Tak Ada Gawai, Alam Pun Jadi
Premis
sunting“Bi, kau bawa buah apa hari ini?”. Sayup-sayup aku mendengar suara itu dari dalam bangkai pesawat tempur. Pikiranku secara langsung berubah ke-23 tahun lalu.
Lakon
sunting- Obi
- Atik
- Retno
- Besse
- Dina
- Tari
- Acil Toni
- Adi
Lokasi
suntingSekolah, hutan, dan lapangan Asrama Tentara AD
Cerita Pendek
suntingKenangan Manis!
sunting“Tek” bunyi standar motorku terdengar ketika aku menghentikan motor di depan pedagang es kelapa, tepatnya di pinggi jalan raya. Banyaknya jiwa-jiwa yang tak sabar untuk menikmati kesegarannya tak menghalangi keinginanku untuk ikut bergabung demi segelas es kelapa. Kudekati sang penjual “Bu es kelapa pakai gula putih satu Bu. Es batunya minta dibanyakin Bu” kataku. Ibu paruh baya yang sedang asik mengisi plastik dengan es batu itu tak bersuara dan hanya menatapku sambil menganggukkan kepalanya. Kusisihkan diriku ke arah yang tak ramai dengan jiwa-jiwa penanti es kelapa itu. Terdiam menikmati lingkungan sekitar. Setelah kuputar kepalaku melihat tepat ke arah belakang pedagang es itu. Kudapati rumput hijau yang terbentang sejauh mata memandang. Tempat ini tak pernah berubah, ya tepat dalam pandanganku kini. Asrama Tentara Angkatan Darat yang berwarna hijau. Tidak hanya karena rumputnya tetapi, juga bangunannya. Namun, bukan itu yang menjadikanku terus menatapnya tanpa berkedip. Melainkan bangkai pesawat yang terpampang di hamparan rerumputan itulah yang menarik perhatianku. “Bi, kau bawa buah apa hari ini?”. Sayup-sayup aku mendengar suara itu dari dalam bangkai pesawat tempur. Pikiranku secara langsung berubah ke-23 tahun lalu. Suara yang sayup-sayup terdengar olehku adalah lantunan kata yang tergambar dan terngiang dalam ingatanku. Pesawat itu mengingatkanku akan kebiasaanku yang sering sekali menghabiskan waktu bermain dengan teman-teman ketika SD di tanah luas milik Tentara AD. Suara yang menanyakan buah apa yang kubawa adalah suara dari Adi yang sering menjadi teman barter makanan. Kembali kuingat kenangan itu, kenangan yang mengingatkanku ketika tak ada keraguan dan kegundahan dalam diriku. Hanya kesenangan dan keringanan hidup yang terasa.
“Bi, kamu bawa baju ganti kan? seperti rencana kita hari Sabtu kemarin” kata Atik kepadaku yang sedang sibuk menyapu kelas di pagi hari. Hari itu adalah hari Senin, bertepatan dengan pelaksanaan Ujian Nasional Tingkat Sekolah Dasar. Kami sebagai siswa kelas lima SD mendapatkan tugas bergilir untuk membersihkan tiap pagi ruangan-ruangan yang akan digunakan untuk Ujian Nasional. Tanpa bersuara aku hanya mengacungkan jempolku kepadanya.
“Tap tap tap” suara langkah kakiku dan Atik yang terdengar dalam suasana yang sunyi sepi dikarenakan kami selesai membersihkan kelas sedangkan jam masih menunjukan pukul 06.00 WITA. “Aku dulu yang manjat, kamu bawa tasku ya” ucapku pada Atik sambil menyerahkan tasku padanya. Aku memanjat pagar sekolah itu dengan cekatan tak memerlukan waktu yang lama. Aku telah sampai di seberang pagar yang tingginya melebihi tinggi rata-rata orang dewasa. “ Lempar tasmu sama tasku Tik!” kataku kepada Atik. Iapun melemparkan tasnya dan tasku yang memang tak berisi apa-apa. “Eh kalian kalau ketahuan Pak Parjo kena dimamai’i’ ” ujar Acil Toni. Sambil tertawa, aku dan Atik, yang posisinya tepat di atas pagar berucap “ gak akan ketahuan kok Cil, kecuali Acil yang kasih tau beliau kalau kita manjat pagar sekolah”. Acil Toni adalah salah satu penjual makanan di SD kami dan juga mama dari Toni yang merupakan teman satu kelas kami. Beliau mengatakan dalam bahasa Banjar bahwa kalau ketahuan Pak Parjo kami pasti akan dimarahi.
“Cil beli tempe bakar 7 sama tahu bakar 7” kataku tepat setelah menjawab perkataan Acil Toni. Sambil menunggu tempe dan tahu bakar, aku dan Atik berbincang-bincang akan ke rumah siapa terlebih dahulu setelah ini. Acil Toni yang mendengarku dan Atik, akhirnya tertarik dengan apa yang sedang kami rencanakan.
“Hendak kemana kam ni?” mau kemana kalian ini,tanyanya.
“Kita mau ke hutan di gunung belakang Cil” ujar Atik.
“Apa nang handak dicari di gunung tu?” apa yang mau dicari di gunung itu? tanyanya kembali.
“ Biasa Cil kan lagi musim rambai, kita mau ambil rambai buat ditukar sama mangga Cil” jawabku.
“Sama siapa kam ke sana?” sama siapa kalian ke sana? timpalnya lagi.
“Rame-rame Cil setelah ini mau ke rumah Tari sama Retno, di sana juga sudah ada Zaenal, Besse, sama Dina Cil” kini Atik yang memberikan respon pada pertanyaan itu.
Setelah mendapatkan apa yang kami pesan, kami memutuskan untuk menuju rumah Retno. Sebagai rumah terdekat dari rumah Toni. “ Itu mereka” tepat ketika Aku dan Atik sampai di sebelah kolam ikan yang hanya berjarak dua rumah dari rumah Retno, kami mendengar suara mereka yang telah menunggu kami. “Lama banget sih kalian” kata Dina. “Kita beli tempe sama tahu bakar di Acil Toni” kataku. “Yuk langsung berangkat sebelum makin panas” ujar Besse.
Kamipun segera melanjutkan perjalan untuk menuju rumah Tari sebelum akhirnya menuju hutan di gunung demi mendapatkan buah rambai yang kecut rasanya. “ Assalamu’alaikum, Tari main yok” panggil Zaenal tepat di depan rumah Tari. Retno memukul pelan tangan Zaenal dan berkata “ heh kau main teriak aja Nal”. “ Biar cepat No” ucapnya sambil memonyongkan bibirnya. Namun panggilan Zaenal berbuah manis. Tari muncul lengkap dengan tas yang berisi air minum.
Dengan girang kami berlari-lari kecil menuju ke arah hutan di gunung. Sekitar setengah jam berlalu dan kami masih harus berjalan cukup jauh menuju hutan dengan pohon rambai yang menghiasinya. Ketika panas matahari mulai terasa menusuk kulit sampailah kami di sebuah jalan kecil yang kiri dan kanannya dipenuhi oleh rumput yang tinggi menjulang. Bahkan tinggi rumput itu melebihi tinggi kami. Tanpa ragu kami menyibak rerumputan itu dan masuk ke dalamnya. Benar sekali tepat di balik rerumputan yang tinggi itu terbentang luas, tanah yang dipenuhi dengan pohon rambai yang tingginya hampir menyaingi tinggi pohon kelapa. Kamipun meletakkan tas kami di atas rerumputan. “ Siapa yang manjat paling atas?” tanya Tari. “Siapa lagi” kata Besse sambil melirikku. “Ok siap” kataku dengan mengajungkan jempol. Aku Obi meskipun namaku seperti laki-laki dan sangat pandai memanjat pohon tapi aku sebenarnya perempuan. Namaku Robiatul Adawiyah, tapi sedari kecil sudah di panggil Obi. Kata Acilku dulu ketika aku lahir Abahku berharap yang lahir adalah anak laki-laki. Hal ini dikarenakan di keluargaku telah hadir lebih dulu tiga anak perempuan. Mungkin karena itulah kenapa kau sangat tomboi, begitulah kata adik Abahku itu, meskipun aku tak mengetahui, benar atau tidaknya hal itu.
Menyatu dengan Alam
sunting“Siapa yang manjat setelah Obi?” kata Atik, Semua terdiam karena tidak ada yang mau memanjat diurutan ke-2 dengan pohon yang sangat tinggi seperti pohon kelapa. Akhirnya mereka memutuskan untuk menggunakan permainan hompimpa yang terkenal pada masa kami untuk menentukan siapa yang naik setelahku dan seterusnya. Kami biasa memanjat pohon rambai berempat dalam satu pohon agar cepat mendapatkan banyak buahnya. Orang ke-4 yang harus memanjat pohon adalah Zaenal, tapi dia yang tidak bisa memanjat pohon merengek minta digantikan oleh yang lain dan hanya menjadi penunggu rambai di bawah pohon. Maka Retno, Tari dan Zaenal menjadi orang-orang yang menunggu buah rambai yang telah kami petik dari pohon.
“ Karungnya di tas Nal” kata Retno. Kau pasti terkejut kan? Hehehe, ya kami membawa karung beras ukuran 10 kilo sebanyak dua buah agar dipenuhi oleh rambai yang kami ambil. Zaenal adalah yang bertugas memasukkan buah ke dalam karung. Setelah dirasa penuh kamipun memutuskan untuk menyudahi ini semua. Memastikan tidak ada barang yang tertinggal dan segera keluar dari rerumputan. Menuju rumah? Tentu saja tidak, melainkan menuju tempat lain. Kami bergegas berjalan meninggalkan pohon dan hutan, menuju ke Asrama Tentara yang dapat ditempuh melewati belakang rumah Retno. Setelah kurang lebih satu jam setengah kami sudah berada di depan lapangan luas yang terhampar rerumputan hijau di atasnya. Lapangan ini sebenarnya adalah tempat latihan para tentara, sehingga banyak sekali peralatan latihan tentara yang terlihat seperti mainan anak-anak. Ada kolam yang di tengahnya tedapat banyak papan dengan rantai-rantai yang menjadikan papan itu seperti jembatan gantung dan jika dilewati sudah pasti bergoyang. Jika kau tidak bisa menjaga keseimbangan kau pasti akan jatuh. Ada juga kolam dengan tali-tali tambang yang tergantung dan kamu harus melewati kolam itu dengar berayun pada tali yang tergantung, kalau perhitunganmu dan kelajuan saat kamu memulai untuk mengayunkan badanmu tidak tepat kau pasti akan terhenti di tengah-tengah kolam. Tergantung dengan tali tambang berwarna coklat yang berserabut dan kasar, dan yang terakhir sudah pasti kau akan jatuh ke dalam kolam itu. Masih banyak lagi medan latihan tentara AD yang ada di lapangan itu.
“Bi kau bawa buah apa hari ini?” teriak Adi yang berada di dalam bangkai pesawat tempur. “Rambai banyak sekali” teriak Besse membalas teriakan Adi. Kamipun bertemu dengan Adi dan teman-temannya. Dan menukar rambai yang kami bawa dengan mangga. Kemudian kami semua duduk di atas rerumputan dan menikmati masing-masing buah yang telah kami tukar. Membuka manga dengan gigi adalah hal yang biasa ketika itu, tidak memerlukan pisau untuk membuka mangga. Dan yang lebih menyenangkan sudah pasti satu orang makan satu mangga yang dibuka dengan gigi masing-masing. Setelah itu kami melanjutkan dengan bermain semua alat latihan tentara yang ada di lapangan itu, hingga terdengar suara dari kejauhan. “ Hey nak, pulang! sudah tengah hari ini, pulang tidur siang! nanti kalian dicari oleh mamak kalian” kalau sudah mendengar teriakan itu, tanpa perlu aba-aba kami mengemas barang kami dan lari keluar dari lapangan Asrama Tentara AD. Mengapa? Yah benar tebakanmu itu adalah teriakan tentara yang sedang berjaga dan berkeliling. Sudah pasti bermain di daerah lapangan yang menjadi tempat latihan tentara itu dilarang. Maka jika sudah ketahuan kami harus segera lari pulang ke rumah masing-masing. Yang pasti lagi setelah ini, kawan-kawan itu akan berteriak, ah Obi gak setia kawan, karena rumahku terletak tepat di seberang jalan arama tentara. Itu artinya aku menjadi yang pertama sampai ke rumah. Namun hal itu tidak menjadikan permusuhan di antara kami. Keesokan harinya kami kembali duduk bersama dan tertawa di sekolah menceritakan kejadian-kejadian lucu yang kami alami di hari sebelumnya.
“ Kak, kak” setelah mengeraskan suaranya, Ibu paruh baya itu berhasil menyadarkanku dari lamunan.
“ Ini es kelapanya, tujuh ribu” katanya. Akupun membayar dan meninggalkan tempat itu dengan kondisi yang masih sama, penuh dengan orang yang ingin membeli es kelapa. Sepanjang perjalanan menuju rumah yang tak jauh itu aku tersenyum mengingat betapa indahnya masa-masa ketika SD, tak ada gawai di tangan kami. Bermain harus menyatu dengan alam. Gawai tanpa warna yang masih hitam putih dan tak ada kameranya saat itu hanyalah milik anak-anak orang kaya, yang orang tuanya menjual emas di pasar. Kami yang tidak berasal dari orang kaya hanya bermain dengan apa yang disediakan alam. Namun itu semua tidak menjadikan kami sedih melainkan menjadikan kami bahagia, bahkan hanya dengan mengenangnya saja menjadikanku kembali tersenyum.