Sejarah Zionisme, 1600-1918/Volume 1/Bab 38

BAB XXXVIII.

POGROM-POGROM RUSIA PADA TAHUN 1881 DAN 1882

Zaman baru kemartiran Yahudi—Wacana publik di Inggris—Pertemuan massal, pertanyaan dalam Parlemen dan koleksi—Protes dari Prancis, Belanda, Amerika, dan negara lain—Sebuah pelajaran instruktif—Imigrasi masyarakat Yahudi—Masalah—“Para Pecinta Zion.”

Tahun 1882 menjadi titik balik dalam sejarah kolonisasi Palestina oleh Yahudi.

Kerusuhan dan pembantaian anti-Yahudi yang pecah di Rusia pada musim semi 1881 telah mendatangkan perhatian kepada posisi bangsa Yahudi, namun tak pada tingkat selaras dengan pengaruh persoalan tersebut. Tepat kala nampak mungkin bahwa para martir tahun 1881 takkan meninggalkan catatan di balik mereka, pembantaian baru terjadi pada 1882 dan kembali menarik perhatian terhadap persoalan tersebut. Seluruh surat kabar Inggris secara simpatik bersepakat dengan posisi Yahudi yang tertindas, dan meraih catatan kejahatan penuh. Artikel-artikel tersebut menyebabkan ledakan rasa kasihan dan simpati di seluruh Inggris. Banyak pertemuan massa diadakan dan pendanaan dimulai. Pertanyaan dialamatkan ke Dewan Menteri dan Wamen Urusan Luar Negeri. Tangisan spontan di Inggris kemudian menyebar ke seluruh negara Eropa. Di Paris, novelis penyair veteran Victor Hugo (1802‒1885) mengepalai banding untuk keadilan dan rasa kasihan. Di Belanda, Universitas Utrecht menantang agar Oxford memprotesnya. Di seberang Atlantik, Pemerintah Amerika Serikat maju ke depan melebihi Pemerintah lainnya, dan memasuki protes kekuatan dalam Pesan Presiden untuk Kongres. Seluruh gerakan tersebut mendapatkan cikal bakalnya dari ledakan rasa kasihan empatik pertama di Inggris.

Insting rasial dan nasional yang pada masa kemakmuran seringkali tertanam dalam hati Yahudi sepenuhnya bertumbuh dan terpancar oleh penindasan jahat terhadap saudara mereka yang tertimpa. Ini adalah pelajaran instruktif mengerikan bagi Yahudi yang menyakini perjuangan kemanusiaan sebagai solusi masalah tragedi Yahudi. Mereka mengalami kebangkitan mendadak dan menggelora. Dakwaan lebih dan lebih diberikan di kalangan masyarakat bahwa ketaktertolongan Yahudi di pengadilannya, ketidakmampuan kuatnya untuk menghadapi gelombang pelecehan dan penindasan, utamanya karena fakta bahwa ia tak memiliki tanah yang dapat ia sebut tanah Yahudi par excellence. Perlakuan terbaik yang ia terima di negara-negara bebas adalah satu-satunya toleransi. Ia selalu didorong untuk memiliki hak keberadaan dan kesetaraan dengan orang-orang di tempat mereka tinggal, namun tidak ada kasus yang dapat memberlakukannya lewat tindakan yang lebih kuat selain banding kepada kebaikan dan kemurahhatian orang-orang yang dapat memberikan atau menghimpunnya. Banding kepada prinsip suci dari kemanusiaan dan keadilan, keindahan dan inspirasi sebagaimana yang ada pada mereka, menyubur secara terapan. Penindasan yang baru membawa fakta tersebut sekali lagi pada kepentingan Yahudi.

Disamping itu, terdapat fakta nampak dari sejumlah Yahudi tuna wisma yang tak memiliki tempat hunian di tempat manapun di belahan dunia. Karena itu, eksodus besar telah dimulai. Kebutuhan menyediakan para pengembara tuna wisma dengan hunian sangatlah ditekankan, melebihi yang dilakukan tanpa banyak penundaan. Penindasan bertumbuh dalam intensitas, dan imigrasi meningkat lewat lompatan dan pelipatan ganda. Para penderita berniat untuk bermukim di nyaris setiap belahan dunia. Setiap negara menolak untuk menerima sebagian besar imigran, dan lebih dari satu negara melarang mereka masuk.

Kala banyak pengembara malang berjuang sendiri untuk menghadapi gelombang kemiskinan dan pengasingan, sejumlah saudara mereka yang berada di bawah keadaan yang lebih layak di negara lain menjadikan bisnis mereka untuk menyediakan rencana demi bantuan pengasingan. Untungnya bagi para imigran, dan untuk peran ranah kemanusiaan, terdapat pihak berpemikiran mulia di Amerika yang melirik bahwa ada pekerjaan untuk dilakukan, dan menempatkannya tanpa pewarisan, tanpa memperdulikan pengeluaran maupun ketegangan dalam tindakan pengiriman untuk pengentasan kesengsaraan terhadap para imigran dan mengamankan mereka melawan cobaan dan kejahatan dari negara baru.

Bantuan langsung yang diberikan oleh Amerika sangatlah penting, namun pertanyaan mendatangnya masih tetap tak terpecahkan. Masalah yang diciptakan oleh imigrasi Yahudi menghadirkan banyak esulitan. Ikatan yang mengikat hati imigran dengan tanah kelahirannya secara bertahap merenggang. Perhatian orangtua terhadap tradisi tanah asli mereka perlahan melemah. Anak-anak menemukan ikatan baru. Kawasan sekitar yang haru mengklaim perhatian mereka. Tanah jauh dari masa bayi mereka nampak hanya nampak pada cakrawala. Beberapa tahun berlalu, dan Ghetto lama telah menjadikan mereka penglihatan mistis. Sehingga, tak ada yang menonjol sebagaimana kemunculan cepat imigran Inggris, Irlandia, Skotlandia, Jerman, dan bahkan Prancis, untuk menuturkan sekitar separuh puluhan kebangsaan yang lebih kecil, lewat jenis Amerika biasa.Seseorang akan berharap untuk melihat warga negara yang memahami untuk menganggap perpaduan berkelanjutan tersebut sebagai kondisi politik alami, untuk memadukannya, untuk memajukannya, untuk menghapuskan segala perbedaan yang keluar dari jalan orang-orang yang mencurahkan diri mereka sendiri pada tugas pengiriman imigran baru ke “tanah berkemungkinan tak terbatas,” dan merekonsiliasi dan mengharmonisasikan sejumlah unsur heterogen. Namun, terdapat orang yang melakukan hal terbaik mereka untuk mengerjakan pekerjaan besare tersebut, dan berterima kasih kepada upaya mereka, legislasi dijalin dalam pemberlakuan berbagai pembatasan terhadap imigrasi bebas. Imigran Yahudi utamanya masih dipandang di beberapa kawasan sebagai pengacau. Mereka meraih sorotan buruk tak hanya oleh non-Yahudi, namun oleh beberapa saudaranya sendiri, yang memiliki nasib yang baik untuk singgah di negara sebelumnya, dan ingin merasa tenang di rumah. Dan ini tak hanya pertanyaan ekonomi yang membuat imigrasi Yahudi secara en masse sulit: ini masih tetap menjadi pertanyaan budaya, agama dan tradisi Yahudi nasional, yang terancam oleh asimilasi. Pertanyaan roti, yang sama pentingnya, bukanlah keseluruhan masalah Yahudi. “Panem et circenses” Romawi lama tak dapat menjadi prinsip Yahudi. Prinsip Yahudi dinyatakan dalam firman:—

“... bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN.” (Ulangan 8:3).

Kini, para anggo0ta bangsa lain dapat menemukan rumah di Amerika kala bangsa mereka masih ada dan mengembangkan kehidupannya sendiri di negara induk. Namun, dimana negara induk orang-orang Yahudi, dari agama Yahudi ?

Berbagai skema kolonisasi Yahudi direncanakan dan sebagian dilakukan di Amerika pada masa mereka dinyatakan. Beberapa dari mereka mendatangkan beberapa kesuksesan, lainnya meraih kegagalan besar. Di sisi lain, sejumlah besar Yahudi terinspirasi oleh dakwaan bahwa hasil baik hanya dapat diharapkan di Palestina dari upaya untuk mengubah Yahudi pengasingan menjadi petani. Pandangan tersebut sangat ditentang oleh pihak lain yang, dengan kehidupan mereka sendiri yang lebih makmur, menganggap bahwa mereka akan selalu aman melawan penindasaan di negara-negara yang mereka huni. Akibatnya, mereka menganggap bahwa masalah Yahudi hanya dapat dipecahkan oleh penyatuan sebenarnya antara Yahudi dan tetangga non-Yahudi mereka, lewat proses yang Yahudi tempatkan pada semua hal yang memisahkan mereka dari non-Yahudi. Mereka buta akan fakta, yang dihimnpun oleh seluruh sejarah Yahudi, bahwa Yahudi lainnya menyangkal kekhasannya melebihi yang ia serang dan tuduh; dan bahwa walau sejumlah kecil Yahudi terkadang berhasil dalam menerobos ketidaksamaan mereka, masyarakat Yahudi mampu dan berhak. Mereka menganggap bahwa Palestina harus menjadi tempat terakhir bagi Yahudi saat ini untuk berpikir, di bawah penekanan keliru bahwa Tanah Suci tak selaras untuk kolonisasi dan pertanian pada skala besar. Mereka berpendapat dari sudut pandang teknikal yang memiliki fondasi buruk. Mereka tak memiliki pengetahuan fakta, dan Palestina bagi mereka benar-benar merupakan terra incognita. Namun, masyarakat kembali dengan dorongan ke Palestina. Perhimpunan “Pecinta Zion” di seluruh tempat dihimpun untuk pengadaan harapan yang ditekankan untuk membuat Yahudi kembali menjadi pemilik tanah di Palestina. Terkadang, gagasan tersebut diambil dengan keantusiasan lebih ketimbang esensi terapan, dan kebanyakan orang mengkhawatirkan Palestina dalam keyakinan bahwa, kala di negara tersebut, mereka akan mendapatinya mudah untuk membuat kehidupan. Secara alami terdapat banyak kekhawatiran, dan banyak pelajaran pahit yang diambil lewat pengalaman pedih. Sehingga, ini menjadi penghirauan pada perhimpunan yang ada untuk mempertahankan keantusiasan pengikut mereka dalam ranah pengadaan dan penerapan. perhimpunan tersebut melakukan cara mereka secara hati-hati. Mereka mendapati tempat layak untuk mendirikan koloni, mengarahkan tenaga dari orang-orang untuk lebih selaras mengambil pengejraan kolonisasi pada saluran sebenarnya, dan memeriksa upaya orang-orang yang tak menunjukkan kemampuan untuk kesuksesan dan hanya akan menghimpun pengadaan kemampuan dan kelayakan.