Sejarah Zionisme, 1600-1918/Volume 1/Bab 13

BAB XIII.

NAPOLEON DI PALESTINA

Bonaparte mencapai Yerusalem—Tuduhan Anti-Yahudi—Bonaparte dan umat Kristen—Suleiman Pasha—Abdallah Pasha—Kematian martir Haim Farhi—Keluarga Farhi—Generasi para martir.

Disamping jaringan informasi primitif namun sempurna dari karavan Timur, Bedouin dan Dervish, Bonaparte harus mendengar perlakuan pendeta Yahudi oleh “Penjagal,” dan kejahatan lain yang dilakukan olehnya. Pengusiran Prancis dari Acre, Sidon dan Beyrout oleh Pasya pada 1791 masih segar dalam ingatannya sebagai sebuah hinaan kepada Prancis.

Haim Farhi meneruskan penugasannya; popularitasnya tak menimbulkan keterusikan, dan buktinya ia yang memberikan Acre dengan suplai yang dibutuhkan, menjaga komunikasi terbuka dengan daerah pedalaman, dan membuatnya memungkinkan untuk menawarkan pemberontakan paling menonjol yang pernah tercatat dalam sejarah. Inggris Raya membantu, Turki dan Arab menjadi berani, dan Jazzár dengan seluruh kemampuannya menghimpun, tanpa ragu, kemampuan menonjol secara umum; selain jiwa seluruh organisasinya adalah Haim. Memenangkannya akan menandakan pematahan pertahanan; namun tak memungkinkan untuk memenangkannya.

Di bawah kondisi semacam itu, Bonaparte mencapai Yerusalem. Ia mencapai Ramleh (antara Jaffa dan Yerusalem) dan ditujukan untuk mengepung Kota Suci, namun ia mengubah pikirannya dan berbalik ke Acre. Meskipun demikian, rumor tersebar bahwa Yahudi membantu Prancis selaku mata-mata, dan bahwa mereka bersimpati dalam hati mereka dengan Bonaparte. Ini adalah kisah familiar yang membenci dan memfitnah yang ditempatkan padsa kaki orang manapun yang dituju, dan terdapat kesempatan apapun dalam menyetur pemikiran mudah percaya dan insting brutal melawan mayoritas yang lemah dan tanpa pertahanan. Bonaparte merebut Gaza pada 25 Desember 1799. Yahudi di tempat tersebut terdorong untuk perlakuan brutal di tangan para prajurit Bonaparte, sehingga banyak orang mengambil kesempatan melarikan diri. Sementara itu, Yahudi dari Yerusalem dalam bahaya terbesar dibantai oleh penduduk Muslim, yang menuduh mereka berada dalam komunikasi rahasia dengan Bonaparte dengan tujuan untuk merebut kota tersebut. Para Muslim sebetulnya meyakini bahwa seluruh Yahudi dari Yerusalem adalah mata-mata dan pengkhianat, dan mereka diam-diam menghimpun diri mereka sendiri untuk membunuh seluruh penduduk Yahudi serta Nepoleon yang bergerak ke Yerusalem. Namun, resolusi tersebut dilayangkan dan dikomunikasikan oleh seorang Muslim, orang kepercayaan dan teman Yahudi, kepada dua Rabi bernama Algazi dan Meyuchas, yang menyelamatkan Yahudi Palestina, dan terutama Yahudi Yerusalem, dengan keberadaan pemikiran dan tindakan bijak mereka, seperti mengadakan doa umum, membantu untuk membentengi kota tersebut, dll. PenglihatanHaham Meyuchas berkepala abu-abu nan dimuliakan berdiri dengan sekop di tangannya agar tak gagal untuk menakan orang-orang Muslim. Komunitas Yahudi kemudian diselamatkan. Sementara di Tiberias dan Safed, Yahudi diperlakukan kejam oleh para prajurit Bonaparte.

Mustahil untuk menegtahui siapa yang menyebarkan tuduhan melawan Yahudi. Tuduhan semacam itu seperti ucapan; tak ada yang mengetahui penulisnya, kabar tersebut beredar di udara, mereka terpacu pada khayalan, menyebarkannya dan kemudian menjadi dogma; tak ada orang yang menguji kemampuan suara mereka, tak ada bukti, tak ada alasan, yang benar-benar ada adalah generalisasi, dan sehingga orang-orang mempercayai mereka. Mereka tak dapat mengetahui apakah beebrapa Yahudi dapat memikirkan upaya Bonaparte: ditekan, ditindas, dihina seperti yang mereka alami dari Jazzár, beberapa dari mereka menganggap bahwa kemenangan Bonaparte akan menjadi penyelamatan mereka, walaupun, di sisi lain, perilaku prajuritnya menyebabkan penderitaan besar. Namun pada prakteknya, Yahudi secara sangat loyal mencurahkan diri pada kepentingan Utsmaniyah.

Yahudi selamat, dan Farhi tetap menjabat. Menurut pernyataan seluruh orang Kristen sezamannya, Yahudi tersebut, seperti Kristen sebenarnya, “mengasihi musuhnya.” Kala Jazzár wafat, pada 1808, ia mengadakan upacara pemakaman dengan pencurahan menonjol. Jazzár digantikan oleh Suleiman Pasha, yang mengkonfirmasikan Haim dalam martabatnya. Suleiman, seorang mantan mameluk, berkuasa dengan Farhi selama enam belas tahun, dan ini merupakan masa terbahagia untuk Palestina. Suleiman wafat pada 1824, dan Abdallah, putra Ali Pasha dari Tripoli (ob. 1815 di Acre), yang terdidik dan dilirik setelah dengan kepedulian besar oleh Farhi, yang diangkat menjadi Pasha dari Acre. Tak lama setelah pelantikan Abdallah Pasha, pegawai Yahudi tersebut mendapati akhir tragis. Abdallah menunjukkan dirinya tak bersikap barbar seperti halnya Jazzár, namun pembunuh kejam dan berbahaya. Iri akan popularitas besarnya, dan memandang bahwa tak memungkinkan untuk membiarkannya lebih lanjut, ia memerintahkan Kiaja-nya (pegawai polisi) untuk membunuh negarawan tua nan mulia tersebut, dan membuang jasadnya ke laut. Tirani tak tergantukan adalah ketulian dari risalah-risalah keluarga dan para teman dari almarhum tersebut, yang mengajukan agar jasadnya dikebumikan. Jasad tersebut dikatakan dibiarkan mengambang selama beberapa hari di dekat pelabuhan, dan bahwa Pasha memerintahkan para pelayannya untuk memasangkan bebatuan besar kepadanya dan kemudian menenggelamkannya ke laut. Harta benda Farhim kekayaan pribadi yang didapatkan olehnya sebagai hasil dari jabatan resminya selain sebagai anggota keluarga tua dan kaya, dijarah dan dirampas. Keluarganya melarikan diri, dan jandanya wafat, akibat bekerja keras, pada perjalanannya ke Damaskus. Sebagaimana pada pendahuluan dari pembunuhan Farhi, terdapat beragam catatan. Menurut Damoiseau, seorang renegade Prancis, Abdallah (yang bertugas padanya) mencetuskan pembangunan beberapa benteng baru. Tak ada alasan praktikal untuk perbentengan tersebut; hubungan dengan kekuatan Eropa menjadi bersahabat, tindakannya hanya dapat memicu kecuriagaan terhadap Porte. Digerakkan oleh alasan tersebut dan oleh pengadaan ekonomi, Farhi menentang. Ia dihukum mati, dan Kiaja diperintahkan untuk mengadakan eksekusi. Ini dilakukan olehnya dengan menyerang pria tua tersebut secara mendadak di rumahnya, dan membunuhnya pada malam hari. Namun, Abdallah tak pernah berpikir setelah itu soal pembangunan benteng baru apapun. Versi tersebut dituturkan oleh Rabbi Joseph Schwarz (1804‒1860) dalam karya buatannya T’buoth Ha’arez (Yerusalem, 1845) adalah suatu hal yang berbeda dalam penjelasannya, namun faktanya secara khusus bersifat sama. Penjelajah lain, Profesor J. M. A. Scholz (1794‒1852), mendapatinya pada waktu itu di wilaayh Acre, dan ia mengkonfirmasikan versi pertama. Ia juga memberikan tanggal pasti dari pembunuhan tersebut: 24 Agustus 1824.

Kedamaian dan kesetiaan yahudi di Timur menjadi kejahatan luar biasa yang nampak mengakhiri kesabaran besar mereka. Saudara-saudara Haim di Damaskus memutuskan untuk mengadakan ekspresi balasan. Ini adalah pertama kalinya sepanjang berabad-abad Yahudi bergerak sebagai pejuang untuk kepentingan mereka sendiri. Para Pasha dari Aleppo dan Damaskus mengadakan perjanjian, dan mendukung ekspedisi yang dilakukan oleh keluarga Farhi. Mereka mengepung Acre, dan jika bukan tanpa mengirim mata-mata ke kemah keluarga Farhi, yang berhasil meracuni Solomon Farhi, ekspedisi tersebut akan meraih kesempatan sukses yang sempurna. Namun, kematian Solomon mengakhiri ekspedisi tersebut, dimana ia menjadi pengorganisir dan pemimpinnya. Penyintas terakhir dari saudara-saudara Haim adalah Raphael. Ia juga merupakan negarawan menonjol. Ia menjadi Pegawai di Damaskus pada 1820, dan setelah pemulihan pemerintahan Utsmaniyah di Siria, ia terpilih pada Dewan kota tersebut.

Rev. John Wilson memberikan catatan lebih lanjut dari kunjungannya ke Damaskus pada 1843. “6 Juni—Mr. Graham dan aku mengunjungi rumah kepala Rabi, Haim Maimon Tobhi. Ia telah menjadi pemukim delapan belas tahun di Damaskus, namun merupakan orang asli Gibraltar. Ia berujar, ia memiliki paspor Inggris, yang memberikannya perlindungan Inggris, dari Lord Palmerston (1784‒1865); dan ia terpilih untuk memegang hal yang kemudian dinikmati olehnya, yang dipegang oleh Yahudi, bahwa nama warga Inggris, yang disematkan olehnya, akan memberikan bobot untuk kesepakatannya dengan Pemerintah Turki” (Ib. 330). “Pada hari kedua pertemuan kami di kalangan orang Yahudi, kami mengunjungi salah satu hunian kepangeranan Farhi, bankir dan pedagang terkaya di Damaskus.” Daalm catatan kaki, Wilson mengutip Laporan [Sir John] Bowring [F.R.S.] (1792‒1872) tentang Siria, hlm. 94: “Sebagai sebuah kelas, pedagang asing Yahudi dari Damaskus sangatlah kaya.... Dua sosok paling menonjolnya diyakini adalah Mourad Farhi dan (Raphael) Nassim Farhi, yang kekayaan dalam perdagangannya masing-masing mencapai satu setengah juta. Kebanyakan rumah asing Yahudi diperdagangkan dengan Inggris Raya.” Dalam hunian pertamanya, Wilson menghimpun perpustakaan, yang terdiri dari nyaris seluruh sastra Yahudi, yang para murid Yahudi memiliki akses bebas untuk keperluan pembelajaran. Ia bertemu beberapa Rabi disana, yang mengatakan kepadanya bahwa Yahudi dari Damaskus berjumlah 5000 jiwa, dan 6000 di Aleppo. Ia dan Mr. Graham, yang menemaninya, kemudian diperkenalkan pada para anggota perempuan rumah tangga, yang “mendeportasikan diri mereka sendiri dengan martabat dan rahmat yang akan menghasilkan peran pada kebangsawanan Eropa.” “Pada 8 Juni, kami mengunjungi hunian Raphael, kepala keluarga Farhi. Kala kedatangan kami, kami diterima oleh seorang Yahudi, yang dengan rendah hati menyebut dirinya kepada kami sebagai ‘Jacob Peretz yang kurang beruntung,’ seorang pengajar untuk anak-anak dari orang besar, dan yang mengakui penugasannya, dengan seluruh keluarganya, masih sebagai bagian dari rumah tangganya, yang, ia beritahuakn pada kami, terdiri dari antara enam puluh sampai tujuh puluh jiwa.” Jumlah tersebut bahkan lebih besar ketimbang kala kami mengunjunginya kemarin.... Mr. Graham menyatakan keraguannya soal orang-orang tersebut di istana kerajaan kami sendiri lebih tinggi ketimbang mereka. Ia kemudian memberikan sebagian rumah susut utama dan mereproduksi tulisan Ibrani dengan terjemahan Inggris (darinya sendiri). Kepentingan khusus tersebut adalah penjelasan kepala keluarga dari Mr. Wilson, Raphael, Nasi Yahudi Damaskus, seorang pria tua yang pada masa itu sangat berhalangan, namun menerimanya dan temannya dengan kemurahan hati yang besar, dan menempatkan kami pada perpustakaannya, yang sangat besar.

Pada 1840, kala kerusuhan menyusul tuduhan melawan Yahudi, Raphael dan para putranya sangat menderita. Raphael wafat tak lama setelah kunjungan Wilson. Ini adalah akhir dari keluarga Yahudi tersebut, yang sejarahnya terikat dengan sejarah Palestina dan ekspedisi Bonaparte. Mereka memiliki klaim dua kali lipat atas perhatian kami, pertama sebagai negarawan Yahudi handal, dan kedua sebagai martir Palestina.