Represi Orasi
“Pak, Angga pamit mau ke kampus. Doakan Angga dan teman-teman.”
“Bu, kalau sampai Minggu pagi Angga belum pulang, Ibu tetap masak gulai tengkleng buat Bapak dan Bella, ya.”
“Kamu baik-baik di rumah, Mas pasti akan pulang, kamu gak usah cari-cari Mas di kampus atau dimanapun.”
“Assalamualaikum . . . .” pamit Angga kepada keluarganya di rumah.
“Kita harus lebih lantang menyuarakan kebenaran, aparat makin represif kita harus makin aktif. Setuju?!” Angga berorasi di podium disambut riuh aktivis lainnya, “Setuju!!!”
“Ga, gimana nih Aparat personelnya makin banyak? Padahal kita gak bawa apa-apa selain spanduk sama jaket almamater.” tanya Cipto kepada Angga.
“Udah, tenang aja. Pokoknya kita harus kedepankan solidaritas tapi jangan terpancing provokasi. Massa jaga massa, kalau kawan kita ada yang ditangkap, jangan sampai ditinggalkan begitu saja.” Angga memberi instruksi kepada Cipto.
Pagi itu matahari masih malu-malu menunjukkan semangatnya, tetapi tidak dengan ribuan mahasiswa dan mahasiswi di ruas jalan TB Simatupang. Mereka datang dari berbagai kampus melakukan longmarch menuju Istana Negara untuk menuntut Presiden Saddam turun dari jabatannya. Bagaimana tidak, selama lebih dari tiga puluh tahun menjabat, Presidem Saddam justru meninggalkan derita kepada rakyat dengan utang-utang luar negeri yang terlau besar sehingga terjadi krisis moneter di seluruh penjuru nusantara.
“Kemerdekaan macam apa ini? Yang kita rasakan hanyalah ketidakadilan dari pemimpin negara! Lima puluh tahun sudah negara merdeka, tiga puluh tahun sudah Saddam berkuasa, yang tersisa kini hanya sengsara, sengsara, dan sengsara. Sudah saatnya Saddam turun dari tahta!” Cipto menyampaikan orasi di depan Istana Negara. Di hadapannya, ribuan Aparat dalam mode stand by mengawasi aksi massa dari dekat. Pengawasan lengkap dilakukan dengan senjata laras panjang di dekapan mereka.
Tiba-tiba dari belakang massa yang melakukan aksi meluncur tiga buah botol beling. Dari kejauhan, Angga melihat ada yang tidak beres dengan ketiga botol tersebut. Ketiganya berisikan sesuatu yang tidak seharusnya ada di dalam botol, yaitu kain perca, paku, minyak tanah, dan api yang menyala di kain pada ujung mulut botol tersebut. Dalam hati Angga bicara “ANJING!”. Botol-botol tersebut terbang melewati aksi massa dan jatuh tepat di depan muka Polisi dan Tentara yang sedang berjaga. Sontak hal tersebut memicu keributan dan kericuhan di antara aparat dan aksi massa.
“Anak setan!” salah satu Aparat memaki massa yang katanya berjanji akan melakukan aksi damai.
“Kami tidak tau, Pak. Ada penyusup di antara kami!” Angga mencoba menjelaskan, tapi Aparat lain langsung menghadiahinya rotan, “Praaaatttttt!!!!!”
Massa yang melihat hal tersebut seketika terprovokasi dan balik menyerang Aparat yang melakukan tindakan represi. Dari balik barikade Aparat, keluar semburan gas air mata yang membuat pandangan massa aksi terganggu. Bukannya merapatkan barisan dan menahan diri, Aparat justru memanfaatkan momen itu untuk memukul mundur massa dengan melakukan pemukulan-pemukulan secara seporadis. Dari kejauhan di kerumunan massa bagian belakang yang aman dari gas air mata terdengar teriakan “Aparat Anjiiiiing!!!!!”
Kericuhan semakin menjadi-jadi, massa berlarian tak beraturan. Ada yang berusaha menghindari kerusuhan, ada yang berusaha membalas represivitas aparat, bahkan ada yang coba menyelematkan kawan sesama massa aksi yang sedang direpresi aparat. Angga dan Cipto adalah massa yang berusaha untuk jaga massa.
“Pak, udah Pak! Kita sama-sama korban rezim ini, Pak! Jangan mau diprovokasi! Molotov tadi itu datang dari penyusup, Pak, bukan dari mahasiswa!” Cipto kali ini berusaha menjelaskan sambil berteriak di tengah situasi yang chaos.
“Anjinglah!” “Praaaaatttttt!!!” Aparat membalas Angga dengan makian dan rotan.
“Pak, jangan Pak. Kawan saya ini kordinator aksi, tolong jangan diperlakukan seperti ini!” teriak Angga sambil menarik kerah seragam Aparat.
“Doooorrrrrr!!!!!!!” terdengar suara tembakan dari kejauhan, sejenak hening tercipta, seluruh massa mencari arah dan sumber suara. Namun tak lama keheningan tersebut pecah karena Cipto berteriak minta tolong, “Bung tolong, bung! Pak, tolong kawan saya ini, Pak! Kawaaaaaaan, Angga tertembak!”.
Bella, mahasiswi semester satu yang mendengar kabar kakaknya menjadi korban penembakan oknum Aparat, langsung menghubungi klinik dan rumah sakit terdekat. Satu per satu klinik dan rumah sakit terdekat dari lokasi kejadian didatanginya, dicarinya di setiap UGD, namun tak ada korban atas nama Angga. Diperiksanya pula satu per satu tempat tidur pasien di UGD, curiga kakaknya didaftarkan dengan nama samaran agar tidak mudah tertangkap oleh Aparat yang tentu saja akan mencarinya. Namun, tak jua ia dapati keberadaan kakaknya tersbut.
Pencarian pun terus berlanjut, kali ini Bella berinisiatif ke klinik kampus tempat kakaknya menempuh pendidikan tinggi. Berharap pasca penembakan, kakaknya diamankan oleh kawan-kawannya dan dibawa ke klinik kampus agar tidak dapat dijangkau oleh aparat. Namun hasilnya tetap nihil, ada beberapa massa yang dirawat oleh calon dokter di sana, tapi Angga tetap tidak ada. Cipto yang mendengar Bella ada di kampus mencari Angga, langsung segera menemuinya.
“Bel, Bella!” Cipto berteriak dari kejauhan seraya berlari mendekati Bella yang sudah berada di depan gerbang hendak meninggalkan kampus.
“Mas Cipto, mana Mas Angga, mas? Dia dirawat di mana?!” Bella bertanya dengan nada agak tinggi antara marah dan sedih.
“Ja, jadi gini, tadi saat penembakan itu terjadi, Angga pingsan. Kami berusaha mengevakuasinya menjauhi kerumunan. Tapi aparat mencegahnya dan membawa Angga ke sana.” jelas Cipto kepada Bella.
Bella yang sudah mengkhawatirkan hal ini sejak awal terus mencecar Cipto dengan pertanyaan lanjutan, “Lalu kenapa kalian tinggalkan Mas Angga?!”
“Kami tidak meninggalkannya, Bel. Aparat yang mencegah kami mendampingi Angga. Lebam yang kami terima ini lebih banyak didapat karena berusaha untuk bisa mengamankan Angga, tapi kami kalah tenaga dan senjata.” Cipto menjelaskan dengan intonasi rendah dan terbata karena tak sanggup menerima kenyataan.
Sore itu, Bella pulang dengan tangan hampa. Dia menceritakan segala informasi yang didapat kepada Bapak dan Ibu. Bapak langsung berinisiatif mencari Angga ke kantor-kantor Aparat terdekat, mulai dari level kecamatan, kawedanan, kabupaten, bahkan hingga karesidenan. Semua sudah dilakukan, namun aparat memastikan bahwa tidak ada mahasiswa yang ditahan beridentitaskan Angga. Kekhawatiran dan kesedihan sore itu semakin menjadi-jadi ketika hujan turun dengan derasnya mengiringi kehilangan Angga.
Hari demi hari berlalu, Angga tak jua pulang. Setiap hari, Bapak selalu mencari informasi tentang keberadaan Angga. Setiap hari pula Ibu selalu memanjatkan doa agar Angga selalu dikarunia kesehatan dan keselamatan oleh Tuhan. Ibu terus mendoakan agar Angga segera pulang dan bisa sama-sama makan gulai tengkleng kesukaannya. Karena besok adalah hari Minggu, hari di mana Ibu memasak gulai tengkleng untuk seluruh orang rumah. Meskipun Angga belum juga pulang, Ibu tetap memasak gulai tengkleng, sesuai dengan pesan Angga sebelum terakhir kali meninggalkan rumah.
“Besok Bapak mau ke Kantor Aparat Provinsi, Bu. Doakan Bapak bisa mendapatkan titik terang.” Bapak menjelaskan ke Ibu.
“Tapi, Pak, apa tidak sebaiknya Bapak istirahat dulu, kita tenang dulu barang seminggu di rumah untuk sama-sama mendoakan Angga.” Ibu yang khawatir dengan kondisi psikis dan fisik Bapak yang terlalu lelah mencari keberadaan Angga.
“Tidak bisa, Bu! Sudah empat kali kita makan gulai tengkleng ini tanpa Angga! Pada kesempatan selanjutnya, Angga harus sudah ada di tengah-tengah kita! Ikut makan gulai tengkleng bersama kita, Bu!” balas Bapak dengan nada tinggi. Ibu yang terkejut dengan respon Bapak langsung ditenangkan oleh Bella yang duduk di sebelahnya.
Ibu bukannya putus asa bisa menemukan Angga kembali. Tapi kenyataan saat ini adalah Angga hilang entah di mana, masih hidup atau tidak. Ibu tidak mau kehilangan anggota keluarga lagi, yaitu Bapak. Karena semenjak Angga menghilang, Bapak jadi lebih tempramen, mulai gampang sakit-sakitan. Itulah alasan Ibu meminta Bapak untuk istirahat dulu karena Bapak juga perlu memperhatikan kondisi kesehatannya. Sementara Bella yang sudah mulai pasrah, tetap berusaha mencari informasi dari Cipto dan teman-teman Angga lainnya.
Berada di persimpangan antara berusaha menerima kenyataan atau harus terus berusaha melakukan pencarian, Ibu lebih memilih untuk terus berdoa. “Ya, Tuhan. Pulangkanlah Angga kembali ke rumah ini, tempat seharusnya di mana ia kembali. Pulangkanlah dia dalam kondisi sehat wal afiat, seperti saat ia terakhir kali meninggalkan rumah ini. Tapi, hamba rela jika Angga harus pulang dalam kondisi yang tidak sehat, karena kabar yang ku dengar, ia menjadi korban tembak di TB Simatupang, hamba berjanji akan menjaga dengan lebih baik anak yang Engkau titipkan kepada hamba.”
Selalu di setiap sepertiga malam, Ibu memanjatkan doa yang sama, “Ya, Tuhan. Hamba tau, Angga adalah anak yang Engkau titipkan kepada hamba. Hamba rela jika Engkau menghendaki Angga untuk kembali ke dekapanmu, kapanpun hamba rela. Tetapi hamba mohon dengan sangat, kembalikanlah jasadnya kepada hamba, kepada kami. Ijinkanlah kami untuk dapat memakamkan Angga dengan layak, sebagaimana ajaran yang Engkau berikan kepada kami. Maafkanlah kelalaian kami sebagai orang tua jika selama ini tidak mampu menjaga titipanmu dengan baik.”
Pagi itu, semburat cahaya dari timur memberikan senyuman hangatnya, sehangat gulai tengkleng yang rutin disiapkan Ibu untuk Bapak dan juga Bella. Sayang, mereka justru dingin menyantap gulai yang masih hangat itu. Hanya tiga piring yang dipakai dari keempat piring yang tersedia di atas meja. Berharap Si Anak Hilang segera kembali dan sama-sama menyantap gulai tengkleng yang hangat itu. Setiap minggu, itulah rutinitas yang mereka lakukan, namun selama itu pula tetap saja hanya tiga piring yang dipakai dari empat piring yang tersedia di atas meja.
Namun ada yang berbeda saat itu, di tengah ketiganya menyantap gulai tengkleng dalam keheningan, tiba-tiba terdengar suara dari depan rumah. “Tok tok tok!!!”
“Assalamualaikum, Pak, Bu. Angga pulang!”