Sekeping Waktu untuk Aidan: Dunia Penuh Warna

Pengantar

Data diri umum penulis:

Nama lengkap: Litacha Tamlicha

Tempat tanggal lahir: Jakarta 15 Feb 1975

Profesi: seorang ibu dari putra berumur 11 tahun

Pendidikan terakhir: S2

Premis cerita: sebelum Aidan menjalani operasi untuk aneurysma di otak, kedua orangtuanya mengajak Aidan ke Amerika. Demi antisipasi jika terjadi komplikasi kebutaan.


Judul: Sekeping waktu untuk Aidan: dunia penuh warna


1.      Libur kenaikan kelas

Hari ini merupakan hari yang sangat dinanti Aidan, cowok kecil berusia 11 tahun, hari keberangkatan keluarganya ke Amerika. Rute penerbangan pesawat Singapore Airline mereka sudah dihapalnya luar kepala; Jakarta-Singapore-Frankfurt-New York. Koper merahnya sudah rapi dikunci, setelah sebelumnya selama hampir 2 minggu mengalami bongkar pasang (semua baju yang sudah rapi dimasukkan kedalam koper dikeluarkan kembali dan diganti dengan baju/celana lain). Koper besar mamam dan papap juga sudah rapi terkunci. Masing-masing membawa tas ransel yang berisi peralatan penting untuk diperjalanan. Ekstra baju hangat, sikat gigi dan odol, sedikit permen dan coklat, cemilan untuk Aidan daneberapa obat penting lainnya. Kamera. Mamam dan Aidan membawa kamera masing-masing. Aidan membawa kamera Olympus bekas mamam dengan kartu memori baru (Aidan menabung semua uang “insentif” shalatnya untuk membeli kartu memori, Aidan bahkan tidak membeli kartu pokemon (biasanya semua uang hasil insentif shalat selalu buat borong kartu pokemon). Mamam dan papap memberi insentif shalat buat Aidan jika berhasil shalat lengkap lima waktu dalam sehari sebesar Rp 50.000). Mamam membawa kamera Nikon, beberapa prime lens dan kartu memori yang juga masih baru. Mamam dan Aidan akan berburu foto selama di Amerika, yang merupakan tujuan utama mereka. Papap pakai kamera handphone saja kata papap ambil tertawa lebar ketika Aidan bertanya jenis kamera apa yang akan dipakai papap.

2.      Terbang

Penerbangan Jakarta-Singapore memakan waktu 1 jam dan 45 menit, semua penumpang connecting flight ke Frankfurt dan lainnya harus transit di Singapore. Setelah menunggu 1 jam sambil berjalan-jalan di pertokoan cantik barang-barang duty free di bandara Channgi, akhirnya mereka bertiga duduk di dalam pesawat Singapore Airline menuju Frankfurt. Aidan adalah seorang yang sangat pemilih dalam makan, makanan di pesawat biasanya tidak enak, tapi mungkin karena Aidan sedang bersemangat, semua makanan yang disajikan habis disantap tanpa sisa. Menu utama chicken steak dengan jamur dan mashed potato, roti dan butter, jus apel dan es krim vanilla. Aidan mengusap perutnya yang kenyang dengan raut wajah puas dan mengantuk.

3.      Pertemuan pertama

Tertidur hampir 2 jam penuh, Aidan tiba-tiba terbangun. Kaget dan tersadar bahwa ia berada di dalam pesawat, posisi saat ini sudah jauh melewati Frankfurt, silau menatap layar monitor tv, Aidan tidak bisa membaca tulisan lokasi posisi pesawat berada. Setelah meregangkan badannya sejenak, Aidan merasa segar dan tidak dapat tidur lagi. Kedua orangtuanya masih tidur. Jam ditangannya menunjukkan pukul 23.15 malam. Tangannya meraih remote layar tv dan memutuskan untuk melihat beberapa film dokumenter yang ada. Ada beberapa pilihan menarik, tapi ekspedisi kapal Endurance oleh Sir Ernest Shackleton sepertinya seru.

Mata Aidan terfokus menatap film yang sebagian besar berisi wawancara seorang sejarawan dengan Dan Snow, seorang jurnalis yang juga presenter didepan sebuah kapal layar putih kecil yang dulu pernah dinaiki Shackleton. Wah wah ulangtahun beliau sama denganku, 15 Februari, 1874, pikir Aidan tiba-tiba merasa gembira dan bersemangat. Usia kami berbeda jauh, aku lahir tahun 2011, berarti saat ini Shackleton berusia 149 tahun jika beliau masih hidup. Sir Ernest Shackleton terkenal sebagai penjelajah kutub yang melakukan 4 ekspedisi eksplorasi ke Antartika khususnya the Trans-Antarctic/ekspedisi Endurance tahun 1914-1916, yang meskipun tidak berhasil mencapai antartika tapi sangat dikenal karena kemampuan bertahan hidup yang luar biasa. Aidan tenggelam dalam lautan dokumentasi Shackleton.

4.      Demam

Dalam tidurnya, Aidan bermimpi sedang berjalan di kaki gunung bersalju yang sangat besar. Aidan berjalan sendiri, menyusuri hamparan salju tak bertepi ditengah angin yang menderu keras. Beberapa titik hitam bergerak cepat ke arahnya. Apa itu pikirnya dengan napas tertahan. Yeti? Manusia? Kawanan serigala? Dari kejauhan Aidan tidak dapat membedakan apakah titik hitam yang bergerak kearahnya merupakan manusia atau bukan. Belum sempat pulih dari kagetnya, tubuh Aidan terbanting keras oleh dentuman badai salju yang ganas. Tak bisa bernapas, Aidan berusaha menggapai keatas. Sejenak pikirannya berhenti. Seluruh tubuhnya tertutup salju putih selembut kapas. Aidan berusaha menggerakkan badannya. Tidak bisa. Kakinya masih bisa jalan tidak, pikirnya gugup sambil berusaha menggerak gerakkan kakinya. Tidak ada hasil. Tangannya. Apakah tangannya bisa bergerak? Aidan berusaha menggerakkan tangan untuk menyingkirkan salju yang mulai membuat nafasnya susah. Tidak ada hasil. Jadi tangan dan kakinya lumpuh tidak bisa bergerak pikirnya panik. Segera Aidan berteriak sekuat tenaga.Tapi entah kenapa suaranya tidak keluar. Hanya matanya yang bisa bergerak. Air mata frustasi meluncur dari pipinya yang kurus.

Aku harus hidup! Aku harus hidup! Berpikir Aidan! Berpikir! Gunakan otakmu! Ini hanya mimpi dan aku berada dalam pesawat… Aku akan terbangun dan belum waktunya aku mati.

Aidan memejamkan mata dengan rapat. Otaknya berpikir keras dan semua sel, semua jaringan, semua jaras jaras sinaps dan neurotransmitter di otaknya, mengirim pesan seolah berlomba mentransmisikan penjalaran impuls panik dan SOS Aidan.

SOMEBODY, jerit suara tak bersuara dalam relung paru-parunya.

ANYBODY!

HELP… jeritnya lemah dalam gema hening.

Aidan memejamkan mata, berdoa memanggil Allah dengan segenap hati.

Rasanya hampir seabad ketika Aidan merasakan kebekuan dengan segera menyebar di seluruh jari tangan, jari kaki dan ketika tubuhnya mulai membekukan semua aktivitas otak dan jantungnya, Aidan merasa tubuhnya ditarik keluar dari tumpukan salju.

Seseorang menampar pipinya dengan pelan.

Get up boy, bisik pria berjenggot yang menariknya keluar dari salju. Aidan mengerjapkan matanya dengan sulit, matanya silau tidak mampu menahan pantulan matahari yang sangat menyilaukan pada salju putih. Meski kesulitan berkata-kata, Aidan memaksakan ucapan rasa terimakasihnya pada lelaki tua yang menariknya keluar dari salju. Siapa nama kakek? Tanya Aidan sudah lebih tenang. Kakek berjaket dan bertopi hitam itu hanya tersenyum dalam diam.

Merasa sangat lega dan aman, Aidan memejamkan mata, merasakan aliran udara bebas memasuki paru-parunya.

Ketika membuka mata lagi, sejenak Aidan mengalami disorientasi.

Kedua orangtuanya sedang memberinya obat penurun demam.  Suhu tubuhnya 40 derajat selsius. Rupanya ia mengigau saat demam. Pesawat  mereka terbang diatas Frankfurt.

Rasanya sangat nyata, desah Aidan sambil melipat meja pada kursinya, teringat wajah lelaki tua yang menariknya keluar dari salju, seperti Shackleton pikirnya ragu.

Aidan menggelengkan kepala, mengusir bayangan mengerikan betapa dekatnya ia dengan kematian saat berada dalam tumpukan salju. Jelas-jelas aku bermimpi. Aidan termenung memikirkan mimpinya. 5 jam setelah take off dari Frankfurt, Aidan kembali menutup matanya dan membiarkan dirinya dibuai mimpi lagi.

5.      Reno, Nevada menuju Lake Tahoe.

Aidan dan mamam memotret salju dan pepohonan pinus yang diselimuti salju. Perjalanan dari San Diego menuju Reno, Nevada menggunakan Chrysler hitam sewaan. Sepanjang jalan tol yang lurus, lurus dan lurus terus adalah gurun pasir yang dikelilingi gunung hitam dengan puncaknya diliputi salju. Pohon kaktus besar dan kecil menghiasi gurun pasir tandus berdebu. Jarang tampak binatang atau rumah. Langit biru cerah melatarbelakangi, kontras dengan hitamnya gunung dan gurun pasir. Baru kali ini Aidan melihat gurun pasir. Pagar kawat berduri kerap terlihat, mengindikasikan bahwa area gurun tersebut mungkin ada pemiliknya. Setelah beberapa jam hanya melihat pasir dan pasir saja, mulai terlihat tanaman rapi berjajar, yang tampak seperti pokok dari pohon anggur (pohon gundul dengan ranting yang habis dipangkas karena tidak ada daunnya). Mungkin itu sengaja dipotong supaya tumbuh tunas dan daun baru, kata papap menjawab pertanyaan Aidan mengapa semua pohon yang ada tidak berdaun. Akhirnya sampai ke Reno, Nevada, kota kecil yang tidak banyak penduduknya. Reno, kota kecil ditengah gurun Nevada, sepi, dengan beberapa kasino kecil dan resort ski dan olahraga dmusim dingin lainnya (snow glider dll). 15-30 menit dari Reno, jalanan licin berlapis es. Hamparan salju tebal dikaki pohon cemara. Keheningan yang indah menyelimuti ketika Aidan membuka pintu mobil. Deru angin dan butiran salju jatuh ketangan Aidan yang langsung membuat manusia salju. Mamam dan papap tampak berdiskusi dengan serius terkait derasnya hujan salju dan kondisi mobil mereka yang tidak sesuai. Mobil yang mereka sewa bukan 4 wheel-drive dan ban nya tidak dilengkapi dengan rantai khusus untuk bisa berjalan dengan aman diatas jalan yang dilapisi permukaan es. Suhu minus 20 derajat selsius dibawah nol. Angin kencang dan derasnya terpaan salju, jalan yang menanjak-semua itu menambah licin jalan yang mereka lalui dan sangat sangat berbahaya. Beberapa kali papap dan mamam merasakan bahwa mobil berada dalam kondisi slip alias meluncur sendiri tanpa bisa dikendalikan. Mamam mulai membaca ayat kursi sambil komat kamit dengan serius, merasakan betapa mereka bertiga sangat dekat maut. Akhirnya diputuskan untuk tidak memaksakan naik hingga Lake Tahoe. Gak worth it kata papap.

Kita harus dan mau selamat, kata papap tegas.

Semua setuju tanpa paksaan.

Papap mengendalikan mobil dengan hati-hati, sadar bahwa terdapat batas tipis antara selamat dan tergelincir di jalanan beraspal yang sangat licin.

Mereka bertiga fokus kejalan dalam diam.

Dari dalam mobil terdengar suara angin kencang menderu-deru, ditingkahi suara wiper pada kaca depan dan kaca belakang yang aktif menyapu butiran lembut salju.

Mobil mereka bergerak lambat dan dilewati dengan cepat oleh mobil-mobil ber-4WD (4-wheel drive) yang mampu berlari dengan lincah tanpa harus khawatir tergelincir di jalan berlapis es.  Sebuah papan biru penunjuk arah bertuliskan next 30 min Mount Rose Ski Resort ahead.

Lihat, mereka bertiga serempak, kompak menunjuk papan biru besar yang baru saja mereka lewati. Saling berpandangan, mamam dan papap menganggukkan kepala tanda setuju, mobil belok kanan menuju halaman parkir Mount Rose Ski Resort Lodge.

6.      Vonis mematikan

Kurang dari setahun yang lalu, Aidan jatuh pingsan.

Saat dilakukan brain ct-scan, didapati brain aneurysma (kelainan dinding pembuluh darah di otak), lokasinya pada pusat penglihatan sehingga dapat berakibat kehilangan fungsi penglihatannya.

Dokter bedah saraf menyarankan dilakukan pemasangan klip pada aneurysma untuk mencegah pecah melalui prosedur standard pterional craniotomy.

Dokter Abhiram menjelaskan lebih lanjut, bahwa cedera saraf mata akibat operasi jarang terjadi meski kemungkinannya tetap ada. Gejala akibat penurunan fungsi penglihatan meliputi hilangnya kemampuan melihat cahaya, hilangnya kemampuan untuk melihat obyek serta tidak mampu membedakan warna. Jika hal ini terjadi, sifatnya irreverssible atau permanen.

Mamam dan papap tidak bisa berpikir. Penjelasan dokter tentang kemungkinan Aidan buta terasa sangat berat. Belum pernah seumur hidup mereka dihadapkan pada situasi sesulit ini.

1 hari berlalu. Tidak akan pernah ada cukup waktu untuk menimbang baik buruk, operasi atau tidak dan bermacam kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Sangat sempit ruang untuk memutuskan masa depan Aidan. 

7.      Menjemput warna

Setelah beberapa kali konsultasi dengan dr Abhiram, Mamam dan papap memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Amerika dengan Aidan, 1 bulan sebelum operasi. Berbagai persiapan dan skenario jika aneurysma Aidan pecah saat di Amerika. Dr Abhiram bahkan membekali mereka dengan kontak kolega beliau, sesama dr bedah saraf di Amerika, jika kondisi Aidan mengalami perburukan, termasuk medivac dengan pesawat (medivax = medical evacuation-evakuasi medis pasien yang berada diluar negeri kembali kedalam negeri atau sebaliknya).

Persiapan yang sangat rumit untuk menjemput warna bagi Aidan.

8.      Eksekusi

15 Februari 2023.

Mata Aidan sedikit mengerjap saat obat bius mulai berefek. Mata sipitnya menutup dengan tenang. Kedua orangtuanya tak sanggup menahan haru. Mamam mencium pipi Aidan dan membisikkan kata sayang di telinga putranya, menatap lekat putranya yang akan berjuang melawan maut. Sampai jumpa di New York sayang, kata mamam dalam hati sambil mencium kening Aidan sekali lagi.

Papap mau ngajak Aidan ke Nepal, Himalaya kalau Aidan sembuh, Aidan harus ngajarin papap pake kamera DSLR baru, bukan kamera handphone lagi ya sayang, bisik papap sambil menghapus airmatanya yang terus mengalir deras.

Jam dinding ruang operasi menunjukkan pk 07.45 saat dr Abhiram dan tim mulai bekerja pada tubuh mungil Aidan.

5 jam kemudian, didalam ruang perawatan intensif.

Aidan mulai terbangun dari pengaruh obat bius. Merasakan genggaman tangan mamam dan papap di tangan kanan dan tangan kirinya yang masih terpasang selang infus.


Epilog: “Equation of time” merupakan folder diari perjalanan eksplorasi kreatif Aidan


Equation of time – folder foto Aidan: 20 Desember 2022-10 Januari 2023

New York di malam hari. Foto restoran yang menjual clam chowder favorit Aidan di stasiun Union New York.

Pantai Sausalito yang indah, San Fransisco. Sausalito bakery, the best bakery in Sausalito.

Mount Rose, Reno, Nevada. Foto pohon dan salju. Foto gedung warna-warni yang indah.

Tulisan Aidan tidak banyak.


Pada halaman terakhir diari tebal Aidan:


No words needed to describe what I felt, tulis Aidan.

I’m happy. I see what I wanted to see. Thank you.

You’re the best!!!

Aidan membuat sketsa mamam dan papap sedang memanjat gunung, keduanya memakai helm lucu, wajah Aidan yang tersenyum lebar.