Suara Pelipur Lara

Cerpen karya Baiduri Nabilah

Kota Martapura

sunting

Udara malam itu sangat dingin bagi Azhar, anak laki-laki berusia 6 tahun yang tengah duduk di pelatar bersama Abi. Beruntung Abi memakaikan jaket berwarna biru, melapisi baju berwarna merah kesukannya. Celana panjang warna biru mendukung untuk turut melindungi. Abi sendiri menggunakan baju motif kotak-kotak berwarna biru-putih. Mereka berdua menyaksikan suasana di depan rumah, menunjukkan keadaan jalan dalam gelap. Beruntung ada pencahayaan lampu di pelatar serta lampu di samping jalan. Penuh perhatian, dia mengamati beberapa orang yang berjalan kaki sambil tersenyum lebar.

Entah tengah asyik membicarakan apa. Kadang ada beberapa sepeda motor berlalu yang sepertinya baru saja melintasi jalan kota Martapura. Di sudut jalan, ada pedagang asyik mengipas beberapa tusuk daging, menyebabkan terciptanya kumpulan asap. Azhar berkedip sesekali, kemudian menoleh ke arah pintu terbuka. Di sana dia melihat Bunda dengan mengenakan jubah warna biru muda dengan jilbab senada, sedang membawa nampan. Bunda meletakkan nampan dengan sangat hati-hati. Dalam nampan terdapat teko berisi teh, beberapa buah gelas dan beberapa potong kue bolu hangat yang disiapkan oleh Bunda sendiri.

Azhar tersenyum waktu aroma harum teh dan bolu menyapa penciumannya. Bunda yang menyadarinya, membalas dengan senyuman pula. Senyum Bunda adalah senyum paling ramah baginya, begitu juga dengan Abi. Perlahan Bunda menuang teh dari teko ke masing-masing gelas. Kepul uap melayang di atas masing-masing gelas. Ingin sekali Azhar meletakkan telapak tangan di atas gelas, sekadar untuk mengetahui suhu dari uap tersebut.

“Zhar, mau teh?” tanya Bunda kepada Azhar yang sedari tadi mengamati teh dalam gelas.

Memandangi ekspresi Bunda, dia mengangguk. Lantas Bunda memintanya untuk memegang tangkai dari gelas berisi teh.

Dia pun menerima dengan senang hati. Giginya tampak saat tersenyum lebar, gembira menerima teh yang diberikan oleh Bunda. Abi membantu Bunda membagikan porsi bolu untuk tiap orang. Selagi sibuk memperhatikan kepul uap, dia melihat raut manis Bunda saat berbicara dengan Abi. Diam-diam dia mengambil satu potong bolu dari nampan, mulai mengunyahnya dengan lahap. Merasa tenggorokannya agak sedikit penuh, dia meminum teh sedikit demi sedikit. Tidak sengaja, dia melihat raut Bunda yang berbeda dari biasanya. Seolah ada kecemasan dalam rautnya, tetapi enggan menunjukkan lebih dari itu.

Sadar Azhar mengamati, Bunda langsung mengubah raut wajah. Ceria seperti sedia kala.

Bunda, ada apa? Pikirnya.

Kota Surabaya

sunting

Ekspresi Bunda masih terbayang di pikirannya. Tidak hanya itu, Abi terkadang menunjukkan raut serupa. Mungkin Abi tidak mau membuat yang lain khawatir. Namun, tidak ada jawaban pasti dari pertanyaan yang hendak dia sampaikan. Azhar bingung untuk berterus terang dengan Bunda dan Abi. Ah, tetapi bukannya kali ini dia tidak perlu banyak memikirkan hal yang sama berulang kali? Sekarang dia sedang berlibur bersama Bunda dan Abi. Berada di luar kota begitu menyenangkan. Banyak pemandangan baru yang bisa dia lihat. Sesuatu yang belum ada di kota asalnya.

Hal-hal menarik mengelilingi tiap sudut kota yang tengah mereka kunjungi. Bunda memegang tangan kanan, dengan Abi di bagian tangan kiri. Azhar senang bisa jalan-jalan dengan Bunda dan Abi. Sudah lumayan lama dia ingin berlama-lama bersama mereka. Biasanya mereka akan sibuk bekerja. Namun, dia tidak benar-benar mempermasalahkannya. Dia tahu mereka sangat sayang dan mengerti apa yang dia mau. Tidak pernah benar-benar meninggalkan. Justru, selalu berusaha untuk ada. Walau ada saja orang yang suka membicarakan mereka dengan berbagai versi cerita.

Dia sendiri tidak mau tahu apa yang mereka bicarakan kala menatap dia atau orang tuanya. Hanya memberi senyum sesekali, bertujuan untuk memperkenalkan diri. Namun, tak jarang menemui raut wajah yang sepertinya masih ingin menunda perkenalan diri atau mereka tidak mengerti sikap yang dia tampilkan. Mana peduli? Dia membalas genggaman Bunda dan Abi saat memasuki gedung berisikan wahana baru. Ada banyak orang yang memberikan senyum ramah kepadanya. Sangat berbeda ketika dia di kota asalnya. Jarang sekali ada yang membalas disertai pandangan penuh pengertian seperti itu.

Tidak sabar untuk menaiki wahana yang ditawarkan oleh mereka. Lagi pula Bunda dan Abi sudah menyetujui dia untuk berkeliling di sini. Variasi keramahan menyambutnya. Dimulai dari menaiki kendaraan berbentuk persegi dan beroda, didorong ke ruang serba putih. Membuat dia melambai ke arah Bunda dan Abi, menyampaikan dia menikmati fasilitas wahana itu. Pintu ruang ditutup rapat. Azhar tahu wahana utama akan segera menyusul. Ruang menjadi gelap, seperti berada di ruang dipenuhi oleh kejutan. Sorot-sorot cahaya bersinar terang.

Dia sampai memejamkan matanya, berusaha melalui proses wahana yang disajikan di ruang tersebut.

Semangat ya, Zhar.

Seolah dapat mendengar samar suara Bunda dan Abi memenuhi kepalanya. Ingin rasanya segera menceritakan kepada mereka apa yang dia rasakan di ruang itu. Agak sunyi, diterangi oleh cahaya yang baru saja dia amati. Setelah beberapa jam kemudian, dia sudah keluar dari ruang dan menemukan Abi sedang memandanginya dalam tatap penuh harap. Bunda sendiri sudah mendekat dan memeluknya penuh perhatian. Azhar seketika mengurungkan niatnya untuk bercerita tentang apa yang dirasakan dalam ruang wahana tadi. Sebab tiba-tiba telinganya mendengar suara dari berbagai arah.

Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Bingung, Azhar memutuskan untuk bertanya kepada Bunda tentang alasan suara itu muncul atau perasaan baru yang dia terima di bagian kepalanya.

“Aaa … pa?” Oh, sepertinya dia akan bertanya lain kali.

“Ya, Zhar?” tanya Bunda, menjaga nadanya agar tetap tenang.

“Da …?” dia memanggil Bunda, sambil tersenyum.

Tiba-tiba Bunda terdiam. Bawah mata Bunda agak basah. Menyebabkan Abi buru-buru memberikan sapu tangan untuk Bunda. Sigap Bunda menerima dan mengusapkan sapu tangan itu agar bawah matanya tak lagi basah. Tidak mau membuat Azhar turut khawatir.

“Da!” Azhar mendapat kata baru untuk memanggil Bunda setelah sekian lama tak mendengar langsung bunyinya.

“Alhamdulillah.” Kata Bunda dan Abi bersamaan, menyadari Azhar mulai mengenali suaranya kembali.

Lara selama ini menemani Bunda dan Abi mulai pupus, diganti oleh rasa syukur dan bahagia. Beberapa detik kemudian, Azhar tertawa lalu mengucap,

“Lillah!” Berusaha mengikuti kata-kata Bunda dan Abi.