Sinopsis sunting

Aku mengenal Ronggur saat kedua orangtuaku mengajakku berlibur ke kampung halaman Papa, Balige, Sumatera Utara. Seperti arti namanya petir, Ronggur memiliki suara yang menggelegar, kalau berbicara selalu keras, tetapi Ronggur seorang anak yang baik, santun dan rajin membantu orangtuanya, selama aku berada di Balige, Ronggur mengajakku bermain, dan mengenalkanku dengan budaya asli dari tanah kelahiran Papaku, dan akupun mendapatkan pengalaman yang sangat seru serta mengasyikkan.

Lakon sunting

  1. Mama
  2. Papa
  3. Tampan
  4. Ronggur
  5. Bapak Mauliate

Lokasi sunting

Balige, Sumatera Utara

Cerita Pendek sunting

Liburan sunting

Pagi itu kulihat Mama dan Papa sedang berbicara, aku sendiri asyik bermain lego di rumahku, karena hari itu liburan kenaikan kelas, jadi aku tidak bersekolah selama hampir sebulan lamanya,

“Pan..”, aku mendengar Mama memanggil aku,

“Iya Ma”, jawabku sambil melihat ke arah Mama,

“Kesini sayang, Mama mau bicara”, Mama tersenyum memintaku untuk menghampirinya, aku sendiri sebenarnya enggan untuk beranjak dari dudukku di atas lantai, karena sedang menyelesaikan permainan lego yang menjadi kegemaranku,

“Iya ada apa Ma?”, tanyaku sambil berjalan mendekat kepada Mama,

“Kamu mau tidak liburan sekolah ini kita pergi ke kampung halaman Papa?”, mendengar Mama mengatakan pergi ke kampung halaman Papa, aku sempat terdiam sesaat, karena aku mengira Mama mengajakku ke tempat terpencil dan kumuh,

“Kenapa kamu diam nak?”, melihat aku yang ragu dan tak menjawab pertanyaannya, Mama menarik tanganku dengan lembut dan memintaku duduk di sampingnya,

“Di kampung halaman Papa memang tidak ada mal nya, tempat bermain juga tidak ada, tetapi Mama yakin kamu pasti senang nanti disana”, Mama mengusap kepalaku, dengan rasa sayangnya,  

“Nanti kalau kamu tidak betah, kita bisa langsung pulang kesini”, kata Papa yang tadi hanya mendengarkan pembicaraanku dengan Mama,

“Mau ya Tampan”, Mama mencium keningku, aku yang tadi sempat tak tertarik dengan ajakan Mama dan Papa berlibur ke kampung halaman Papa, akhirnya tidak bisa menolak ajakan kedua orangtuaku.

“Iya Ma, Tampan mau”, Mama dan Papa tersenyum mendengar jawaban aku, mereka memeluk aku dengan eratnya.

Ronggur sunting

Perjalanan ke kampung halaman Papa ternyata cukup lama dan jauh, perjalanan dari bandara Soekarno Hatta, Cengkareng naik pesawat terbang ke bandara Kualanamu, ditempuh sekitar 2 jam 20 menit, lalu kami harus naik mobil sewaan dari bandara menuju Balige menempuh perjalanan lebih dari 5 jam,

“Pan bangun, kita sudah sampai”, Mama membangungkan aku yang tertidur di dalam mobil sewaan,

“Sudah sampai Ma?”, tanyaku sambil menggosok-gosokkan mata dengan tanganku, sebenarnya mataku masih sangat mengantuk, tetapi aku paksakan untuk bangun, karena aku juga ingin sekali tahu kampung halaman Papa,

“Ayo kita turun”, Papa menjulurkan tangannya kepadaku, menjaga agar aku tidak terjatuh saat turun dari mobil sewaan, sementara Mama menemaniku dari belakang, saat aku dan kedua orangtuaku sudah turun dari mobil sewaan tiba-tiba aku mendengar suara yang nyaring sekali, seperti sedang memanggil,

“Tulang”, teriak seorang anak laki-laki seusiaku kepada Papaku,

“Ayo tulang kita ke mobil bapak”, kata anak itu kepada Papaku, aku juga melihat seorang laki-laki seumur dengan Papaku berjalan di belakang anak itu,

“Kenalkan namaku Ronggur”, aku terkejut, ketika anak itu menjulurkan tangannya dan menyebutkan namanya kepadaku, karena suaranya seperti petir yang menggelegar,

“Aku Tampan”, jawabku sambil bersalaman dengannya,

“Nanti kalau kita sudah sampai di rumahku, kita bisa main ke sawah, atau naik kerbau”, mendengar ajakan Ronggur dengan suaranya yang keras sekali, aku senang sekali, karena aku belum pernah bermain ke sawah dan naik kerbau,   

“Kamu mau kan?”, Ronggur bertanya kepadaku, aku hanya menganggukan kepala menjawab ajakan Ronggur, awalnya aku terkejut mendengar suara Ronggur yang keras sekali, tetapi melihat aku yang sedikit terganggu dan tidak suka, Mama membisikkan sesuatu kepadaku,

“Ronggur itu artinya petir”, aku tersenyum mendengar Mama memberitahukan arti nama Ronggur kepadaku, akhirnya aku pun tak lagi terganggu dengan suara Ronggur yang memang mirip petir itu.

Balige sunting

Sesampai di rumah Ronggur, aku cukup terkejut, karena tidak seperti bayanganku sebelum berangkat ke Balige, ternyata kampung halaman Papaku tidak kumuh dan jelek, rumah disana sudah bagus-bagus walaupun kebanyakan atapnya masih terbuat dari seng,

“Tampan ayo kita main”, Ronggur mengajakku bermain menjelang sore itu,

“Kalian mau main kemana?” tanya Papa kepada Ronggur,

“Aku mau ajak si Tampan main ke sawah, tulang, bolehkan tulang”, kalau belum mengenal Ronggur pasti orang akan berpikir, Ronggur anak yang nakal dan tidak tahu sopan santun, karena saat berbicara Ronggur tak pernah terdengar pelan atau lembut, selalu keras persis seperti namanya,

“Boleh dong bere, masa tidak boleh, Tampan juga pasti mau, kan dia belum pernah main ke sawah”, Mama memberikan ijinnya kepada Ronggur sambil tersenyum,

“Kalau begitu aku pergi dulu ya tulang, inangtulang”, Ronggur berpamitan kepada kedua orangtuaku, sementara aku kagum juga melihat Ronggur walaupun suaranya keras, tetapi dia selalu ingat untuk menjaga sopan santun kepada orang yang lebih tua,

“Ayo Pan”, Ronggur mengajak aku pergi bermain ke sawah ,

“Sebentar Gur aku ijin dulu sama orangtuaku”, kataku menjawab ajakan Ronggur, selain meminta ijin kepada kedua orangtuaku, aku menyempatkan bertanya kepada Mama dan Papa, karena mendengar pembicaraan mereka dengan Ronggur,

“Ma tadi aku dengar Mama bilang bere kepada Ronggur, apa artinya Ma?”, tanyaku kepada Mama,

“Oh itu, bere itu artinya keponakan sayang”, kata Mama kepadaku,

“Sudah sana main sama Ronggur, dia sudah menunggumu”, kata Mama lagi, dan aku melihat ke arah Papa yang mengganguk dan mengijinkan aku pergi bermain bersama Ronggur,

“Tampan pamit ya Ma, ya Pa”, aku pun berlari mengejar Ronggur yang sudah terlebih dahulu berjalan di depanku,

“Ronggur tunggu”, aku berteriak, dan Ronggur berhenti, dia menunggu aku, kami pun berjalan bersama-sama ke sawah.

Bermain sunting

“Tampan kau belum pernah naik kerbau kan?”, tanya Ronggur kepadaku, saat kami sedang berjalan di pinggiran sawah,  

“Belum Gur”, jawabku,  sejujurnya aku sangat senang bermain di sawah, karena ternyata sangat mengasyikan sekali, apalagi ketika aku lari berkejar-kejaran dengan Ronggur, dan terjatuh ke lumpur sawah, membuat seluruh baju kotor, permainan yang tidak akan pernah kudapatkan di kota,

“Bah, enak sekali naik kerbau itu, kalau kau mau, nanti aku ajak kau, ke rumah bapak Mauliate, dia punya banyak kerbau, rumahnya disana”, Ronggur menunjuk sebuah rumah panggung yang masih berbentuk tradisional khas Batak, tak jauh dari sawah, tempat kami bermain,

“Ayo Gur kita kesana”, kali ini aku yang mengajak Ronggur untuk segera pergi ke rumah bapak Mauliate,

“Ayo Pan”, Ronggur menjawab ajakanku dengan suara menggelegarnya,

“Nanti dulu Gur”, melihat Ronggur yang berlari, tiba-tiba aku ada ide untuk mengajaknya lomba lari sampai ke rumah bapak Mauliate,

“Gur kita lomba lari, siapa yang menang nanti pulangnya digendong, bagaimana kamu setuju kan?”, tanyaku kepada Ronggur,

“Ayo”, Ronggur menerima tantanganku,

“Kita hitung ya Gur, satu, dua, tiga”, aku dan Ronggur pun berlari dengan cepat agar bisa tiba di rumah bapak Mauliate lebih dulu, saat berlari itu aku sempat terjatuh, melihatku terjatuh, Ronggur berhenti,

“Kau tidak apa-apa?”, tanya Ronggur sambil menolongku untuk bangun,

“Tidak apa-apa Gur, ayo kita lanjutkan lagi lombanya”, aku langsung berlari meninggalkan Ronggur, dan akhirnya aku yang menjadi pemenangnya,

“Aku menang”, aku berteriak kegirangan, karena berhasil mengalahkan Ronggur dan sampai di rumah bapak Mauliate terlebih dulu,

“Kalau tadi aku tidak menolong saat kau terjatuh pasti kau sudah kalah”, kata Ronggur dengan logat Bataknya yang sangat kental,

“Tapi selamatlah buat kau”, walaupun seperti tidak menerima kekalahannya, Ronggur tetap mengajak aku bersalaman.


“Sebentar ya, aku panggil dulu bapak Mauliate nya, kau diam disini dulu”, gaya bicara seperti Ronggur tidak pernah aku dengar dari teman-temanku di rumah atau di sekolah, Ronggur memang sangat berbeda, tetapi dibalik gaya bicaranya, Ronggur memiliki hati yang sangat baik,

“Horas, bapak tua”, Ronggur menyapa sambil membungkukkan badannya kepada seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahunan, yang sedang berdiri memberikan makan kerbau-kerbau,

“Iya ada apa Gur?”,  tanya bapak Mauliate kepada Ronggur,

“Kenalkan dulu bapak tua ini temanku dari Jakarta namanya Tampan”, Ronggur tak pernah lupa setiap kali berbicara dengan orang yang lebih tua, dia selalu tersenyum dan sopan, walaupun suaranya tak pernah bisa pelan,

“Begini bapak tua, aku dan temanku ini ingin jalan-jalan naik kerbau, bolehkan bapak tua?”, Ronggur bertanya dan meminta ijin kepada bapak Mauliate,

“Mau jalan-jalan kemana rupanya kau dan temanmu ini naik kerbauku?”, bapak Mauliate bertanya kepada Ronggur,

“Di sekitaran sawah sini dan rumah bapak tua sajalah”, gaya bicara Ronggur memang selalu kencang dan menggebu-gebu, buat orang yang baru mendengarnya pasti akan terkejut, dan ketakutan,  

“Sebentar kalau begitu, aku bereskan dulu ini, nanti biar aku bantu kalian naik ke kerbau, dan menjaga kalian”, bapak Mauliate begitu baik kepada Ronggur, itu semua karena perilaku Ronggur yang juga baik,

“Terimakasih bapak tua”, kata Ronggur kepada bapak Mauliate, aku sejujurnya sangat kagum melihat Ronggur, walaupun suaranya menakutkan seperti petir, tetapi Ronggur tak pernah lupa untuk bersikap santun kepada siapapun, terutama kepada orang yang lebih tua,

Akhirnya aku dan Ronggur berkeliling melintasi sawah yang hijau, naik kerbau, ternyata aku baru tahu tulang kerbau sangat keras sekali saat aku duduk di atasnya,

"Main sama kerbaunya sudah sekarang kita mandikan kerbau ini, bagaimana kalian mau kan?", tanya bapak Mauliate dengan logat Bataknya, aku dan Ronggur tanpa ragu-ragu langsung berteriak,

"Mau bapak tua, horee, ayo bapak tua sekarang saja", kataku menerima ajakan bapak Mauliate, dan kami pun membawa kerbau ke sungai dekat rumah bapak Mauliate dan memandikan kerbau, ternyata asyik sekali memandikan kerbau, aku sangat suka, melakukannya, karena sangat seru, dan belum pernah aku lakukan sebelumnya.

Setelah selesai memandikan kerbau, kami pun berpamitan kepada bapak Mauliate,

"Bapak tua, aku dan Tampan pulang dulu, sudah gelap", kata Ronggur kepada bapak Mauliate,

"Iya hati-hati kalian di jalan", bapak Mauliate tersenyum, aku dan Ronggur pun pergi meninggalkan rumah bapak Mauliate,

"Gur jangan lupa, seperti janji kita tadi kamu harus menggendongku sampai ke rumahmu", kataku kepada Ronggur,

"Beres Pan, ayo kau naik di punggungku", kata Ronggur sambil berjongkok, dan kami pun berdua tertawa gembira kembali ke rumah Ronggur.

Bahagia dan Bangga sunting

Pagi itu aku melihat Ronggur mengenakan kain dari bagian pinggang hingga ke bagian lututnya, lalu di bagian kepalanya Rnggur juga menggunakan seperti penutup kepala, tetapi tidak menutupi bagian atas kepalanya, serta bentuknya lancip di bagian atas, dan  kain yang diselempangkan di bahunya

“Selamat pagi Tampan”, Ronggur menyapaku terlebih dahulu, karena melihat aku yang terus memperhatikannya,

“Selamat pagi Gur, kamu mau kemana sudah berpakaian seperti itu?”, tanyaku kepada Ronggur, karena baru pertama kali aku melihat pakaian yang dipakai oleh Ronggur,

“Aku mau pergi manortor di balai desa, kau mau ikut?”, tanya Ronggur kepadaku, aku hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Ronggur,

“Manortor itu apa Gur?”, tanyaku lagi kepada Ronggur,

“Manortor itu menari, tari tor-tor itu biasanya dilakukan kalau ada acara atau perayaan seperti yang aku mau datangi nanti di balai desa”, Ronggur menjawab pertanyaanku masih dengan suaranya yang keras,

“Tapi kenapa kamu pakaiannya seperti itu?”, tanyaku penuh keheranan,

“Bah kau tidak tahu rupanya apa yang kupakai ini?”, Ronggur malah balik bertanya kepadaku, aku kembali hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Ronggur,

“Ini namanya bulang-bulang atau pengikat kepala”, kata Ronggur sambil memegang penutup kepalanya yang berbentuk lancip,

“Kalaiu yang ini namanya ampe-ampe atau selendang”, kali ini Ronggur memegang kain yang diselempangkan di bahunya,

“Nah kalau yang dibawah ini namanya singkot atau penutup bagian bawah”, Ronggur memegang kain yang menutupi bagian bawah tubuhnya,

“Kainnya sendiri namanya ulos”, aku cukup terkesima mendengar penjelasan dari Ronggur, karena selama ini aku tidak pernah tahu budaya tempat kelahiran Papaku, dan setelah aku berlibur ke kampung halaman Papaku, barulah aku tahu ternyata di tempat kelahiran Papaku banyak hal yang aku bisa dapatkan, selain bermain juga jadi tahu budayanya.

“Ayo kau ikut saja ke balai desa, ada perayaan panen padi disana, kau tidak perlu berpakaian seperti aku, kan kau tidak ikut manortor”, Ronggur mengajakku untuk menemaninya ke acara perayaan panen padi di balai desa, aku yang tadinya tak begitu tertarik, jadi ingin tahu juga setelah mendengar penjelasan Ronggur,

“Aku ijin dulu ya Gur sama Mama dan Papa”, jawabku kepada Ronggur, menerima ajakannya,

“Pa, Ma, Tampan mau ikut ke balai desa sama Ronggur, boleh kan?”, aku menghampiri kedua orangtuaku yang sedang asyik berbicara dengan kedua orangtua Ronggur,

“Boleh dong, sana kamu pergi”, kata Mama dan Papa hampir bersamaan, akupun tertawa gembira dan langsung pergi dengan Ronggur menuju balai desa,


Sesampai di balai desa, ternyata banyak masyarakat kampung yang datang ke balai desa, memenuhi halaman balai desa,

“Ramai ya Gur”, aku berbicara kepada Ronggur,

“Iya disini memang begitu Pan, kalau ada acara perayaan hampir semua masyarakat kampung datang, mereka semua marhobas, ada yang membawa arsik, naniura, dan ombus-ombus, ayo kita bantu mereka”, Ronggur mengajakku ikut membantu orang-orang yang datang membawa sesuatu ke acara itu, terutama ibu-ibu dan orangtua, aku mengikuti Ronggur ikut membantu sambil mengernyitkan dahi, karena ada yang tak kumengerti mendengar ucapan Ronggur,

“Apa itu marhobas?”, tanyaku kepada Ronggur, ingin tahu,,

“Marhobas itu budaya tolong menolong orang Batak, mereka akan bergotong royong saling membantu, saat ada acara perayaan seperti ini?”. Ronggur menjawab pertanyaanku,

“Kalau arsik, naniura, dan ombus-ombus itu budaya apa Gur?”, tanyaku lagi kepada Ronggur,

“Hahahaha, Tampan kau lucu sekali bah”, mendengar jawaban Ronggur, aku malah menjadi heran, karena aku tidak tahu apa yang membuat Ronggur tertawa dan merasa lucu?,

“Itu bukan budaya tapi makanan orang Batak, kalau arsik itu biasanya disebut dekke na niarsik, artinya ikan yang dimasak sampai airnya kering, biasanya ikan yang dimasak ikan mas, sama juga dengan naniura, atau dekke na niura yang artinya ikan yang tidak dimasak dengan api, hanya diberikan bumbu rempah-rempah dan jeruk nipis, dekke itu artinya ikan”, aku jadi geli sendiri mendengar jawaban Ronggur, karena aku pikir arsik dan naniura itu budaya, ternyata aku salah, pantas Ronggur tadi tertawa,

“Satu lagi kamu belum jawab Gur?”, tanyaku lagi kepada Ronggur,

“Oh ombus-ombus, itu makanan orang Batak, masak kau tak tahu, terkenal kali itu bah”, kata Ronggur dengan suara petirnya, aku hanya menggelengkan kepala, mungkin aku pernah mendengarnya, tetapi lupa,

"Ombus-ombus itu terbuat dari tepung beras, di dalamnya diisi gula merah dan kelapa, lalu dibungkus daun pisang, dan dikukus, enak sekali rasanya Pan”, kata Ronggur sambil mengambilkan beberapa ombus-ombus untuk kumakan,

“Nah ini kau cobalah, pasti kau ketagihan", kata Ronggur kepadaku,

"Aku mau manortor dulu ya Pan, kau tunggu aku disini, jangan kemana-mana kau, nanti aku dimarahin tulang dan inangtulang?”, aku hanya tersenyum kepada Ronggur sambil menghabiskan ombus-ombus, dan melihat Ronggur manortor bersama orang-orang lainnya.

Liburan sekolah ke kampung halaman Papaku bersama kedua orangtuaku, sungguh membuat aku bahagia dan bangga, karena kampung halaman Papaku tidak hanya indah, tetapi juga banyak yang aku bisa pelajari disini, apalagi bertemu dengan Ronggur, si suara petir itu.

TAMAT