Suara Novi
Pengantar
suntingEntri oleh Parakarta. Cerita ini berkisah tentang Novi dan kecintaannya pada olah suara. Namun, pertemanannya dengan Elisa membuat Novi mulai meragukan hobinya.
Cerita Pendek
suntingNovi dan Elisa
suntingNovi sangat suka bernyanyi.
Kata Ibu, sewaktu masih kecil, Novi selalu ikut berceloteh saat Ibu menyanyikan Nina Bobo sebelum tidur. Saat belajar juga, Novi lebih mudah menghafal dengan bantuan lagu-lagu dari ibu guru. Pokoknya suka sekali! Meskipun Novi tidak punya guru menyanyi, Novi berlatih sendiri setiap Sabtu pakai mikrofon ungu pemberian Ayah. Bernyanyi sudah jadi dunia Novi. Kalau ada acara menyanyi, Novi pasti selalu ikut.
“Nama saya Novi. Salam kenal!”
“Halo, Novi, nama saya Elisa!”
Sekarang, Novi sudah masuk SMP. Teman sebangku Novi namanya Elisa. Mereka sama-sama suka menyanyi. Bahkan, Elisa pernah menjuarai kompetisi nasional dan tampil di televisi! Keren sekali.
“Novi jadi daftar ekskul apa?” Tanya Elisa. Dia sibuk memutar-mutar pensil di tangannya sambil berpikir. Lembaran formulir ekstrakulikuler milih Elisa masih tergeletak kosong di atas meja. Belum dapat ilham.
“Novi mau daftar paduan suara sama klub masak,” jawab Novi sambil mengisi formulir. “Elisa bagaimana?”
“Tidak tahu, nih. Bingung!” Temannya mengeluh. “Aku mau coba ekskul pramuka, soalnya aku suka berkemah. Tapi, Mama bilang, jangan pilih yang banyak kegiatan ....”
Novi pun menggaruk kepala, ikut berpikir. “Hm ... Oh, bagaimana kalau paduan suara seperti Novi? Latihannya setiap Rabu, Lis.”
“Hm ... boleh, boleh! Tapi, nanti kita pergi latihannya sama-sama, ya?” Pinta Elisa.
“Oke!” Novi mengacungkan jempol.
Kekesalan Novi
suntingAwalnya, ikut paduan suara bersama Elisa sangat menyenangkan. Novi tidak perlu menunggu waktu latihan sendiri di kelas karena ada Elisa. Latihan pun terasa lebih seru bila bersama teman, kan? Namun, lama-kelamaan, Novi tidak bersemangat dan mulai malas-malasan datang latihan. Yang lebih tidak enaknya lagi, Novi mulai sebal dengan teman sebangkunya itu. Kenapa bisa begitu, ya?
Ternyata alasannya sepele. Novi merasa sedikit iri.
Ekskul paduan suara sering ditunjuk untuk mengisi acara sekolah. Tentunya, tidak semua acara dapat diikuti oleh semua anggota, sehingga kadang ada pemilihan oleh guru pembimbing. Mulanya, Novi dan Elisa masih sering mengikuti acara bersama. Namun, akhir-akhir ini, hanya Elisa yang dipilih. Novi hanya bisa gigit jari acapkali dia harus melihat kawannya meninggalkan kelas untuk ikut ini-itu.
Bahkan tidak hanya untuk paduan suara saja. Di kelas pun, kalau ada keperluan, yang dicari selalu Elisa. Termasuk saat lomba tujuh belasan antar kelas.
"Tim tarik tambang oke? Kelereng juga oke?"
"Oke!"
"Nah, selanjutnya lomba menyanyi lagu nasional. Elisa bagaimana? Bisa ikut tidak?" Tanya Raka.
Elisa terlihat kebingungan dan salah tingkah saat semua melihat ke arahnya. “Eh, tapi, namaku sudah ditulis di lomba tumpeng ..."
"Tita gantikan Elisa lomba tumpeng, deh!"
Yang lain masih sibuk menulis nama perwakilan di papan, tapi Novi lebih asyik dengan komik bacaannya. Toh, tidak ada juga yang menawari Novi untuk ikut lomba. Novi cuma bisa bernyanyi saja. Itupun sudah ada Elisa.
Novi tahu kalau iri itu tidak baik. Kalau mau dibandingkan, Elisa pasti lebih bagus karena Elisa sudah berlatih dengan guru menyanyi sejak kecil, tidak seperti Novi. Elisa juga tidak salah apa-apa. Namun, Novi tetap merasa sedikit kesal. Kenapa Elisa terus, sih? Apa suara Novi tidak bagus? Ya, mungkin begitu. Mungkin memang suara Novi tidak bagus.
Sekarang, setiap latihan, Novi hanya membuka mulut saja. Pura-pura ikut bernyanyi. Novi juga semakin jarang mengobrol dengan Elisa dan bahkan teman-teman lain. Intinya, Novi sudah tidak mau dengar suara Novi sendiri. Lebih baik yang lain saja, yang lebih bagus.
Tentang Audisi
suntingTujuh bulan lagi, akan diadakan lomba paduan suara nasional di Bandung. Poster audisi untuk tim delegasi lomba sudah tertempel di mading. Tentu para anggota merasa bersemangat untuk mengikuti audisi. Semua, terkecuali Novi.
"Novi ikut, tidak?"
"Tidak tahu, deh ... Novi belum izin ke Ayah-Ibu. Bandung, kan, jauh sekali."
Sebenarnya, itu alasan Novi saja. Memang benar dia belum minta izin, tetapi Novi juga tidak berniat untuk bicara dengan Ayah-Ibu. Novi tidak berniat untuk ikut audisi. Buat apa Novi ikut kalau tidak akan dipilih?
"Yah, Elisa sendirian dong, audisinya ...."
Melihat raut Elisa yang sedih, Novi merasa sedikit bersalah, tapi rasa bersalahnya dikalahkan oleh rasa tidak percaya diri. "Tidak apa-apa. Nanti Novi bagian tim hore saja. Jangan lupa menang ya, Lis!"
"Tapi Novi ikut latihan hari ini, kan?" Elisa mengejar.
Ditembak begitu, Novi langsung terbata-bata. "Uh, uhm ... bagaimana, ya ... Novi sibuk sekali hari ini."
Elisa mengangguk pengertian. "Oke, deh. Hati-hati pulangnya!"
Saat tiba di rumah, Novi langsung berjalan menuju kamarnya tanpa bicara. Novi bahkan tidak menyapa Abang yang sedang mengunyah rengginang di ruang tamu. Yang ada di pikirannya hanya cepat-cepat sampai dan kerjakan pekerjaan rumah supaya tidak perlu berpikir soal audisi mendatang. Lomba yang akan mereka ikuti itu cukup bergengsi, jadi seleksi guru pembimbing pasti semakin ketat. Sepertinya Novi tidak perlu mempermalukan diri dengan ikut audisi. Kalau acara biasa saja tidak bisa ikut, apalagi lomba yang sangat penting?
Tok tok tok.
"Novi?" Suara Abang terdengar dari balik pintu. "Abang beli es kelapa, lho. Ayo minum dulu."
"Nanti saja, Abang," sahut Novi tidak bersemangat.
"Benar nih? Nanti Abang habiskan, lho."
"Ya sudah, tidak apa-apa."
Setelah semenit berlalu, suara Abang tidak muncul lagi. Novi buru-buru berganti baju serta membereskan buku untuk esok hari sebelum sibuk dengan soal-soal latihan di LKS-nya. Audisi, lomba, bahkan bernyanyi pun sudah tidak terpikirkan lagi.
Abang Datang Membantu
sunting“Kok Novi tidak nyanyi?”
Yang ditanya menggeleng lesu. “Novi sudah tidak suka lagi nyanyi.”
Kening Abang langsung berkerut. Sabtu sore adalah jadwal Novi menyanyi di ruang tengah. Biasanya, Novi paling menunggu momen ini, apalagi karena Novi sudah jarang ke ruang tengah karena sibuk belajar. Jadi, Abang merasa heran sewaktu melihat Novi malah diam menonton televisi tanpa pegang mikrofon ungu. “Lho, kenapa?”
“Malas saja, Abang.”
“Hm ….”
Abang memutuskan untuk duduk di sebelah Novi yang masih tekun menonton televisi. Tahu sedang diperhatikan, Novi menolak melihat ke arah Abang. Tidak acuh.
"Cerita sama Abang, sini," ujar Abang menawarkan.
Mulanya, Novi tetap kukuh tutup mulut. Namun, karena Abang duduk diam dan sabar menunggu jawaban, Novi jadi tidak tahan. Novi bercerita terus terang pada Abang, mulai dari Elisa, pemikiran Novi tentang bernyanyi, hingga audisi lomba yang akan datang minggu depan.
"Abang tahu kalau Novi sedih. Rasanya tidak enak, ya? Kamu juga sama berusahanya, tapi yang dipilih Elisa terus," kata Abang sambil mengangguk paham. "Tapi ... kalau Novi suka bernyanyi, kenapa harus jadi tidak suka karena Elisa? Bukannya Novi suka nyanyi sama Elisa? Kalau Novi ikut audisi, kalian bisa lomba sama-sama, kan?"
"Tapi, Abang," Novi membantah, "kan, semua orang lebih suka Elisa yang nyanyi. Buat apa Novi ikut audisi? Toh, nanti yang dipilih bukan Novi."
"Dari mana Novi tahu kalau Novi tidak dipilih? Kan, belum mencoba?"
"Iya, sih ...."
"Tuh, tahu."
Novi diam merengut, mati kutu. Abang menang lagi. Sebal!
Abang geleng-geleng pelan lihat Novi yang masih merajuk. "Tidak semua itu tentang kalah atau menang, kan? Kalau Novi tidak terpilih, memang kenapa? Kita tetap senang, kok, dengar Novi menyanyi tiap Sabtu sore. Sekarang, rumah kita jadi sepi. Novi pasti sedih karena tidak bisa bebas bernyanyi. Elisa juga sedih temannya berhenti nyanyi. Coba Novi pikirkan dulu. Bagaimana?"
Setelah diam beberapa saat, Novi mengangguk.
Sore itu, belum terdengar suara Novi bernyanyi di ruang tengah. Namun, setidaknya, rasa kesal Novi mulai hilang.
Keputusan Novi
suntingPerkataan Abang masih terputar di kepala Novi hingga esok harinya. Novi merenung sambil menyalin soal matematika yang ada di papan. Abang memang betul. Novi sebetulnya merasa sedih karena tidak bisa buka suara. Padahal, tidak ada juga yang bilang suara Novi tidak bagus. Rasa minder Novi saja yang buat Novi berpikir begitu.
Novi harus bisa melawan rasa tidak percaya diri. Kata Abang, salah satu caranya adalah dengan memberi tantangan pada diri sendiri. Jadi, Novi memutuskan untuk menepuk bahu teman sebangkunya.
"Elisa," panggil Novi.
Yang dipanggil langsung menoleh ke arah Novi. "Iya?"
Novi diam untuk berpikir sebentar sebelum melanjutkan. "Kamis besok kita audisi sama-sama, yuk?"
"Ih? Beneran?! Yeeey!" Elisa berseru riang. "Tapi aku mau kumpulkan tugas dulu di ruang guru. Novi ikut ke sana dulu, ya?"
"Oke!"
Sore harinya, Novi dan Elisa berjalan menuju ruang latihan bersama-sama. Novi bertekad akan berlatih sungguh-sungguh hari ini. Dia sudah gatal mau bernyanyi, sih, hehehe. Lagipula, kalau tidak dicoba, tidak akan tahu, kan?
TAMAT