Sejarah Zionisme, 1600-1918/Volume 1/Bab 31
BAB XXXI.
PERTANYAAN LEBANON
Selim I.—Amir Beshir dari Lebanon—Konferensi Lima Kekuatan—Druse dan Maronit—Pembantaian di Damaskus—Sebuah Ekspedisi Militer—Protokol 3 Agustus 1860—Jenderal Beaufort d’Hautpoul—Achmet Pasha—David Pasha—Joseph Karan—Konstitusi Lebanon—Perbatasan—Kejadian dari 1861 sampai 1902—Pandangan Earl of Carnarvon—Amalan Yahudi—Tuduhan dan kerusuhan anti-Yahudi—M. E. A. Thouvenal—Lord John Russell—Surat George Gawler.
Usai penaklukan Suriah pada 1516 oleh Sultan Selim I (1467‒1520), Lebanon dikuasai oleh serangkaian Amir Muslim, salah satu yang terkenal, Beshir Shehaab, memerintah dari 1789 sampai 1840, pada tahun-tahun akhir masa kekuasaannya lewat bantuan Mehemet Ali. Penarikan pasukan Mesir dari Suriah pada 1841 disusul oleh kerusuhan di pegunungan. Sehingga, Lord Palmerston menulis pada 15 Juni tahun tersebut: “Pemerintahan Yang Mulia merasa secara khusus menyerukan untuk mengalamatkan Pemerintah Turki soal persoalan tersebut pada catatan penindasan yang dikatakan oleh Haji Nejib untuk diterapkan pada Kristen. Bagi Inggris, sesuai dengan Kekuatan Kristen lain, sukses dalam mengembalikan Suriah ke Sultan, ia digelari untuk menyatakan bahwa Sultan, dalam balasan untuk bantuan semacam itu, harus mengamankan warga Kristennya dari penindasan.” Sebuah konferensi perwakilan Austria, Prancis, Britania Raya, Prusia dan Rusia diadakan di Konstantinopel pada 27 Mei 1842, dengan hasil mutlak bahwa Menlu Turki mengumumkan pada 7 Desember bahwa Porte akan bertindak atas nasehat lima kekuatan, dan mengangkat Kaimakam terpisah masing-masing untuk Druse dan Maronit. Aransemen tersebut sesuai dengan kesuksesan besar selama nyaris dua puluh tahun.
Potret tersebut adalah potongan depan dari gunung Lebanon.... Kolonel Churchill, vol. i.... 1853.
Pada 1860, pertikaian antar suku terbaru di Lebanon mendadak berubah menjadi serangan besar, pada pihak Druse, pada tetangga Maronit mereka. Otoritas Turki bersekongkol pada pembantaian yang terjadi. Pada 9 Juli 1860, kerusuhan terjadi di Damaskus akibat penghukuman yang ditujukan terhadap beberapa Muslim yang telah menistakan Kristen. Para Muslim berkumpul, dipersenjatai gigi, terhadap kawasan Kristen, dan mulai menjagal, membakar dan merampok. Para prajurit Turki mendatangkan bantuan mereka atas dasar meredam gangguan, membuat sebab umum dengan para perusuh, dan ikut serta dalam pembunuhan, perampokan dan penjarahan. Beberapa Muslim tua berniat untuk menghentikan pembantaian tersebut, namun para perwira Turki tak menginginkan perdmaain; sebaliknya, mereka mengerahkan prajurit mereka untuk agresi lebih lanjut melawan Kristen yang malang, dan para prajurit dibantu oleh gerombolan penjarah dari setiap golongan. Keadaan tersebut berlangsung dua hari, kala para perusuh tak berhenti membantai Kristen, yang tak disediakan bantuan apapun oleh Gubernur. Jumlah korban diperkirakan sejumlah 3300. Tempat-tempat rumah mereka berdiri tak diakui, semua hunian mereka berubah menjadi abu.
Sultan mengirim Faud Pasha (1815‒1869) selaku Komisioner Luar Biasa dengan pasukan militer. Faud Pasha mengeluarkan Proklamasi kepada penduduk Suriah, yang, usai memberikan penjelasan yang dirasakan oleh Sultan kala mendengar kerusuhan tersbeut, ia berujar:—
“Menurut komando Kekaisaran, yang diselidiki dengan misi khusus dan luar biasa, dan menghimpun kekuatan besar, aku datang, disertai oleh pasukan militer untuk menghukum para penulis yang bersalah pada banyak kejahatan.
“Firman Kekaisaran akan memberitahukanmu apa misiku, dan setiap orang dapat menghakimi keberadaan keadilan kekaisaran, yang seturut pengungsian terhadap pihak yang tertindas dan menghukum penindas.
“Semuanya masih disini dengan selamat; kondisi keluarga digerakkan dari rumah-rumah mereka akan diambil dalam ketonjolan, dan aku memutuskan untuk menarik mereka, dan memberikan mereka perlindungan keadilan kekaisaran.
“Aku memerintahkan, di atas semua itu, bahwa dari masa itu penindasan yang ada dihentikan; yang dipedulikan negara untuk memakai kekerasan melawan pihak lain harus diserang oleh pasukan militer yang menyertaiku, dan setiap orang yang melupakan tugasnya akan langsung diberi hukuman.”
Namun, Faud tak berhasil dalam meredam perbedaan, dan setiap catatan baru ditambahkan dengan kengerian pembantaian. Ini memunculkan bahwa negara nyaris menyapu bersih penduduk Kristennya. Di Lebanon, tak ada desa Kristen yang tersebar; semua perdagangan di wilayah tersebut terganggu; perjalanan dari satu desa ke desa lain tak lagi aman.
Untuk mengakhiri keputusan tersebut dan memulihkan perdamaian dan keamanan di daerah tersebut, “Protokol 3 Agustus” ditandantangani. Pada Agustus, pasukan Prancis pertama mendart di Pantai Suriah. Ini merupakan tanda gratifikasi yang kurang selaras di kalangan seluruh kekuatan peradaban yang walau keadaan Eropa pada masa itu jauh dari ketenangan, bangsa-bangsa Eropa dapat bersatu dalam kepentingan keadilan. Ini tentunya dalam kepentingan keadilan yang pasukan dunia Barat bawa ke pantai Suriah, walau intrik politik menjadi rumor yang banyak beredar seperti persebaran di luar kala sebuah ekspedisi dari jenis tersebut ditangani oleh kekuatan Eropa. Prancis harus mengirim pasukan ke sebuah negara yang, menurut kepercayaan populer, ia tangani sepanjang bertahun-tahun, sehingga, membutuhkan perhatian seluruh dunia. Namun, wacana yang dinyatakan dan termasuk pada anggapan bahwa Prancis bertindak dermawan dan setia. Sehingga, terlalu rancu untuk menghimpun kepercayaan bahwa intrik di timur telah memberikan peningkatan gangguan, dan bahwa Kristen sendiri menyebabkan pembantaian sehingga Prancis harus meraih kejayaan dan pengaruh. Tanpa ragu, di setiap kota Syam, terdapat hunian utusan Katolik, Yesuit, Lazaris, dan sejenisnya, dan menjadi satu-satunya tempat bagi umat Katolik Roma untuk memakai nama tersebut dan mendapatkan perlindungan dari kekuatan yang sempat menjadi satu-satunya kekuatan Katolik yang dikenal di Timur.
Ekspedisi tahun 1860 berdasarkan pada contoh Prancis, namun menurut konvensi internasional, seluruh kekuatan ikut serta di dalamnya. Sebuah kontingen pasukan Eropa, yang meningkat sampai 12.000 pasukan, dikerahkan untuk tujuan memulihkan perdamaian. prancis memutuskan untuk mengerahkan separuh pasukannya pada suatu kali. Jika ini menjadi dibutuhkan untuk meningkatkan pasukan di luar jumlah yang ditentukan, pemahaman yang lebih lanjut datang di kalangan kekuatan yang berseteru. Kepala Panglima ekspedisi menjalin komunikasi dengan Komisi khusus Porte. Seluruh Kekuatan mengerahkan pasukan AL ke pantai Suriah untuk membantu dalam penghimpunan atau pendirian kembali ketenangan disana. Pihak yang tergesekan memastikan keputusan pendudukan selama enam bulan, mendakwa bahwa masa tersebut akan selaras untuk mewujudkan pasifikasi masyarakat. Ini adalah prinsip utama dari Konvensi penting tersebut, sebagaimana yang dicantumkan dalam Protokol oleh Britania Raya, Austria, Prancis, Prusia, Rusia dan Turki di Paris pada 3 Agustus.
“Para Utusan Berkuasa Penuh dan lainnya ingin mendirikan, selaras dengan niat pemerintahan mereka masing-masing, karakter sebenarnya dari bantuan yang diberikan kepada Sublime Porte, lewat butir-butir Protokol yang ditandatangani pada hari itu, perasaan yang mendiktekan klausa-klausa dari pemberlakuan tersebut, dan ketidakterkaitan sempurna mereka, dideklarasikan dalam tindakan paling formal yang membuat kekuatan-kekuatan tak dapat berniat untuk memperjuangkan, dan takkan berujang untuk, dalam eksekusi pengadaan mereka, pelajuan wilayah manapun, dan pengaruh khusus, atau pemberian apapun terkait perdagangan pihak mereka, seperti tak dapat diberikan pada subyek bangsa lainnya.”
Pasukan mendarat pada 16 Agustus di bawah naungan Jenderal C. M. N. Beaufort d’Hautpoul (l. 1804). Kemudian, perwakilan Komisi Kekuatan diangkat untuk menyelidiki fakta tersebut. Druse lari ke Gurun Hauran, dan mendapati bahwa Turki dan Damaskus fanatik benar-benar bertanggungjawab atas penyetiran pertikaian, dengan Maronit bertindak setara dengan Druse. Hukuman ditujukan kepada Muslim yang utamanya bertanggung jawab, dan lainnya. Achmet Pasha, Gubernur Damaskus ditembak. Pendudukan Prancis berlanjut sampai 5 Juni 1861, dan skuadron Prancis dan Inggris menjaga pantai selama beberapa bulan setelahnya. Pada Juni 1861, pasukan kembali ke Prancis, dan Komisi merancang skema pemerintahan untuk Lebanon. Ini dikerahkan untuk pelantikan Gubernur Kristen, dipilih oleh Porte, dan membagi wilayah menjadi tujuh kawasan, yang masing-masing dikendalikan oleh seorang pemimpin yang menganut agama yang dianut oleh penduduknya. David Pasha, seorang Kristen Armenia, menjadi Gubernur pertamanya. Ia diangkat pada 4 Juli 1861. Di samping banyak kesulitan, ia terus memulihkan tatanan; dan lewat pengerahan pasukan militer dari penduduk Lebanon, ia membaut keberadaan prajurit Turki tak dibutuhkan. Dewan kawasan meliputi empat Maronit, satu Durse, satu Yunani Ortodoks, dan satu Yunani Separatis. Konstitusi tak menyelaraskan Maronit, yang memberontak di bawah Joseph Karan, membiarkan Lebanon dalam keadaan yang sangat tak menentu selama beberapa tahun. Provinsi yang berhak di Lebanon akhirnya diatur oleh Statuta Organik tertanggal 6 September 1864.
Lebanon dijadikan sanjak atau mutessariflik, yang bergantung langsung pada Porte, yang bertindak dalam kasus ini dalam konsultasi dengan enam kekuatan besar. Provinsi tersebut terbentang sekitar 93 mil dari utara ke selatan (dari perbatasan sanjak Tripoli sampai caza Sidon), dan memiliki lebar sekitar 28 mil dari satu benteng berantai ke lainnya, bermula pada tepi dataran di belakang Beyrout dan berujung di tepi barat Beka’a: namun perbatasan tersebut diartikan dengan buruk, khususnya di timur, tempat garis aslinya terbentang sepanjang ceruk pegunungan yang tak mengikutinya, dan pegunungan yang berada pada Beka’a. Lebanon berada di bawah Gubernur militer (mashir), yang merupakan penganut Kristen dalam penugasan Sultan (1861‒1876), Abdul Aziz (1830‒1876), diangkat oleh kekuatan-kekuatan tersebut, dan yang, sejauh ini, dipilih dari umat Katolik Roma, yang memiliki kaitan erat dengan Kristen Latin di kawasan tersebut. Ia bermukim di Deir-al-Kamar, sebuah hunian tua dari para Amir Druse. Mula-mula diangkat untuk tiga tahun, kemudian untuk sepuluh tahun, masa jabatannya ditetapkan sejak 1892 menjadi lima tahun, Porte khawatir bahwa masa yang terlalu panjang dapat berujung pada dominasi pribadi. Di bawah Gubernur terdapat tujuh Kaimakam, semuanya Kristen selain seorang Druse di Shuf, dan empat puluh tujuh mudir, yang semuanya bergantung pada para Kaimakam, kecuali satu, di wilayah Deir-al-Kamar. Majelis pusat atau dewan dua belas anggota terdiri dari empat Maronit, tiga Druse, satu Turki, dua Yunani (ortodoks), satu Yunani Uniat dan satu Metawel. Ini adalah pembagian asli, dan tak diubah, disamping penurunan Druse dan peningkatan Maronit. Para anggotanya dipilih oleh tujuh caza. Di setiap mudirich, terdapat juga majelis lokal. Para hakim diangkat oleh Gubernur, namun para Sheikh diangkat oleh para warga desa. Kasus perdagangan dan gugatan hukum terhadap warga asing diberlakukan dan diserahkan ke Beyrout. Kepolisian direkrut secara lokal, dan tak ada pasukan reguler yang ditempatkan di kawasan tersebut kecuali pada peristiwa khusus. Perpajakan dikumpulkan secara langsung, dan harus memenuhi kebutuhan kawasan sebelum dana apapun ditarik kembali ke perbendaharaan Kekaisaran. Dana tersebut dijadikan barang defisit.
Konstitusi juga dikerjakan secara keseluruhan. Satu-satunya tantangan serius yang terjadi disebabkan oleh upaya Gubjen dan Kaimakam untuk menaungi majelis oleh tindakna otokratik, dan dipasangkan dengan kebebasan pemilihan. Perhatian Porte diserukan pada penekanan tersebut pada 1892, dan lagi pada 1902, kala pelantikan Gubernur-gubernur baru. Jalur kereta apinya ditangani Prancis, dan landasan dalam fungsi gerejawi diserahkan oleh Maronit kepada perwakilan resmi Prancis.
Henry Howard Molyneux Herbert (1831‒1890), Earl of Carnarvon keempat, menulis: “Dalam perkiraan masa lampau, dan dalam menangani keamanan untuk masa depan, patat tak dilupakan bahwa dari generasi ke generasi kebijakan Pemerintah Turki bergesekan dengan penghimpunan kebangsaan Druse. Selaku sumbangan yang diberikan pada kami untuk meyakini bahwa tidak ada negara di dunia Kristen akan menginginkan pembantaian ribuan Kristen, sehingga insting kemanusiaan umum, dan bahkan kepentingan diri, memberikan kami pencegahan pada Pemerintahan Kekaisaran Konstantinopel dari perencanaan, atau rekomendasi eksekusi golongan lain, sebuah kebijakan penyelidikan mendalam semacam itu terhadap warga yang perlindungannya menjadi tanggung jawab mereka. Penaungannya terlalu besar untuk dihimpun. Namun karena ini bukanlah pertama kalinya para penguasa Kristen memajukan sengketa atau menghimpun keterusikan bangsa lain, dan merencanakan pergerakan batu, tanpa memajukan dan menghimpun tindakan yang akan diambil, atau kekeliruan yang akan timbul; sehingga otoritas lokal di Suriah tak memiliki alasan untuk menghitung penafsiran tindakan selaras di Konstantinopel, yang dapat dihasilkan dalam beberapa sikap moderat penduduk Kristen, dan dalam penghinaan penghuni pegunungan Druse, atau dalam kesempatan untuk campur tangan dalam perkara Lebanon. Ini merupakan sikap alami, yang tanpa ragu menjadi harapan Pemerintah Turki, untuk membagi dan mengatur suku-suku Lebanon;... Keinginan untuk mendobrak kemerdekaan Druse memasuki nyaris sama dengan skema tersebut.... Ini sama-sama jelas bahwa ini bukanlah untuk pergerakan Inggris, sejauh ia memiliki kepentingan dalam pertanyaan tersebut, untuk memperhatikan peniadaan kebangsaan Druse.... Lagi-lagi pada konven dan sekolah, ... telah lama dikaryakan untuk menciptakan kubu Prancis di kalangan Maronit, dan mendirikan pengaruh Prancis di Lebanon, sebuah hubungan rasa syukur yang kuat pada satu genggaman, dan tindakan baik pada genggaman lain, timbul antara Druse dan Inggris; dalam setiap peristiwa, Lebanon telah memulihkan pemerintahan Turki, karena ini akan menjadi kenegarawanan tak berbeda untuk tetap menstimulasikan lebih lanjut kebijakan tersentralisasi yang sama-sama mengancam Turki dengan setiap negara lain di Eropa, dan memperkenankan kekuatan lembaga lokal independen dan ras yang ada dibentuk di reruntuhan kekiasaran kini menghadapi keruntuhannya.”
Ini adalah wacana politik yang disuarakan, jelas, logis, berdasarkan pada keadilan. Ini melupakan bahwa kebijakan yang sama tak diterapkan pada kawasan lain dan ras berbeda lain. Terkait kepentingan Inggris, kami mendapati lagi kebenaran lama dan tak terbantahkan dijelaskan sebagai berikut:—
“Sehingga, keberadaan wilayah tak pernah perlu masuk dalam mimpi golongan negarawan Inggris; namun ini akan menjadi tindakan merasuk untuk menyoroti pengaruh besar Suriah dalam pengiriman Kekuatan Eropa saat ini atau masa mendatang, yang kelemahan atau kejahatan bangsa lain dapat ditindak. Kawasan tersebut yang kini, tak kurang dari masa kekuataan Ptolemaos dan Mamluk, para penjaga dan juga memerintah garis depan utara Mesir —yang kini, sebagaimana pada masa Alexander [(III.) Agung] (356‒323 SM), yang mengkomandoi setidaknya satu kesepakatan besar dengan India—bukanlah kepangeranan, namun menyerah kepada kecintaan yang mudah atau kesempatan sekutu.”
Kejadian yang menimpa Kristen Suriah mengembangkan perasaan terdalam di kalangan Yahudi di seluruh belahan dunia. Sir Moses Montefiore mengirim sebuah surat kepada The Times, 12 Juli 1860 (hlmn. 9), dan M. Crémieux di Prancis mengikuti bimbingannya. Beberapa Rabi dan Presiden komunitas Yahudi mengajukan banding kepada penduduk Yahudi, dan menangani kontribusi yang terkumpul.
Namun sayangnya, tuduhan palsu kembali ditujukan terhadap Yahudi di Damaskus. Beberapa fanatik memantau Yahudi, yang secara khusus karena mereka kabur dari penjagal. Tuduhan tersebut dinyatakan kala Faud Pasha masih ada dan melakukan penyelidikan perorangan. Maronit menuduh Yahudi bersekongkol dengan Druse, Yahudi ortodoks mendakwa mereka bersekongkol dengan Maronit, dan setelah seluruh kejadian tersebut, tuduhan darah beredar. Faud, yang dikenal secara sangat baik menyatakan bahwa Yahudi tidaklah seumum Druse atau Maronit, dan bahwa mereka adalah orang damai dan taat hukum, takkan memperdulikan kejadian tersebut. Namun setelahg Pasha tiada, fanatik Kristen dan Muslim, lewat cara persekongkolan, bersekongkol melawan Yahudi yang malang, dan beberapa anggota berpengaruh dari komunitas mereka ditangkap, dibawa maju ke saksi-saksi palsu untuk bertutur bahwa mereka melihat Yahudi melakukan pembunuhan. Untungnya, kebanyakan dari mereka sempat dibebaskan oleh Faud Pasha kala kepulangannya ke kota tersebut. Tindak keadilan ditunjukkan oleh fungsioner Turki secara spontan, sebelum pengadaan apapun dari Eropa dapat mencapainya. Meskipun demikian, dua kekuatan Eropa bertindak menjanjikan dan memakai pengaruh mereka dalam persoalan tersebut.
M. E. A. Thouvenal (1818‒1866), Menlu Prancis, pada 23 September 1860, memberikan perintah paling mencolok kepada para agennya di Suriah untuk melindungi Yahudi, dan mencegah pencederaan apapun yang dilakukan kepada mereka; dan juga Lord John Russell (1792‒1878), yang juga bergabung dengan para pembela penduduk Yahudi di Timur. Tindakan terpadu tersebut pada kelompok dua pemerintahan mencegah kemalangan dan penjamahan kejahatan melawan Yahudi, dan akibatnya, 1860 tak menimbulkan analogi dengan 1840.
Namun jika Yahudi selamat dari pembantaian dan kerusuhan, ini tak menyelesaikan masalah mereka. Dr. Abraham Benisch, dalam sebuah editorial, menyatakan bahwa “Dalam mengijinkan peristiwa fanatisisme mengerikan di Suriah, Sang Mahakuasa kembali secara menjanjikan mengerahkan perhatian dunia ke kawasan yang membentuk pewarisan tak terasingkan dari keturunan patriark, dan sejumlah lembaga dirombak dan menghimpun peradaban tak tertandingi dan tak terelakkan, dan sekali lagi memaksa belahan dunia lain sejak zaman Romawi menarik Yahudi dari tanah leluhur mereka, tak ada ras yang ditemukan disini rehat dengan kakinya sendiri, dan tak ada penduduk yang diperkenankan untuk menikmati perdamaian, pada jangka waktu tertentu, pemberkatan tanah dilakukan pada suku pengembara dengan penginjakan kakinya.”
Dengan rujukan kepada pernyataan tersebut, surat berikut diterima dari Zionis Kristen, Kolonel Gawler:—
“Salam Sir,
“Aku tak dapat bertahan dari memberikan ekspresi kepada gratifikasi diniku terhadap artikel berhargamu yang ke-27. Aku perlu menyatakan bahwa pandanganmu selaras dengan perasaan sangat hangatku terhadap penekanan bahwa, ‘dengan mengijinkan peristiwa fanatisisme mengerikan di Suriah, Sang Mahakuasa kembali menjanjikan sorotan perhatian dunia ke wilayah yang membentuk pewariusan tak terasingkan dari keturunan Patriarks.’
“Aku dapat mengingat rencana yang aku terbitkan pada peristiwa perang antara Druse dan Maronit pada 1845, saat ‘perombakan Timur lewat pembangunan pemukiman (pertanian) Yahudi di Palestina.’ Aku sangat terpikat dengan antisipasi bahwa suatu hal dari peristiwa tersebut dapat timbul dari gangguan terkini.
“Untuk memberikan yahudi di Palestina, pengartian pengutamaan diri mereka sendiri dan keluarga mereka oleh industri jujur dan sehat akan menjadi persiapan terbaik dari cara untuk hal-hal baik, kepada bangsa Yahudi dan seluruh umat manusia, yang dapat diinginkan.
“Dalam pengutamaan proyek semacam itu, aku tak sepenuhnya mengusulkan ketidakpercayaan kepada ‘sekutu kami’ Turki. Sepanjang kekaisaran tersebut berdiri, permukiman peradaban Yahudi di Surha akan menjadi kekuatan dan pemberkatan kepadanya. Ini hanya pada peristiwa dari kejatuhannya yang pernah ada agar aku harus tergerak untuk melihat klaim menonjol yang diberlakukan dalam rujukan kepada Palestina, ‘kawasan tersebut diserahkan kepada Allah Israel, dan bangsa nasionalnya.’
“Aku harus benar-benar memutuskan untuk memandang di Palestina garda kuat Yahudi didirikan dalam mengembangkan pemukiman pertanian, dan siap untuk dipegang mereka sendiri pada pegunungan Israel melawan seluruh agresor. Aku dapat berharap agar ketiadaan paling berhaya dalam kehidupan ini ketimbang pembagianku dalam membantu mereka untuk melakukannya.
“Mungkin antisipasimu sangatlah terrealisasi, agar kehendak baik yang besar akan datang dari kejahatan Suriah yang ada.
“George Gawler.
“... 30 Juli 1860.”
Seluruh perkembangan tersebut menyetir wacana publik Yahudi di Inggris dan Prancis. Kemungkinan besar melemparkan sorotan mereka ke masa depan seperti sinyal harapan. Sehingga, Konstitusi Lebanon yang baru menjadi indikasi masa depan Palestina: namun waktu tak selaras untuk mewujudkan harapan tersebut.