Bab V
Masyarakat Filipina Sebelum Kedatangan Spanyol

Posisi Suku-suku.—Kala kedatangan Spanyol, masyarakat Filipina nampak tersebar menurut suku-suku sebagaimana kebiasaan yang sama pada saat ini. Kemudian, seperti sekarang, Bisaya menduduki pulau-pulau tengah dari kepulauan tersebut dan beberapa pulau di pantai utara Mindanao. Bicol, Tagálog, dan Pampango berada pada bagian yang sama di Luzon sebagaimana kami temukan mereka pada saat ini. Ilocano menduduki dataran pesisir menghadap Laut Tiongkok, namun sejak kedatangan Spanyol, mereka menyebar dan pemukiman mereka kini tersebar di Pangasinan, Nueva Vizcaya, dan lembah Cagayan.

Jumlah Orang.—Suku-suku tersebut yang pada saat ini berjumlah sekitar 7.000.000 jiwa, pada masa penemuan Magellan, mungkin, tak lebih dari 500.000. Penjumlahan populasi pertama dibuang oleh Spanyol pada 1591, dan meliputi seluruh suku tersebut, memberikan angka kurang dari 700.000. (Lihat Bab VIII., Filipina Tiga Ratus Tahun Lalu.)

Terdapat juga beberapa fakta yang ditunjukkan pada kami bagaimana persebaran penduduk terjadi. Ekspedisi Spanyol mendapati banyak pesisir dan pulau di kelompok Bisaya tanpa penduduk. Terkadang, kapal layar atau perahu akan nampak, dan kemudian akan lenyap di beberapa “estero” kecil atau rawa bakau dan tanah nampak tak berpenduduk seperti sebelumnya. Pada titik tertentu, seperti Limasaua, Butúan, dan Bohol, penduduk asli berjumlah lebih banyak, dan Cebu merupakan komunitas yang besar dan beragam; namun Spanyol nyaris menemukannya dimana-mana untuk mencari tempat pemukiman dan lahan penanaman.

Persebaran penduduk juga ditnadai oleh kelimpahan pangan yang besar. Spanyol memiliki banyak kesulitan dalam mengamankan tujuan-tujuannya. Sejumlah kecil beras, seekor babi dan beberapa ayam, didapatkan disini dan disana, namun Filipina tak memiliki suplai yang besar. Usai pemukiman Manila dibuat, sebagian besar pangan kota didatangkan dari Tiongkok. Sangat mudah bagi Spanyol bergerak ke tempat mereka hendaki dan mengurangi masyarakat Filipina untuk setia menunjukkan bahwa orang Filipina berjumlah sedikit. Laguna dan Camarines nampaknya merupakan wilayah paling berpenduduk di kepulauan tersebut. Seluruh hal dan lainnya menunjukkan bahwa masyarakat Filipina hanyalah fraksi kecil dari jumlah mereka saat ini.

Di sisi lain, Negrito nampak berjumlah lebih banyak, atau setidaknya lebih banyak bukti. Mereka secara langsung tercatat pada pulau Negros, tempat kami saat ini mendapati sedikit orang dan memasuki pelosok; dan di sekitaran Manila dan di dalam Batangas, tempat mereka tak lagi ditemukan, wilaayh tersebut diisi dengan masyarakat Tagálog.

Kondisi Budaya.—Budaya dari berbagai suku, yang kini nyaris sama di seluruh kepulauan, menunjukkan beberapa perbedaan. Di Bisaya selatan, tempat Spanyol pertama kali memasuki kepulauan tersebut, nampak ada dua jenis penduduk asli: penghuni bukit, yang tinggal di pelosok kepulauan dalam jumlah sedikit, yang mengenakan rajutan dari pelepah pohon dan yang terkadang membangun rumah mereka di pohon; dan penghuni laut, yang nampak berjumlah lebih banyak seperti suku-suku Moro saat ini di selatan Mindanao, yang dikenal sebagai Sámal, dan yang membangun desa-desa mereka di laut atau pesisir dan banyak tinggal di perahu. Terdapat kemungkinan kedatangan berikutnya pada orang-orang hutan. Dari kedua unsur tersebut, masyarakat Bisaya Filipina turun, namun walau orang pesisir sepenuhnya meninggalkan, beberapa pinggiran bukit masih menganut pagan dan belum berabad, dan harusnya mereka berjumlah lebih banyak kala Spanyol pertama kali datang.

Tingkat budaya tertinggi di pemukiman berada pada perdagangan reguler dengan Kalimantan, Siam dan Tiongkok, dan khususnya sekitaran Manila, tempat banyak Muslim Melayu memiliki koloni-koloni.

Rumpun Bahasa Orang Melayu.—Dengan pengecualian Negrito, seluruh rumpun bahasa Filipina masih satu keluarga besar, yang disebut “Melayu-Polinesia.” Semuanya diyakini berasal dari satu bahasa ibu yang sangat kuno. Ini menunjukkan bagaimana penuturan Melayu-Polinesia tersebut tersebar. Di wilaayh paling jauh di Pasifik, terdapat masyarakat Polinesia, yang kala itu berkelompok pada kepulaaun kecil; yang dikenal sebagai Mikronesia; kemudian Melanesia atau Ppaua; Melayu sepanjang kepulauan Hindia Timur, dan utara rumpun bahasa Filipina. Namun ini bukanlah semuanya; untuk wilayah paling barat di pesisir Afrika adalah pualu Madagaskar, banyak peribahasa dari rumpun bahasa disana yang tak memiliki hubungan dengan Afrika namun masuk pada keluarga Melayu-Polinesia.

Bahasa Tagálog.—Ini harus menjadi persoalan peminatan besar pada Filipina yang peneliti besar Baron William von Humboldt menganggap Tagálog merupakan bahasa terkaya dan paling sempurna dari seluruh bahasa dari keluarga Melayu-Polinesia, dan mungkin jenis dari mereka semua. “Bahasa tersebut menghimpun,” ujarnya, “seluruh bentuk yang secara kolektif berasal dari kata-kata tertentu yang ditemukan secara tunggal dalam dialek lainnya; dan menyajikan mereka semua dengan pengecualian tak terpatahkan, dan sepenuhnya selaras dan simetri.” Para frater Spanyol, kala kedatangan mereka di Filipina, sempat mencurahkan diri mereka untuk mempalajarid ialek asli dan persiapan doa dan katekisme dalam bahasa asli tersebut. Mereka sangat sukses dalam pembelajaran mereka. Padri Chirino berujar pada kami tentang seorang Yesuit yang mempelajari Tagálog dalam tujuh puluh hari untuk berkotbah dan mendengarkan pengampunan dosa. Dalam cara ini, Bisayan, Tagálog, dan Ilocano kemudian dinaungi.

Dalam menyoroti wacana Von Humboldt, ini dinunjukkan bahwa orang-orang Spanyol awal mengucapkan Tagálog dengan sangat sulit dan sangat mengagumkan. “Dari semua itu,” ujar Padre Chirino, “bahasa yang sangat menarik perhatianku dan mengisiku dengan kekaguman adalah Tagálog. Karena, kala ia ditunjuk menjadi uskup agung pertama, dan setelah itu orang serius lainnya, baik disana maupun disini, aku mendapati empat kualitas dari empat bahasa terbaik di dunia: Ibrani, Yunani, Latin, dan Spanyol; dari Ibrani, misteri dan berintang; dari Yunani, artikel-artikel dan prosisisinya tak hanya terapan namun juga pengucapan sebenarnya; dari latin, kekayaan dan elegan, dan dari Spanyol; berlaku baik, jujur dan berani.”

Hubungan Awal dengan Hindu.—Rumpun bahasa Melayu juga berisi sejumlah besar kata yang dipinjam dari Sanskerta, dan di dalamnya meliputi Tagálog, Bisayan, dan Ilocano. Apapun kata yang berlalu selaras dari satu kelompok Melayu ke kelompok lainnya, atau apa yang mereka perkenalkan lewat keberadaan dan kekuatan sebenarnya Hindu di kepulauan tersebut, berlandasan adil untuk perdebatan; namun kasus untuk posisi tersebut berjalan baik dan sempurna oleh Dr. Pardo de Tavera bahwa kesimpulannya disampaikan dalam kata-katanya sendiri. “Kata-kata yang dipinjam Tagálog,” ujarnya, “adalah kata-kata yang menunjukkan tindakan intelektual, pembentukan moral, emosi, penaungan, nama desa, planet, bilangan jumlah tinggi, botani, perang dan hasil dan dampaknya, dan pada akhirnya gelar dan martabat, beberapa hewan, alat industri, dan nama-nama uang.”

Dari bukti karya-karya tersebut, Dr. Pardo berpendapat bahwa pada suatu waktu dalam sejarah awal Filipina, yang sebetulnya bukanlah hubungan perdagangan, seperti Tionghoa, namun dominasi politik dan sosial Hindu. “Aku tak yakin,” ujarnya, “dan aku melandasi opininya pada kata-kata yang sama bahwa aku membawa serta dalam pengucapan tersebut, bahwa Hindu singkatnya adalah pedagang, namun mereka mendominasi bagian berbeda dari kepulauan tersebut, tempat saaat ini menuturkan banyak bahasa berbudaya,—Tagálo, Visayan, Pampanga, dan Ilocano; dan bahwa budaya yang lebih tinggi dari rumpun bahasa tersebut secara pasti datang dari pengaruh ras Hindu pada Filipina.”

Hindu di Filipina.—“Tak mungkin untuk meyakini bahwa Hindu, jika mereka datang hanya sebagai pedagang, namun jumlah mereka besar, akan menekan diri mereka sendiri dalam cara semacam itu untuk memberikan jumlah kepada penduduk pulau tersebut dan jenis kata yang mereka berikan. Nama-nama hadirin, cacique, fungsioner tinggi istana, bangsawati, menandakan bahwa seluruh jabatan tinggi dengan nama-nama asal Sanskerta pada suatu saat diduduki oleh orang yang menuturkan bahasa tersebut. Kata-kata bercikal bakal serupa untuk obyek-obyek perang, benteng dan lagu tempur, untuk obyek-obyek rancangan kepercayaan agama, untuk penaungan, emosi, perasaan, kegiatan industrial dan perkebunan, menunjukkan kami dengan jelas bahwa perang, agama, sastra, industri dan pertanian pada suatu waktu berada di tangan Hindu, dan bahwa ras tersebut secara efektif menjadi dominan di Filipina.”

Sistem Penulisan di kalangan Filipina.—Kala Spanyol datang ke Filipina, masyarakat Filipina memakai sitem penulisan yang dipinjam dari sumber-sumber Hindu atau Jawa. Persoalan tersebut sangat penting bahwa tak ada orang yang dapat melakukan hal yang lebih baik ketimbang yang dikutip sepenuhnya pada catatan Padre Chirino, karena ia merupakan penulsi Spanyol pertama yang menyebutkannya dan catatannya sangat lengkap.

“Sehingga memberikan para penduduk pulau tersebut untuk membaca dan menulis sangatlah sulit selaku manusia, dan lebih kurang seorang wanita, yang tak membaca dan menulis huruf yang selaras dengan pulau Manila, sangat berbeda dari Tiongkok, Jepang, dan india, karena akan nampak dari abjad berikut.

Namun dengan semuanya, dan tanpa banyak perombakan, mereka membuat diri mereka sendiri mengerti, dan mereka sendiri memahami secara menakjubkan. Dan pembaca mensuplai, dengan keterampilan dan kemudahan besar, konsonan yang kurang. Kami mempelajari dari mereka unruk menulis baris dari tanagn kiri ke kanan, namun dulunya mereka hanya menulsi dari atas ke bawah, menempatkan baris pertama (jika aku ingat dengan benar) di sisi kiri, dan melanjutkannya dengan lainnya di kanan, berbeda dengan Tionghoa dan Jepang.... Mereka menulis pada batang atau daun kelapa, memakai pena ujung besi. Kini dalam penulisan tak hanya milik mereka sendiri namun juga huruf mereka, mereka memakai bulu yang dipotong dengan sangat baik, dan keras seperti milik kami sendiri.

Kami memahami bahasa dan pengucapan mereka, dan mereka mampu menulis dengan baik, dan bahkan lebih baik; karena mereka sangat menerangi bahwa mereka memahami segala hal dengan kemudahan terbesar. Aku membawa denganku tulisan tangan dengan penulisan yang sangat baik dan benar. Di Tigbauan, aku memiliki sekolah anak yang sangat kecil, yang dalam waktu tiga bulan memahami, dengan salinan dari tulisan yang ditulis dengan baik yang aku rancang oadanya, untuk menulis lebih baik ketimbang aku, dan mentranskripsikan untukku tulisan-tulisan penting yang sangat terpercaya, tanpa kesalahan atau kekeliruan. Namun kebutuhan bahasa dan tata tulis; kini menggerakkan kami kembali ke perkajaan kami dengan jiwa manusia.”

Sumber Sanskerta dari Abjad Filipina.—Disamping Tagálog, Bisaya, Pampanga, Pangasinan, dan Ilocano memiliki abjad, atau lebih tepatnya silabus yang mirip dengannya. Dr. Pardo de Tavera mengumpulkan banyak data terkait mereka, dan menunjukkan bahwa mereka tanpa ragu diraih oleh Filipina dari sumber Sanskerta.

Penulisan Filipina Awal.—Masyarakat Filipina memakai penulisan tersebut untuk merancang syair dan lagu mereka, yang merupakan satu-satunya sastra mereka. Namun, tak ada darinya yang didapati datang dari mereka, dan Filipina kemudian mengadopsi abjad Spanyol, menulis silabus yang dibutuhkan untuk menulis bahasa mereka dari huruf-huruf tersebut. Sebagaimana seluruh nilai-nilai fonetik, ini masih sangat mudah bagi seorang Filipina untuk belajar berucap dan membaca dengan bahasanya sendiri. Karakter-karakter lama digantungkan selama dua abad, di tempat-tempat tertentu. Padre Totanes berujar pada kami bahwa jarang pada 1705 untuk mendapati orang yang dapat menggunakannya; namun Tagbanua, sebuah suku pagan di pulau Paragua, memakai silabus serupa sampai saat ini. Disamping syair, mereka memiliki lagu yang mereka nyanyikan kala mereka mengayuh perahu mereka, kala mereka menumbuk beras dari sekamnya, dan kala mereka berkumpul untuk berpesta atau hiburan; dan secara khusus terdapat lagu-lagu untuk orang mati. Dalam lagu-lagu tersebut, ujar Chirino, mereka mendendangkan perbuatan leluhur mereka atau dewa mereka.

Tionghoa di Filipina.—Perdagangan Awal.—Hal yang sangat berbeda dari Hindu adalah pengaruh awal Tionghoa. Tak ada bukti bahwa, sebelum penaklukan Spanyol, Tionghoa menetap atau mengkolonisasikan kepulauan tersebut secara keseluruhan; dan bahkan tiga ratus tahun sebelum kedatangan Magellan, armada dagang mereka giat datang kesini dan beberapa pulau juga mengenal mereka. Satu bukti perdagangan prasejarah berada pada guci dan tembikar Tionghoa kuno yang diangkat di sekitaran Manila, namun tulisan Tionghoa mereka sendiri menghiasnya bahkan dengan sangat baik. Sekitar permulaan abad ketiga belas, walau tak lebih awal ketimbang 1205, seorang penulis Tionghoa bernama Chao Ju-kua menulis karya tentang perdaagngan maritim orang Tionghoa. Satu bab dari karyanya ditujukan untuk Filipina. yang ia sebut negara Mayi. Menurut catatan tersebut, ini menandakan bahwa Tionghoa familiar dengan pulau-pulau di kepulauan tersebut pada tujuh ratus tahun silam.

Tionghoa, Deskripsi Masyarakat.—“Negara Mayi,” ujar karya klasik tersebut, “berada di utara Poni (Burney, atau Kalimantan). Sekitar seribu keluarga mendiami tepi gelombang yang sangat berangin. Penduduk asli mengenakan diri mereka dengan lapisan kain yang mengingatkan pada lembar kasur, atau menutup tubuh mereka dengan sarong. (sarong berwarna abu-abu, rajutan khas Melayu.) Di sekitaran hutan luar, terdapat gambar-gambar Buddha tembaga, namun tak ada orang yang mengetahui bagaimana benda tersebut berada disana.

“Kala kapal-kapal pedagang (Tionghoa) datang ke pelabuhan ini, mereka belabuh di depan sebuah tempat terbuka ... yang dijadikan sebagai pasar, tempat mereka berdagang dengan hasil bumi dari wilayah tersebut. Kala kapal memasuki pelabuhan, kapten menghadirkan payung-payung putih (kepada para mandarin). Para pedagang diminta untuk membayar upeti tersebut dalam rangka menerima kehendak baik dari para tuannya.” Produk-produk wilayah tersebut dikatakan adalah malam kuning, kapas, mutiara, kerang, buah pinang, dan busana yuta, yang mungkin merupakan salah satu dari beberapa busana yang masih dirajut abacá, atau piña. Barang-barang yang diimpor oleh Tionghoa adalah “porselen, emas dagang, bahan timbal, manik-manik kaca dari segaal warna, pansi masak besi, dan jarum besi.”

Negrito.—Hal yang paling membuat penasaran adalah penyebutan akurat dalam penulisan Tionghoa mengenai Negrito, catatan pertama dari seluruh catatan mengenai orang kulit hitam kecil tersebut. “Di pelosok lembah, tinggal sebuah ras bernama Hai-tan (Acta). Mereka memiliki ukuran badan yang rendah, mata bulat warna kuning, rambut keriting, dan gigi mereka mudah nampak di antara bibir mereka. (Ini mungkin tak dihitamkan dengan mengunyah pinang atau bahan buatan.) Mereka membangun sangkar di atas pohon dan masing-masing sangkar dihuni satu keluarga, yang hanya terdiri dari tiga sampai lima orang. Mereka berjelajah di sekitaran wilayah terdalam hutan, dan, tanpa melihat diri mereka sendiri, menembakkan panah mereka kepada para pelintas; karena alasan tersebut, mereka sangat ditakuti. Jik pedagang (Tionghoa) membawakan mereka mangkuk porselen kecil, mereka akan memutuskan untuk menangkapnya dan kemudian melarikannya, berteriak dengan bahagia.”

Peningkatan dalam Perdagangan Tionghoa.—Kapal-kapal jung juga mengunjungi kepulauan yang lebih tengah, namun disini lalu lintas dilakukan pada kapal-kapal tersebut, Tionghoa yang datang mengumumkan diri mereka sendiri dengan memukul gong dan masyarakat Filipina berdatangan kepada mereka dengan perahu-perahu penerangan mereka. Salah satu hal lainnya yang ditawarkan disini oleh penduduk asli untuk perdagangan disebut “busana aneh,” mungkin cinamay atau jusi, dan tikar halus.

Perdagangan Tionghoa tersebut mungkin terus berlanjut sampai kedatangan Spanyol. Kala itu, wilayah tersebut menerima peningkatan melalui tawaran untuk produk pangan dan perangkat Tionghoa yang dibuat oleh Spanyol, dan karena nilai perak Meksiko yang ditawarkan Spanyol dalam pertukaran.

Perdagangan dengan Melayu Moro di Selatan.—Penyebaran Islam dan khususnya pembentukan koloni Kalimantan membawa Filipina menjadi hubungan komersial penting dengan Melayu di selatan. Sebelum kedatangan Spanyol, hubungan tersebut nampak bersahabat dan damai. Muslim Melayu mengirim perahu ke utara untuk keperluan dagang, dan mereka juga bermukim di Filipina utara sebagaimana mereka berada di Mindanao.

Kala armada Legaspi, tak lama usai kedatangannya, singgah di dekat pulau Bohol, “Maestro de Campo” mengalami pertarungan sengit dengan kapal Moro yang datang untuk berdagang, dan mengambil enam tahanan. Salah satu dari mereka, yang mereka sebut “pilot,” sering diinterogasi oleh Adelantado dan beberapa informasi penting diterima, yang dicatat oleh Padre San Augustin. Legaspi memiliki seorang penerjemah budak Melayu dengannya dan San Augustin berujar bahwa Padre Urdaneta “memahami bahasa Melayu dengan baik.” Pilot berujar bahwa “orang-orang di Kalimantan dibawa untuk berdagang dengan Filipina, tembaga dan timah, yang dibawa dari Tiongkok ke Kalimantan, porselen, hidangan dan lonceng yang dibuat dalam gaya mereka, sangat berbeda dari orang-orang yang dipakai umat Kristen, dan benzoin, dan jubah-jubah berwarna dari India, dan alat-alat masak yang dibuat di Tiongkok, dan yang mereka juga membawa tombak besi yang diolah dengan sangat baik, dan pisau dan barang barter lainnya, dan bahwa dalam pertukaran untuk mereka, mereka menempatkan emas, budak, malam dan jenis kerang laut kecil yang mereka sebut ‘sijueyes’ dari kepulauan tersebut, dan yang melintas untuk uang di kerajaan Siam dan tempat lainnya; dan juga menghantarkan mereka beberapa busana putih, yang berjumlah besar di kepulauan tersebut.”

Butúan, di pantai utara Mindanao, nampak merupakan tempat dagang yang disinggahi oleh kaapl-kapal dari segala penjuru. Wilaayh tersebut, seperti kebanyakan belahan Filipina lainnya, menghasilkan sejumlah kecil emas, dan seluruh pelayaran awal mencari emas dan hiasan penduduk asli. Butúan juga menghasilkan tebu dan merupakan pelabuhan dagang untuk para budak. Lalu lintas tak menguntungkan dalam kehidupan manusia nampak bukanlah hal yang tak lazim, dan tanpa ragu dilakukan lewat perdagangan dengan Kalimatan. Kapal-kapal jung dari Siam berdagang dengan Cebu juga dilawan oleh Spanyol.

Hasil dari Perhubungan dan Perdagangan.—Perhubungan dan lalu lintas dialami Filipina dengan berbagai unsur kehidupan peradaban sebelum kedatangan Spanyol. Para kepala suku dan dato berbusana sutra, dan menghimpun beberapa kendali di sekitar; nyaris seluruh penduduk suku pesisir menulsi dan berkomunikasi oleh cara silabus; kapal-kapal dari Luzon berdagang sampai selatan jauh di Mindanao dan Borneo, walaupun barang-barang Asia sebenarnya datang lewat armada warga asing; dan mungkin aap yang mengindikasikan secara lebih jelas ketimbang hal lainnya yang memajukan Filipina membuat komunikasi mereka dengan orang luar menjadi penggunaan senjata api mereka. Dari titik ini, tidak ada pertanyaan. Setipa tempat di sekitaran Manila, di Lubang, di Pampanga, di Cainta dan Laguna de Bay, Spanyol melawan benteng-benteng yang mengerahkan meriam kecil, atau “lantaka.” Selain itu, masyarakat Filipina nampak memahami seni pemasangan meriam dan membuat bubuk. Pabrik meriam pertama didirikan oleh Spanyol dalam pertikaran dengan orang Filipina dari Pampanga.

Kehidupan Politik dan Sosial Awal.—Barangay.—Sisi terlemah dari budaya Filipina awal adalah organisasi politik dan sosial mereka, dan mereka lemah disini tentunya dalam cara yang sama agar suku bangsa tak beradab di Luzon utara masih lemah. Negara mereka tak melingkupi seluruh suku atau bangsa; ini singkatnya meliputi komunitas. Di luar pemukim di tempat sekitaran langsung, seluruh orang lainnya adalah musuh atau kebanyakan warga asing. Tak ada negara besar yang berada di Filipina, bahkan raja besar dan sultan seperti yang ditemukan di Kepulauan Melayu, namun sebagai gantinya di seluruh pulau terdapat sejumlah komunitas kecil, yang masing-masing merdeka satu sama lain dan seringkali berperang.

Unit tatanan kekuatan politik mereka merupakan sekelompok rumah kecil dari tiga puluh sampai seratus keluarga, yang disebut “barangay,” dan yang masih ada di Filipina sebagai “barrio.” Di puncak setiap barangay adalah seorang pemimpin yang dikenal sebagai “dato,” sebuah kata yang tak lagi dipakai di Filipina utara, walau masih dipakai di kalangan Moro Mindanao. Kekuatan para dato dalam wilaayh kecil mereka nampaknya besar, dan mereka dipelakukan dengan sangat hormat oleh masyarakat.

Barangay-barangay dikelompokkan bersama dalam federasi kecil yang meliputi nyaris sebesar wilayah kota saat ini, yang urusannya ditangani oleh kepala suku atau dato, walau terkadang mereka nampak sepenuhnya setia pada pemimpin tunggal, yang dikenal di beberapa tempat sebagai “hari,” pada kesempatan lain memakai kata Hindu “raja,” atau istilah Muslim “sultan.” Terkadang, kekuatan salah satu raja nampak menyebar sampai seluruh pulau kecil, namun biasanya “kerajaan” mereka hanya meliputi beberapa mil.

Perubahan yang Dibuat oleh Spanyol.—Spanyol, dalam memberlakukan otoritas mereka terhadap kepulauan tersebut, mengambil alih kekuatan sebenarnya dari para dato, mengkelompokkan barangay menjaid kota, atau “pueblo,” selain memnbuat dato menjadi “cabezas de barrio,” atau “gobernadorcillos.” Beberapa perbedaan lama antara dato, atau “pemimpin,” dan masyarakat umum masih diwakili dalam “gente illustrada,” atau kelas yang lebih kaya, terdidik dan berpengaruh ditempatkan di setiap kota, dan “gente baja,” atau orang miskin dan tak terdidik.

Kelas-kelas Filipina di bawah para Dato.—Disamping dato, menurut Chirino dan Morga, terdapat tiga kelas Filipina; orang bebas, atau “maharlica,” yang tak membayar upeti kepada dato, namun yang menyertainya dalam perang, mengayuhkan perahunya kala ia datang pada sebuah perjalanan, dan menghadirinya di rumahnya. Kelas ini disebut oleh Morga dengan sebutan “timauas.”

Kemudian, terdapat sebuah kelas yang lebih besar, yang nampaknya merupakan orang merdeka atau budak yang dibebaskan, yang memiliki rumah mereka sendiri dan tinggal dengan keluarga mereka, namun memiliki hutang jasa besar pada dato atau maharlica; menyemai dan memanen di sawahnya, menghimpun perangkap ikan, mengayuh prahunya, membangun rumahnya, menghadirinya kala ia memiliki tamu, dan melakukan tugas lainnya yang dapat diperintah oleh pemimpin. Orang semi-bebas tersebut disebut “aliping namamahay,” dan kondisi mengikat mereka diturunkan ke anak mereka.

Disamping itu terdapat kelas budak. Mereka disebut “siguiguiliris,” dan mereka berjumlah banyak. Perbudakan mereka timbul dalam berbagai cara. Beberapa orang yang sejak kecil ditangkap dalam perang dan nyawa mereka dibiarkan. Beberapa menjadi budak dengan menjual kebebasan mereka pada masa kelaparan. Namun kebanyakan dari mereka menjadi budak karena hutang, yang diturunkan dari ayah ke putra. Sejumlah lima atau enam peso dipakai dalam beberapa kasus untuk melepaskan orang dari kebebasannya.

Budak-budak tersebut secara mutlak dimiliki oleh tuan mereka, dan secara teoretikal dapat menjual mereka seperti ternak; disamping kemungkinan buruknya, perbudakan Filipina biasanya tidaklah kejam atau menekan. Budak-budak seringkali diasosiasikan pada hubungan baik dengan tuan mereka dan tak bekerja berlebih. Bentuk perbudakan tersebut masih ada di Filipina pada kalangan Moro di Mindanao dan Jolo. Anak-anak budak mewarisi perbudakan orangtua mereka. Jika seorang orangtua bebas dan orangtua lainnya masih menjadi budak, anak pertama, ketiga dan kelima dibebaskan dan anak kedua, keempat dan keenam diperbudak. Seluruh persoalan pewarisan perbudakan dikerjakan dalam penjelasan semenit.

Kehidupan di Barangay.—Perasaan masyarakat sangatlah kuat di barangay. Seseorang tak dapat meninggalkan barangay-nya sendiri untuk hidup dengan lainnya tanpa perhatian masyarakat dan pembayaran uang. Jika orang dari satu barrio menikahi wanita lainnya, anak-anak mereka terbagi antar dua barangay. Barangay bertanggung jawab atas perlakuan baik anggotanya, dan jika salah satu dari mereka mengalami luka akibat orang dari luar, seluruh barangay akan maju. Sengketa dan kesalahan antara anggota barangay yang sama dirujuk ke sejumlah pria tua, yang memutuskan persoalan tersebut dengan adat suku, yang ditangani oleh tradisi.

Agama Masyarakat Filipina.—Filipina pada masa kedatangan Spanyol adalah penyembah berhala, namun mereka memiliki satu jiwa yang mereka yakini terbesar dari segalanya dan pencipta atau pembuat berbagai hal. Tagálog menyebut dewa tersebut dengan sebutan Bathala, Bisaya, Laon, dan Ilocano, Kabunian. Mereka juga menyembah roh leluhur mereka, yang diwakili oleh gambar kecil yang disebut “anitos.” Berhala-berhala tersebut, yang merupakan barang umum yang dipercaya mengeluarkan kekuatan mukjizat, merupakan hal umum di kalangan masyarakat, dan patung atau gambar disembah. Pigafetta menyebut beberapa perhala yang ia lihat di Cebu, dan Chirino menuturkan pada kami bahwa, dalam ingatan orang-orang Filipina yang ia kenal, mereka memiliki berhala batu, kayu, tulang atau gigi buaya, dan bahwa terdapat beberapa yang terbuat dari emas.

Mereka juga memuja hewan dan burung, khsuusnya buaya, gagak, dan burung mitos berwarna biro atau kuning, yang diberi nama dewa mereka Bathala. Mereka tak memiliki kuil atau tempat ibadah umum, namun satu salam lain memiliki anitos di rumahnya sendiri dan melakukan pengurbanan dan tindakaan pemujaan disana. Kala pengurbanan, mereka membunuh babi atau ayam, dan membuat kesempatan lainnya dengan berpesta, bernyanyi dan mabuk-mabukkan. Kehidupan Filipina tanpa ragu diisi dengan kekhawatiran dan khayalan tingkat tinggi.

Muslim Melayu.—Muslim di luar Mindanao selatan dan Jolo, telah bermukim di sekitaran Teluk Manila dan Mindoro, Lubang, dan pantai dekat Luzon. Penyebaran Islam dihentikan oleh Spanyol, walau dijelaskan bahwa sepanjang jangka panjang kebanyakan orang yang hidup di pesisir Teluk Manila enggan menyantang babi, yang dilarang oleh al-Qur'an, dan menerapkan upacara sunat. Pada akhir 1583, Uskup Salazar, dalam tulisannya kepada raja soal perkara di Filipina, berkata bahwa Moro telah mendakwahi hukum Muhammad kepada sejumlah besar orang di kepulaaun tersebut dan dengan mendakwahi banyak priyayi yang telah menjadi Muslim; dan kemudian ia menambahkan, “Orang-orang yang menerima hukum bodoh tersebut menjaganya dengan sangat taat dan terdapat perbedaan besar dalam membuat mereka meninggalkannya; dan dengan sebab itu juga, untuk alasan yang kami berikan, untuk tindakan memalukan dan penyamaan mereka, bahwa mereka lebih baik diperlakukan oleh pendakwah Muhammad ketimbang mereka dikotbahi oleh pengkotbah Kristus.”

Perjuangan Material Filipina.—Lingkup material Filipian sebelum kedatangan Spanyol nyaris dalam setiap cara sebagaimana kami saat ini. “Pusat penduduk” dari setiap kota saat ini, dengan gereja besarnya, tribunal, toko dan rumah batu dan kayu, tentunya ditandai secara kontras; namun penampilan barrio jarak dekat dari pusat saat ini mungkin lebih dari itu. Kemudian, seperti saat ini, sejumlah orang tinggal di hunian rumah bambu dan nipa dibesarkan di tiang di atas landasan tanah; kemudian, sebagaimana saat ini, makanan kebanyakan adalah nasi dan ikan sempurna yang ditinggalkan di sungai dan laut. Terdapat pada perairan serupa, banca familiaar dan ikan karang, dan di darat ladang pafi dan kebun kelapa. Masyarakat Filipina kala itu banyak menghadirkan hewna-hewan jinak,—anjing, kucing, kambing, ayam, dan babi,—dan mungkin di Luzon kerbau jinak, meskipun hewan tersebut banyak diperkenalkan di Filipina dari Tiongkok usai penaklukan Spanyol. Kuda didatangkan dari Spanyol dan jumlah mereka meningkat dengan pengiriman kuda betina Tiongkok, yang impornya sering disebutkan.

Spanyol juga memperkenalkan penanaman tembakau, kopi dan kakao, dan mungkin juga jagung asli Amerika, walau Pigafetta berujar bahwa mereka mendapatinya telah tumbuh di Bisayas.

Filipina terdampak sepanjang berabad-abad oleh kekuataan Spanyol lebih kurang pada sisi materialnya ketimbang spiritualnya, dan utamanya dalam mendalami dan menaikkan kehidupan emosional dan mentalnya dan bukan dalam memperbaiki kondisi materialnya yang dibuat maju.