Sepeda Kejujuran

"Yah, Dina boleh minta sesuatu?" tanya bocah berusia 10 tahun itu disela tontonan serial Doraemon di televisi.

"Minta apa?" tanya ayahnya bingung. Tumben sekali Dina meminta sesuatu darinya.

"Dina pengen sepeda roda 2 seperti miliknya Santi, warna pink, Yah," ucap bocah itu kembali.

Terdengar desahan keluar dari mulut ayah sang bocah. Rasanya tak tega melihat gadis kecil itu merengek meminta sepeda. Namun, tak sanggup juga dia mengatakan 'tidak' sebagai bentuk penolakan akan permintaan itu.

"Emang Dina enggak takut jatuh? Kalau mau main sepeda itu harus siap sakit karena jatuh loh," ayah menanggapi.

"Enggak lah, Yah. Kata Santi juga seperti itu. "Kalau mau bisa bersepeda, jangan takut jatuh." Ayah, beliin sepeda u tuk Dina, ya," Dina merengek lagi.

Ayah semakin bingung mendengar rengekan kedua itu. Dia sebenarnya sudah lama ingin membeli sepeda untuk Dina. Sayangnya, upah yang dia dapatkan dari bekerja di toko elektronik selalu habis tak bersisa. Sulit sekali baginya untuk menabung dengan gaji yang jauh dari kata lumayan itu.

"Insya Allah, Dina harus sabar, ya. Kalau Ayah punya uang, insya Allah kita beli. Dina bantu doa dan belajar yang rajin, ya. Dina minta sama Allah, agar diberi sepeda," bujuk sang ayah.

Mendengar tanggapan ayah, ada raut kecewa di wajah bocah itu. Dia memang sudah lama menginginkan sepeda, tetapi selalu dia tahannya. Entahlah, sejak usia 8 tahun, Dina sudah memahami kondisi ayahnya yang cukup sulit menafkahi kehidupan harian mereka. Namun, Santi yang setiap hari mengajaknya bermain sepeda dan meminjamkan sepeda kepada Dina mendadak bersikap kurang bersahabat.

"Aamiin. Semoga Ayah punya duit dan bisa beli sepeda Dina, ya," timpal ibu.

"Katanya kamu merusak sepeda Santi, ya, Din? Santi kena marah ibunya loh gara-gara sepedanya rusak," ucap Rido yang menjadi teman sepermainan Dina dan Santi. Rido menyapa saat melihat Dina sedang duduk di depan rumahnya, menunggu Santi.

"Loh, kok rusak, Do? Terakhir aku dan Santi main, sepeda itu tidak apa-apa kok!" Dina kaget tak percaya mendengar ucapan Rido. Dia yakin betul sepeda Santi baik-baik saja saat dia memakainya. Entahlah, Dina menjadi bingung mendengar cerita Rido.

"Pantas saja beberapa hari ini Santi tidak mengajaknya bermain sepeda. Aku berpikir dia sedang sakit sehingga tidak memanggilku bersepeda.

Dina ingin sekali ke rumah Santi untuk menanyakan kerusakan sepeda itu. Namun, Rido melarangnya. Dia tidak yakin kalau kedatangan Dina akan membuat Santi senang.

"Do, besok temani aku ke rumah Santi, ya. Ada yang harus aku tanyakan," ucap Dina.

"Menurutku nanti saja, Din. Ini kan baru terjadi beberapa hari yang lalu. Nanti malah kamu yang mendapatkan kemarahan dari Santi dan ibunya," kata Rido.

Dina tampak dia dan mencerna ucapan Rido. Oleh karena Dina sering main di rumah Santi, dia sangat tahu sikap dan perilaku ibu Santi saat marah. Tubuhnya lemas dan mulutnya tidak bisa berkata-kata lagi. Suasana hening di halaman.

Selang beberapa menit kemudian, Santi melintas di depan mereka, lalu berhenti. Dina memberi senyum kepada Santi, tetapi tidak dibalas olehnya. Sesaat kemudian, Rido bangkit dan meminjam sepeda Santi. Santi memberikan sepedanya.

Di tempat yang sama, Dina dan Santi duduk berdiaman melihat Rido yang bersepeda. Ada rasa malu pada dua bocah itu. Namun, mereka segan untuk memulainya.

"Nah, aku udahan ah nyepedanya. Udah siang. Aku pulang dulu, ya, Santi, Din," ucap Rido. Santi dan Dina melongo dan mata mereka saling menatap.

"Maafkan aku ya, San." Dina mulai berbicara. Santi bingung harus menjawab apa. Dia lalu menunduk. "Kamu enggak salah, Din. Aku saja yang sudah berprasangka buruk sama kamu. Maafkan aku, ya," balas Santi.

"Tapi, katanya sepedamu rusak karena aku. Yang mana yang rusak, San?" ujar Dina penasaran. Wajah Santi berubah.

"Maaf, Din. Itu bukan salahmu. Itu semua bohong! Biar aku enggak dimarah sama mama. Kamu tahu sendiri kan kalau mamaku sedang marah," jawab Santi tertunduk.

Dina mau marah karena dijadikan kambing hitam, tetapi dia berusaha mengendalikannya. Beberapa hari ini dia sudah merasakan tidak nyaman tanpa bertegur sapa dengan Santi. Dia tidak ingin hal itu terjadi lagi. Biarlah, semuanya sudah jelas kalau bukan dia yang merusak sepedanya.

"Lain kali, kamu harus jujur, ya, San. Enggak usah takut dimarah. Kalau itu kesalahan kita sendiri, kenapa harus takut mengatakannya. Beberapa hari ini aku sedih karena kita tidak bisa bermain bersama. Aku juga sedih karena merengek meminta ayah membelikan sepeda untukku ...," ucap Dina terbata.

"Iya, Din. Aku minta maaf, ya," balas Santi dengan suara yang terdengar sesegukan.