Romawi Kuno/Sejarah/Awal Republik
Sekitar tahun 500-an SM, ketika demokrasi sudah dimulai di Athena, para aristokrat Romawi memutuskan bahwa mereka tak mau lagi dipimpin oleh raja-raja Etruria. Para raja memang bertugas secara baik untuk rakyat miskin, namun golongan orang kaya menginginkan lebih banyak kekuasaan. Akan tetapi kelompok kaya tidak bisa begitu saja menyingkirkan raja. Mereka memerlukan bantuan dari orang miskin. Jadi mereka berjanji kepada kaum miskin bahwa orang miskin akan memperoleh lebih banyak kekuasaan dalam pemerintahan yang baru, jika mereka bersedia membantu menyingkirkan raja. Kaum miskin bersedia membantu, dan bersama-sama mereka menggulingkan kekuasaan raja.
Akan tetapi, kaum miskin tetap saja tidak memperoleh kekuasaan seperti halnya kaum miskin di Athena. Bukannya melakukan pemungutan suara mengenai apa yang harus dilakukan, orang Romawi malah melakukan pemungutan suara untuk memilih pemimpin, yang berhak menentukan apa yang akan dilakukan, sama seperti sistem pemilihan Presiden dan DPR di Indonesia saat ini. Namun hanya orang kaya yang boleh dipilih ke dalam Senat Romawi.
Setelah beberapa tahun, kaum miskin Romawi tetap merasa bahwa mereka kurang diperhatikan. Mereka memaksa para aristokrat setuju bahwa kaum miskin dapat ikut memilih Tribunus. Tribunus sendiri harus dipilih dari golongan miskin, dan mereka mengikuti rapat Senat. Mereka berhasil memveto keputusan Senat yang sekiranya dapat berakibat buruk bagi kaum miskin. Veto artinya "Aku melarangnya" dalam bahasa Latin, dan itu bermakna bahwa Tribunus dapat mencegah diberlakukannya hukum apapun yang sekiranya buruk bagi orang miskin.
Kaum miskin juga memaksa aristokrat untuk menuliskan hukum dan meletakannya di alun-alun supaya dapat dibaca semua orang (meskipun tidak banyak orang yang bisa membaca). Ini disebut Dua Belas Lembaran. Seperti halnya Kode Hammurabi di Babilonia, ini berhasil mencegah para pejabat mengada-adakan hukum yang sebenarnya tidak ada.
Sementara itu, pasukan Romawi sedikit demi sedikit mulai menaklukan kota-kota di sekitar mereka. Sebagian besar orang pada masa itu, ketika mereka menaklukan suatu kota, hanya mengambil segala barang yang inginkan, meruntuhkan beberapa bangunan, dan kemudian meninggalkan kota taklukan itu lalu pulang. Namun orang Romawi berbeda, ketika mereka menaklukan suatu kota, mereka melakukan sesuatu yang baru; mereka menjadikan kota tersebut bagian dari Romawi. Kadang-kadang orang yang tinggal di kota tersebut dapat memperoleh hak memilih di kota Romawi, dan mereka juga harus membayar pajak untuk Romawi, dan mereka juga harus mengirim tentara untuk pasukan Romawi. Karena gagasan baru ini, semakin banyak wilayah yang ditaklukan Romawi, maka semakin kaya pula Romawi, dan semakin banyak pula jumlah tentara dalam pasukan Romawi, sehingga semakin mudah pula bagi Romawi untuk menaklukan wilayah-wilayah lainnya. Dengan cepat, Romawi berhasil menguasai sebagian besar wilayah di Italia tengah.
Namun setelah raja disingkirkan, para aristokrat Romawi tetap tak mau membagi kekuasaan dengan kaum miskin. Akibatnya orang-orang miskin pun pergi dari kota Roma dan melakukan pemogokan. Mereka tak mau lagi bekerja kecuali diberikan sedikit kekuasaan. Aristokrat Romawi terpaksa menyerah, dan mereka pun memberikan hak suara kepada kaum miskin pria (namun tidak kepada wanita dan budak).