Rindu yang Tak Pernah Terbayar

RINDU YANG TAK PERNAH TERBAYAR



"Selamat pagi bu As," sapa remaja gagah yang lewat di depan bu Asmonah.

               Remaja itu menyapa dengan sopan. Menundukkan badan sambil tersenyum di balik masker. Terlihat dari sudut mata  yang mengkerut. 

Bu As yang disapa sang remaja itupun mengangguk.

"Selamat pagi juga cah bagus," jawab bu Asmonah.

     	Keduanya telibat sedikit pembicaraan sebelum sang remaja berlalau. Pembicaraan singkat mengenai kedatangan sang remaja.   Sengaja datang  ke sekolah walaupun  Perberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Kedatangannya karena ingin menggunakan fasilitas sekolah berupa wifi.  Remaja itu bernama Yunas. Siswa kelas XII Teknik Alat Berat. Siswa yang rajin, tapi kurang beruntung. Ayahnya seorang buruh tani. Tentu saja sangat berat untuk mencukupi kebutuhan pulsa di masa daring. Untuk mengatasi itu Yunas  pergi ke sekolah untuk pembelajaran daring. Bila tidak ada zoom atau meet cukup dua kali ke sekolah. Bila ada kelas zoom, meet atau sejenisnya dia berangkat pagi-pagi dengan  membawa bekal. 

Hari ini Yunas begitu banyak kegiatan. Selain zoom dari guru PKN dan Seni Budaya ada tugas dari guru produktif, sekalian ikut acara kataman Al Quran di masjid sekolah. Pantas saja tas yang ditenteng sangat berat. Di dalamnya ada sarung, jas hujan, dan bekal untuk sehari itu.

Bu As saat itu sedang piket KBM ( kegiatan belajar mengajar ). Tugas itu harus dilakukan dua kali dalam seminggu. Selain itu boleh mengadakan pembelajaran daring dari rumah.

Mumpung suasana masih pagi. Masih berkabut. Matahari belum tampak jelas menyinari bumi. Dedaunan masih basah. Rasa dingin masih menusuk tulang walaupun jam digawai sudah menunjukkan pukul tujuh lebih. Bu As berjalan mengelilingi gedung sekolah. Bermaksud berolahraga menghilangkan kaku-kaku di badan karena jarang berolahraga. Ini dianggap kesempatan emas bisa meluangkan waktu 10 menit untuk berolahraga.

Bu As ke luar ruang guru. Badannya berbelok ke kanan mengikuti paving yang membujur ke arah selatan.

“Ruang satu,” katanya lirih.

Ruang ini biasanya digunakan untuk kelas Otomatisasi dan Tata Kelola Perkantoran. Langkah bu As terhenti. Dia berusaha menaiki teras. Diintipnya ruang kelas yang masih rapi. Ruang kelas yang biasanya digunakan siswa putri. Setiap kali bu As masuk kelas ini, siswa sudah duduk rapi di tempatnya. Jurusan OTKP hanya satu siswa putra. Mereka mudah diatur. Saling bersaing untuk mendapatkan nilai yang bagus. Siswanya sangat penurut dan rajin. Bahkan setiap tugas hampir selalu mendapatkan seratus. Jawabannya tepat, tulisannya rapi, mengerjakan pun cepat tak banyak bercanda. Kelas ini selalu berbau harum, siswanya berdandan rapi. Seragam khas orange dipadu dengan sal batik warna orange corak yang menawan.

Kembali bu As berjalan menyusuri depan kelas. Masih di atas paving yang membujur. Paving yang mulai ditumbuhi rumput liar. Memberi tanda bahwa paving sudah lama tak diinjak. Bu As terus berjalan melewati ruang dua. Ruang yang biasanya digunakan oleh anak kelas sebelas. Kaki bu As terus menyusuri ruang 3, 4 dan 5. Diakhir gerakan, kaki berbelok ke kanan menuju arah barat.

Riba-tiba mendengar suara riuh di ruang delapan. Para siswa ini jurusan Teknik dan Bisnis Sepeda Motor. Jurusan ini terkenal dengan jurusan yang kompak. Tapi tergolong kelas santai. Disela pelajaran mereka ada saja yang dilakukan. Banyak lelucon. Pokoknya ada saja kekonyolan mereka yang membuat guru tertawa. Di mata bu As saat itu ada siswa yang bermain HP sambil duduk-duduk di lantai. Ada yang berkerumun di antara bangku. Ada pula bernyanyi sambil memutar musik keras-keras. Temannya berjoged seperti layaknya penyanyi profesional yang sedang membuat video klip. Inilah keunikan siswa TBSM.

“Ya Allah,” seru bu AS.

	      Bu As tersadar. Ternyata hanya melamunkan mereka.  Itu kejadian yang dilihatnya hampir setahun lalu. Mereka sebenarnya tidak ada. Tidak masuk sekolah sudah lama.  Sejak pandemi kembali meraja di kota kecil sekolah berada. Sejak bupati menyatakan pembelajaran  daring. Mungkin karena bu As sangat merindukan kedatangan mereka.  Rindu saat bercanda bersama. Belajar bersama,  yang kadang tak ditanggapi serius oleh mereka. Saat bu AS sedikit emosi dan  marah-marah, mereka pun santai saja  menanggapi. Bahkan mampu membuat lelucon yang membatalkan kemarahan bu As. 

Tak terasa lamunan bu As telah mengantarkan sampai pada ruang 12. Lalu berbelok ke kiri menuju arah 4 remaja yang sedang duduk di bangku. Bangku kantin yang sedang tutup. Ternyata Yunas, Febri, Aryo dan Suryono berada di situ.

“Eh bu As ke sini!” ucap Aryo.

“Nggak apa-apa. Tadi aku sudah bertemu“ seru Yunas.

Tak percaya dengan pernyataan Yunas, Aryo pun segera menyapa Bu As setelah jarak cukup dekat.

“Ada apa Bu?” tanya Aryo.

“Tidak ada apa-apa. Ibu hanya jalan-jalan. Jangan lupa prokes ya,” jawab bu As.

Tiba-tiba Yunas, Aryo dan kedua temannya dibuat gemetar. Seorang lelaki tegap berjalan menghampirinya. Bu As yang akan pergi tak jadi, dan tetap berdiri di situ.

“Ada apa ini, siapa yang menyuruhmu masuk?” tanya lelaki itu.

“Ini Pak, sedang pembelajaran daring. Katanya di rumah tidak punya wi-fi. Paketan sudah habis. Maka dari itu beberapa anak menggunakan fasilitas wi-fi sekolah,” jawab bu As.

“Pelajaran siapa?” lanjutnya.

Keempat siswa itu masih merasa takut. Mereka takut kalau dimarahin oleh Kepala Sekolah karena masuk sekolah saat PPKM.

“PKN bu Yuherni,” jawab Yunas, Febri, Aryo dan Suryono bersamaan.


“Kalau memang keadaannya terpaksa, boleh lah belajar di sekolah. Asalkan prokesnya harus benar-benar dijaga. Jaga jarak. Jangan berkerumun,” jelas lelaki gagah.

Lelaki itu mempunyai nama Bambang Hatmoko. Kepala sekolah tempat Yunas dan ketiga temannya belajar. Pak Bambang Hatmoko terkenal orangnya tegas, disiplin dan berwibawa. Itulah yang membuat Yunas dan temannya sangat takut kalau berbuat salah.

Terlihat jam di gawai pukul 12:00 wib. Terdengar suara Adzan yang mendayu dari masjid sekolah. Hal yang tak biasa di masa pembelajaran daring.

“Loh, kok ada adzan.” tanya Pak Munha.

“Siswa kelas 12TAB,” jawab bu As.

“Yunas kah?” tanya pak Munha lanjut.

“Iya,” jawab bu As.

“Kalau Yunas di sekolah memang selalu adzan. Akhir-akhir ini, Yunas aktif ke sekolah. Katanya paketan dari Kemendikbud sudah habis. Orang tuanya sangat berat bila membelikan pulsa paket iternet. Lebih ringan kalau dia datang ke sekolah,” cerita Pak Munha.

Cerita itu sesuai dengan apa yang diceritakan Yunas kepada bu As.

Tak berapa lama para guru yang piket hari itu sudah berada di masjid. Salat zuhur berjamaah. Tidak seperti biasanya. Biasanya mereka hanya shbalat di Mushola yang berada di ruang guru.

“Sungguh indah, inilah hikmah dari pandemi,” kata bu As.

**


           Hari ini hari yang sangat luar biasa. Pembelajaran tatap muka terbatas diberlakukan. Para guru dengan semangat datang pagi. Mengharap rasa rindu kepada anak didiknya terobati hari ini.  Bisa bertatap muka dalam kelas walau harus  dengan prokes ketat dan hanya bertemu dengan separuh siswa di kelas. 

Hari pertama masuk ditandai dengan apel di lapangan depan. Ada beberapa informasi yang ingin disampaikan oleh Pak Bambang Hatmoko selaku kepala sekolah.

“Yunas mana? Biasanya dia baris paling depan,” celetuk bu As.

“Bu As, bu As. Yunas kan angkatan yang baru lulus. Ini sudah tahun pelajaran baru,” jawab bu Hima dengan tertawa tipis. Dikuti beberapa guru lain yang berada di sekitarnya.

“Ya…bu As. Nggak bisa ketemu dengan siswa kesayangan lagi dong,” pak Munha menambahkan.