Tafsir Simbol-Simbol/Buku, Bulan Purnama, dan Gerhana Bintang
7. Simbolisme `Buku, Bulan Purnama, dan Gerhana Bintang'
suntingBait-bait sentek pisan wus rampung, tanggal pisan purnama sidi, dan panglong grahana lintang diterangkan oleh Ki Ageng sebagai berikut:
sentek pisan wus rampung,//tanggal pisan purnama sidi,//panglong grahana lintang,//Iku semunipun,//kang sampun awas ing cipta.
(Sekali singgung sudah tamat,//tanggal satu bulan purnama,//tidak kurang gerhana bintang,//itulah lambang,//manusia yang sudah waspada akan ciptanya.)
Ki Ageng menggunakan banyak simbol untuk menjelaskan konsep ‘manusia yang sudah waspada akan ciptanya’, atau dalam terminologi Sufi disebut ‘manusia sempurna’ (Insân Kâmil), yaitu manusia yang telah memahami segala rahasia esoteris. Salah satunya ialah simbol ‘buku’. Orang yang sempurna, yang sudah waspada akan ciptanya diibaratkan Ki Ageng dengan orang yang membaca satu buku. Belum sampai ia membaca bab terakhir dari buku itu, ia sudah ‘tamat’. Ia sudah mengerti keseluruhan isi buku itu dengan sekali ‘singgungan’, dengan sekali baca pada bab pertama. Ia tidak perlu lagi membaca semua bab, karena isi seluruh bab sudah ia pahami pada pembacaannya di bab pertama.
‘Manusia sempurna’ juga disimbolkan oleh Ki Ageng dengan simbol ‘bulan purnama’. ‘Manusia sempurna’ tidak perlu berlama-lama mencari ilmu hingga tua, seperti menunggu ‘bulan purnama’ di akhir bulan, jika ia telah memahami hakikat dan rahasia segala penciptaan di usia mudanya, yang disini disimbolkan dengan ``tanggal satu’’ pada awal bulan kalender. ‘Manusia sempurna’, yang merupakan cita-cita hidup kaum rohani (mistik), tidak mengenal kesenioran dalam ilmu esoteris. Baik tua maupun muda, jika ia menimba ilmu esoteris, akan berpotensi untuk mengaktualisasi sebagai ‘manusia sempurna’. Menjadi ‘manusia sempurna’ yang diterangi cahaya hakikat, seperti simbol ‘terangnya bulan purnama’ disini, menurut Ki Ageng, bisa dan mungkin dicapai dalam jangka waktu pencarian yang tidak lama (tanggal satu), asalkan manusia sudah mampu waspada akan ciptanya.
Manusia sempurna’ juga disimbolkan disini sebagai ‘gerhana bintang yang tidak berkurang-kurang’, yang cahaya pengetahuan esoterisnya memancar pada cahaya pengetahuan esoteris lainnya yang juga memancar, sehingga terjadi ‘gerhana esoteris’. Cahaya pengetahuan esoteris yang disebarluaskan oleh ‘manusia sempurna’ dapat menyadarkan manusia lain akan ciptanya, sehingga manusia lain pun mengandung dan memiliki ‘cahaya’ pula. Semua cahaya itupun memancar satu sama lain, sehingga cahayanya menyerupai gerhana.