Premis

sunting

Perilaku Okok, Tono dan Toni berubah saat mereka memiliki smartphone. Ketidakdisiplinan mereka soal aturan penggunaan hp membuat mereka harus kehilangan banyak hal.

  • Okok
  • Tono
  • Toni

Lokasi

sunting

Minahasa Utara

Cerita Pendek

sunting
 
Kecanduan bermain games online

Libur Sekolah

sunting

Beberapa hari lagi liburan kenaikan kelas, Dadei bersemangat sekali. Tak sabar berlibur di rumah Opa Mael dan Oma Lina. Liburan kali ini ia tak sendirian, akan ditemani lima sahabat karibnya. Ada Ebi, Ica, Okok, lalu si kembar Tono dan Toni.

Mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku SD. Saat di SMP ternyata mereka kembali satu sekolah. Hampir tiap hari bermain bersama, makan bersama, belajar bersama, pokoknya keenam bocah ini tak terpisahkan. Kemana-mana selalu bersama, bahkan sudah seperti saudara satu dengan lainnya. Jarak rumah mereka pun tak berjauhan. Satu komplek perumahan yang sama di Airmadidi, Minahasa Utara.

Hey guys! Aku mau ajak kalian berlibur di rumah opa dan oma ku! Tempatnya pasti kalian suka, di kaki Gunung Klabat. Kita bisa mancing ikan, tangkap Burung Weris, dan tidur di rumah pohon. Dijamin seru!” ujar Dadei saat istirahat di kantin sekolah.

Ebi dan Ica langsung bersorak girang. “Aku mau, aku mau!” ujar Ebi setengah berteriak.

“Memang kau saja yang mau Bi! Kita juga mau! Ia kan Ton!” timpal Okok.

Tono dan Toni tersenyum, lalu mengangkat jempol tangan mereka.  “Gasken! “ kata Toni.

Liburan kali ini penuh sukacita. Keenam sekawan ini naik kelas 2 dengan nilai rapor sangat baik. Semua masuk ranking 10 besar di kelas. Kabar lain yang semakin membuat mereka girang adalah, ternyata di kelas dua boleh membawa smartphone ke sekolah.

Tiga hari dalam seminggu ada mata pelajaran yang mengharuskan murid gunakan smartphone sebagai media membantu belajar mengajar. Dadei dan kawan-kawan senang bukan main. Akhirnya, tahun ini mereka bisa punya smartphone.

“Ayahku akan belikan besok. Hp (handphone) keluaran terbaru dong. Pas banget, berangkat liburan dengan hp baru. Bisa foto-foto, buat video. Pokoknya pasti seru lah!” ujar Okok.

“Jadi nggak sabar nih.  Berlibur sambil bawa hp baru,” kata Ebi menimpali.

Waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Seluruh perlengkapan berlibur telah siap di dalam tas masing-masing. Wajah keenam bocah itu begitu ceria sekali, semua sudah memiliki smartphone baru.

“Ayo kita berangkat sekarang.” Ayahnya Dadei membantu membawa tas anak-anak, menaruhnya di bagasi mobil.

Anak-anak berebutan masuk, tak sabar memilih tempat duduk. Sepanjang perjalanan mereka saling menceritakan smartphone barunya dengan heboh. Semua tak mau kalah, saling pamer. Si Ica selfie, si Ebi tak mau kalah. Kepala mereka dimiringkan ke kiri lalu ke kanan. Mulut mereka dimonyong-moyongkan, lalu tertawa geli sendiri.

Satu jam kemudian mobil tiba di tempat tujuan. Anak-anak dibuat takjub melihat rumah rumah panggung besar, kokoh, dan semua dari kayu. Namanya Walewangko, rumah khas Minahasa.

Di sekeliling halaman ada pohon buah matoa, rambutan, mangga, papaya, dan entah pohon-pohon apalagi. Banyak sekali dan rimbun. Anak-anak buru-buru mengambil tas masing-masing, meloncat keluar dari mobil. Opa Mael dan Oma Lina berdiri di halaman, menyambut mereka. Tiap anak lalu menerima segelas air kelapa, rasanya manis dan segar.  

“Selamat berlibur. Hati-hati, jangan nakal ya,” Ayahnya Dadei lalu masuk ke dalam mobil dan pergi.

Ada sebuah bangunan lain yang tak kalah menarik perhatian anak-anak saat itu. Sebuah rumah di atas pohon.  Okok dan Ebi berlari naik tangga kayu, masuk ke dalam rumah pohon. Dadei dan teman lainnya ikut menyusul, berisik sekali. Opa Mael dan Oma Lina tersenyum melihat tingkat anak-anak.

Sebelum makan siang, Opa Mael mengajak anak-anak memetik buah rambutan, mengambil telur bebek, lalu memancing ikan mujair di kolam belakang rumah. “Horeee aku dapat besar! Bantu aku dong, ikannya berat tau! Malah pada sibuk foto!” ujar Ebi, wajahnya cemberut.

Dadei tertawa melihat Ebi kewalahan dan ribut sendiri. Bocah perempuan itu benar-benar bingung, melepaskan mata kail dari mulut ikan.

Hari itu menjadi awal liburan yang luar biasa. Makan siang dengan mujair bakar, telor bebek goreng, tumis sayur daun pepaya muda, sayur paku santan, dan perkedel jagung.

Makan siang semakin nikmat karena ada sambal dabu-dabu lemong. Rasanya pedas, manis, asin, gurih dan sedikit asam. Enam bocah itu benar-benar makan lahap sekali. Bahkan, Okok dan Toni tambah nasi tiga kali.

Bangun siang

sunting

Menu makan malam pun tak kalah luar biasa. Ada bebek goreng, mujair woku belanga, tumis kangkung, dan rica roa.  Anak-anak begitu menikmati sajian lezat masakan Oma Lina. Usai makan malam, mereka bersiap istirahat. Opa Mael dan Oma Lina mengizinkan anak-anak tidur di rumah pohon. Ada tiga kamar kecil, lengkap dengan kasur, selimut dan penerangan. Satu kamar diisi dua orang. Ebi dengan Ica, Dadei dan Tono, lalu Okok satu kamar dengan Toni.

Waktu menunjukkan pukul  08.00. Di rumah pohon masih terdengar suara beberapa anak ngobrol dan tertawa cekikikan. Ebi dan Ica akhirnya tertidur, Dadei mulai mengantuk. Okok, Tono, dan Toni asyik bermain games.

Beberapa kali Dadei memperingati agar stop bermain. Mereka baru berhenti main pukul 03.10 subuh, Itupun karena hp lowbatt.

“Okok, Tono, Toni, ayo dong bangun! Sudah jam delapan ini! Kita akan kesiangan jalan-jalan ke telaga!” Dadei terus menggoyangkan kaki Okok. Bocah itu hanya membuka mata sedikit lalu tidur lagi. Si Tono dan Toni juga masih terlelap. Rencana jalan-jalan ke telaga batal.

Tiga anak itu baru bangun jam 10.30.  Itupun karena lapar. “Maaf, soalnya aku ngantuk banget.”  Okok lalu tertawa pelan, tak merasa bersalah.

Usai makan siang, Opa Mael mengajak anak-anak masuk hutan. “Kita cari Burung Weris.” Burung Weris mirip ayam, namun ukurannya lebih kecil. Kakinya agak panjang dan bulunya coklat lurik. Hidupnya di daratan dan tak bisa terbang jauh.

Hari itu enam ekor Weris terjerat tali pancing yang dipasang opa sejak pagi.  Anak-anak bersorak gembira. Baru kali ini lihat Burung Weris. Mereka berebutan ingin memegang.

Hari itu benar-benar seru, tapi tak terasa sudah sore. “Ayo kita pulang. Sebentar malam makan Burung Weris panggang ya,” kata Opa Mael. Anak-anak kembali bersorak.    

Usai makan malam dengan Weris panggang dan aneka menu lezat lainnya, anak-anak naik ke rumah pohon. Dadei, Ica, dan Ebi masuk kamar masing-masing. Okok dan si Kembar bermain games. Mereka baru tidur pukul 02.00 dini hari.

Waktu terasa berjalan cepat sekali. Liburan di rumah opa dan omanya Dadei harus berakhir. “Silakan datang kembali, pintu rumah opa dan oma selalu terbuka untuk kalian.” Oma Lina lalu memeluk anak-anak satu persatu. Ebi dan teman-teman mengucapkan terimakasih. Mobil bergerak meninggalkan Opa Mael dan Oma Lina yang terus melambaikan tangan.

Mulai Berubah

sunting

Sejak memiliki smartphone, anak-anak mulai jarang bermain bersama.  Okok, Tono dan Toni tak lagi terlihat di lapangan bola. Mereka juga tak pernah lagi muncul di ‘markas’, sebuah gubuk kayu kecil di bawah pohon mangga, di depan rumah Dadei.

“Ah berisik banget sih! Aku lagi malas main. Ganggu aja kalian! Jangan maksa dong!” Okok lalu menutup pintu rumahnya dengan keras.

Ebi dan Dadei kaget. Belum pernah Okok sekasar ini. Keduanya lalu pergi menuju lapangan bola. Ini kesekian kalinya Okok menolak diajak bermain.

Hal yang sama terjadi pada Tono dan Toni. Mereka lebih suka mengurung diri di rumah, bermain games atau nonton di Youtube.

Sebenarnya, orangtua keenam bocah itu sudah memberlakukan aturan ketat soal penggunaan smartphone. Hanya diizinkan dipakai untuk belajar. Mereka masih boleh main game, buka Tiktok, Facebook atau Youtube. Tapi dengan waktu terbatas, itupun hanya saat libur sekolah.

“Kamu harus tetap punya waktu bermain bersama teman-teman. Pergi ke lapangan, ngobrol dengan teman, atau apalah, terserah. Jangan pernah diperbudak smartphone,  jadi orang aneh yang hanya mengurung diri dalam kamar!” Dadei menganggukan kepala mendengar nasihat ayahnya. Ia memang lebih senang bermain di luar dari pada main game.

Suatu hari, tiba-tiba Tono dan Toni muncul di ‘markas’. Wajah mereka terlihat sedih. “Ayah dan ibu kami marah besar, hp kami disita,” kata Toni.

“Astaga! Kalian sekarang pakai kacamata? Ini betulan atau kacamata mainan? ” Dadei lalu menatap wajah Tono dan Toni.

“Penglihatan kami mulai buram, periksa ke dokter ternyata harus pakai kacamata,” ujar Tono, matanya berkaca-kaca.

“Makanya jangan keras kepala! Kita kan sudah bilang jangan mau diperbudak hp! Beberapa kali panggil bermain, pura-pura tuli, Malah sembunyi di kamar. Itu akibatnya!” kata Ebi menahan diri untuk tidak tertawa.

Sejak saat itu sikap si kembar berubah. Mereka mulai kembali bermain dengan Dadei, Ica dan Ebi. Mereka tak lagi mengurung diri dalam kamar, berjam-jam bermain game, scroll tiktok atau buka youtube, hingga tak peduli lingkungan sekitarnya.

Lalu, bagaimana dengan si Okok? Ternyata sudah dua hari anak itu tak masuk sekolah.

“Ada yang tahu kenapa dia nggak masuk sekolah?” tanya Dadei. Ica dan Ebi menggelengkan kepala.

“Kemarin saya ke rumahnya, Okok ada lagi tidur. Ibunya minta kita ajak dia main keluar rumah supaya nggak di kamar terus main hp,” kata Toni.

"Ibunya aja tak didengar, apalagi kita Ton. Nggak akan peduli dia!” ujar Ica kemudian tertawa.

Perilaku Okok semakin mengkhawatirkan. Smartphone benar-benar mengubah dirinya menjadi malas, tak jujur dan pemarah. Beberapa kali mencuri uang ibunya untuk beli paket game online.

Okok anak tunggal. Ayahnya kerja di luar kota. Ibunya juga kerja, berangkat  pagi dan baru pulang sore hari. Bocah itu selalu melanggar aturan penggunaan smartphone. Bahkan, demi membeli paket games online Okok tega membohongi ibunya.

“Bu dua hari lagi ada ujian praktik kesenian. Okok harus beli gitar. Harganya cuma Rp 600 ribu, tapi belinya harus di sekolah bu.”

Dalam beberapa hari uangnya habis. Ia pun harus kembali berbohong untuk menutupi kebohongannya. “Bu gitarnya harus disimpan di sekolah. Tiap hari ada latihan bu, bulan depan mau tampil.”

Sepintar-pintar menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga. Kebohongan Okok terbongkar. Ia juga kedapatan langsung mencuri uang. Ibunya benar-benar syok. Apalagi saat tahu anaknya sudah 7 hari bolos sekolah. Pura-pura berangkat ke sekolah, tapi pulang lagi ke rumah. Main games dalam kamar.

Ibunya terduduk lemas dan menangis. “Ibu harus bilang apa lagi nak? Ibu mohon berubahlah. Selama ini kamu belum pernah berbohong, tak pernah mencuri, kenapa kamu jadi seperti ini sekarang nak!”

Ibunya mengusap kepala Okok. “Permintaan ibu terakhir, jadilah seperti Okok yang ceria dan jujur seperti dulu. Bermainlah kembali bersama sahabatmu.”

Suasana di ruang tamu hening. Baru kali ini Okok melihat ibunya menangis. Ia pun ikut menangis. Mulai muncul penyesalan dalam dirinya. Bocah itu lalu memeluk ibunya. “Maafkan Okok bu.”

Sejak saat itu sikap Okok mulai sedikit berubah. Sesekali ikut berkumpul dengan Dadei dan kawan-kawan. Tapi lebih banyak diam, sibuk dengan hp. Kecanduan game online belum hilang.

Penyesalan

sunting

Suatu sore Okok datang ke rumah Dadei. Matanya terlihat  merah, berkaca-kaca. “Dadei tolong sampaikan ke ibu wali kelas, aku besok izin tak masuk sekolah. Ibu tiba-tiba pingsan dan tak sadarkan diri,” Okok kemudian buru-buru balik badan, berlari pulang. Ia sempat terjatuh, kakinya tersandung akar pohon mangga.

Malam itu rumah Okok ramai. Dadei, Ebi, Ica dan si kembar duduk mengelilingi Okok yang terus menangis. Di dalam kamar, ibunya terbaring tak sadarkan diri.  Sejumlah perawat mengangkat dan memasukan ke mobil ambulans. Wanita itu harus menjalani perawatan khusus di rumah sakit, ada pendarahan otak.

Malam itu Dadei dan seluruh teman-temannya ikut menemani Okok ke rumah sakit. Okok agak tenang dan mulai bercerita. “Kemarin, ibu tahu aku main game online sampai jam dua subuh. Terus ibu panggil aku, tapi tiba-tiba ibu pegang kepalanya dan jatuh pingsan.”

Wajah Okok tertunduk lesu. “Ini semua gara-gara aku! Aku menyesal sekali…menyesal sekali.”

“Ya sudahlah. Sekarang fokus dengan kesembuhan ibumu. Kamu juga harus berubah, demi ibumu. Bersyukur dokter tadi bilang kondisi ibumu bisa membaik.” Dadei lalu merangkul Okok.

“Supaya kamu tau Okok!” tiba tiba Ebi menyela. “Semenjak kamu kecanduan game online sialan itu, kamu berubah menyebalkan! Kita tuh kangen kumpul di markas seperti dulu, bermain dan tertawa bersama. Tapi kamu selalu menghindar. Kamu jadi kasar dan pemarah. Sedih tau!” Suara Ebi bergetar, matanya berkaca-kaca.

“Kami semua merasa kehilangan kamu Okok! Sejak SD kita bersahabat, susah senang kita selalu bersama! Hanya gara-gara game, kamu nggak peduli lagi dengan persahabatan kita?” Suara Ica terdengar pelan tapi tegas.

Suasana malam itu menjadi hening. Mata Okok berkaca-kaca, kepalanya terus tertunduk. “Maafkan aku teman-teman.” Okok lalu bersandar di kursi, tubuhnya lunglai.

Dadei merangkul Okok. Ica, Ebi, dan si Kembar ikut menghampiri. Mereka saling berangkulan. Malam itu semua larut dalam kesedihan. Terutama Okok, suara tangisnya masih terus terdengar pelan.

TAMAT