45% dari semua dislokasi. Dislokasi bahu traumatik jauh lebih umum daripada nontraumatis, yang ditatalaksana dengan terapi rehabilitasi dan tanpa ada pertimbangan. Dislokasi bahu anterior berkontribusi 96% hingga 98% dari semua dislokasi bahu. Insiden dislokasi bahu pertama kali 8-8.2/100,000 populasi/tahun dan prevalensinya sekitar 2%. Dari 90% kasus, dislokasi bahu anterior terjadi pada usia muda, kebanyakan atlet. Mekanisme trauma bisa langsung atau tidak langsung dengan elevasi dan rotasi eksternal lengan (misalnya, main basket) atau jatuh dengan telapak tangan terulur. Frekuensi dislokasi anterior paling banyak selama dekade kedua dan keenam. Pria terkena 3 kali lebih sering daripada wanita, dan 9 dari 10 pasien berusia 21 hingga 30 tahun. Pengobatan tradisional untuk dislokasi bahu anterior adalah immobilisasi lengan secara rotasi internal selama 3 hingga 6 minggu diikuti oleh terapi rehabilitasi. Efikasi pengobatan ini masih belum jelas. Tingkat kekambuhan dapat mencapai 95% tergantung pada faktor-faktor risiko, terutama usia pasien pada episode pertama. Ketidakstabilan bahu kronis dapat menyebabkan rasa nyeri, yang seringkali tergantung pada posisi; membutuhkan perubahan dalam kegiatan olahraga atau kinerja; dan, secara umum, mempengaruhi kualitas hidup Semua teknik yang baru diperkenalkan fokus pada pencegahan kekambuhan. Imobilisasi dengan lengan dalam rotasi eksternal setelah episode pertama telah disarankan berdasarkan studi magnetic resonance imaging (MRI) yang menunjukkan bahwa rotasi eksternal meningkatkan jumlah ketegangan pada otot sub-scapularis dan mempertahankan labrum dan kontak kapsul dengan glenoid. Artroskopi dini telah dianjurkan berdasarkan hipotesis bahwa perbaikan awal labrum glenoid dan kapsul sendi meningkatkan penyembuhan struktur ini. Dampak dari inovasi ini belum pasti. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi poin-poin manajemen dislokasi bahu anterior yang terdapat pada konsensus dan untuk meninjau manajemen yang baru-baru ini disarankan.

2. DIAGNOSIS KLINIS

Dislokasi bahu anterior biasanya terjadi ketika abduksi dengan rotasi eksternal lengan menghasilkan kekuatan yang menggeser caput humerus ke anterior dan ke bawah terhadap proses coracoid (dislokasi sub-coracoid). Betuk lain yang lebih jarang  (sub-glenoid,sub-clavicular [infra-coracoid]dan dislokasi intra-thoracic).

Pasien biasanya memegang bahu yang dislokasi dengan tangan yang tidak dislokasi. Tanda yang menunjukkan dislokasi bahu anterior berupa squared-off apperenace dari bahu seperti hilangnya bentuk normal deltoid, acromion menonjol dan deltopectoral groove tampak terisi.. Palpasi menunjukkan glenoid yang kosong dan menonjol di deltopectoral groove. Lengan dalam posisi abduksi dan tidak bisa adduksi baik aktif maupun pasif. Pemeriksaan awal harus mencakup penilain untuk cedera pada nervus axillaris atau pleksus brachialis (Sensasi dari bahu ke jari dan uji fungsi motorik sederhana) dan pembuluh darah (suhu dan warna kulit dijari dan palpasi pulsasi distal). Hasil dari pemeriksaan fisis harus dicatat di rekam medik pasien.

3. INVESTIGASI DIAGNOSTIK Radiografi aantero-posterior dan lateral harus dilakukan. Lateral view sangat membantu pada kondisi displaced minimal. Dimana bisa memperlihatkan dislokasi dan membantu untuk mendeteksi fraktur. Axilla dan Y view membutuhkan mobilisasi dari bahu dan oleh karena itu tidak disetujui. Lamy atau Neer view dapat dilakukan tanpa mobilisasi dan bisa memperlihatkan dislokasi secara langsung secara jelas dengan menunjukkan processus coracoid dan acromion. Garths view menunjukkan posterior-superior lesi hill sachs dan juga mengevaluasi bagian anterior dari glenoid. Kadang perlu butuh pemeriksaan tambahan pada kasus reduksi dislokasi yang terlambat. Ketika reduksi telah berhasil, investigasi selanjutnya bisa dilakukan untuk melihat lesi yang lain. Computed-tomography (CT) disarankan karena akurat dan sensitif untuk deteksi dan evaluasi fraktur dan untuk menilai kerusakan yang lain.

4. REDUKSI Reduksi bisa dipertimbangkan ketika pasien telah mendapat anti nyeri. Pasien harus tenang ditempat yang aman. Manuver reduksi harus santai dan bertahap untuk mengurasi spasme otot. Reduksi dibagi menjadi dua kategori, dengan banyak varian, berdasarkan penggunaan counter support pada axilla. Metode reduksi tanpa counter support termasuk metode hippocratic (traksi sederhana sesuai axis lengan); metode kocher (adduksi, fleksi elbow 90°, kemudian gerakkan lengan rotasi eksternal lalu elevasi lengan dan rotasi ke medial), kurang nyeri; metode stimpson (pasien pronasi dengan lengan digantung kebawah lalu pergelangan tangan diberi beban); metode milch (tangan pasien dibelakang kepala), mungkin sangat mudah untuk dilakukan oleh orang yang belum berpengalaman; dan metode manipulasi scapula (Bosley dan Miles), metode eskimo, dan reduksi sendiri dengan tangan pasien di lutut ipsilateral. Diantara metode yang menggunakan counter support di axilla, yang paling terkenal yaitu bentuk metode hippocratic, yang menggunakan kain (metode matsen), kepalan tangan atau kaki operator (teknik oribase dengan tumit di axilla, sekarang tidak digunakan, atau dibelakang kursi. Reduksi bisa dilakukan tanpa analgesik pada pasien dengan nyeri sedang. Meskipun demikian, analgetik harus diberikan untuk merelaksasikan otot dan pasien nyaman. Beberapa protokol penggunaan analgetik telah digunakan (inhalasi atau paranteral atau penggunaan opioid saja secara subcutan atau dengan titrasi). Injeksi lidokain intraarticular telah digunakan untuk reduksi dengan menurunkan masa perawatan pada 81% pasien dan menurunkan komplikasi dibandingkan penggunaan obat intravena.[3]

5. MANAJEMEN POST REDUKSI Foto radiografi posisi antero-posterior harus dilakukan untuk memastikan bahwa reduksi yang tepat telah tercapai dan untuk melihat adakah lesi lain, untuk menentukan pengobatan yang optimal. Suatu studi mengatakan bahwa terkadang lesi belum tampak pada foto pre-reduksi, Kahn dkk. Menemukan bahwa 37,5% dari fraktur hanya akan tampak pada radiografi setelah reduksi telah dilakukan. 5.1. Dislokasi tanpa Komplikasi: Tatalaksana Konservatif Konvensional Setelah reduksi, harus dilakukan evaluasi ulang terhadap saraf dan pembuluh darah yang mengalami jejas seperti yang dijelaskan pada pemeriksaan awal. Biasanya akan dilakukan imobilisasi pada sendi bahu dengan lengan pada posisi internal rotasi. Analgesik dan penggunaan ice packs secara efektif dapat menurunkan nyeri. Strategi penatalaksaan akhir ditentukan berdasarkan hasil dari evaluasi pemantauan selama 5 sampai 8 hari setelah reduksi dilakukan. Durasi dari imobilisasi mulai dari beberapa hari pada pasien yang memiliki usia lebih dari 40 tahun sampai 4 – 6 minggu pada pasien dengan usia muda yang mengalami episode dislokasi pertama. Pasien harus diedukasi mengenai pemantauan pada bahu dan mengenai komplikasi utama (terutama terjadinya rekurensi meskipun dilakukan imobilisasi) [5] 5.2. Dislokasi dengan Komplikasi 5.2.1. Komplikasi Neurologi Komplikasi neurologi sering terjadi tetapi tidak menjadi perhatian. Neuropraxia selalu diikuti dengan penyembuhan sempurna. Robekan pada saraf jarang terjadi (kurang dari 4 % kasus). Nervus axilaris dan supra-scapularis memiliki resiko tinggi untuk mengalami robekan. Pada suatu studi dari 101 pasien, De Laat dkk. [6] menemukan bahwa bukti elektromiografi dari jejas pada saraf dari 45% kasus (nervus axillaris, n=37; nervus supra-scapularis, n=29; nervus radialis, n=22; nervus muskulokutaneus, n=19; dan nervus ulnaris, n=8). Studi lain menemukan bahwa kerusakan saraf pada 21% sampai 36% dari pasien, yang melibatkan pleksus sebanyak 12% kasus dan nervus axilaris sebanyak 8% kasus [7]. Robinson dkk. [8] menemukan bahwa deficit neurologis pada 13,5% dari 3633 pasien. Robekan pada rotator cuff atau fraktur pada tuberositas majus meningkatkan resiko kerusakan pada saraf (relative risk 1.9), terutama pada pasien dengan usia di atas 60 tahun[6]. “Terrible triad”sering terjadi pada usia tua dengan dislokasi bahu, robekan rotator cuff, dan kerusakan pada pleksus brachialis. Sehingga dibutuhkan pemeriksaan lanjutan seperti MRI bahu dan cervical spine. Kerusakan saraf yang berat membutuhkan pengawasan yang ketat dan dipenatalaksanaan secara spesialistik, termasuk elektromiografi pada 3 minggu pertama dan jika sesuai, pemeriksaan MRI dari cervical spine perlu dilakukan untuk melihaat lesi dari pleksus (atau avulsi dari serabut saraf) pada pasien dengan gejala yang sangat berat. Sebagian besar kelainan neurologis mengalami kesembuhan secara spontan. Namun, gangguan residual mungkin memerlukan tindakan pembedahan. Secara khusus, tindakan pembedahan diperlukan pada pasien dengan kehilangan fungsi nervus/saraf aksilaris sepenuhnya dan terisolasi yang tidak pulih dalam 3 hingga 6 bulan. Dalam sebuah penelitian dengan hasil 35 pasien dengan cedera saraf aksilaris terisolasi, yang sebagian besar mengalami robekan, hanya 20% pasien yang pulih secara spontan dan sisanya 80% memerlukan tindakan pembedahan. Kosiyatrakul dkk melaporkan bahwa cedera pleksus brakialis pulih sepenuhnya pada dua pertiga pasien. Pemulihan spontan yang baik atau sangat baik didapatkan setelah 20 bulan, dengan satu-satunya gangguan residual yang melibatkan otot-otot tangan intrinsik, terutama pada pasien usia lanjut. 5.2.2. Komplikasi Vaskular Kurang dari 1% dari pasien yang mengalami komplikasi vaskular. Risiko lebih besar pada dislokasi-fraktur dari caput humeri dan pada pasien usia lanjut dengan riwayat penyakit pada arteri sebelumnya. Lesi pada arteri termasuk robekan, thrombosis, riwayat diseksi intima dan pseudo-aneurisma, seringkali di sepanjang sepertiga distal dari arteri aksila. Spasme arteri terjadi pada sebanyak 60% pasien dan tertangani setelah kompresi diangkat. Pasien dengan iskemia distal harus segera dievaluasi oleh ahli bedah vaskular dan dijadwalkan untuk angiografi rutin, yang seharusnya tidak menunda reduksi. Pada pasien dengan dislokasi-fraktur yang mungkin memerlukan reduksi terbuka, tim bedah ortopedi dan vascular harus bekerja sama untuk melakukan prosedur ini. 5.2.3. Fraktur yang Terjadi Bersamaan (Concimitant Fracture) Fraktur yang terjadi bersamaan dapat mempersulit tatalaksana dislokasi bahu dengan menyebabkan manuver reduksi menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Fiksasi internal mungkin saja diperlukan. Lokasi fraktur yang paling umum adalah humeral neck, tuberculum major dan glenoid. 5.2.3.1. Fraktur Humeral Neck Fraktur ini harus dapat dideteksi sebelum reduksi dilakukan. Kemungkinan adanya fraktur dari tuberculum major yang terjadi bersamaan, perlu diperhatikan, seperti yang dijelaskan oleh Herche et Gerber. Disimpaction dari fraktur caput humeri dapat diikuti oleh nekrosis avaskular dari caput. Meskipun pembedahan secara terbuka segera dilakukan dengan fiksasi internal sebelum reduksi dislokasi telah dianjurkan, strategi yang paling banyak direkomendasikan adalah reduksi tertutup dengan anastesi, diikuti perubahan menjadi pembedahan terbuka jika dislokasi tidak dapat segera direduksi. Strategi untuk menangani fraktur ditentukan setelah reduksi dilakukan, sesuai dengan derajat pergeseran dan usia pasien. 5.2.3.2. Fraktur Tuberculum Major • Fraktur non-displaced: penanganan konservatif dapat dilakukan, dengan pemantauan radiografi untuk mendeteksi kemungkinan displacement sekunder • Pergeseran lebih dari 5 mm setelah reduksi: fiksasi internal harus dipertimbangkan, terutama pada pasien yang masih usia muda dan/atau memiliki tuntutan fungsional yang tinggi, meskipun terdapat beberapa peneliti yang mentolerir pergeseran hingga lebih dari 10 mm • Dislokasi yang berulang setelah reduksi (intractable dislocation): fiksasi internal tuberculum major wajib dilakukan untuk menstabilkan bahu 5.2.3.3. Fraktur Glenoid Anterior Fraktur glenoid anterior adalah penyebab lain dari dislokasi berulang setelah dilakukan reduksi. CT Scan dapat memberikan evaluasi yang akurat terkait lokasi dan ukuran dari fragmen. Fiksasi internal mungkin diperlukan pada irreducible dislocation dan/atau untuk mengembalikan anatomi glenoid yang normal melalui pendekatan delto-pectoral, dengan implantasi sekrup. Fiksasi internal pada fraktur kominutif mungkin cukup menantang. Pembuatan abutment pada glenoid anterior jarang dibutuhkan. 5.2.4. Irreducible Dislocation (Dislokasi yang Tidak Dapat Direduksi) Beberapa dislokasi pada sendi bahu tidak dapat direduksi meskipun telah diberikan anestesi dengan relaksasi otot. Reduksi terbuka jarang dibutuhkan. Penyebab dislokasi tidak dapat direduksi, antara lain: • Caput humerii tertahan pada cincin glenoid • Interposisi tendon sub-scapularis yang robek • Fraktur tuberkulum major dengan inkarserasi • Fraktur glenoid dengan inkarserasi • Interposisi dari tendon biceps, yang melewati bagian posterio4 caput humerus akibat dari fraktur tuberculum major dan mencegah reduksi; tendon harus direposisi ke anterior dari caput humerus dan tuberculum major distabilisasi dengan fiksasi internal. • Robekan masif pada rotator cuff yang disertai inkarserasi 5.3. Dislokasi pada Pasien Berusia Lebih Dari 40 tahun Dislokasi bahu pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun membutuhkan perhatian khusus karena kerusakan rotator cuff umum terjadi dan meningkat dengan bertambahnya usia. Evaluasi secara hati-hati terhadap lesi pada rotator cuff bersifat wajib. Pemeriksaan MRI dini telah direkomendasikan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun, mengingat prevalensi 35% dari robekan pada rotator cuff, mengalami peningkatan dari waktu ke waktu menjadi lebih dari 80% setelah usia 60 tahun. Apapun kasusnya, gangguan fungsional yang persisten setelah terapi rehabilitasi pada pasien tanpa kelainan neurologi membutuhkan evaluasi terhadap rotator cuff, terutama pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Lesi pada rotator cuff sangat Tabel 1 Tingkat rekurensi setelah penatalaksana konservatif klasik Penulis Derajat evidence Jenis penatalaksanaan n Usia (tahun) Tingkat rekurensi Stabilisasi sekunder (%) Pemantauan (tahun) Robinson dkk.[24] I Konservatif 252 15-35 56 2 67 5 <30 54 2 >30 29 Bottolani dkk. [25] I Konservatif 14 18-26 75 3 Lawton dkk. [26] IV Konservatif 70 <16 40 >2 Deitch dkk.[27] IV Konservatif 32 11-18 75 >2 Rowe dkk.[28] IV Konservatif 313 <20 80 5 >40 16 >50 12 Havelius dkk. [23] I Konservatif 229 12-40 57 25 Havelius dkk. [29] I Konservatif 247 12-40 48 23 10 12-22 58 30-40 14 Postacchini dkk. [30] Retrospektif Konservatif 28 12-17 86 7 <13 33 >14-17 92

Tabel 2 Perbandingan hasil setelah imobilisasi dengan internal versus ekternal rotasi Penulis Derajat evidence Jenis penatalaksanaan n Usia (tahun) Tingkat rekurensi (%) Pemantauan (bulan) Itoi dkk. [31] I Eksternal rotasi 40 17-84 0 15 Internal rotasi 30 Eksternal rotasi <30 0 Interrnal rotasi 45 Itoi dkk. [32] II Eksternal rotasi 198 26 24 Interrnal rotasi 42 Tanaka dkk. [33] Prospektif Eksternal rotasi 11 17-26 64 24 Taskoparan dkk.[34] Prospektif Eksternal rotasi 16 35(21-75) 6 24 Internal rotasi 17 29(15-68) 29 Finestone dkk. [28] Prospektif Eksternal rotasi 27 17-27 37 33 Internal rotasi 24 42 Livaag dkk. [36] Prospektif Eksternal rotasi 93 27 25 24 Paterson dkk. [37] Randomised II Meta-analisis Internal rotasi 95 31 Eksternal rotasi 25 Internal rotasi 40

Tabel 3 Perbandingan hasil setelah penatalaksanaan secara konservatif dengan durasi imobilisasi Penulis Derajat evidence Jenis penatalaksanaan n Usia (tahun) Tingkat rekurensi (%) Pemantauan (tahun) Scheibel dkk. [38] II Eksternal rotasi 3 minggu 11 37 17 Eksternal rotasi 5 minggu 11 30 15 Smith [39] Literatur review Tidak ada consensus pada durasi imobilisasi atau posisi Kiviluoto dkk. [40] Prospektif 1 minggu 53 <30 50 1 3 minggu 22 Maeda dkk.[41] Retrospektif Imobilisasi 0-3 minggu pada rotasi internal 61 14-23 85 2 Imobilisasi 4-7 minggu pada rotasi internal 18 69 Hovelius dkk. [29] Prospektif Internal rotasi 1 minggu 68 <30 59 10 Internal rotasi 4 minggu 65 67 Paterson dkk. [37] Randomised II Meta-analisis 3 minggu atau lebih <30 37 1 minggu atau kurang 41 Robinson dkk. [24] Prospektif Internal rotasi 4 minggu 252 15-35 67 5 Tabel 4 Perbandingan tingkat rekurensi setelah penatalaksaan secara konservatif versus operasi Penulis Derajat evidence Jenis penatalaksanaan n Usia (tahun) Tingkat rekurensi (%) Pemantauan Larrein dkk [42] Prospektif tidak acak Operasi 46 21(17-27) 4 67 bulan Konservatif 94.5 Jacobsen dkk [43] I Operasi 37 15-39 3 2 tahun Konservatif 39 56 Kirkley dkk[1] II Operasi 40 23.3 18 79 bulan Konservatif 22.7 60 Law dkk. [44] IV Operasi 38 21(16-30) 855.2 28 bulan Owen [45] IV Operasi 40 14.3 12 tahun Brophy dan Marx [46] Literatur review Konservatif 46 2 tahun Operatif 7 Bottoni dkk.[25] I Konservatif 14 18-26 75 3 tahun Artroskopi 10 11

  bervariasi. Setelah dislokasi bahu, ekstensi dari robekan rotator cuff ke tendon sub-scapularis memberikan prognosis yang sangat buruk. 5.4. Hasil Terapi Konservatif Konvensional Dari beberapa penelitian serial kasus menemukan bahwa tingkat kekambuhan yang tinggi hingga mencapai 95% (Tabel 1-4). Hovelius et al. melakukan evalausi kohort pada pasien yang 25 tahun telah menjalani pengobatan dengan imobilisasi dengan posisi rotasi internal atau tanpa imobilisasi and menemukan bahwa bahu yang stabil hanya pada 43% kasus. Stabilisasi dengan pembedahan hanya diperlukan pada 27% kasus, tetapi tingkat osteoarthritis sedang hingga berat setelah 10 tahun hampir 20%. Tingkat ketidakstabilan 60% dan tingkat osteoarthritis 20% setelah 10 tahun menyebabkan validitas strategi pengobatan ini menjadi dipertanyakan. Selain itu, di anatara pasien yang tidak mengalami dislokasi berulang. Dalam semua penelitian serial kasus yang tersedia, usia pasien pada episode dislokasi pertama adalah faktor risiko utama untuk rekurensi, terutama sebelum usia 20 tahun (Tabel 1-4). Pada pasien yang lebih muda dari 18 tahun pada episode pertama, risiko kekambhan dalam 1 tahun adalah sekitar 77% dan hanya 32% yang memiliki bahu yang stabil setelah 10 tahun. Rowe dan Sakellarides melaporkan bahwa 80% kekambuhan terjadi dalam 2 tahun pertama, terutama pada pasien yang lebih muda. Selain pasien usia muda, mereka yang terlibat dalam olahraga dimana memerlukan kontak atau kompetensi atletik berisiko tinggi untuk dislokasi bahu berulang. Kerusakan impaksi yang berat selama dislokasi merupakan faktor resiko lain. Menariknya, 43% pasien dalam penelitian serial kasus oleh Hovelius et al tidak terdapat kekambuhan. Dengan demikian, stabilisasi pembedahan segera secara rutin setelah episode pertama akan menghasilkan operasi yang tidak diperlukan pada 43% kasus. Namun, tidak adanya dislokasi yang berulang tidak identik dengan forgetten shoulder. Banyak pasien yang mengalami nyeri tingkat rendah dan ketidakstabilan pada kejadian instabilitas bahu yang terlewatkan. Selain itu, beberapa pasien juga mengalami ketakutan setelah dislokasi sehingga meyebabkan mereka membatasi kegiatan olahraga dan rekreasinya, yang mengakibatkan mereka mengalami sedikit gangguan fungsional namun bermakna.

6. IMOBILISASI DALAM ROTASI EKSTERNAL Konsep imobilisasi dengan lengan dalam rotasi eksternal untuk terapi dislokasi bahu pertama kali dikembangkan pada tahun 1990-an. Rotasi eksternal dimaksudkan untuk memberi tekanan pada sub-skapularis, sehingga menjaga kapsul sendi dan labrum dalam kontak dekat dengan aspek anterior glenoid.

Suatu studi dari sepuluh bahu mayat yang baru dilakukan oleh Itoi et al. dan melaporkan pada tahun 1999 menunjukkan bahwa tepi simulasi lesi Bankart disatukan ketika lengan berada dalam rotasi eksternal [49]. Pada posisi ini, otot sub-skapularis berada di bawah tekanan dan menerapkan gaya yang menekan kapsul sendi pada leher glenoid. Setiap bahu dipindahkan dari rotasi internal ke rotasi eksternal dalam 10 langkah. Kekuatan yang mengaplikasikan labrum ke glenoid paling besar ketika lengan berada pada 45◦ dari rotasi eksternal. Namun, hasil yang berlawanan diperoleh dalam penelitian mayat yang tidak mengevaluasi kesimpulan ini [50]. Desain in vitro adalah batas utama dari studi ini dan mungkin menjelaskan hasil yang bertentangan.

Reduksi lesi kapsuler telah diteliti in vivo menggunakan MRI [51]. Lengan diposisikan dalam rotasi internal kemudian rotasi eksternal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lepasnya kapsul berkurang pada rotasi eksternal [52] . Hart et al. [53] menggunakan artroskopi untuk menilai reduksi lesi Bankart pada 25 pasien berusia 15 hingga 57 tahun setelah episode pertama dislokasi bahu anterior. Reduksi lesi Bankart membaik pada rotasi eksternal pada 92% pasien. Namun, reduksi pada umumnya tidak lengkap dan labrum gagal untuk memulihkan posisi yang sepenuhnya normal. Meskipun pengamatan yang agak menjanjikan ini, hasil antar tingkat kekambuhan masih kontroversial (Tabel 2). Beberapa studi pendahuluan tampaknya menggembirakan tetapi yang lain jauh lebih sedikit. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam populasi studi (jumlah pasien, usia rata-rata, sifat dan tingkat kegiatan olahraga, bias pengamatan, dan bias yang berkaitan dengan perbedaan di seluruh immobilizer bahu). Tingkat kekambuhan meningkat dari waktu ke waktu dan cenderung menjadi serupa dengan yang terlihat setelah terapi konvensional [35]. Tautan cukup dan posisinya ditoleransi dengan buruk. Dengan demikian, tidak ada kesimpulan pasti yang dapat ditarik tentang manfaat potensial dari imobilisasi dalam rotasi eksternal. Tidak ada konsensus tentang penggunaan immobiliser yang mempertahankan lengan dalam rotasi eksternal dalam rotasi eksternal yang murni dan abduksi, dan tingkat optimal rotasi eksternal masih diperdebatkan [54,55]. Gabungan rotasi eksternal dan abduksi tampaknya jauh lebih tidak nyaman. Terapi konservatif masih banyak digunakan. Pada pasien dengan dislokasi berulang, durasi imobilisasi adalah singkat dan pemulihan dimulai untuk mencegah kekakuan, terutama pada pasien usia lanjut [40]. Imobilisasi dalam rotasi internal tetap menjadi standar referensi; imobilisasi dalam rotasi eksternal menghasilkan antusiasme di awal tetapi sejak itu menunjukkan keterbatasan. Sampai saat ini, tidak ada bukti ilmiah bahwa posisi imobilisasi tertentu atau durasi lebih baik daripada yang lain. Terapi konservatif selalu tidak adekuat pada pasien yang lebih muda, yang berada pada risiko terbesar untuk dislokasi berulang terjadi lebih awal setelah episode pertama. Selain itu, meskipun sekitar 40% pasien tidak mengalami kekambuhan setelah episode pertama dislokasi shoul-der [23], banyak yang tidak mencapai status bahu yang terlupakan.

7. PEMBEDAHAN UNTUK DISLOKASI BAHU PERTAMA KALI Risiko kekambuhan yang tinggi setelah terapi konservatif telah mengarah pada saran bahwa penatalaksanaan bedah mungkin dilakukan, khususnya pada atlet muda. Sejumlah studi perbandingan mendukung keberhasilan terapi bedah. Artroskopi telah disarankan untuk menghilangkan hemartrosis dan mendukung posisi normal kompleks kapsul-labral pada glenoid [56]. Meskipun prosedur ini terbukti menguntungkan, perbaikannya kecil dan meninggalkan risiko tinggi terhadap kekambuhan. Dengan demikian, artroskopi tetap menjadi kontroversi. Data yang dipublikasikan tidak memberikan ruang untuk keraguan (Tabel 4): kambuh secara signifikan lebih rendah setelah stabilisasi bedah terbuka atau artroskopi dibandingkan setelah terapi konservatif yang telah ada. Terlepas dari hasil ini, penggunaan operasi yang semakin umum untuk dislokasi pertama kali telah menerima kritik. Layak untuk mengingat kembali temuan-temuan oleh Hovelius et al. [23]: • 43% pasien tidak mengalami kekambuhan pada follow up selama 25 tahun; • Pada 14% pasien, bahu menjadi stabil dari waktu ke waktu, dengan dua kali kambuh dalam 15 tahun pertama kemudian tidak ada lagi kekambuhan selama 10 tahun ke depan; • Di antara pasien yang di tata laksana secara non pembedahan dan berusia kurang dari 25 tahun, setengahnya tidak mengalami kekambuhan.

Dengan demikian, pembedahan tidak perlu dilakukan pada 30% pasien yang lebih muda dari 25 tahun. Pembedahan rutin pada pasien dengan dislokasi bahu pertama merupakan terapi yang berlebihan, dan operasi  harus memilih pasien yang merupakan kandidat yang baik untuk pembedahan secara dini

Meskipun pembedahan awal sangat mengurangi risiko kekambuhan dibandingkan dengan terapi konservatif konvensional, hasil yang diperoleh serupa dengan pembedahan untuk ketidakstabilan bahu kronis (Tabel 4). Oleh karena itu tidak ada alasan yang masuk akal untuk secara rutin melakukan operasi segera pada pasien-pasien dengan waktu pertama kali mengalami dilokasi. Kirkley et al.[1] mengangkat masalah yang relevan tentang apakah pasien dapat dibiarkan menderita gejala sisa setelah episode dislokasi pertama dan menawarkan stabilisasi hanya jika terjadi kekambuhan. Alternatif lain adalah stabilisasi bedah segera untuk mencegah gangguan "kecil" ini, yang resolusinya akan tidak diragukan lagi dalam meningkatkan hasil fungsional terapi konservatif. Kirkley et al. mengevaluasi kualitas hidup jangka pendek pada dua kelompok pasien, satu dirawat secara konservatif dan lainnya melalui pembedahan. Indeks Western Ontario Shoulder Instability (WOSI) adalah 69% setelah terapi konservatif dan 86,3% setelah operasi. Operasi dini mengurangi tingkat kekambuhan dan peningkatan kualitas hidup (WOSI). Data ini mendukung operasi dini yang perlu diingat. Hasil penelitian lain [43] menunjukkan bahwa, dengan tidak adanya dislokasi berulang, proporsi pasien dengan kecemasan residual meningkat 6 kali lipat setelah terapi konservatif dibandingkan dengan terapi bedah dan proporsi dengan fungsi yang baik menurun 3 kali lipat. Law et al. [44] melaporkan indeks WOSI rata-rata 83% setelah penjahitan kapsul-labral artroskopi untuk dislokasi shoul-der pertama kali. Peningkatan kualitas hidup ini merupakan dokumen utama yang mendukung perawatan bedah dini. Akhirnya, sementara ini operasi jauh lebih unggul daripada terapi konservatif, tidak ada perbedaan yang ditemukan antara bedah konvensional dan bedah artroskopi [46]. Data ini menjelaskan bahwa hasil survei menunjukkan bahwa 35% ahli bedah Inggris melakukan pembedahan untuk mengobati dislokasi bahu pertama kali pada individu muda, dengan 16% ahli bedah menggunakan teknik artroskopi. Sebuah survei serupa, dilakukan 7 tahun kemudian, menunjukkan peningkatan 2 kali lipat dalam jumlah ahli bedah yang mendukung stabilisasi bedah segera, dengan peningkatan 4 kali lipat dalam penggunaan artroskopi [57]. 8. KESIMPULAN Terapi konservatif sangat kontroversial. Metode imobilisasi tradisional dengan lengan dalam rotasi internal telah didokumentasikan dengan baik. Selain itu, durasi imobilisasi 3 sampai 6 minggu tidak disetujui secara universal [29], dan tren menuju imobilisasi yang lebih singkat muncul [58,59]. Sebaliknya, dibutuhkan untuk mobilisasi dini pada pasien usia lanjut untuk mencegah kekakuan yang diakui secara luas [40]. Masalah utama kedua adalah tingkat kekambuhan yang sangat tinggi setelah episode pertama dari dislokasi bahu pada pasien muda. Data pada titik ini konsisten, dengan kekambuhan hingga 95% dari pasien. Selain itu, dengan tidak adanya kekambuhan, rasa sakit dan ketakutan adalah umum dan dapat menyebabkan perubahan dalam kegiatan atletik atau bahkan penghentian semua olahraga [1]. Hasil awal studi seri kasus imobilisasi dengan lengan dalam rotasi eksternal sangat menjanjikan. Namun, tindak lanjut yang lebih lama menunjukkan peningkatan dalam tingkat kekambuhan dari waktu ke waktu [31,32,35,49]. Selain penurunan kualitas hasil dengan peningkatan tindak lanjut, kepatuhan pengobatan adalah suboptimal, karena posisi yang diinduksi ketidaknyamanan. Perkembangan teknik artroskopi telah mendorong penggunaan terapi bedah [57]. Operasi dini sangat mengurangi tingkat kekambuhan dan meningkatkan hasil fungsional. Dengan demikian, ada tren saat ini menuju perluasan indikasi operasi lebih awal, terlepas dari teknik yang digunakan, terutama pada pasien muda, yang berisiko tertinggi untuk kekambuhan dan gangguan sisa, dengan tingkat 20% osteoartritis setelah 10 tahun [29] . Apakah operasi awal harus ditawarkan kepada semua pasien setelah episode pertama dislokasi bahu anterior masih diperdebatkan. Kim et al. melaporkan bahwa proporsi pasien dengan lesi capsulo-labral yang terlihat oleh MRI adalah 66% dalam kohort pasien dengan dislokasi bahu pertama kali dan 98% pada kohort dengan alokasi berulang [60]. Kelompok dengan kekambuhan memiliki peningkatan 3 kali lipat dalam tingkat lesi Bankart dan jumlah yang lebih besar dari lesi Hill-Sachs. Perkembangan menjadi kronis dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan dalam jumlah dan tingkat keparahan lesi impaksi. Temuan ini mendukung penggunaan yang lebih besar dari tata laksana bedah. Sarana dalam pengambilan keputusan kurang untuk memandu ahli bedah dalam keputusan terapi mereka dan untuk membantu pasien memahami strategi pengobatan terbaik. Saat ini, satu-satunya pilihan terdiri dari menginformasikan pasien dan keluarga tentang masalah perawatan dan membantu mereka membuat keputusan sesuai dengan komitmen akademik atau pekerjaan mereka, keinginan untuk melanjutkan kegiatan atletik dan, jika relevan, jadwal kompetisi [24].