Sejarah Kekaisaran/Babilonia
Kekaisaran Babilonia Baru atau Kekaisaran Khaldea adalah periode dalam sejarah Mesopotamia yang dimulai pada tahun 626 SM dan berakhir pada tahun 539 SM.[1] Selama tiga abad sebelumnya, Babilonia dikuasai oleh bangsa sesama penutur bahasa Akkad sekaligus tetangga mereka di utara, yaitu Assyria. Selama periode tersebut, Babilonia menikmati status yang penting. Assyria berhasil menjaga kesetian Babilonia selama periode Assyria Baru, entah melalui pemberian hak istimewa yang terus-menerus bertambah, atau melalui tindakan militer. Akan tetapi, semuanya berubah pada tahun 627 SM dengan matinya pemimpin kuat Assyria terakhir, Assurbanipal. Di bawah pimpinan Nabopolassar orang Khaldea, Babilonia memberontak. Dengan bersekutu bersama bangsa Medes, Babilonia menghancurkan kota Nineveh, ibukota Assyria, pada tahun 612 SM. Dengan demikian, Babilonia bebas dari kekuasaan Assyria dan menjadi negara merdeka. Periode kekuasaan Babilonia dicirikan dengan perkembangan pesat dalam arsitektur, seni, dan ilmu pengetahuan.
Para raja Babilonia Baru amat menyadari antikuitas warisan mereka, dan berupaya menerapkan kebijakan tradisionalis, membangkitkan kembali kebudayaan Sumer-Akkad kuno mereka. Meskipun bahasa Aram telah menjadi bahasa sehari-hari, namun bahasa Akkad kembali ditetapkan sebagai bahasa administrasi dan kebudayaan. Ungkapan-ungkapan arkaik dari 1500 tahun sebelumnya dimasukkan kembali ke dalam prasasti-prasasti Akkad, bersama dengan bahasa Sumer yang sudah lama tak digunakan. naskah kuneform Babilonia Baru juga diubah untuk menyerupai naskah Akkad, yang sudah amat lama.
Karya seni dari masa kejayaan Babilonia amat dihargai dan dirawat. Contohnya, ketika sebuah patung Sargon Agung (Sargon dari Akkad) ditemukan dalam suatu pekerjaan konstruksi, diperintahkan untuk dibangun sebuah kuil untuk patung tersebut. Diceritakan pula bahwa Nebukhadnezzar, dalam upayanya membangun ulang kuil di Sippar, harus melakukan penggalian berulang hingga ia menemukan fondasi Naram-Suen, suatu penemuan yang memungkinkannya membangun kembali kuil tersebut secara layak. Babilonia Baru juga membangkitkan kembali praktik penunjukkan putri kerajaan sebagai pendeta dewi bulan, Sin, suatu kebiasaan yang dulu dilakukan pada masa Sargon,
Pada periode Babilonia baru, banyak tanah yang dibuka untuk diolah. Kedamaian dan kekuasaan kekaisaran membuat tersedianya sumber daya untuk memperluas irigasi dan membangun sistem kanal. Daerah pedesaan Babilonia didominasi oleh perkebunan-perkebunan besar, yang diberikan kepada pejabat pemerintah sebagai bentuk pembayaran. Perkebunan-perkebunan ini biasanya dikelola melalui penguasa lokal, yang mengambil sebagian keuntungan. Penduduk desa ikut serta dalam perkebunan tersebut dengan menjadi buruh dan penyewa tanah.
Kota-kota di Babilonia memperoleh hak otonomi dan hak istimewa dari raja. Kota berpusat di kuil. Tiap kota memiliki pengadilan sendiri, dan kasus hukum seringkali diputuskan dalam majelis. Kuil mendominasi struktur sosial. Status sosial dan hak politik sesorang ditentukan berdasarkan posisi mereka terkait dengan hierarki kagamaan. Para pekerja, misalnya perajin, memperoleh statsu yang tinggi. Selain itu, terdapat pu;a serikat pekerja untuk memberi para pekerja daya tawar kolektif.
Catatan kaki
sunting- ↑ Ornan, Talley. (2005). The Triumph of the Symbol: Pictorial Representation of Deities in Mesopotamia and the Biblical Image Ban. Göttingen: Academic Press Fribourg. hlm. 4-6