Saksi Bisu Tebing Harau

Saksi Bisu Tebing Harau

Oleh: Latifa Khairani

Hujan yang turun tadi malam telah membasahi kawasan Lembah Harau. Tebing-tebing granit semakin lembab, air terjun pun ikut turun lebih lebat. Kini, subuh terasa sangat dingin seperti ada embun yang menyapa kulit. Kalau angin berhembus, dinginnya semakin menembus tulang, mungkin sebagian orang ada yang menarik selimut lagi, tapi tidak untuk Farid yang sudah sibuk menanak nasi di dapurnya. Mengingat ia akan pergi ke sawah sebentar lagi, maka ia pastikan makanan sudah masak dan tinggal di makan saja oleh ibu dan adik-adiknya.

Langit belum memancarkan terangnya dengan jelas, Farid sudah berjalan menuju sawah dengan membawa cangkul dan caping yang diletakkan di atas kepalanya, tak lupa pula dengan ransel kecil yang berisi makanan dan air minum. Ia butuh waktu sampai langit benar-benar terang bersama mentari pagi untuk sampai ke sawah. Di depannya terlihat beberapa orang berjalan membawa cangkul seperti Farid. Ada yang bersepeda dan ada yang menggunakan motor menuju sawah.

Pemandangan di Lembah Harau sangat memukau, perasaan lelah dan sedih seakan hilang saat melihat pemandangan yang menakjubkan. Farid menghirup udara dengan dalam dan merasa tenang. Lembah Harau diapit oleh dua tebing granit yang sangat indah dengan perpaduan warna coklat dan silver serta hiasan warna hijau dari pohon di tepinya. Hawa dingin sangat khas, apalagi dinikmati saat pagi hari setelah malamnya hujan. Lokasi ini menjadi tempat wisata bagi masyarakat. Selain ada dua tebing, terdapat enam sumber air terjun yang menjadi tujuan bagi wisatawan. Di bawah dua tebing ini, hiduplah berbagai kalangan masyarakat. Jalan menuju air terjun, di keliling oleh tempat peristirahatan atau homestay milik masyarakat sebagai penghasilan mereka. Sawah hijau nan indah, serta tanaman para petani turut memeriahkan pemandangan.

Sepanjang jalan, ia disapa oleh teman-temannya yang sudah rapi dengan baju sekolah. Farid hanya bisa tersenyum membalas sapaan mereka. Semua orang di Desanya sudah tahu bahwa dia memilih tidak sekolah lagi semenjak ibunya sakit yang sudah hampir 2 minggu. Farid lebih memilih merawat ibunya dengan jerih payahnya sendiri. Ia sadar bahwa dirinya adalah anak laki-laki paling besar dan memiliki 2 orang adik perempuan. Ayahnya sudah lama meninggal saat adiknya yang terakhir masih dalam kandungan ibu.

“Farid,” teriak Adi sambil memberhentikan sepeda di hadapan Farid. “Kamu tidak malu? Zaman sekarang udah gak ada lagi yang putus sekolah, ayo sekolah denganku!” Adi menarik tangan Farid agar naik ke bangku sepeda di belakangnya. “Sekolah kita gratis Farid, Kamu gak boleh berhenti,” tambahnya sambil memaksa Farid yang bersikeras tidak mau mengikutinya.

Seketika, perasaan Farid berubah, senyum yang baru saja ia lontarkan ke temannya yang lain, menjadi kecut. “Aku tau Di, Aku tau sekolah kita gratis, tapi biaya hidup enggak semuanya gratis Adi, aku punya Ibu yang harus aku pulihkan kesehatannya, aku juga punya adik yang harus aku pastikan makanannya. Kalau aku sekolah, kapan aku bisa mencari uang untuk itu semua?” jelas Farid dengan mata yang berbinar.

Seketika tarikan Adi melemah dan memasang wajah prihatin terhadap Farid.

“Ayolah sekolah, biar kita cari solusinya bersama teman-teman,”Adi mencoba memaksa dengan nada yang lebih tenang.

“Biarkan Aku dengan pilihanku,” ucap Farid seraya melepaskan genggaman Adi, lalu melanjutkan perjalanannya.

Sementara itu, Adi memperhatikan punggung Farid yang mulai menjauh dengan penuh prihatin. Beberapa detik kemudian, Adi melanjutkan perjalanannya ke sekolah.

Sepanjang jalan, air mata Farid menetes. Hijaunya sawah tidak dapat menenangkan hatinya, matahari pun tidak dapat mengeringkan air matanya. Ia menangis tanpa suara, hatinya sedih dan berkecamuk. Hidup yang rumit ini membuat ia harus memilih jalan yang bukan seharusnya ia pilih. Harusnya masa remajanya dihabiskan untuk belajar, memahami ilmu, bersosial, tapi ia memilih untuk menjadi tulang punggung.

Sesampainya di sawah, Farid langsung mengambil benih yang mau ditandur. Sebaris demi sebaris, benih sudah ditandur dengan rapi. Setelah satu petak sawah selesai, Farid melanjutkan ke petak sawah yang lain. Dalam waktu lima jam, Farid telah selesai menandur padi tiga petak sawah. Ia duduk di gubuk yang telah disediakan pemilik sawah.

Matanya tertuju pada luas hamparan sawah, tapi fikirannya teringat kejadian tadi pagi. ‘sudah sehebat apa aku, sampai berani mengatakan biarkan aku dengan pilihanku pada sahabatku?’ fikirnya. Sejenak dia termenung, lalu mengambil cangkir dan mengisi air minum. Setelah minum, ia membaringkan tubuhnya di tanah yang miring beralaskan tikar daun dan membuat wajahnya menghadap ke pemandangan tebing Harau.

Ia menatap tebing yang luas, menjulang tinggi mengelilingi sawah di bawahnya, lalu menghirup udara menjelang siang yang khas dari daerah itu. ‘sukses itu apa hanya untuk mereka yang sekolah?’ celetuk fikirannya tiba-tiba saat menatap tebing. Fikirannya tak berhenti mencari cara bagaimana bisa hidup sukses, bisa hidup enak tanpa memikirkan sulitnya mencari uang. Menurutnya, hidup teman-temanya terlalu enak, tidak sepertinya. Hatinya terus menyeletuk, hingga air matanya turun begitu saja. Beberapa menit setelah ia meluapkan tangisannya, ia tertidur.

“Rid, Farid… bangun,” Dajo membangunkannya. Seketika Farid langsung terbangun.

“Mau pulang?” tanya Farid yang terlihat linglung.

“Iya, Kamu mau tinggal di sini?” jawab Dajo dan berlalu pulang.

Farid bergegas mengambil peralatannya, memasang sendal, lalu berjalan pulang. Sepanjang perjalanan, ia memutar otak, berfikir keras mencari cara agar bisa merasakan hidup lebih baik dari sekarang ini.

***

Malam sudah menampakkan gelapnya, Farid duduk di samping ibunya sambil melanjutkan gambarannya kemarin. Ia terlihat sudah lihai dengan tangan yang meliuk membentuk gambar yang jelas. Sebuah bangunan mewah tergambar dalam kertas biasa.

“Abang, abang… ada Pak RT dan Pak Kepala Desa,” teriak adiknya yang tengah berlari menghampirinya. Farid bergegas berjalan ke luar menyambut petinggi di lingkungannya.

Assalamu’alaikum,” ucap pak RT dan Kepala Desa serentak.

Wa’alaikumussalam, Farid langsung mencium tangan mereka, lalu mengarahkan mereka untuk duduk sambil melihat keadaan ibu. Kedua adiknya ikut duduk di sampingnya.

“Ini, Pak. Bu Yesni yang saya bilang, sudah lama sakit,” ucap pak RT kepada bapak kepala Desa.

“Sudah lama ibumu sakit, Nak?” tanya pak kepala Desa.

"Sudah, Pak.”

“Tidak dibawa ke rumah sakit?”

“Bagaimana caranya, Pak? Untuk bergerak saja, ibu sangat sulit. Saya tidak tahu bagaimana caranya membawa ibu ke rumah sakit pak,” jawabnya polos.

Mendengar jawaban itu, pak RT dan pak Kepala Desa saling menatap. Lalu mereka terdiam, hening dan hanyut dalam fikiran masing-masing. Farid melanjutkan gambarnya tadi, sementara ibunya hanya bisa melihat keadaan tanpa daya.

Insyaallah, besok pagi kita datangkan ambulan Desa, lalu kita bawa ke rumah sakit daerah,” ucap pak Kepala Desa memecah keheningan.

“Terimakasih banyak, Pak.” Ucap Farid.

“Lalu, Farid kini sudah tidak sekolah lagi, Pak. Bagaimana?” tanya pak RT.

“Tidak sekolah lagi?” pak Kepala Desa mengerutkan keningnya. “Berhenti sekolah?” tanyanya lagi.

“Iya, Pak. Semenjak Ibunya sakit,” jelas pak RT lagi.

“Kenapa, Nak?” tanya pak Kepala Desa

“Sa… saya harus cari uang, mengasuh adik dan merawat ibu, Pak.” Ucapnya sambil menunduk.

Mendengar pernyataan tersebut, pak Kepala Desa mengusap wajahnya dan menunduk dengan tangannya yang terlihat seperti menggosok mata. Lalu, dengan mata yang berlinang, ia melihat Farid.

“Cita-cita Kamu apa, Nak?” tanyanya tiba-tiba.

“Cita-citaku menjadi arsitek, Aku mau bangun pabrik besar, biar banyak orang yang bisa kerja, aku mau bangun sekolah untuk orang seperti aku,” jelas Farid seperti berapi-api.

“Apakah bisa cita-citamu tercapai? Jika kamu tidak sekolah?” tanya pak Kepala Sekolah lagi.

“Bisa, Ibu Susi aja yang tamat SMP bisa jadi Menteri, kenapa aku tidak?” jawab Farid yang masih dengan api semangatnya.

Mendengar jawaban Farid, Pak Kepala desa menangis tersedu-sedu dan berulang kali ia ingin menghapus air matanya, tapi tidak bisa.

“Kenapa Bapak menangis?” tanya adik Farid dengan kepolosannya, lalu mendekati bapak tersebut..

Seketika pak Kepala Desa mencoba tersenyum dengan air mata yang masih menetes.

“Abang Kamu, pintar banget,” jawab pak Kepala Desa sambil memeluk adik Farid. “Tapi, apa aku salah ngomong, Pak?” tanya Farid.

Pak Kepala Desa langsung menggeleng, “Tidak, Kamu tidak salah kok. Besok Kamu bersedia kan, untuk balik ke sekolah?” pinta pak Kepala desa dengan lembut.

“Tapi, ibu? Adik? Gimana, Pak?”

“Biar Bapak yang urus Kesehatan Ibumu di rumah sakit, nanti adikmu juga dibawa ke sana kok,” jelasnya.

Farid terdiam mengangguk. Beberapa menit kemudian, pak RT dan Kepala Desa berpamitan. Farid dan adik-adiknya tertidur di samping ibu mereka.

***

Seperti biasa, Farid sudah selesai menanak nasi dan mempersiapkan dirinya untuk berangkat sekolah. Jam setengah tujuh ketika Farid mau berangkat, mobil ambulan sudah tiba. Terlihat motor pak RT dan pak Kepala Desa. Beberapa warga juga datang untuk mengangkat ibunya Farid, sementara Farid gigih juga membantu mereka mengangkat ibunya ke dalam mobil. Adik-adik Farid juga ikut masuk ke dalam ambulans, terlihat bu Mita tetangganya membersamai adik serta ibunya di dalam. Farid pun mulai menghembuskan nafas lega dan berjalan menuju sekolah.

Di sekolah, teman-teman dan gurunya sangat senang dengan kedatangan Farid. Mereka merangkul dan membuat Farid terasa hangat. Farid termasuk salah satu anak yang berprestasi dan bersosial tinggi di sekolah. Meskipun, hanya dia satu-satunya siswa yang tidak memiliki ponsel, ia tak kalah dengan pengetahuannya, ia sering mencari tau dengan membaca, bertanya dan mendengarkan cerita temannya.

Sepulang sekolah, Farid langsung dibawa oleh tetangganya ke rumah sakit. Ia melihat ibunya tanpa kesadaran sama sekali, tapi ia berfikir bahwa ibunya hanya sedang istirahat.

“Ibu sakit apa, Tek?” tanya Farid pada bu Mita.

“Kelenjar Getah Bening.”

“Sudah parah ya, Tek?” tanyanya lagi. Bu Mita hanya mengangguk pelan. Mereka terdiam cukup lama memperhatikan ibunya.

“Ibumu habis di operasi, tapi sudah terlalu parah karena mulai menyebar ke paru-paru. Kata Dokter, paru-parunya sudah banyak air, efek dari penyakit ini,” jelas bu Mita lagi.

Mendengar cerita tersebut, Farid hanya terdiam memandang ibunya.

“Itu kanker ya, Tek?” tanya Farid. bu Mita hanya mengangguk.

Saat malam, ia tertidur bersama adik-adiknya di ruangany yang sama. Saat adik-adiknya tidur, Farid memperhatikan ibunya, berharap ibunya bisa sadar. Ia juga bingung, kenapa ibu dari tadi siang tidak ada sadarnya, padahal ibunya juga belum makan. Di tepi kasur ibunya, Farid tertidur.

“Bangun, Bang. Udah terlambat sekolah nih,” ucap bu Mita dengan menggoyangkan bahu Farid.

Farid langsung terbangun dan jam sudah menunjukkan jam 8.

“Aku sudah terlambat, kenapa etek tidak bangunkan dari tadi?” ucap Farid kesal.

“Etek aja barusan datang,” ucap bu Mita santai. Dengan wajah kesal, Farid terduduk di lantai.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara ibunya yang terlihat sesak. Farid langsung berdiri. Bu Mita dan adik-adiknya panik, Farid langsung berlari memanggil dokter, sementara bu Mita mencoba menekan tombol untuk memanggil dokter.

Setibanya dokter di ruangan, mereka semua disuruh keluar dari ruangan. Farid sudah berlinangan air mata, sementara bu Mita terduduk dengan memeluk adik-adiknya.

Beberapa menit kemudian, dokter keluar dan mengatakan bahwa ibunya sudah tidak bisa diselamatkan. Farid langsung masuk melihat ibunya yang sudah terbujur kaku. Suasana begitu pecah oleh tangisan mereka.

Hari ini juga penguburan dilaksanakan dan Farid sudah tidak menangis lagi, ia mencoba tegar menerima semua keadaan. Warga dilingkungannya berdatangan untuk melaksanakan fardu kifayah. Farid ikut menyolatkan dan menguburkan ibunya.

Tinggalah ia bersama adik-adiknya di rumah. Tetapi warga dilingkungannya terutama para petinggi, tidak membiarkan mereka putus sekolah, kelaparan dan kekurangan. Bantuan terus mengalir ke rumah Farid. Mengingat sangat banyak orang yang baik padanya, Farid ingin sekali bisa membahagiakan mereka semua suatu saat nanti. Ia buktikan dengan rajin belajar, bekerja dan punya Impian yang sangat tinggi.

"Aku tak akan menyerah," teriak Farid di Sore hari berjalan menuju sawah.

"Aku kuaaat," air matanya mulai menetes. Ia berteriak di jalanan yang sepi, hanya tebing yang menyaksikan betapa pahitnya arti yang diucapkannya.


***Tamat***