Sejarah Sumatra (Marsden)/Bab 2
PERBEDAAN PENGHUNI.
ETNIS REJANG DIPILIH UNTUK DESKRIPSI UMUM.
ORANG DAN KOMPLEKSI KULIT.
PAKAIAN DAN PERHIASAN.
CATATAN UMUM PENDUDUK
suntingDengan memamerkan pandangan umum pulau tersebut secara alami, aku kini berniat untuk mendeskripsikan orang-orang yang menghuni dan menanaminya, dan mendorong pembedaan beberapa spesies atau kelas dari mereka dalam bentuk penjelasan terbaik, dan untuk memberikan gagasan materi yang jelas.
BERBAGAI MODE DIVISI
suntingPembagian yang paling jelas, dan yang biasanya dibuat oleh para penulis pelayaran, adalah penduduk penganut Muhammadinisme ("Muslim") di wilayah pesisir, dan orang-orang yang tak beragama di pedalaman. Pembagian ini, meskipun bukan tanpa tingkat kepatutannya, tidak jelas dan tidak sempurna; bukan hanya karena setiap deskripsi orang sangat berbeda di antara mereka sendiri, tetapi bahwa penduduk pedalaman, di beberapa tempat, adalah Muslim, dan di pantai, di tempat lain, apa yang mereka sebut sebagai Pagan. Bukan hal yang aneh jika orang-orang yang tidak tinggal di bagian Timur ini menyebut penduduk pulau-pulau itu tanpa pandang bulu dengan sebutan "orang Melayu". Ini adalah kesalahan yang lebih besar, dan menghasilkan kebingungan yang lebih besar daripada yang pertama. Dengan mencoba mereduksi hal-hal menjadi terlalu umum, kita mengalahkan tujuan akhir yang kita usulkan pada diri kita sendiri dalam mendefinisikannya sama sekali: kita menciptakan ketidakjelasan di tempat yang ingin kita soroti.
Di sisi lain, untuk mencoba memperkiran dan mendeskripsikan keragaman, hampir tak ada habisnya, dari kedaulatan kecil dan negara-negara di mana pulau ini terbagi, banyak di antaranya tidak berbeda secara pribadi atau perilaku dari tetangga mereka, akan menjadi tugas yang tidak dapat diatasi dan tidak berguna. Saya akan mengarahkan pada jalan tengah, dan karenanya akan memperlakukan penduduk Sumatra di bawah perbedaan ringkasan berikut, mengambil kesempatan karena mungkin menawarkan untuk menyebutkan subdivisi utama. Dan pertama-tama perlu dibedakan kerajaan Menangkabau dan Melayu; selanjutnya orang Aceh; lalu orang Batak; orang Rejang; dan di sebelah selatannyanya adalah orang Lampung.*
(*Catatan kaki. Selama penyelidikan saya mengenai penduduk asli atau para pribumi pulau itu, saya telah diberitahu tentang dua spesies manusia yang tersebar di hutan dan menghindari semua komunikasi dengan penduduk lainnya. Ini mereka sebut sebut orang Kubu dan orang Gugu. Yang pertama dikatakan cukup banyak, terutama di bagian negara yang terletak antara Palembang dan Jambi. Beberapa kadang-kadang ditangkap dan dijadikan budak di Labun; dan seorang laki-laki dari tempat itu sekarang menikah dengan seorang gadis Kubu yang lumayan tampan yang dibawa pergi oleh rombongan yang menemukan gubuk mereka. Mereka memiliki bahasa yang sangat khas bagi diri mereka sendiri, dan mereka makan apa saja yang tersedia di hutan, seperti rusa, gajah, badak, babi hutan, ular, atau monyet. Populasi Gugu jauh lebih jarang (atau sedikit) daripada ini, mereka memiliki perawakan sedikit berbeda tetapi mirip dengan orang utan di Kalimantan; tubuh mereka ditutupi dengan rambut yang panjang. Tidak ada lebih dari dua atau tiga contoh di mana mereka ditemui oleh orang-orang Labun (dari siapa informasi saya berasal) dan salah satunya terperangkap bertahun-tahun yang lalu dengan cara yang sama seperti tukang kayu di Fabel Pilpay menangkap monyet. Dia memiliki anak dari seorang wanita Labun yang juga lebih berbulu dari ras pada umumnya; tetapi generasi ketiga tidak dapat dibedakan dari yang lain. Pembaca akan memberikan ukuran iman apa yang dia pikirkan karena hubungan ini, yang kebenarannya tidak saya jamin. Itu mungkin memiliki dasar kebenaran tetapi dilebih-lebihkan dalam keadaan.)
Minangkabau menjadi kedaulatan utama pulau itu, yang sebelumnya memahami keseluruhan, dan masih menerima bayang-bayang penghormatan dari kerajaan lain yang paling kuat yang muncul dari reruntuhannya, tampaknya mengklaim hak untuk didahulukan dalam deskripsi, tetapi saya memiliki alasan yang cukup untuk menundanya ke bagian pekerjaan selanjutnya; yaitu bahwa orang-orang kerajaan ini, dengan konversi mereka ke Muhammadinisme ("Islam") dan konsekuensi perubahan perilaku, telah kehilangan dalam tingkat yang lebih besar dari beberapa suku tetangga yang masih membawa karateristik pribumi khas Sumatra, yang merupakan objek langsung dari penyelidikan saya ini.
MELAYU
suntingMereka berbeda dari penduduk lain dari pulau tersebut yang disebut orang Malayo atau Melayu, namun mereka memiliki hal umum dengan orang-orang di pesisir Semenanjung dan kebanyakan pulau lainnya; dan nama ini ditujukan kepada setiap Mussulman ("Muslim") yang berbicara dengan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-harinya, dan pada wilayah pedalaman diklaim sebagai keturunan dari Minangkabau; sementara tempat kediamannya yang berada di luar Bencoolen ("Bengkulu") sampai wilayah selatan yang tak dipertemukan dengan pengecualian seperti yang memiliki ijin kesana, dan orang-orang Eropa dengan bayaran. Di sisi timur pulau tersebut, mereka menghuni nyaris seluruh sungai ternavigasi, yang mereka huni untuk tujuan perdagangan dan pembajakan. Harus diamati bahwa dalam pengucapan umum istilah Melayu, seperti Moor di subbenua India, nyaris bersinonim dengan Muhammadanis ("Muslim"); dan ketika penduduk pribumi dari belahan wilayah lainnya mampu membaca abjad Arab, bersedia untuk disunat, dan mempraktekkan upacara agama Islam, mereka seringkali dikatakan masuk Melayu ("menjadi Melayu"), alih-alih demikian, penyebutan yang lebih benar yakni sudah masuk Islam, memegang keyakinan Muhammadinisme. Kekhasan tersebut akan nampak kuat dari keadaan ini, ketika sultan Anak Sungei (Mukomuko), berambisi meniru sultan Menangkabau, menggelari dirinya sendiri dan orang-orang dekatnya dengan sebutan Melayu, tetangganya, Pangeran Sungei Lamo, pemimpin Rejang, seorang Muslim yang sangat beradab, dan yang para leluhurnya untuk beberapa generasi memiliki keyakinan yang sama, nampak menawarkan, dalam perbincanganku dengannya, aku menyebutnya (seperti yang biasanya dianggap) orang Melayu, dan dijawab dengan emosi, Malayo tidah, sir; orang ulu betul sayo ("saya bukan Melayu tuan; saya pribumi, penduduk daerah asli (orang Ulu bermakna orang Bengkulu)"). Dua bahasa yang ia tulis dan bicarakan (aku tidak tahu apakah ia masih hidup) dengan fasilitas yang sama, namun aku mengira Rejang adalah bahasa ibunya.
Upaya untuk menelusuri orang-orang Sumatra yang menghuni di daerah lain dilakukan. Semenanjung terdekat (disebut oleh orang-orang Eropa dan orang-orang asing lainnya sebagai Semenanjung Melayu) mempersembahkan sumber populasi paling handal; dan dikatakan bahwa pada emigran dari sana mensuplai daerah tersebut dan pulau lain di Kepulauan timur dengan penduduk. Melalui opini ini, yang diadaptasi tanpa pengujian, aku nampaknya keliru dan, pada kesempatan awal, membicarakan kemungkinan koloni dari semenanjung yang bermukim di pantai barat pulau tersebut; namun sejak itu aku memahami dari catatan-catatan sejarah dan tradisi-tradisi penduduk asli kedua daerah tersebut menunjukkan hal yang sebaliknya, dan bahwa para pendiri kerajaan-kerajaan terkemuka Johor, Singapura, dan Malaka adalah para petualang dari Sumatra. Bahkan sampai saat ini, para penduduk daerah pedalaman semenanjung tersebut merupakan sebuah ras yang sepenuhnya berbeda dari orang-orang dari dua pantai tersebut.
Sehingga perlu dibutuhkan, dalam rangka menghindari ambiguitas, untuk berkata dalam contoh pertama mengenai orang-orang Melayu, yang pada catatan paling menonjol akan diberikan dalam bagian-bagian selanjutnya dari karya ini.
Karena banyak ketidakmiripan di kalangan kelas lainnya yang saya bagi, para penduduk harus memiliki banyak penekanan dari kesamaan satu sama lain, dan banyak adat, kebiasaan, dan upacara mereka, secara umum, menjadi bijaksana, dalam rangka menghindari ketegangan dan pengulangan tak berguna, untuk mengeluarkan satu kelas dari mereka yang perilakunya harus dilakukan investigasi sebagian dan menyeluruh, dan dijadikan sebagai stnadar untuk semua orang; pembagian dalam kelas lainnya dilakukan setelah itu, dan kekhasan pemakaian paling tunggal dan menekan ditambahkan.
ETNIS REJANG DIADOPSI SEBAGAI STANDAR DESKRIPSI
suntingBerbagai peristiwa yang teramati oleh saya pada kesempatan ini memberikan pendahuluan mengenai orang-orang Rejang, melalui sebuah etnis selain catatan kecil dalam skala politik di pulau tersebut. Mereka menghuni di apa yang kemungkinan berada dalam situasi sentral, bukan secara geografis, namun berkaitan dengan perilaku dan opini asing yang diperkenalkan oleh orang-orang Melayu dari utara (Sumatra Utara), dan orang-orang Jawa dari selatan (Lampung); yang memberikan mereka klaim pemimpin asli atas sebagian daerah lainnya. Mereka adalah orang-orang yang membentuk pemerintahan dan hukumnya tersebar dengan sangat sedikit raham atas bagian menonjol di pulau tersebut, dan utamanya bagian soal hubungan dari kebohongan Inggris. Terdapat tradisi mengenai awalnya mereka mengirim koloni-koloni ke wilayah selatan; dan di daerah Passummah, wilayah desa-desa mereka masih tertonjolkan; yang akan menunjang mereka yang dulunya lebih dianggap ketimbang yang dapat mereka gembar-gemborkan pada masa sekarang. Mereka memiliki bahasa asli dan penulisan abjad yang sempurna. Ini memajukan penekanan orang-orang Rejang sebagai standar deskripsi yang layak; dan motif yang secara setara kuat yang mendorongku untuk memajukan mereka sebagaimana halnya situasi dan hubunganku di pulau tersebut yang membuatku lebih intim dan selaras dengan hukum dan kebiasaan mereka ketimbang kalangan lainnya. Namun aku harus katakan bahwa kebiasaan pribumi yang mereka jalankan kurang lebih sama dengan setiap belahan Sumatra, ini akan sepenuhnya tak memungkinkan untuk mendiskriminasikan keseluruhan akurasi orang-orang yang berasal dari orang-orang yang menurunkannya; dan secara keseluruhan aku harus katakan bahwa orang-orang Rejang akan diterapkan pada sebagian besar wilayah tak hanya Sumatra pada umumnya namun terkadang pada pengetatan dari orang-orang Melayu sendiri, dan mereka mengajarkan hal yang lebih tinggi dari orang daerah.
SITUASI DAERAH REJANG
suntingDaerah orang-orang Rejang terbagi menjadi wilayah barat laut dari kerajaan Anak Sungei (yang menjadikan Mukomumo sebagai ibukotanya) melalui sungai kecil Uri, dekat Kattaun; yang terakhir, dengan daerah Labun di tepinya, membatasinya pada bagian utara atau bagian pedalaman. Daerah Musi, yang dilewati Sungai Palembang, membentuk batasnya di wilayah timur. Sungai Bencoolen ("Bengkulu"), yang sebelumnya disebutkan, menjadikannya batas di bagian tenggara; meskipun penduduk daerah tersebut yang disebut Lemba, tersebar dari sana sampai Silebar, sepenuhnya merupakan suku yang sama dalam hal kebiasaan dan bahasa. Sungai-sungai utama selain yang telah disebutkan adalah eLaye, Pally, dan Sungeilamo; yang semuanya memiliki pabrik-pabrik Inggris, pemukim atau pemimpin ditempatkan di Laye.
ORANG-ORANG PENETAP
suntingOrang-orang penetap di pulau tersebut, meskipun berbeda dalam hal daerah satu sama lain, pada umumnya selaras dengan deskripsi berikut; kecuali orang-orang Aceh, yang bercampur dengan orang-orang Moor dari barat India membedakan mereka dari orang-orang Sumatra lainnya.
GAMBARAN UMUM
suntingMereka agak di bawah perawakan menengah; sebagian besar mereka proporsional; anggota tubuh mereka sebagian besar kecil, tetapi bentuknya bagus, dan terutama kecil di pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Secara keseluruhan mereka berperawakan menawan, dan saya hampir tidak ingat pernah melihat satu orang cacat di antara penduduk asli Sumatra.*
(*Catatan kaki. Ghirardini, seorang pelukis Italia, yang mendarat di Sumatra dalam perjalanannya ke Cina pada tahun 1698 mengamati orang Melayu sebagai:
Orang yang terlatih
Betapa banyak pelukis industri dan jari.
Dia berbicara dalam istilah tinggi sebagai negeri yang indah.)
Namun para wanita memiliki kebiasaan yang tidak masuk akal untuk meratakan hidung, dan menekan kepala anak yang baru lahir, sementara tengkoraknya masih bertulang rawan, yang meningkatkan kecenderungan alami mereka ke bentuk itu. Saya tidak pernah bisa melacak asal usul praktik tersebut, atau mempelajari alasan lain untuk membentuk fitur pada penampilan kasar ini, tetapi itu adalah cara membentuk keaestetikan rupa menurut kepercayaan mereka. Kapten Cook memperhatikan operasi serupa di pulau Ulietea. Mereka juga menarik-narik telinga bayi untuk membuatnya berdiri miring dari kepala. Mata mereka seragam gelap dan jernih, dan di antara beberapa, terutama wanita selatan, memiliki kemiripan yang kuat dengan orang Cina, dalam kekhasan formasi yang umumnya diamati pada orang-orang itu. Rambut mereka kuat dan hitam berkilau; peningkatan kualitas keduanya mungkin sangat bergantung pada penggunaan minyak kelapa sejak awal dan terus-menerus, yang membuatnya tetap lembab. Para pria sering memotong pendek rambut mereka, dan mereka tidak menampakkan kesombongan akan hal itu; para wanita mendorong mereka cukup lama, dan saya telah mengetahui banyak contoh yang mencapai tanah. Laki-laki tidak berjanggut dan memiliki dagu yang sangat halus sehingga, jika bukan karena para pendeta menunjukkan jumbai kecil, kita cenderung menyimpulkan bahwa alam telah menolak mereka sebagai tanda kejantanan. Sama halnya dengan bagian tubuh lainnya dengan kedua jenis kelamin; dan perhatian khusus pada pribadi mereka ini mereka hargai sebagai hal yang halus, dan sebaliknya merupakan pengabaian yang tidak dapat diampuni. Anak laki-laki saat mereka mendekati usia pubertas menggosok dagu, bibir atas, dan bagian tubuh yang terkena rambut berlebihan dengan chunam (kapur) yang diperbuat dari cangkang, yang mana olesan ramuan tersebut akan menghancurkan akar janggut yang baru jadi. Beberapa pilae yang muncul kemudian dicabut dari waktu ke waktu dengan pinset, yang selalu mereka bawa untuk tujuan itu. Jika bukan karena otoritas yang sangat banyak dan sangat terhormat yang darinya kami yakin bahwa penduduk asli Amerika secara alami tidak berjanggut, saya harus berpikir pendapat umum tentang hal itu telah diadopsi dengan gegabah, dan penampilan mereka pada usia dewasa hanya konsekuensi dari praktik awal, mirip dengan yang diamati di antara orang Sumatra. Bahkan sekarang saya harus mengakui bahwa itu akan menghilangkan sedikit keraguan dari pikiran saya dapatkah dipastikan bahwa tidak ada kebiasaan seperti itu yang berlaku.*
(*Catatan kaki. Para turis atau pendatang Eropa layakna orang Patagonia diperbolehkan memiliki jambul rambut di bibir atas dan dagu. Kapten Carver mengatakan bahwa di antara suku-suku yang dia kunjungi, orang-orang melakukan praktik rutin untuk menghilangkan janggut mereka dengan penjepit. Di Brussel dilestarikan, bersama dengan berbagai baju zirah kuno dan aneh, dari Montezuma, raja Meksiko, yang pelindungnya, atau topeng untuk wajahnya, memiliki kumis yang sangat besar; sebuah ornamen yang tidak dapat ditiru oleh orang-orang Amerika kecuali jika alam telah memberikan modelnya kepada mereka. Lihat makalah di Philosophical Transactions tahun 1786, yang membuat hal ini tidak diragukan lagi. Dalam kamus bahasa Prancis dari bahasa Huron, yang diterbitkan pada tahun 1632, saya mengamati istilah yang sesuai dengan "arracher la barbe")
Kulit mereka benar-benar kuning, agak menampakkan semburat merah yang serupa warna kuning kecoklatan atau tembaga. Mereka pada umumnya memiliki kompleksi kulit yang lebih terang daripada orang Mestees, atau keturunan campuran di seluruh India; orang-orang dari kelas atas yang tidak terkena sinar matahari, dan khususnya wanita berpangkat tinggi, mendekati tingkat kecerahan yang tinggi. Apakah kecantikan terdiri dari kualitas yang satu ini, beberapa di antaranya akan melampaui berambut cokelat kita di Eropa. Sebagian besar betina jelek, dan banyak dari mereka bahkan menjijikkan, namun ada di antara mereka yang penampilannya sangat cantik; apa pun komposisi orang, fitur, dan corak yang mungkin dihasilkan dari sentimen itu.
WARNA KULIT PRIBUMI SUMATRA TIDAK TERGANTUNG IKLIM
suntingKecerahan kulit orang Sumatera secara komparatif dibandingkan dengan orang Hindia ("Indonesia") lainnya, yang terletak di bawah matahari tegak lurus di mana tidak ada musim dalam setahun yang memberikan alternatif dingin, menurut saya merupakan bukti yang tidak dapat dibantah bahwa perbedaan warna pada berbagai penghuni bumi bukanlah pengaruh iklim secara langsung. Anak-anak orang Eropa yang lahir di pulau Sumatra ini sama putihnya dengan mereka yang lahir di negara orang tuanya. Saya telah mengamati hal yang sama dari generasi kedua, di mana percampuran dengan orang-orang di negara itu telah dihindari. Di sisi lain keturunan dan semua keturunan Guinea dan budak Afrika lainnya yang diimpor ke sana pada contoh terakhir tetap hitam sempurna seperti pada stok aslinya. Saya tidak bermaksud memasukkan manfaat dari pertanyaan yang secara alami berhubungan dengan pengamatan ini; tetapi hanya akan berkomentar bahwa wajah pucat dan berdebu yang begitu umum diperoleh oleh orang Eropa yang telah lama tinggal di iklim panas lebih disebabkan oleh efek distemper empedu, yang hampir semuanya tunduk pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil, daripada paparan mereka terhadap pengaruh cuaca, yang hanya dapat dialami oleh sedikit orang kecuali pelaut, dan yang kesannya jarang permanen. Dari keadaan ini saya telah dituntun untuk berspekulasi perbedaan umum warna kulit di negara yang berbeda MUNGKIN karena sekresi yang kurang lebih berlebihan atau redundansi jus itu, membuat kulit lebih atau kurang gelap sesuai dengan kualitas empedu yang berlaku. dalam konstitusi masing-masing. Tetapi saya khawatir hipotesis seperti itu tidak akan tahan uji eksperimen, karena dapat diharapkan untuk mengikuti bahwa, setelah pembedahan, isi kantong empedu negro, atau setidaknya empedu yang ekstravasasi, secara seragam akan ditemukan hitam. Orang yang ahli dalam anatomi akan menentukan apakah mungkin kualitas sekresi hewan apa pun sejauh ini dapat memengaruhi kerangka sehingga konsekuensinya dapat ditransmisikan ke anak cucu dengan kekuatan penuhnya.*
(*Catatan kaki. Dalam Essay on the Causes of the Variety of Complexion and Figure in the Human Species yang diterbitkan di Filadelfia pada tahun 1787, efek permanen dari sekresi empedu dalam menentukan warna sangat ditekankan.)
Ukuran kecil penghuninya, dan terutama wanita, mungkin dalam beberapa hal karena komunikasi awal antara jenis kelamin; meskipun, karena kecenderungan yang mengarah pada hubungan seksual ini didorong di sini oleh alam lebih cepat daripada di iklim dingin, tidak adil untuk menganggap, yang proporsional dengan periode kedewasaan, ini juga lebih cepat dicapai, dan akibatnya penghentian lebih awal dari pertumbuhan orang-orang ini sesuai dengan hukum konstitusi mereka, dan tidak disebabkan oleh nafsu makan yang prematur dan tidak teratur.
Orang-orang berpangkat tinggi mendorong pertumbuhan (memanjangkan) kuku tangan mereka, terutama jari depan dan kelingking, hingga panjang yang luar biasa; dan sering mewarnainya menjadi merah dengan air perasan semak yang mereka sebut inei ("inai"), yang merupakan hena khas orang Arab; seperti yang mereka lakukan pada kuku kaki mereka, yang selalu terbuka, mereka memperhatikan tangan mereka. Tangan pribumi, dan bahkan keturunan campuran, selalu dingin saat disentuh; yang tidak dapat saya jelaskan selain dengan anggapan bahwa, dari tingkat elastisitas yang lebih rendah pada padatan yang disebabkan oleh panasnya iklim, tindakan internal tubuh yang menggerakkan cairan menjadi kurang kuat, sirkulasi adalah secara proporsional lesu, dan tentu saja efek yang berkurang paling terlihat di ekstremitas, dan kedinginan adalah konsekuensi alami.
HILL PEOPLE SUBJECT TO WENS
suntingThe natives of the hills through the whole extent of the island are subject to those monstrous wens from the throat which have been observed of the Vallaisans and the inhabitants of other mountainous districts in Europe. It has been usual to attribute this affection to the badness, thawed state, mineral quality, or other peculiarity of the waters; many skilful men having applied themselves to the investigation of the subject. My experience enables me to pronounce without hesitation that the disorder, for such it is though it appears here to mark a distinct race of people (orang-gunong), is immediately connected with the hilliness of the country, and of course, if the circumstances of the water they use contribute thereto, it must be only so far as the nature of the water is affected by the inequality or height of the land. But in Sumatra neither snow nor other congelation is ever produced, which militates against the most plausible conjecture that has been adopted concerning the Alpine goitres. From every research that I have been enabled to make I think I have reason to conclude that the complaint is owing, among the Sumatrans, to the fogginess of the air in the valleys between the high mountains, where, and not on the summits, the natives of these parts reside. I before remarked that, between the ranges of hills, the kabut or dense mist was visible for several hours every morning; rising in a thick, opaque, and well-defined body with the sun, and seldom quite dispersed till afternoon. This phenomenon, as well as that of the wens, being peculiar to the regions of the hills, affords a presumption that they may be connected; exclusive of the natural probability that a cold vapour, gross to a uncommon degree, and continually enveloping the habitations, should affect with tumors the throats of the inhabitants. I cannot pretend to say how far this solution may apply to the case of the goitres, but I recollect it to have been mentioned that the only method of curing the people is by removing them from the valleys to the clear and pure air on the tops of the hills; which seems to indicate a similar source of the distemper to what I have pointed out. The Sumatrans do not appear to attempt any remedy for it, the wens being consistent with the highest health in other respects.
PERBEDAAN ANTARA ORANG MELAYU DENGAN PENDUDUK SUMATRA LAINNYA
suntingPerbedaan pribadi antara orang Melayu pesisir dan penduduk pedalaman tidak terlalu mencolok, akan tetapi membutuhkan beberapa masa pengalaman untuk membedakan mereka. Namun yang terakhir memiliki keunggulan yang jelas dalam hal ukuran dan kekuatan, dan berkulit lebih cerah, yang mungkin disebabkan oleh situasi mereka, di mana atmosfer lebih dingin; dan secara umum diamati bahwa orang yang tinggal di dekat pantai, dan terutama ketika terbiasa dengan navigasi, lebih gelap dari tetangga pedalaman mereka. Beberapa mengaitkan perbedaan dalam kekuatan konstitusional dengan penggunaan opium yang lebih sering di kalangan orang Melayu, yang dianggap melemahkan kerangka; tetapi saya telah mencatat bahwa pedagang emas Limun dan Batang Asei, yang merupakan koloni dari ras tersebut yang menetap di jantung pulau, dan yang tidak dapat hidup sehari tanpa opium, sangat sehat dan gemuk; yang saya tahu diamati dengan tingkat kecemburuan oleh para perokok opium di pemukiman kami. Penduduk Passummah juga digambarkan lebih kuat daripada para penanam di wilayah dataran rendah.
BUSANA
suntingBusana asli orang-orang Sumatra sama dengan yang ditemukan oleh para navigator di kalangan penduduk Kepulauan Laut Selatan, dan umumnya disebut dengan nama busana Otaheitea. Busana tersebut masih dipakai di kalangan orang-orang Rejang untuk busana kerja mereka, dan aku memiliki satu yang aku milik yang didapatkan dari orang-orang tersebut yang terdiri dari jaket, laci pendek, dan penutup kepala. Busana tersebut terbuat dari kulit pohon dalam dari jenis pohon tertentu, yang memiliki tingkat kemurnian, yang memberikan kesempurnaan lainnya karena mirip dengan jenis kulit hewan yang lebih lembut, beberapa nyaris sama dengan kulit anak yang sangat halus; yang sifatnya berbeda dari busana Laut Selatan, karena lebih mirip dengan kertas, atau olahan mesin tenun. Orang-orang daerah kini nyaman dengan sejumlah besar busana Melayu, sehingga aku harus mendeskripsikan di tempat ini, mengamati bahwa lebih banyak kesederhanaan masih timbul di kalangan penduduk, yang memandang orang-orang lainnya menutupi seluruh bagian mereka pada punggung mereka, sementara mereka sebaliknya dipandang oleh orang-orang Melayu sebagai orang-orang tak terjamak.
MAN'S DRESS
suntingA man's dress consists of the following parts. A close waistcoat, without sleeves, but having a neck like a shirt, buttoned close up to the top, with buttons, often of gold filigree. This is peculiar to the Malays. Over this they wear the baju, which resembles a morning gown, open at the neck, but generally fastened close at the wrists and halfway up the arm, with nine buttons to each sleeve. The sleeves, however, are often wide and loose, and others again, though nearly tight, reach not far beyond the elbow, especially of those worn by the younger females, which, as well as those of the young men, are open in front no farther down than the bosom, and reach no lower than the waist, whereas the others hang loose to the knees, and sometimes to the ankles. They are made usually of blue or white cotton cloth; for the better sort, of chintz; and for great men, of flowered silks. The kain-sarong is not unlike a Scots highlander's plaid in appearance, being a piece of party-coloured cloth about six or eight feet long and three or four wide, sewed together at the ends; forming, as some writers have described it, a wide sack without a bottom. This is sometimes gathered up and slung over the shoulder like a sash, or else folded and tucked about the waist and hips; and in full dress it is bound on by the belt of the kris (dagger), which is of crimson silk and wraps several times round the body, with a loop at the end in which the sheath of the kris hangs. They wear short drawers reaching halfway down the thigh, generally of red or yellow taffeta. There is no covering to their legs or feet. Round their heads they fasten, in a particular manner, a fine, coloured handkerchief, so as to resemble a small turban; the country people usually twisting a piece of white or blue cloth for this purpose. The crown of their head remains uncovered except on journeys, when they wear a tudong or umbrella-hat, which completely screens them from the weather.
WOMAN'S DRESS
suntingThe women have a kind of bodice, or short waistcoat rather, that defends the breasts and reaches to the hips. The kain-sarong, before described, comes up as high as the armpits, and extends to the feet, being kept on simply by folding and tucking it over at the breast, except when the tali-pending, or zone, is worn about the waist, which forms an additional and necessary security. This is usually of embroidered cloth, and sometimes a plate of gold or silver, about two inches broad, fastening in the front with a large clasp of filigree or chased work, with some kind of precious stone, or imitation of such, in the centre. The baju, or upper gown, differs little from that of the men, buttoning in the same manner at the wrists. A piece of fine, thin, cotton cloth, or slight silk, about five feet long, and worked or fringed at each end, called a salendang, is thrown across the back of the neck, and hangs down before; serving also the purpose of a veil to the women of rank when they walk abroad. The handkerchief is carried either folded small in the hand, or in a long fold over the shoulder. There are two modes of dressing the hair, one termed kundei and the other sanggol. The first resembles much the fashion in which we see the Chinese women represented in paintings, and which I conclude they borrowed from thence, where the hair is wound circularly over the centre of the head, and fastened with a silver bodkin or pin. In the other mode, which is more general, they give the hair a single twist as it hangs behind, and then doubling it up they pass it crosswise under a few hairs separated from the rest on the back of the head for that purpose. A comb, often of tortoise-shell and sometimes filigreed, helps to prevent it from falling down. The hair of the front and of all parts of the head is of the same length, and when loose hangs together behind, with most of the women, in very great quantity. It is kept moist with oil newly expressed from the coconut; but those persons who can afford it make use also of an empyreumatic oil extracted from gum benzoin, as a grateful perfume. They wear no covering except ornaments of flowers, which on particular occasions are the work of much labour and ingenuity. The head-dresses of the dancing girls by profession, who are usually Javans, are very artificially wrought, and as high as any modern English lady's cap, yielding only to the feathered plumes of the year 1777. It is impossible to describe in words these intricate and fanciful matters so as to convey a just idea of them. The flowers worn in undress are for the most part strung in wreaths, and have a very neat and pretty effect, without any degree of gaudiness, being usually white or pale yellow, small, and frequently only half-blown. Those generally chosen for these occasions are the bunga-tanjong and bunga-mellur: the bunga-chumpaka is used to give the hair a fragrance, but is concealed from the sight. They sometimes combine a variety of flowers in such a manner as to appear like one, and fix them on a single stalk; but these, being more formal, are less elegant than the wreaths.
DISTINGUISHING ORNAMENTS OF VIRGINS
suntingAmong the country people, particularly in the southern countries, the virgins (anak gaddis, or goddesses, as it is usually pronounced) are distinguished by a fillet which goes across the front of the hair and fastens behind. This is commonly a thin plate of silver, about half an inch broad: those of the first rank have it of gold, and those of the lowest class have their fillet of the leaf of the nipah tree. Beside this peculiar ornament their state is denoted by their having rings or bracelets of silver or gold on their wrists. Strings of coins round the neck are universally worn by children, and the females, before they are of an age to be clothed, have what may not be inaptly termed a modesty-piece, being a plate of silver in the shape of a heart (called chaping) hung before, by a chain of the same metal, passing round the waist. The young women in the country villages manufacture themselves the cloth that forms the body-dress, or kain-sarong, which for common occasions is their only covering, and reaches from the breast no lower than the knees. The dresses of the women of the Malay bazaars on the contrary extend as low as the feet; but here, as in other instances, the more scrupulous attention to appearances does not accompany the superior degree of real modesty. This cloth, for the wear both of men and women, is imported from the island of Celebes, or, as it is here termed, the Bugis country.
KEBIASAAN MENGIKIR GIGI
suntingBaik laki-laki maupun perempuan memiliki kebiasaan mengikir dan merombak hal lainnya terhadap gigi mereka, yang secara alami lebih putih dan indah dari kesederhanaan makanan mereka. Untuk pengikiran, mereka memakai batu asah kecil dari tingkat kemurnian berbeda, dan para pasien membaringkan punggung mereka saat operasi. Kebanyakan orang, terutama wanita daerah Lampung, memiliki gigi yang digosok ke bawah bahkan sampai ke gusi; yang lainnya dibentuk runcing; dan beberapa pengikiran tak lebih dari bagian luar dan ujung, dalam rangka agar mereka lebih baik menerima dan mempertahankan warna kehitamannya hampir secara keseluruhan. Warna hitam yang dipakai pada kebiasaan tersebut adalah minyak empireumatik dari cangkang kelapa. Ketika pengikiran diterapkan, dengan menghancurkan apa yang kami sebut enamel, menghilangkan keputihan gigi, namun pemakaian sirih membuatnya hitam jika luka tak ditindak untuk mencegahnya. Pria dewasa terkadang memakai emas, dengan memasangkannya dengan plakat logam, di bawah baris gigi; dan ornamen ini, berseberangan dengan pewarna hitam, dapat sangat menyilaukan ketika didekati lentera atau lilin. Ini terkadang ditujukan untuk membentuk gigi, namun biasanya sangat datar. Mereka tak dapat melepaskannya saat bersantap atau tidur.
Pada usia sekitar delapan atau sembilan tahun, telinga mereka dilobangi dan gigi anak perempuan mereka dikikir; yang merupakaan upacara yang dibutuhkan untuk menggelar perkawinan mereka. Mereka menyebut pelubangan telinga dengan sebutan betende, dan pengikiran gigi dengan sebutan bedabong; dan operasi tersebut dianggap dalam keluarga sebagai kesempatan perayaan. Mereka tak melakukannya disini, sebagaimana di beberapa pulau sekitar (terutama Nias), meningkatkan pelubangan telinga sampai berukuran besar, sehingga sebagaimana dalam beberapa contoh untuk memperbesarnya menggunakan tangan, bagian bawah diperlebar sampai menyentuh pundak. Anting mereka kebanyakan berbahan emas, dan dilakukan tidak dengan jepit, namun dengan bahan paku atau kacang yang dimasukkan ke bagian dalam.