Si Kucing Putih
SI KUCING PUTIH Karya : Harnanik Fitriati
Pada suatu hari, di sebuah desa terpencil hidupnya seorang petani kaya raya. seorang petani kaya berjalan tergesa-gesa membawa sebuah karung yang berisi 6 anak kucing beserta induknya. Dia hendak membuang kucing dan anaknya itu ke hutan. Petani itu merasa kerepotan merawat kucing-kucing itu. Padahal saat itu sedang turun hujan lebat. Di jalan dia berpapasan dengan seorang pencari kayu bakar “Mau kemana Pak Jamet?” Tanya seorang pencari kayu bakar. “Saya mau ke hutan,” jawab Pak Jamet berjalan cepat-cepat. Sesampainya di hutan, Pak Jamet menaruh kucing-kucing itu di bawah pohon besar dan meninggalkannya. Dia bergegas pulang tanpa memperdulikan kucing dan anak-anaknya yang sedang kedinginan itu. Induk kucing putih itu sangat sedih dan mengeong-ngeong mencari pertolongan. Namun tak ada seorang pun yang lewat atau mendengar suaranya. Akhirnya anak-anak kucing itu mati karena kedinginan. Setelah mengetahui kalau anak-anaknya mati, Si Putih berjalan entah kamana. Ia kelaparan dan kakinya pincang. Pagi hari itu Pak Rahman berangkat ke sawah. Dia berangkat pagi-pagi sekali dengan membawa bekal sarapan yang sudah disiapkan istrinya. Dia berharap padinya sudah siap panen. Namun setibanya di sawah dia terkejut setelah mengetahui kalau padinya banyak yang dimakan tikus. “Ya Tuhan … padiku kenapa jadi rusak? Kalau begini, aku bisa gagal panen!” Ucap Pak Rahman dengan sedih. Dia berjalan menyusuri sawahnya dengan cemas. Tak lama kemudian, Pak Rahman pulang dengan gontai. Di tengah perjalanan, dia mendengar sura kucing yang mengeong, “Meonggg!” “Suara apa itu? Aku seperti mendengar suara kucing?” gumamnya sembari mengedarkan pandangan ke sekitar jalan yang dilewatinya. Pandangan berhenti pada seekor kucing yang tergeletak lemas di bawah pohon pisang. Pah Rahman segera menolong kucing putih itu dan membawanya pulang kerumah. “Bu, ibu! Aku menemukan seekor kucing, bu!” Pak Rahman menunjukkan Si Putih pada istrinya. “Oh Tuhan, kasihan sekali kamu, cing!” Ucapnya sembari mengelus-elus Si Putih. Lalu Bu Asih merawat Si Putih dan mengobati luka di kakinya. Mereka juga memberi makan Si Putih. Setelah mendapat perawatan beberapa hari, Si Putih berangsur-angsur membaik. Pak Rahman dan istrinya senang sekali. Sejak hari itu Si Putih telah menjadi bagian keluarga Pah Rahman. Setiap hari Si Putih ikut Pak Rahman ke sawah. “Pak, Si Putih di mana?” Tanya sang istri. “Tadi ikut bapak ke sawah, bu.” Jawab Pak Rahman. “Terus sekarang di mana, pak? Dari tadi kok tidak kelihatan.” Ucap sang istri dengan khawatir sembari mencari Si Putih di seluruh pelosok rumah dan pekarangannya. Pak Rahman pun ikut cemas mencari Si Putih. Dia baru teringat kalau pulang dari sawah tadi kayaknya Si Putih tidak ikut pulang. “Bu, mungkin Si Putih masih di sawah.” Ucap Pak Rahman pada istrinya. “Loh, kenapa tidak ikut pulang, pak?” “Sepertinya tadi ia keliling sawah mengusir tikus-tikus yang berkeliaran di sawah, bu.” “Oh begitu ya, pak. Ini sudah sore, pak. Kasihan kalau nanti kemalaman. Pak Rahman kemudian bergegas kembali ke sawahnya. Seperti dugaannya, Si Putih masih berada di sawah. Ia mengusir tikus-tikus yang memakan padi di sawah Pak Rahman. “Putih, putih ayo pulang! “Meong!” Si putih menurut pada perintah Pak Rahman. Lalu ia mengikuti langkah kaki Pak Rahman. Ia berjalan di belakang Pak Rahman untuk pulang ke rumah. Sementara itu Pak Jamet yang telah membuang Si Putih sedang mengalami kesedihan. Padinya banyak yang dimakan tikus. “Waduh, ini kenapa padiku banyak yang dimakan tikus?” Pak Jamet mengelilingi sawahnya sambil marah-marah. Memang banyak sekali tikus yang memakan padinya Pak Jamet. Sepertinya tikus yang dulu memakan padinya Pak Rahman sekarang pindah ke sawahnya Pak Jamet. Sejak ada Si Putih, sawah Pak Rahman menjadi aman dari tikus. Pak Jamet merasa sedih dan tidak dapat menerima kerusakan padi disawahnya. Dia semakin lama semakin terpuruk dan jatuh sakit. Pak Jamet gagal panen dan menderita kebangkrutan. Pak Jamet teringat akan kesalahannya pada kucing beserta 6 anaknya yang dibuang. Mungkin ini adalah karmanya telah membuang Si Putih hingga kehilangan anak-anaknya. Pak Jamet menyesali perbuatannya yang telah lalu dan berjanji tidak akan membuang kucing lagi.