Singkong Rebus Pak Puh
Pengantar
suntingTentang Penulis
suntingMartina R. adalah alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain, ISI Surakarta. Ia lahir di Magelang, sebuah kabupaten yang dikelilingi oleh 5 gunung. Semenjak lulus kuliah dan bekerja, dia mulai menyenangi dunia menulis dan ilustrasi buku. Awal mula kegemaran itu tumbuh dari pekerjaan yang mengharuskannya bersinggungan dengan dunia anak-anak. Hal tersebut pula yang membuatnya semakin tertarik pada bacaan anak berikut ilustrasinya yang lucu-lucu. Buku anak membelalakkan ingatannya untuk kembali ke masa penuh imajinasi itu. Saat ini ia berprofesi sebagai pekerja lepas atau freelancer dan mengerjakan desain visual dan juga ilustrasi.
Premis
suntingMenjelang sore, Nana duduk di ruang tengah rumahnya sambil sibuk mengerjakan tugas sekolah. Ia terlihat kebingungan, dan tugas itu tak juga kunjung selesai. Ibu yang sedang memasak di dapur ternyata diam-diam melihat, dan kemudian menghampirinya. Ternyata ada cerita yang akan membuat Nana keluar dari kepusingan yang sedang Ia alami.
Lakon
sunting- Nana
- Ibu
Cerita Pendek
sunting
Sore hari, di ruang tengah aku duduk sambil memandangi halaman buku tulis bersampul kertas krep coklat. Sesekali menggaruk-garuk kepala secara spontan karena dilanda kebingungan. Aku mencoba menggoreskan bolpoin di atas kertas untuk menuliskan beberapa kalimat, tapi kembali kutimpa dengan coretan ke kanan dan ke kiri. Akhirnya buku tulisku sudah terlihat layaknya lukisan abstrak. “Srang, sreng” samar-samar terdengar suara dari balik dapur. Rupanya Ibu sedang memasak untuk kudapan nanti malam. “Maaf ya bu, aku ingin sekali membantu. Tapi tugas ini sangat sulit dan harus segera kukumpulkan besok” kataku dalam hati. Aku terlalu fokus mengerjakan tugas hingga tak sadar Ibu sudah berada di sampingku dengan membawa sepiring singkong rebus.
“Kamu sedang mengerjakan apa nak? Kok wajahmu terlihat serius sekali. Ini makan dulu singkong rebusnya” tanya Ibu sambil meletakkan piring di atas meja.
“Eh Ibu. Maaf ya, Nana tidak membantu Ibu memasak di dapur. Nana sedang mengerjakan tugas dari bu Indah guru Bahasa Indonesia. Besok harus mengumpulkan empat cerpen, karena bulan depan Nana akan diikut sertakan lomba menulis tingkat kabupaten. Tapi rasanya cerpen buatanku sangat jelek, tidak sebagus tulisan Ibu.” Jawabku tak bersemangat.
“Oh, jadi karena itu raut wajahmu terlihat serius sekali. Sampai Ibu takut ingin menegur. Sudah, makan dulu singkongnya dan istirahat sebentar. Supaya nanti bisa menulis dengan tenang”
Ibu mengelus punggungku sambil tersenyum. Sesekali matanya melihat hamburan buku dan bolpoin di atas meja yang tampak kacau. Kuambil sepotong singkong rebus buatan Ibu dan sejenak melupakan kepusingan akibat tugas yang tak kunjung selesai.
“Enak kan singkong rebusnya?”
“Iya bu, enak sekali”
“Kalau melihat singkong rebus, Ibu jadi teringat Pak Puh mendiang kakekmu. Kami dulu sering memakannya bersama-sama menjelang malam sambil bercerita tentang kegiatan yang sudah kami lalui dihari itu. Oh ya, apa kamu tahu kalau Pak Puh adalah alasan kenapa Ibu mantap untuk menjadi seorang penulis.”
Sontak reaksiku berubah dari yang semula tidak bersemangat menjadi antusias. Tentu saja aku penasaran dengan kelanjutan cerita Ibu yang belum pernah aku dengar sebelumya.
“Wah, aku penasaran dengan cerita Ibu. Ayo bu, ceritakan lebih banyak tentang Pak Puh.” Mintaku dengan penuh semangat.
“Baiklah, Ibu akan bercerita. Jadi saat sesusiamu dulu, Ibu suka sekali membaca. Televisi bahkan telepon genggam belum marak seperti sekarang, sehingga Ibu sering membaca untuk memperoleh informasi juga sebagai sarana hiburan. Awalnya Ibu tidak memiliki banyak koleksi buku karena desa tempat Ibu tinggal berada di kaki gunung yang jauh dari perkotaan. Ibu kesulitan membelinya dan hanya bisa membaca apapun yang ada di rumah, salah satunya adalah koran bekas yang biasa dibawa Pak Puh kakekmu selepas pulang kerja.”
Belum selesai bercerita, tapi mataku menyorot tajam ke wajah Ibu sebagai pertanda bahwa aku makin semangat mendengar.
“Pak Puh bekerja sebagai sekertaris desa, koran yang ia bawa pulang adalah milik Bapak Kades yang sudah langganan koran dari sejak lama. Koran yang sudah selesai terbaca akhirnya menumpuk di kantor. Barangkali karena takut ketinggalan informasi, Pak Puh memintanya dari Bapak Kades untuk dibawa pulang ke rumah. Setiap sore setelah pulang kerja, Pak Puh membaca koran-koran itu ditemani kopi dan singkong rebus buatan Nenek. Ingat tidak sewaktu masih kecil, kamu sering Ibu ajak kerumah Kakek dan Nenek di desa. “Pak Puh” sebetulnya adalah sebutan untuk seorang Kakek di sana, semua anak kecil memanggil Kakek mereka dengan panggilan “Pak Puh”. Begitupun juga kamu, selalu memanggil Kakekmu Pak Puh dengan suara cempreng yang khas. Ia sampai hafal dengan suramu meskipun terdengar dari kejauhan”.
Sekilas aku mengingat kembali kenangan-kenangan bersama Pak Puh, meskipun tidak banyak karena Ia telah meninggal dunia saat aku berusia 5 tahun. Aku masih sekolah di Taman Kanak-kanak (TK) waktu itu dan sekarang usiaku sudah 12 tahun.
“Hahaha, iya aku ingat bu. Pak Puh selalu menemaniku bermain saat berlibur ke sana. Lalu bagaimana kelanjutan ceritanya?” Jawabku sambil merangkai kembali kenangan di masa lalu.
“Diam-diam, Ibu mambaca koran-koran yang dibawa Pak Puh. Sampai suatu hari, tanpa sengaja Pak Puh memergoki Ibu. Ia terkejut karena Ibu suka membaca koran diusia Ibu waktu itu. Pak Puh merasa, seharusnya Ibu membaca bacaan yang tepat sesuai usia Ibu. Sampai keesokan harinya selepas pulang kerja, Kakek memanggil Ibu dari halaman rumah. Sambil tersenyum lebar, ia membuka tas selempang yang selalu ia bawa dan terlihat sedang mengambil sesuatu dari dalamnya. Pak Puh duduk berjongkok dan memberikan dua buah buku kepada Ibu. Senang bukan main, Ibu sampai melompat-lompat kegirangan. 1 buku pelajaran dan 1 buku novel Ia belikan dari toko buku bekas di kota. Rupanya selepas pulang kerja, Ia sempatkan pergi ke kota yang jauhnya 30 menit perjalanan menggunakan angkot untuk membeli buku itu. Ia berpesan, kalau Ibu rajin membaca dan nantinya sudah menyelesaikan dua buku itu. Ia akan membelikan lagi buku yang baru. Ibu jadi semakin suka membaca dan menulis. Ibu memiliki keinginan suatu saat nanti tulisan Ibu bisa diterbitkan dan dibaca oleh banyak orang.” Lanjut Ibu.
Imajinasiku melayang-layang di kepala. Mendengarkan cerita ibu sambil membayangkannya, seperti rekaman film yang sedang berputar di otakku.
“Dulu, Ibu pernah merasakan hal yang sama seperti kamu. Kecewa dan tidak percaya diri karena karya tulis yang Ibu kirim ke penerbit atau kompetisi gagal berkali-kali. Tapi Pak Puh selalu berpesan agar tidak mudah menyerah. Katanya jika ingin menjadi penulis yang hebat, ya harus sering membaca. Apapun itu entah dari buku, majalah, atau surat kabar. Sama seperti, seorang juru masak tidak akan mampu membuat makanan enak jika ia tidak pernah mencicipi makanan enak dan juga belajar cara memasaknya. Karena itu, Ibu kembali bersemangat untuk membaca buku. Setiap akhir pekan, Pak Puh mengajak Ibu jalan-jalan ke kota sambil mengunjungi perpustakaan dan toko buku bekas. Di sana, Ibu melatih kemampuan menulis dengan membaca buku karangan penulis-penulis hebat. Kebiasan itu menumbuhkan rasa cinta Ibu kepada dunia buku. Tentu saja, Ibu sudah tidak punya rasa takut jika karya tulis Ibu ditolak atau gagal. Puluhan karya sudah Ibu kirimkan ke penerbit serta perlombaan melalui kantor pos. Dan akhirnya, hari itu tiba. Hari dimana satu karya tulis Ibu diterbitkan di surat kabar nasional. Ibu ingat betul satu artikel berhasil dimuat pada halaman surat kabar tersebut, yang isinya menggambarkan betapa sulitnya anak-anak di desa tempat Ibu tinggal untuk mendapatkan akses buku bacaan. Satu karya yang berhasil diterbitkan itu menjadi sumbu semangat untuk Ibu. Sehingga nantinya akan tumbuh karya-karya Iainnya yang lebih baik. Begitupun juga dengan kamu, asal terus berusaha pasti kamu juga bisa berhasil.
Ibu menutup cerita dengan melempar senyuman kepadaku. Karena terlalu asik mendengarkan, aku tersadar sedari tadi aku memegang singkong rebus yang sudah menjadi dingin. Segera aku menghabiskan singkong itu.
“Terimakasih Ibu, sekarang aku tahu jawabannya. Kuncinya aku harus banyak membaca kan? Dan tentunya harus sering berlatih menulis ditemani singkong rebus ini”.
“Ahahaha” Kami berdua tertawa
Akhirnya percakapan kami diakhiri dengan menghabiskan sepiring singkong rebus kesukaan Pak Puh.
TAMAT