SEPATU BARU

Bunga menghitung kembali uangnya. Sisa uang jajan yang dikumpulkannya selama hampir enam bulan ini. Terhitung sejumlah dua ratus limabelas ribu rupiah. Ada sepuluh lembaran lima ribuan bergambar seorang penari gambyong yang cantik, selebihnya adalah lembaran dua ribuan. Juga koin seribuan dan limaratusan. Kalau tidak jajan Bunga bisa menabung sebanyak lima ribu, pemberian ibunya setiap hari. Namun kadangkala Bunga butuh jajan bersama teman-temannya. Baru sisanya ia masukkan pada tabungan berbentuk ayam jago di kamarnya. Maka lembaran uang dua ribu itu lebih banyak jumlahnya daripada lembaran lima ribuan.

Tabungan ayam jago berwanra hijau terang itu terbuat dari plastik. Ada lubang yang bisa diperbesar di bagian bawah. Dari lubang yang telah disobek dengan cutter itu Bunga mengeluarkan uang tabungannya. Kemudian lubang itu akan ditutup kembali dengan lakban, setelah disisakan lubang kecil untuk memasukkan uang lagi.  Besok Bunga akan kembali mengisinya dengan sisa uang jajannya. Bunga akan membuka tabungannya itu jika membutuhkan sesuatu. Seperti saat ini, Bunga membutuhkan sepatu. Sepatu yang sudah lama dilihatnya setiap pulang sekolah. Sepatu lamanya sobek pada ujung jempolnya.

Toko sepatu ‘Diana’ itu terletak di samping Apotik K-24, yang letaknya tidak jauh dari sekolahnya. Setiap pulang sekolah, Bunga dan Keisa melewatinya. Mereka berdua biasa berjalan kaki sebelum sampai shelter bus yang berada di seberang jalan. Esok pulang sekolah sepatu itu akan dibelinya. Uang tabungannya cukup untuk membeli sepatu seharga seratus sembilan puluh lima ribu itu. Sisanya mungkin bisa dibelikan kaos kaki, pikir Bunga gembira.

“Belum tidur, Dik?” Ibu bertanya sambil membuka pintu kamarnya. “Besok kakakmu mampir ke rumah sebentar.”

“Oh ya?” Mata Bunga berbinar. “Kenapa sebentar, Bu?” tanyanya.

Mbak Dian, kakak Bunga telah bekerja di Jakarta. Satu-satunya kakak yang berselisih umur banyak itu kadang mampir ke rumah jika ada tugas kantor ke Jogja. Mbak Dian pula yang mengajarinya menabung dengan menyisihkan uang jajan. Jika menginginkan sesuatu harus menabung dulu, begitu katanya.

“Hanya ada waktu sebentar dari kantornya, Dik.” Ibu memberi penjelasan. “Sudah malam, tidurlah. Besok biar tidak kesiangan bangun.”

Bunga mengiyakan kata-kata ibunya. Waktu memang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sudah saatnya untuk tidur. Bunga membereskan mejanya. Selesai mengerjakan PR dari buku LKS matematika kelas enamnya. Uang tabungan ia masukkan dompet plastik bening bergambar little pony, hadiah dari Mbak Dian. Tak lupa Bunga berdoa sebelum tidur.

Paginya Bunga tidak mendapati Keisa di kelas.

“Keisa ijin, Bung,” kata Irfan sang ketua kelas 6.

“Kenapa?”

“Ibunya masuk rumah sakit,” timpal Rian.

Kemarin Keisa memang bercerita kalau ibunya agak terganggu kesehatannya. “Kalau begitu kita buka ‘topi sosial’ untuk menengok ibunya Keisa.” Bunga menjawab cepat.

Topi sosial adalah ide kelas 6 di mana Bunga menjadi bendahara kelas. Dinamakan topi sosial, karena awalnya mereka mengumpulkan uang dengan wadah topi seragam biru mereka yang di balik. Uang yang terkumpul, untuk dibelikan sesuatu saat menengok temannya atau keluarganya yang sedang sakit. Diedarkan di kelas, terserah mereka mau mengisi sesuai kemampuannya. Topi sosial yang diedarkan kadang terkumpul seratus ribu atau lebih, kemudian Bu Rina wali kelas mereka akan menambahi.  Seperti saat ini, uang ‘topi sosial’ yang terkumpul sejumlah seratus dua puluh ribu rupiah. Bu Rina menambahkan tiga puluh ribu sehingga jumlahnya menjadi seratus lima puluh ribu rupiah. Saat menengok nanti, mereka akan membawakan buah atau kue sebagai tanda kasih.

Terpaksa Bunga sendiri berjalan kaki pulang sekolah hari ini. Terlebih tidak ada yang menemani untuk ke toko sepatu seperti yang mereka rencanakan kemarin. Meski sedikit kecewa, namun Bunga mencoba memahami situasi temannya. Seperti dirinya, Keisa sangat sayang pada ibunya. Pasti kehadiran Keisa menemani ibunya akan menenangkan hatinya.

Akhirnya Keisa menyusuri trotoar Jalan KHA Dahlan sendirian sepulang sekolah itu. Teman-temannya kebanyakan menanti jemputan, atau naik gojek. Sekitar 500 Meter dari lokasi sekolahnya, Bunga akan sampai ke toko sepatu ‘Diana’ di sebelah apaotik K-24. Bergegas ia melangkah cepat, agar bisa sampai ke rumah dan memamerkan sepatu barunya. Sepatu baru yang dibeli dari hasil tabungannya. Mbak Dian pasti bangga, ia bisa membeli sesuatu dari hasil jerih payahnya.

Tiba-tiba langkah Bunga terhenti. Dia melihat Keisa keluar dari Apotik K-24. Nampak wajah sahabatnya itu murung. Bunga bergegas menghampiri.

“Keisa…”

Keisa terkejut. “Bunga, baru pulang?” tanyanya.

“Ibumu sakit apa?” Bunga memegang tangan Keisa.

Keisa nampak menghela napas. “Darah tinggi ibu kambuh, Bung,” katanya lirih.

“Semoga segera sembuh, Sa.” Bunga mengelus pundak sahabatnya, mencoba menghibur.

“Terimakasih, Bunga.” Keisa menjawab singkat. Wajahnya nampak sedih. Lalu kembali berkata, “Maaf, Bunga, aku tidak jadi menemani membeli sepatu.”

Bunga menyahut cepat. “Ah tidak masalah, Keisa. Mmmm, kau habis beli obat?” tanyanya.

Keisa tidak segera menjawab. Ia nampak lesu.

“Kenapa, Keisa?” Bunga bertanya ragu.

Keisa hanya menggeleng. “Tidak jadi, Bunga. Karena…” Ia tidak melanjutkan kalimatnya.

“Tidak jadi bagaimana?” Bunga segera menimpali.

“Uangnya tidak cukup, Bunga. Kemarin Ayah sudah menebus obat banyak sekali.”

Bunga terdiam. “Kurang berapa?” tanyanya pelan.

“Tidak banyak sih, cuma… Cuma dua ratus ribu…” Keisa berkata lirih.

Bunga mengerjapkan matanya. Bagi keluarga Keisa uang sejumlah itu pastilah cukup banyak. Mereka bukanlah keluarga kaya, seperti halnya dirinya. Ayah Keisa bekerja sebagai satpam sebuah perumahan di dekat rumah mereka. Dan Keisa mengatakan kemarin ayahnya baru saja menebus obat juga. Dua ratus ribu rupiah. Bunga mengeja jumlah itu dalam hatinya. Uang sebanyak itu ada dalam dompetnya. Uang hasil tabungan untuk dibelikannya sepatu baru. Bunga berpikir sejenak. Dilihatnya ujung sepatu yang sobek pada jempolnya. Ahh, hanya sedikit, tidak kelihatan, masih bisa dipakai. Hati Bunga berkata. Kemudian segera dibuka dompetnya, dan lembaran-lembaran uang kertas yang semalam telah ditatanya itu ia serahkan ke tangan Keisa.

“Keisa… Ibumu sangat memerlukan obat itu. Ini pakailah, dan segera belilah obat itu.”

“Bunga…” Keisa setengah berteriak. “Jangan,” katanya sambil mengangsurkan uang yang ada di telapak tangannya.

Namun Bunga tetap menggenggamkan tumpukan uang itu pada tangan Keisa. “Sudahlah, tak apa.”

“Ini kan uangmu, Bunga. Uang yang akan kau pakai beli sepatu kan?”

Bunga mencoba tersenyum. “Ibumu lebih membutuhkan, Keisa,” katanya sambil melangkah cepat, karena bus Trans Jogja sudah berhenti di shelter seberang jalan  samping rumah sakit. Ia tersenyum sambil melambaikan tangan pada sahabatnya.

Keisa terpana. Ia hanya mampu membalas lambaian tangan sahabatnya sambil mengucapkan terimakasih. Kemudian masuk kembali ke apotik. Dihitungnya kembali lembaran-lembaran uang Bunga, sebelum diserahkan pada kasir apotik. Keisa berjanji akan mengembalikan kembali uang Bunga kelak ibunya sembuh.

Sementara laju bus yang ditumpangi Bunga bergerak cepat. Hanya berhenti sejenak dari satu shelter ke shelter lainnya, untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Bunga turun pada  shelter dekat sekolah kesenian di daerahnya. Ia harus berjalan kaki untuk mencapai rumahnya. Ada perasaan teraduk di hatinya. Ia batal membeli sepatu baru yang diinginkannya, namun cukup bahagia bisa menolong sahabatnya. Ia akan lebih rajin menabung lagi.

“Halooo, adikku tersayang…” Suara Mbak Dian menyambutnya di teras.

“Mbak Dian.” Bunga berlari cepat menghambur pada kakaknya. Baru diingatnya kata ibunya semalam kalau Mbak Dian akan mampir ke rumah dari kunjungan kerjanya di Jogja.

“Nginap nih, Mbak…” Bunga duduk di kursi teras.

“Tidak, Dik. Ini sudah siap-siap mau ke hotel lagi untuk meeting.”

Bunga agak cemberut mendengar ucapan kakaknya.

“Kakakmu kan kerja, Dik,” ibu menyahut sambil membawa sesuatu. “Mbak Dian menunggumu pulang sekolah, Dik.”

“Yaaa… cepet sekali,” sahut Bunga. Matanya tertuju pada goodybag, bertuliskan hotel tempat menginap kakaknya. “Apa itu, Bu?” tanyanya.

“Niih… bukalah. Hadiah kakak.” Mbak Dian mengangsurkan tas kain warna merah itu. “Semoga pas dengan ukuranmu.”

Tidak menunggu lama lagi, Bunga meraih goodybag itu dan melongok isinya. Ia mengeluarkan kotak kardus berwarna coklat, bertuliskan merk sepatu terkenal. Hatinya bergetar hebat. Tangannya sedikit gemetar ketika membukanya.

“Sepatu!” Matanya terbelalak demi melihat isinya. “Mbak Dian…” Ia segera menghambur ke pelukan kakaknya. Berkali-kali mengucapkan terimakasih, dan segera mencoba ukuran sepatu barunya.

“Makasih, Mbak Dian…” Bunga hampir menangis mencium sepatu, yang pasti harganya lebih dari dua ratus ribu itu.

“Tidak usah menangis, Bunga. Ayo tersenyumlah, kan seneng dapat oleh-oleh,” Mbak Dian mengolok-olok dirinya.

Bunga menangis, bukan saja mendapat oleh-oleh dari kakaknya. Ia biasa menerima oleh-oleh jika kakaknya dari bepergian. Kali ini Bunga menangis karena teringat pada Keisa sahabatnya. Uang tabungan pembelian sepatunya, telah ia berikan pada sahabatnya itu. Namun dirinya tetap bisa punya sepatu baru.

“Kau memang anak yang baik hati. Ibu bangga padamu,” kata ibunya saat Bunga menceritakan keadaan temannya. “Semoga Ibu Keisa segera sembuh,” lanjutnya.

“Anak baik, pasti juga akan mendapatkan yang terbaik pula.” Mbak Dian menimpali sambil tersenyum.

“Terimakasih, Mbak Dian.” Bunga kembali berkata dengan gembira.

Hatinya dipenuhi kebahagiaan saat  mencoba sepatu baru yang sangat pas ukurannya itu. oOo

S e l e s a i