Sejarah sunting

Raden Patah di Palembang sunting

Menurut Babad Islam di Tanah Jawa, Raja Demak yang pertama (Raden Patah) adalah salah seorang Putra Raja Majapahit yang terakhir, Brawijaya. Akan tetapi, ibunya bukanlah bangsawan, jadi ia bukan putra Gahara. Ibunya adalah seorang dayang-dayang istana yang berasal dari Tiongkok. Pada masa itu, di istana raja-raja besar, banyak terdapat dayang-dayang kiriman Tiongkok, seperti yang terdapat juga dalam istana sultan-sultan di Malaka. Konon, hati Batara Brawijaya sangat tertawan oleh kecantikan dayang itu sehingga kurang perhatiannya kepada permaisuri, hingga menimbulkan kedengkian di istana. Ketika perempuan itu hamil, raja mengirimkan ia ke negeri Palembang, ditumpangkan kepada putra baginda, Arya Damar, yang menjadi Adipati Majapahit di Palembang.

Kebetulan, Arya Damar telah lama memeluk agama Islam dengan sembunyi-sembunyi karena ajakan Raden Rahmat (Sunan Ngampel) yang dulu sempat singgah di Palembang. Ketika Arya Damar pulang ke Majapahit untuk menjunjung duli, ia selalu menyempatkan diri singgah di Ampel atau Giri untuk belajar ilmu pengetahuan Islam dari gurunya, Sunan Ngampel. Apabila ia kembali ke Palembang, ia selalu membuat hubungan dengan ulama-ulama Arab yang berdagang di Palembang. Diam-diam ia memiliki nama Islam, yaitu Abdullah. Setelah ia menyatakan keislamannya secara terang-terangan, ia menggunakan nama Arya Abdullah (Arya Dillah).

Karena ia telah memeluk Islam, ia mengikuti aturan Islam, yaitu dengan tidak menjadikan ibu tirinya sebagai istri atau selir, apalagi ia sedang mengandung adiknya. Setelah anak itu lahir di Palembang, ia memberikan pendidikan Islam kepada adiknya. Dicarikanlah seorang teman sepersusuan bernama Raden Husein, dan itulah yang menjadi temannya bermain sampai besar. Adiknya itu diberi nama Pangeran Jinbun, nama Raden Fatah ketika kecil.

Kembali ke Jawa sunting

Setelah genap usianya 20 tahun, barulah dikirimnya ke Tanah Jawa bersama dengan Raden Husein. Mereka disuruh memperdalam pengetahuannya tentang agama kepada Sunan Ngampel, Raden Rahmat.

Setelah bertemu Sunan Ngampel, Raden Husein mengajak Raden Fatah untuk melanjutkan perjalanan ke Majapahit, menjunjung duli ayahnya. Rupanya, berat ia hendak datang ke sana. Payah bagi seorang anak yang terdidik dalam islam untuk menyusun sepuluh jarinya dalam menyembah kepada seorang raja, yang dalam kepercayaan Hindu adalah titisan dari Dewa Shiwa dan Buddha. Agak sulit juga ia mengendalikan perasaannya ketika kelak bertemu dengan permaisuri yang sangat benci kepada ibunya.

Oleh sebab itu, tinggallah ia di Ampel, sedangkan Raden Husein meneruskan perjalanan ke Majapahit. Sampai di sana, Raden Husein disambut raja dengan baik, diberi jabatan penting dalam ketentaraan, diberi wilayah dan diberi gelar Adipati Tarung.

Demak sunting

Raden Fatah dikawinkan Sunan Ngampel dengan cucunya yang perempuan. Setelah perkawinan, diutuslah ia ke sebuah negeri sebelah barat yang bernama Bintara. Disana, ia hidup bersama istrinya mengepalai satu masyarakat kecil kaum Islam yang sudah ada di sana. Daerah Bintara kemudian berganti nama menjadi "Demak".

Pengirimannya ke Bintara itu seperti pelaksanaan rencana para wali hendak membuat Demak sebagai pusat kegiatan Islam, yang terletak di pantai utara di pertengahan Tanah Jawa, yang dari sana kelak mudah masuk ke pedalaman dan jauh letaknya dari Majapahit. Sunan Ngampel dan kedua putranya (Sunan Kudus dan Sunan Giri) telah memutuskan bahwa Demak akan dijadikan pusat kegiatan Islam. Pangeran Jinbun, Putra Batara Majapahit, diberi gelar kemuliaan al-Fatah, pembuka pintu gerbang kemenangan. Raden Fatahillah dipilih mengepalai negeri itu sebab daerahnya terletak di tengah-tengah, mudah hubungan ke barat dan ke timur.

Kian lama, kian majulah masyarakat Islam di Demak. Para wali pun melaksanakan niat mereka untuk mendirikan sebuah masjid besar sebagai pemusatan masjid yang telah ada lebih dahulu di Kudus, Ngampel, Giri dan lain-lain. Syekh Arsyad Banjar, Mufti Kerajaan Banjarmasin, yang melawat ke tanah Jawa pada abad ke-18, telah menyelidiki pembuatan seluruh masjid di Jawa. Mengakulah ia terus terang bahwa masjid yang benar-benar tepat mihrabnya menghadap kiblat adalah Masjid Demak. Tandanya bahwa sunan-sunan itu pun ada yang ahli dalam ilmu falak.

Majapahit Mendekati Demak sunting

Kebesaran dan kemasyhurannya, serta pengaruhnya di negeri kiri kanannya, dan bantuan dari para ulama dari tempat lain itu, selalu sampai beritanya ke Majapahit. Kerajaan Majapahit tampaknya telah mempertimbangkan dengan sangat masak mengenai pertumbuhan Demak. Politik kekerasan tidaklah dapat lagi akan menolong karena suasana Majapahit sudah jauh bedanya dengan zaman Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Sebagian besar rakyat Majapahit di pesisir telah menjadi orang Islam. Beberapa orang bupati adalah bupati Islam. Malahan, kedudukan Sunan Ngampel di Ngampel dan Sunan Giri di Giri, karena besarnya pengaruh mereka, telah diakui sebagai orang-orang besar Kerajaan Majapahit juga.

Raden Husin, orang Islam satu-satunya yang telah menjabat pangkat ketentaraan tertinggi di Majapahit, diutus ke Demak. Raden Husen merayu Raden Fatah agar datang ke Majapahit bersamanya untuk memperkenalkan diri kepada raja. Ia juga bercerita bahwa ia sebagai pemeluk agama Islam telah dihargai dengan baik di Majapahit, bebas mengerjakan agamanya dan mempertahankan pahamnya. Dalam istana, tidak ada paksaan menyembah raja terhadap rakyat baginda yang memeluk Islam.

Karena rayuan ini, Raden Fatah berkonsultasi terlebih dahulu kepada Sunan Ngampel. Sunan Ngampel merasakan perlunya Raden Fatah pergi ke Majapahit. Lebih baik melalui jalan diplomasi yang hati-hati daripada bersikap keras. Apalagi baik Sunan Ngampel maupun Raden Fatah sama-sama ada pertalian darah dengan maharaja yang masih mempertahankan agama Hindu dan Buddha.

Perjalanan Raden Fatah ke Majapahit memberikan hasil yang mendalam. Raja Majapahit memutuskan untuk mengangkat putranya sebagai pangeran dan memegang wilayah Demak, bergelar Pangeran Adipati Bintara dari Kerajaan Majapahit. Amat dalam kesan kedatangannya ke Majapahit, sebab dilihat orang wajahnya yang sangat serupa dengan ayahnya. Hanya pakaiannya yang sudah berbeda karena perbedaan itikad dan kepercayaan.

Langkah Raja Majapahit ini hanya sekedar "membersihkan muka" saja dari Kerajaan Majapahit yang mulai mundur, sesuatu hal yang tidak akan mungkin kejadian kalau seorang seperti Patih Gajah Mada masih ada di Majapahit. Apalagi, Raden Fatah hanya seperti lambang saja dari persatuan ulama Giri, Kudus, Ngampel bersama kedua putranya (Bonang dan Drajat) dan seorang ulama muda Joko Said (Sunan Kali jaga).

Setelah Raden Fatah kembali dari Majapahit, Demak diperkukuh, masjid besar didirikan. Tonggaknya sembilan buah, melambangkan sembilan orang ulama yang telah memelopori Islam di Tanah Jawa.

Namun, agak belum puas juga Raden Fatah sebelum kerajaan Hindu yang saat itu sudah tinggal nama dan mundur kebesarannya, tumbang sama sekali. Akan tetapi, Sunan Ngampel, yang telah banyak pengalaman, senantiasa memberi nasihat agar berlaku sabar. Karena selain dari kekerasan, ada lagi senjata batin yang lebih tajam, yaitu selaku bergiat memberikan pengertian kepada rakyat atas kesucian Islam. Memasuki segala bidang, bahkan kalau perlu, seseorang seperti Sunan Kali Jaga, yang masih muda dan ahli dalam kesenian, hendaklah memasukkan pengaruh dalam wayang yang sangat disukai oleh rakyat di Jawa. Selama ini, wayang adalah seni keraton untuk mempertinggi martabat raja dan memperdalam kepercayaan pada rakyat bahwa raja memang dewa. Sunan Kali Jaga, atau Joko (pemuda) Muhammad Said berusaha memasukkan cerita Islam ke dalam wayang. Ia pun mengarah lagu-lagu (sinom) yang mudah dihafal, yang diisi dengan tauhid.

Kejatuhan Majapahit (1517) sunting

Ketika Sunan Ngampel akan meninggal dunia di Ampel, dikumpulkannya sekalian ulama-ulama. Hadir puda Raden Fatah dalam kesempatan itu. Diberinya nasihat agar semua dilakukan dengan sabar, jangan ada paksaan, dan kalau boleh, jangan ada penumpahan darah. Setelah itu, ia pun wafat.

Setelah Sunan Ngampel wafat, pemberi nasihat Raden Fatah hanya tinggal Sunan Giri. Pandangannya berbeda dengan pandangan Sunan Ngampel. Islam tidaklah akan dimajukan dengan kekerasan. Akan tetapi, dua kekuasaan dalam mengatur suatu negara tidaklah mungkin.

Akhirnya Demak mengambil tindakan juga. Majapahit diserang dan dikalahkan. Raden Husein tertawan. Batara Majapahit tertawan dan dibawa ke Demak setelah pengepungan Majapahit sepuluh hari lamanya.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Raja Majapahit yang telah tua sebenarnya telah lama memeluk agama Islam dengan sembunyi-sembunyi atas bujukan Raden Husain. Ketika beliau sampai di Demak, tidaklah dianggap sebagai orang tawanan lagi, melainkan hidup dalam perlindungan putranya sampai masa wafatnya.

Namun, entah bagaimana keadaan yang sebenarnya, tidak ada yang tahu. Akan tetapi, pengaran Babad Tanah Jawa telah membuat susunan sejarah sedemikian rupa sehingga dijelaskan bahwa Raden Fatah adalah putra Raja Majapahit. Naiknya Demak adalah lanjutan saja dari Majapahit, perpindahan dari Hindu kepada Islam. Masuknya Raden Fatah ke Majapahit juga mengambil segala pusaka-pusaka kerajaan yang dikatakan bertuah, seperti mahkota, lembing, keris, perisai, patung dewa kecil-kecil yang dibuat dari emas, cap kerajaan, dan barang-barang lain. Semua dibawa ke Demak.

Sementara itu, dalam riwayat lain, bukanlah Raden Fatah yang menyerang ayahnya. Namun, ada kerajaan Hindu yang lain yang telah lama menguasai Majapahit. Pada tahun 1478, Majapahit dikalahkan oleh kerajaan Hindu "Kalinga" dari Jawa Timur, yang dirajai oleh Giri Indra Wardhana. Naiklah seorang patih dari Kediri yang bernama Prabu Udara. Pada 1498, Prabu Udara membunuh Raja Giri Indra Wardhana dan merampas kekuasaan. Prabu Udara segera membuat hubungan dengan orang Portugis di Malaka untuk bersekutu melawan Demak. Pada 1512, utusan Prabu Udara memberikan hadiah kepada Alfonso d'Albuquerque, yaitu 20 gamelan kecil, dan sepotong kain berami tenunan Kambayat. Pada kain batik itu dilukiskan betapa kemenangan Prabu Udara ketika mengalahkan Majapahit. Dihadiahkan pula 13 batang lembing yang berbesi di ujungnya. Sampai tahun 1515 - 1516, menurut catatan Portugis, Prabu Udara masih memerintah. Namun pada 1517, mulailah Demak melakukan serangan besar-besaran, dan kalahlah Majapahit dan pindahlah Sri Majapahit ke Demak.

Setelah jatuhnya Majapahit (1517) maka berhaklah Raden Fatah (Pangeran Jinbun / Adipati Bintara / Panembahan Demak) menjadi Sultan Demak Pertama, bergelar Sultan Sri Alam Akbar. Setelah negeri itu dikalahkan, pada 1517 - 1522, orang masih mendapati ada orang Hindu di Majapahit. Sampai tahun 1541, kota itu ada lagi, dan masih berstatus sebagai kota utama di antara kota yang lain di tanah Jawa. Pada tahun 1677, kota ini masih disebut "Kota Majapahit". Orang orang Hindu yang tidak senang kepada Islam pindah ke pulau Bali. Sementara itu, sebagiannya bertahan dalam Kerajaan Hindu Blambangan di ujung Jawa Timur.

Patih Unus (1518) sunting

Hanya setahun Raden Fatah menggunakan gelar itu, ia meninggal pada 1518. Naiklah putranya, Adipati Muhammad Yanus (Pangeran Sabrang Lor), yang menurut catatan orang Portugis disebut Patih Unus. Ketika dulu ayahnya masih memerintah, ia telah diangkat sebagai patih.

Pada akhir 1512, setelah setahun Portugis menduduki Malaka, Patih Unus menyiapkan 90 buah jung dengan 12.000 tentara Islam dari Jawa menuju Malaka hendak membebaskan Malaka dari tangan Portugis. Dia singgah di Palembang, yang sejak zaman Aria Damar sudah dekat hubungannya. Angkatan Perang itu diperlengkapi dengan meriam.

Pada Januari 1513, sampailah angkatan laut Demak di perairan Malaka. Terjadilah pertempuran yang hebat. Akan tetapi, angin ribut bulan Januari yang amat hebat telah memecahkan susunan perang orang Demak, sehingga angkatan laut Portugis dapat memporakporandakannya. Terpaksalah Pati Unus melarikan diri dengan sebuah jung ke Jepara.

Pati Unus tidak lama memerintah. Kebanyakan ia menghabiskan masanya dalam medan perang selama tiga tahun. Akan tetapi, jauh sebelum ia naik tahta, ia sudah lama membantu memerintah bersama ayahnya. Pangeran Sebrang Lor wafat pada 1521 dengan tidak meninggalkan putra. Ia hanya meninggalkan saudara-saudara saja. Saudara yang tertua sesudahnya adalah Pangeran Sekar Sedo Lepen, dan saudaranya yang muda ialah Pangeran Trenggono.

Rupanya, keduanya sama-sama ingin menjadi raja. Putra tertua Trenggono (Mukmin / Sunan Prawoto) membunuh Pangeran Sekar Sedo Lepen. Dengan sendirinya, ayahnya naik tahta.

Sultan Trenggono sunting

Kerajaan Demak sudah berdiri dengan teguh. Akan tetapi, di ujung timur sekali masih ada kerajaan Hindu. Di Pasuruan dan Jawa Barat, masih ada kerajaan Hindu Pajajaran. Dalam rencana semula, kerajaan Hindu tersebut tidaklah akan ditaklukkan dengan kekerasan. Akan tetapi, rencana itu tidak dapat terkabul karena bahaya baru sudah datang. Rupanya, raja-raja Hindu, sebagaimana telah dimulai oleh Prabu Udara, telah membuat aliansi dengan orang Portugis untuk menyerang kerajaan Islam.

Rencana besar ini baginda sejajarkan dengan memperkuat pertalian darah. Baginda mempunyai banyak putra dan putri. Putranya yang sulung, Pangeran Mukmin (Sunan Prawoto) disuruhnya mengundurkan diri dari segala huru hara politik, dan baginda perintahkan memperdalam pengetahuan agama Islam. Putranya yang kedua, Pangeran Timur, disuruhnya mempelajari siasat perang, sehingga kemudian pernah menentang siasat Mataram. Putrinya yang tertua dikawinkannya dengan Pangeran Langgar dari Madura. Dengan sebab itu, Madura masuk dalam wilayah Demak. Putrinya yang kedua dikawinkan dengan Pangeran Hadiri, lalu pangeran itu diangkatnya menjadi adipati di Jepara (Kalinyamat). Ia pun disebut Adipati Kalinyamat, dan istrinya disebut Ratu Kalinyamat, seorang ratu yang memegang peranan penting membuat hubungan dengan Aceh dan Johor untuk menentang Portugis.

Seorang ulama muda berumur 20 tahun baru saja pulang dari Mekah setelah berangkat dari kampung halamannya di Pasai. Ketika perjalanan pulang, ia mendengar berita yang sangat menyedihkan, bahwa Portugis telah menguasai negerinya, Pasai. Tidak ada lagi pintu baginya untuk pulang ke negerinya. Teringatlah bahwa harapan Islam satu-satunya, setelah Malaka dan Pasai dikuasai musuh, hanya Demak. Ia pun membulatkan hati untuk meneruskan perjalanannya ke Demak. Ia sampai ke Demak ketika Sultan Trenggono baru naik takhta. Sultan Trenggono amat tertarik kepada ulama muda keturunan bangsawan itu. Ia adalah Sayid Asy-Syarif Hidayatullah, keturunan Ali dan Fathimah, cucu Rasulullah saw. Ia lahir dan dibesarkan di negeri Pasai Aceh Darus Salam. Belum beberapa lama di Demak, ia pun dikawinkan dengan saudara perempuan sultan Trenggono. Dari perkawinan inilah dilahirkan putranya yang sulung bernama Hasanuddin (kelak menjadi Sultan Banten I). Kemudian lahir pula anaknya yang kedua, Pangeran Pasarean. Setelah Pangeran Pasarean, menjadi dewasa, segera pula baginda kawinkan dengan putrinya yang ketiga. Pangeran Pasarean inilah akan menjadi Sultan pertama Cirebon.

Putrinya yang paling bungsu dikawinkan dengan Ki Joko Tingkir (Mas Krebet / Panji Mas / Adiwijaya), putra Ki Kebo Kenongo, Bupati Pengging (barat daya Surakarta) atau Ki Ageng Pengging (karena juga berperan sebagai ulama). Ki Ageng Pengging meninggal dibunuh atas anjuran Sunan Kudus karena ajarannya yang dianggap membahayakan. Putranya, Joko Tingkir, diambil menantu oleh Sultan Trenggono dengan maksud menghilangkan silang sengketa karena perlainan kepercayaan dan agar dendam habis.

Siasat baginda berhasil baik, terutama di Kalinyamat dan Madura. Syarif Hidayatullah diberinya tanggung jawab besar untuk menyerang Jawa Barat. Angkatan perang Demak menaklukan Pajajaran dengan kota-kota pelabuhannya yang penting, yaitu Banten dan Sunda Kelapa pada 1527.

Hanya sayang, rencana baginda yang terakhir, yaitu menaklukan Pasuruan, tidak tercapai seperti yang diharapkan. Baginda Sultan Trenggono memimpin perang. Fatahilah datang dari Banten memberikan bantuan. Akan tetapi, Sultan Trenggono meninggal dalam peperangan.

Perebutan Takhta sunting

Putra Pangeran Sekar Sedo Lepen, Aria Penangsang, merasa lebih berhak menduduk takhta sebab ia adalah hak ayahnya. Ia menyingkirkan Sunan Prawoto. Ia juga hendak membunuh Adiwijaya yang juga mempunyai ambisi keras merebut takhta.

Putra Sunan Praowoto, Aria Pangiri, dilindungi oleh Pangeran Hadiri (Adipati Kalinyamat) di Jepara agar jangan dibunuh lagi oleh orang-orang suruhan Aria Penangsang yang telah dikirim kemana-mana. Berdua dengan istrinya, Ratu Kalinyamat, Pangeran Hadiri menemui Sunan Kudus, mengadukan kematian Sunan Praowoto. Akan tetapi, di tengah jalan, Pangeran Hadiri meninggal ditikam oleh orang suruhan Aria Penangsang.

Sunan Kudus rupanya berpihak kepada Aria Penangsang. Sunan Kudus tahu bahwa ada seorang lagi yang ingin merebut takhta, yaitu Adiwijaya. Kalau Adiwijaya yang naik, artinya pusat Islam keluar dari Demak dan paham Islamnya pun tentu akan mendekat kepada Hindu, kepada "mistik" tasawuf yang telah kemasukan paham Hindu.

Akan tetapi, Sunan Kudus tidaklah dapat menghambat tampilnya Adiwijaya ke tengah arena. Pertempuran terjadi dan keduanya sama-sama pahlawan. Dalam permainan tikam menikam keris yang amat ngeri, meninggallah Aria Penangsang, dan jatuhlah kemenangan tangan Adiwijaya.

Pindahlah kekuasaan Istana Demak ke Istana Pajang. Dengan segera, Adiwijaya mengangkat Aria Pangiri sebagai bupati Demak, dan dikawinkannya pula putrinya dengan bupati muda itu. Aria Pangiri hanya bisa menerima. Sementara itu, mertua Aria Pangiri, istri Adiwijaya, adalah adik kandung ayahnya sendiri.

Ketika Adiwijaya meminta agar segala alat kebesaran Majapahit diserahkan ke Pajang, ia pun tidak dapat menghalanginya lagi.

Dengan demikian terhapuslah kerajaan Demak dan di atasnya berdirilah Kerajaan Pajang.


Referensi sunting

  • Prof. Dr. Hamka (2016) "Sejarah Umat Islam : Pra-kenabian hingga Islam di Nusantara" Jakarta : Gema Insani.