Tembelang Berpayung Kasih

Biodata Pengarang sunting

     Widwi Astuti, biasanya menggunakan i nama pena Tung Widut. Lahir pada bulan Mei 1972. Tinggal di Blitar jawa Timur. Mempunyai karya buku 4 novel, 6 puisi dan 43 antologi bersama. Aktif di beberapa komunitas menulis.

Sinopsis sunting

     Mempunyai masa lalu yang kelam. Saat mengikuti sunatan masal ternyata dia terpotong kepala penisnya. Setelah lulus SMK Marva sengaja menikahi gadis pujaannya bernama Miyuki. Perjalanan pernikahannya yang baru 7 bulan Miyuki  melahirkan.  Dengan siapakah Miyuki hamil? Apakah ada hubungan dengan larva? Baca selengkapnya. 

Lakon sunting

Miyuki

Marva

Tomsir

Nemi

Salkam

Intan

pak Jasman

Hamdan

Roni

Yudha

Lokasi sunting

Sebuah sekolah Menengah Kejuruan di pinggiran


Warung Es degan


Rumah gebyok

Cerita sunting

Tembelang Berpayung Kasih

     “Miyuki hamil,” kata Tomsir.
     “Hebat  kau. Mau jadi bapak ni ye,” kata Marva. 
     “Andai Intan yang hamil langsung ku nikahi sekarang juga,” kata Tomsir.
     Wajah Tomsir kelihatan mendung.  Sangat sedih  Miyuki hamil. Miyuki gadis  satu sekolah yang dia pacari  enam  bulan lalu.  Sebenarnya mereka jarang bertemu. Hanya hari-hari tertentu saja.  Miyuki bukan satu-satunya pacar Tomsir. Pada saat yang sama Tomsir juga dekat dengan cewek di luar sekolah.  Salah satunya Intan. Intan cewek tetangga desa anak seorang saudagar buah. 
     “Maksudmu?” tanya Marva.
     Terdengar pintu kamar diketuk dari luar.  Ketukan yang berulang diabaikan. 
     “Ya, kalau Intan yang hamil aku mau menikahi. Ih…. kalau Miyuki nggak lah,” jelas Tomsir.
     “Maksudmu kau tidak akan menikahi Miyuki?”  tanya Marva.
     “Enggak lah. Masak istri Tomsir begitu lugu. Seperti patung tak dandan sama sekali,”  jawabnya sambil  mencibirkan bibir tanda merendahkan.
      Tiba-tiba Marva dengan emosi mencengkram kerah  baju Tomsir. Wajahnya merah padam menahan emosi. 
     “Apa kau bilang. Dulu aku naksir dia kau serobot , sekarang ….,” teriak Marva dengan nada marah. 
     “Brak,” pintu kamar dibuka dengan paksa.
     Pak Jasman masuk ke dalam kamar Marva.  Semula dia mendengar sama-sama pembicaraan  Marva  dengan  Tomsir. Pembicaraan itu semakin lama semakin keras. Ketika dibuka dengan paksa,  terlihat tangan kiri Marva  mencengkeram kerah baju Tomsir.  Tangan  kanannya sudah siap menonjok wajah Tomsir. 
     “ Ada apa ini. Saya dengar dari luar teriak-teriak. Kalian sahabat dari kecil,”  kata pak Jasman.
     Kedua sahabat itu hanya mampu terdiam. Tidak mengucap sepatah kata pun. Wajahnya menunduk. Tak lama kemudian Pak Jasman menyuruh Tomsir untuk pergi. 
     “Ada apa sebenarnya. Kalian dari kecil bersahabat tak pernah terjadi apa-apa. Jaga  emosi kamu. Ada permasalahan dibicarakan baik-baik,” tutur pak Jasma. 
     Marva hanya mampu diam.  Wajahnya terlihat masih merah padam. Menahan emosi yang bersarang di tubuhnya. Seakan tidak terima kalau ayahnya seakan-akan menyalahkan sikap Marva. Sedangkan untuk menceritakan hal sebenarnya,  Marva takut kalau ayahnya marah-marah. 
     “Sudah,  agar reda emosi kamu sekarang ambil air wudhu lalu shalat ke Masjid . Waktu sudah hampir  dzuhur. Sebentar lagi pasti adzan,”  perintah pak Jasman bijak. 


Pagi di Sekolah

     Pagi itu udara sangat dingin.  Kabut putih menyelimuti jalanan. Di sudut jalan terdapat beberapa genangan sisa hujan tadi malam.  Matahari malu-malu menampakkan diri,  walaupun jam di handphone menunjukkan hampir pukul  tujuh. Sengaja pagi itu Marva berangkat lebih pagi ke sekolah. Sebenarnya pengumuman tertulis jam 08.00. Acara hari itu latihan wisuda bagi kelas  dua belas. Dia  ingin segera  bertemu dengan Miyuki. 
     Sengaja dia duduk  di dekat pintu parkir belakang sekolah, agar mengetahui bila   Miyuki datang.  Pemandangan sekolah  sangat menghiburnya. Sekolah Marva berada di kaki sebuah bukit. Sekolah SMK yang berada di pinggiran. Dari parkir belakang Marva  bisa melihat pemandangan alam yang luas.  Bukit di kejauhan yang menghijau samar tertutup oleh kabut pagi.  Saat temannya satu persatu datang,   hatinya makin terhibur. Berharap Miyuki segera datang. Sampai acara hampir mulai Miyuki tak kelihatan apalagi  Tomsir. 
     Kakinya kini melangkah bersama teman-temannya menuju ruang aula. Ruang tempat berkumpulnya untuk mendapatkan pengarahan. Masih  baru saja melangkah di pintu aula. 
      “Alhamdulillah,” ucapnya.
     Dia melihat Miyuki sudah duduk bersama teman-temannya di pojok  aula. Pandangan matanya sering mencuri  ke arah  Miyuki. Sampai-sampai temannya berkomentar.
     “Cari siapa sih kamu,”  tanya Hamdan.
     “ Cari yang besok mau diajak foto berdua,”  celetuk Roni.
     “ Jangan mimpi,  tak ada satu cewek pun yang mau sama kamu,”  timpal  Yudha.
     Semuanya lalu terbahak-bahak. Memang teman-teman Marva tak ada  yang mempunyai pacar. 


     **
       Waktu berlalu, acara sudah selesai.  Marva berusaha mendekati Miyuki. 
      “Sudah dapat pinjaman kebaya belum?”  tanya Marva. 
      Miyuki menggelengkan kepala. Dia kelihatan tidak bersemangat.  Seakan dia mempunyai beban yang sangat berat.
      “ Aku juga belum dapat pinjaman jas,”  kata Marva.
      Miyuki hanya diam saja. Tak menjawab sepatah kata pun.
       “Aku numpang dong,  aku tak bawa sepeda motor. Sepeda motorku rusak,”  kata Marva.
      Miyuki  mengernyitkan dahi,  tumben saja teman SMPnya   dulu itu  mendekatinya. Biasanya hanya  menyapa alla kadarnya.  Miyuki tak mempunyai kecurigaan  apapun,  hanya rasanya  janggal  saja. 
     Sekarang sepeda motor  Miyuki melaju di jalanan. Menyusup diantara kendaraan lain  menuju sebuah MUA. 
      “Ini saja,”  kata  Miyuki singkat.

      Dia langsung  mengiyakan sebuah kebaya  berwarna merah marun.  Kebaya yang pertama kali dilihatnya.  Tidak kelihatan ingin memilih-milih yang bagus. Tidak pula kelihatan memilih yang cocok di hatinya, walaupun Mbak dari MUA menawarkan beberapa  model kebaya. 
     “Yuki aku memakai dasi  warna apa  yang cocok?”  tanya Marva basa-basi.
     Dia berusaha mencari perhatian dari  Miyuki. Sebenarnya Marva hanya menjajaki pikiran Miyuki  yang  sering  melamun. 
    Tiba saatnya basa-basi sudah berakhir. Sekarang Marva mulai melancarkan tujuannya yang  direncanakan semalam. Dia berhasil mengajak Miyuki duduk berdua di sebuah warung es degan sederhana.    Tempat sederhana yang menjadi favorit teman-teman sekolahnya. Warung  itu terletak di pinggir sawah.  Di bawah pohon  anggrung yang rindang. Di depannya terdapat sebuah sungai kecil. 
     Marva mulai menanyakan keadaannya. Keadaan yang dianggapnya tak seperti dulu. Miyuki menjadi seorang pendiam tak seceria dulu.   Semua pertanyaan dijawab Miyuki  dengan gelengan dan anggukan kepala. Juga mengenai mengapa Miyuki belum juga memilih baju untuk perpisahan wisuda besok. 
    “Yuk kamu ada masalah?  Aku sengaja mendekatimu karena aku tahu masalah kamu. Aku minta kamu tidak tersinggung dan jujur padaku,”  kata  Marva. 
     Miyuki tersentak dengan kata-kata Marva, sambil menggelengkan kepala   dipandanginya temannya  itu.  Mulai dari ujung  rambut sampai ujung kaki.  Kemudian menatap wajahnya dalam-dalam. Lalu pandangannya lurus ke depan. Menerawang jauh ke langit sap tujuh. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia tahan agar airnya tak jatuh di pipi manisnya itu.
     “ Kamu pasti ragu atas kata-kataku.  Tapi yang aku  pikirkan selanjutnya untukmu. Aku janji,  tidak akan menceritakan ini kepada siapapun.  Yang tahu hanya kamu, Tomsir, dan aku.  ,” kata  Marva.
    Kali  ini air mata  Miyuki benar-benar mengalir. Dia sudah tidak bisa menahannya.  Tapi tangan kanan sudah siap menghapus dengan sebuah tisu putih. 
     “Kamu mau kan mengantarkan aku menggugurkan?” pinta Miyuki.
     “Kamu berpamitan  dulu kepada orang tuamu,  aku antar kau sekarang,”  kata Marva.
     Miyuki semakin terbelalak. Wajahnya terlihat begitu curiga kepada Marva. 
     “Kau disuruh Tomsir?” tanya  Miyuki.
     “Sudahlah nanti kamu juga tahu,”  jawab Marva. 
     Setelah menghabiskan es dengan satu gelas mereka pun beranjak. Miyuki dibawanya kepada seseorang.   Rumahnya jauh dari tetangga. Rumah dekat persawahan, di belakang rumah  hamparan  hutan dan bukit kecil. Miyuki mulai  ketakutan. 
     “Kau bawa aku kemana?” tanya Miyuki curiga. 
     “Nanti kau tahu,” jawab Marva.
     Beberapa kali Miyuki mencoba meminta pulang saja. Tapi berkali juga Marva tak menggubrisnya. Bahkan Marva sedikit berkata keras untuk membatalkan. Ketakutan Miyuki semakin menjadi. Ketika tiba di sebuah rumah seakan tak berpenghuni. Rumah tua model gebyok.  Semua perabotan terlihat sangat kuno seperti pada film-film horor. Salam Marva dan Miyuki akhirnya  dijawab oleh seorang lelaki tua. Baju putih dan kopiah putih membalut badan rentanya. 
    “Ayo-ayo, silahkan duduk. Maaf lo tidak ada apa-apa. Hanya bisa menyuguhi anggur putih saja,” kata kakek itu sambil menunjuk sebuah kendi dan sebuah gelas yang tengkurap di atas meja kayu. 
    “Ini mbah teman yang saya ceritakan tadi malam,”  kata Marva. 
     Lelaki tua itu mengangguk-angguk perlahan. Hati Miyuki semakin gusar. Tangannya mulai gemetar. Wajahnya pasi.  Entah apa yang dipikirkan. Keringat sampai membasahi bajunya. 
    “Ayo minum dulu,” kata kakek itu. 
     Miyuki terasa semakin tegang. Tak disadari tangan kanannya memegang erat lengan Marva. 
     “Va,” katanya lirih hampir tak terdengar. 
     “Nggak apa-apa,” kata Marva menenangkan.
     Sebenarnya Marva sendiri merasa tegang. Pikirannya juga campur aduk. Takut kalau Miyuki marah,  takut justru yang dimaksudkan  tak sejalan dengan pemikiran Miyuki.
    “Begini nak ..?”
     “Saya Marva, ini Yuki, Miyuki,” kata Marva sambil menunjuk Miyuki. 
     Lelaki tua itu  menganggukkan kepala. 
     “Kita itu makhluk Allah yang harus saling menjaga. Allah Akan mendukung orang-orang yang membunuh. Itu haram hukumnya. Merubah ciptaan Allah saja tidak boleh apalagi membunuh manusia atau calon manusia. Dosa besar hukumnya. Kalau kita mengetahui tapi masih melakukan. Sama saja dengan kita tidak percaya kepada Tuhan. Manusia tempatnya salah dan dosa. Allah akan memberi maaf dan memberi jalan bagi orang-orang yang sadar dan mau memperbaiki dirinya. Kalau kita tidak mampu berpikir, serahkan semuanya kepada Allah melalui doa-doa yang kita ucapkan setiap saat. Seorang wanita akan lebih kuat karena dia akan menjadi seorang ibu. Jangan sia-siakan kesempatan itu. Semua pasti ada jalan. Allah akan membe
    Miyuki mulai meneteskan air mata.  Entah apa yang dipikirkan. Dia menunduk sambil  terisak. 
    “Coba katakan apa yang   nak Yuki rasakan ,”kata kakek itu.
     Yuki bersimpuh di hadapan  kakek  itu. Dia menangis sejadi-jadinya.
     “Aku sudah berbuat dosa.  Allah akan mengutukku. Saya sangat malu, takut.  Saya sangat sedih,”  kata  Miyuki terpenggal-penggal. 
    “Jalani hidup ini dengan apa adanya. Kalau kamu sedih berdoalah,  meminta kepada Allah sebenarnya Allah. Jangan sampai gelap mata gelap hati. Apalagi mengambil keputusan yang nekat. Allah itu sangat sayang sama kamu sehingga kamu diuji seperti itu,” lanjutkan kakek itu. 
     Selain tuturan panjang lebar,  kakek juga berpesan kepada Marva untuk menjaga Miyuki baik-baik. 


Mengantar ke Rumah


     Sore itu Marva mengantar Mayuki pulang ke rumah. Saat pintu diketuk ibunya yang menyambut.


     "Lo ini kan teman SMP kamu dulu?" tanya sang ibu.


     Mereka berdua mengangguk. Kedatangan disambut baik oleh bu Nemi, ibu Miyuki.  Beberapa pertanyaan diajukan karena tingkah laku anaknya merasa janggal  akhir-akhir ini. Menjadi pendiam sering mengurung di kamar.  Marva merasa kalau ibu Miyuki penuh selidik. Tiba-tiba Marva membuka perkataan. 


      "Maksud saya..." kata Marva yang terpenggal oleh kedatangan ayah Mayuki. 


      "Ada apa ini?" hardik  pak Salkam. 


      "Begini pak.  Saya ingin menikahi Miyuki," kata Marva terbata.


      Miyuki, Bu Nemi dan pak Salkam terkejut dibuatnya. 


      "Va," kata Mayuki terhenti.


      "Apa kamu sudah bekerja?" tanya pak Salkam.


     "Sales sabun," jawabnya sambil menunduk. 


      "Tidak. Mayuki biar kerja dulu. Bantu biaya adiknya yang masih SMP," katanya dengan nada tinggi. 


      Tangan pak Salkam segera ditarik oleh Bu Nemi. Ditarik masuk ke dapur. Kelihatannya Bu Nemi sudah curiga dengan gelagat anaknya. 


      "Kamu gila  Va," kata Mayuki.


     "Aku sudah bilang ibumu kalau...?" pertanyaan Marva terhenti karena telunjuk  Miyuki  di bibir memberi syarat agar Marva tak membicarakan itu.  Keduanya lalu diam. Di dada masing-masing saling berkecamuk.
     
       Dak dik duk dada Marva. Sedikit ngeri kalau pak Salkam marah, tak menyetujui keputusannya. 
       
       Mayuki juga takut kalau ayah dan ibunya mengusirnya. 


      "Bilang sama ayahmu, suruh ke sini dulu. Saya tidak mau kalau hanya mainan anak-anak saja," jelas pak Salkam.
     Marva menjawab dengan satun.



Perpisahan Sekolah

     Siang itu siang yang sangat panas.  Matahari menantang segala isi bumi. Angin tak berpihak.  Diam seribu kata seribu langkah. Suasana sekolah riuh gembira. Hari terakhir mereka bisa berkumpul bersama.  Dengan dandanan yang tak biasa. Para cewek mengenakan kebaya, kain dan berhias istimewa. Para cowok mengenakan setelan jas hitam hitam. Hari itu hari wisuda, kalau dulu  menyebutnya hari perpisahan. Dandanan istimewa mereka diabadikan berfoto bersama teman-teman. 
      Di pojok depan aula terlihat siswa  bergerombol. Siswa lain yang tertarik mulai ikut mendekat.  Kejadian itu membuat  Marva tertarik untuk melihatnya. Seorang cewek sedang berteriak-teriak histeris mencaci seorang cowok. Wajahnya merah padam. Bak orang kesurupan.  Tangannya menunjuk-nunjuk sang cowok yang dicengkeramnya kerah bajunya.  Marva segera menarik  tangan cewek itu. Diseretnya menuju belakang ruang kelas. 


     “Kamu sudah gila ya. Teriak-teriak menjadi semua orang tahu,”  bentak Marva.


     “Dia memang anjing. Tidak mau bertanggung jawab  atas perbuatannya,”  jawab Mayuki  tak kalah kasar. 


      “Tahan emosimu. Biarkan kamu, aku dan Tomsir saja yang tahu tentang semua ini. Kita menikah,”kata  Marva. 


     “Tapi dia ayaha anak ini,”  debat Miyuki.


      Marva membiarkan Miyuki menangis sejadi-jadinya.  Dia tidak mau menerima keputusan Tomsir yang tak bertanggung jawab atas perilakunya. Sejuta cacian diucapkan. Sampai akhirnya dia kelelahan. Hanya suara tangis sesenggukan yang Marva dengar.


     “Oke.  Tahan emosi  kamu. Kita menikah demi anak yang kau kandung. Setelah  anak itu lahir terserah kamu. Hanya aku kamu dan Tomsir yang tahu. Sekarang hapuslah air matamu. Bergabunglah dengan teman-teman.  Ayah dan ibumu pasti sudah menunggu, “ kata Marva lembut.


      Mereka akhirnya bergabung dengan teman-teman mereka. Berfoto-foto walaupun wajah mereka tak seceria teman-temannya. 


     “Yah,  Marva mau bicara,” kata Marva sesampainya di rumah.


      “Kalau kamu pengen kerja jauh,  pikirlah dulu. Ayah tidak mau kamu terlalu sengsara di rantau,”  kata ayahnya sambil membuka baju batik yang tadi dipakai saat  undangan wisuda. 


     “Tidak yah. Ayah jangan marah. Marva minta izin untuk menikah,”  kata Marva  terpenggal-penggal. 


      Ayahnya kelihatan sangat kaget,  beberapa saat dia terbengong memandangi wajah Marva. Suasana menjadi sunyi. Mereka saling berpandangan. Perlahan air mata mereka berdua berlinangan. Lalu keduanya berpelukan dan saling menangis. Entah apa yang dipikirkan masing-masing.  Tak ada kata-kata yang mampu diucapkan oleh  bibir kedua lelaki itu. Pak Jasman  hanya mampu mengangguk dan mengelus-ngelus rambut rapi Marva. 
     Prosesi lamaran sampai pernikahan  berjalan dengan sederhana. Tahapan demi tahapan dilaluinya dengan ketegangan. Ibu Miyuki selalu memperhatikan keadaan anaknya. Rasanya mempunyai kecurigaan lain. Bentuk tubuh anaknya yang  sintal berisi. Alasan itulah yang membuat dia merayu suaminya  untuk segera menikahkan anaknya.  Ayah Miyuki sebenarnya tidak setuju dia menikah. Beliau ingin anaknya bekerja terlebih dahulu. Agar hidup keluarganya semakin mapan. Tidak pas-pasan seperti sekarang.  Apalagi  Marva juga seusia Miyuki. Belum mempunyai pekerjaan yang menjanjikan. 
       Pernikahan dengan rencana yang singkat itu dilakukan secara sederhana, tanpa pesta. Hanya mengundang penghulu dan kerabat dekat. 


      “Wah pintar juga kamu Yuki. Diam-diam langsung gas aja. Takut ya kalau Marva  diambil orang,”  kata Santi  Mayuki.


      “Pintar juga kamu  memilih suami. Dia itu pendiam,  taat beragama,  pekerja keras lagi,”  sanjung Carla.


      Miyuki hanya tersenyum  simpul. Kata-kata sahabatnya itulah yang menghibur hati Miyuki.  Tak seperti ayahnya yang selalu memandang sinis kepada Marva. Sempat pula saat kerabat mulai satu persatu pulang. Suasana sudah agak sepi. Ayah Miyuki sempat berkata.


      “ Masih kecil-kecil kok minta nikah. Apa jadinya nanti,” kata pak Salkam


      Kata itu yang membuat Marva dan Miyuki hanya mampu menundukkan kepala.



Malam Pertama


     Setelah pernikahan Marva langsung memboyong Miyuki ke rumahnya. Rumah kecil yang hanya mempunyai dua kamar tidur. Kamar satu dipakai oleh pak Jasman, dan  satu kamar untuk Marva. Itu masih lebih baik,  daripada di rumah Miyuki.  Rumah Miyuki juga hanya ada dua kamar. Miyuki tidur bersama dua adiknya. 


     “Kamu tidurlah di ranjang, aku di lantai beralas tikar. Maaf tempatnya hanya begini adanya,” kata Marva.


      “Harusnya kamu yang tidur di sini,  aku kan hanya numpang ,” kata Miyuki.


     “Sudah,  kasihan adik bayinya. Kalau aku sudah terbiasa tidur di  Langgar. Malah kadang tanpa alas,” jelas Marva. 


Hari-hari

     Begitu hari-hari yang dilalui ini. Hubungan Marva dengan Miyuki layaknya teman di sekolah. Dulu waktu SMP mereka satu kelas.  Sedikit banyak mengetahui kebiasaan dan watak masing-masing.  Mereka bukan anak-anak yang istimewa. Bukan anak orang kaya, bukan juga anak orang yang sangat miskin. Anak yang suka hura-hura tapi bukan anak yang terlalu pendiam. Datar-datar saja kehidupan mereka. Semua itu terbawa sampai sekarang. 
      Pak Jasman orangnya tergolong santai. Pak Jasman  setelah shalat subuh biasanya berjalan-jalan di sekitar rumah atau berkeliling naik sepeda   bututnya. Pulang dari naik sepeda beliau membawakan jajanan pasar untuk mereka bertiga. Bila hari Jumat,  membersihkan masjid untuk persiapan Jumatan. 
     Pekerjaan Pak Jasman sebagai pembuat mebel. Menerima pesanan atau disetor pada toko mebel yang sudah berlangganan berpuluh tahun. Semua hasil penjualan diserahkan kepada Miyuki. Dia hanya meminta beberapa saja untuk membeli bahan dasar. 


     “Ini uang hasil penjualan almari kemarin. Buat belanja hari-hari sesukamu. Sisanya ditabung buat  nanti bila ada keperluan,”  katanya pak Jasman  suatu waktu. 


     “Buat bapak?”  tanya Miyuki.


     “Bapak itu cuma butuh untuk makan,”  lanjutnya.


     Miyuki menurut saja. Dicatat di buku kecil setiap kali dia diberi uang oleh mertuanya itu.  Dia juga  mencatat pengeluaran tiap Minggunya. Dia sangat berterimakasih kepada keluarga Marva. Dia sangat tertolong boleh keluarga itu. Menutup aib yang dia sandang. 


      Marva sendiri tidak semena-mena terhadap  Miyuki. Kehadiran Miyuki di keluarga itu sangat berarti. Sudah dari Marva kecil ibunya meninggal. Kompor di dapur jarang menyala. Hanya sekedar  untuk membuat teh atau kopi. Itu saja tidak setiap hari. Mereka hidup sangat sederhana. Bila akan makan harus terlebih dahulu pergi ke warung untuk membeli makanan.  Tak jarang mereka hanya makan satu atau dua kali saja setiap harinya.  Adanya Miyuki setiap saat ke dapur selalu disiapkan makanan. Hampir setiap hari Miyuki juga menyiapkan camilan ringan untuk keluarga. 
      Marva rajin bekerja.  Setiap hari membantu ayahnya menyelesaikan pesanan mebel. Keahliannya menjadi tukang kayu diturunkan dari ayahnya. Dia mempunyai inovasi terhadap kerajinan kayu. Orang yang pesan selalu berkonsultasi dulu. 
      Miyuki bangun pagi. Sholat lalu bekerja di dapur.  Memasak untuk keluarga. Kalau perlu ke luar untuk berbelanja, selebihnya berada di rumah. Kadang ada tetangga yang bermain ke rumah.  Miyuki termasuk gadis yang  supel. Cepat akrab dengan tetangga sebelahnya. 
     Bila tak ada yang datang, waktu senggangnya digunakan untuk menjual mebel  hasil karya Marva danpak Jasman  secara online. Dalam empat bulan Miyuki berada di keluarga itu  pesanan bertambah banyak. Sampai  menambah tenaga kerja untuk membantu Marva. Teman-temannya waktu SMK dulu  dijadikan karyawannya. 
     Suatu sore saat hujan gerimis.  Mereka bertiga duduk di teras rumah.  Berkumpul duduk santai bertiga sambil melihat televisi atau  menikmati segelas kopi dan camilan.


      “Kalau kau butuh baju hamil besok aku antarkan. Bajumu  banyak yang nggak  muat,”  kata  Marva.
      Mendengar perkataan itu pak Jasman seperti disambar petir. Beberapa detik  memandangi menantunya itu. Benar saja. Badannya terlihat sangat gemuk dan perutnya  buncit.  Tiba-tiba ayahnya berdiri lalu berjalan ke dalam kamar dan  tutup pintunya rapat-rapat.  Miyuki melihat gerakan mertuanya itu tak seperti biasanya. Dia segera menoleh kepada Marva.


     “Tidak apa-apa.  Nanti saya bicara sama ayah,”  kata Marva menenangkan.


     Marva beranjak jalan menuju kamar ayahnya. Didapati ayahnya sedang duduk di pinggir ranjang. 


     “Apa Miyuki  ada salah yah,”  tanya Marva. 


     Ayahnya hanya menggelengkan kepala . Lalu tangan kirinya mengelus kepala Marva yang duduk di sampingnya.


     “Kita harus banyak bersyukur…,” katanya ayahnya berhenti.


     Pak Jasman tak mampu melanjutkan kata-katanya. Dia terharu mendengar kabar  bila Miyuki  hamil.  Teringat masa lalu Marva yang kata dokter tak bisa mempunyai keturunan. 


      Pada tengah malam yang sepi. Gelap di luar jendela. Perut Miyuki tiba-tiba terasa mulas. Sudah kelima kalinya pergi ke belakang, tapi tak keluar juga. Ini keenam kalinya dia perlahan melewati Marva yang tidur dilantai. Marva tak terusik juga. Nafasnya pelan teratur. Terlelap karena kecapekan.

     Miyuki memandangi wajah terlelap itu, bibir, hidung, dan matanya dengan seksama. Badanya kekar dibalut kaos hitam  press body. Kelihatan rapi berotot. Tiba-tiba dia tersenyum sendiri mengingat kata  para sahabatnya. 


     "Kau beruntung  mendapat Marva. Anaknya pendiam....," kata itu terngiang seakan baru saja diucapkan oleh temannya. 


    Pikirannya ngelantur. Mungkin memang benar Miyuki termasuk orang yang beruntung.  Dalam keadaan yang  terpuruk dia mendapatkan seseorang cowok yang menawarkan pertolongan. Cowok itu cowok baik. Mungkin itu tangan Allah untuk menolongnya. 


     "Aduh...," rintihannya agak keras. 


     Dipegangnya perut buncit yang besar sebelah. Rupanya bayi yang dikandungnya mulai bereaksi. 


     "Ada apa Yuk?" tanya Marva terperanjat dari tidurnya. Dia segera berdiri dan memegang  perut Miyuki. 


     Miyuki tak menjawab. Dia meringis kesakitan. 


     Marva segera berlari menuju kamar ayahnya. Meminta sang ayah untuk bangun. 


     "Yah, Miyuki," katanya tergopoh. 


      Pak Jasman segera menyarankan untuk mengantarkannya ke bidan. 


      Sesampai di tempat bidan Marva masih bingung apa yang diperbuat. Hanya mondar mandir penuh keresahan. 


      "Pak Marva, silahkan masuk," pinta bidan. 


      Tiba-tiba tubuh Marva gemetar, peluhnya mengucur di malam dingin. 


      "Ya Bu," jawabnya sambil menuju sebuah ruangan. 


      Badan Marva menjadi lemas seketika melihat Miyuki di atas ranjang bantu melahirkan.  Kakinya terlentang dengan perut yang besar. 


      Marva menurut saja segala perintah 3 bidan yang membantu persalinan. Dia berdiri  di samping kepala Miyuki. 


      "Aduh, ya Allah," kata Miyuki.


      Dia kontraksi sekuat tenaga. Tangan kanannya mencengkeram erat lengan kiri Marva yang kekar.  Hati Marva  semakin tak karuan melihat kondisi Miyuki. Beberapa kontraksi, beberapa kali  jeritan tapi tak keluar juga. 


      "Istirahat dulu biar tidak kehabisan tenaga," kata bidan. 


       Mendengar kata itu detak jantung Marva yang mulai teratur kembali cepat. 


      "Ayo mas, istrinya diberi semangat," kata bidan. 


      Marva mulai mengelus rambut Miyuki. Jemari kanannya dikaitkan dengan jemari Miyuki. 


      "Ayo mas diberi semangat sambil berdoa," kata bidan  yang berbadan gemuk. 


      Pikiran Marva semakin tak karuan.  Dia membayangkan hal yang sebenarnya tak perlu terjadi. Tiba-tiba dia merasa takut kehilangan. Sambil mengelus rambut  bibirnya didekatkan di telinga Miyuki. 


      "Ayo semangat sayang," bisiknya. 


      Bersamaan itu Miyuki kontraksi berat. Cengkeraman tangan dan erangannya  sangat kuat.  Pandangan mata Marva perlahan buram. Badanya terasa ringan dan tiba-tiba semua menjadi gelap. 


     Kini Marva berjalan pada ladang luas yang serba gelap. Ada jalan setapak  yang samar. Dia berjalan menyusuri jalan itu. Mulai samar pula jalanan yang berada di hutan tanpa warna. Pada suatu langkah dia berhenti. Jalan menjadi  buntu. Semua hanya belantara  dengan tumbuhan dan bentuk yang belum pernah diketahui. Dia kebingungan. Memandang keseluruhan arah. Tiba-tiba ada setitik sinar dari jauh.  Sinar itu semakin lama semakin terang. Membuat pandangannya silau. Marva segera memejamkan mata. 


      Tubuhnya kini seperti kesemutan.  Ada rasa yang menjalar ke seluruh tubuh. Rasanya tak karuan. Sakit tidak. Geli tidak juga. Tapi semakin berat saja. 


     Samar dari kejauhan terdengar suara. Dipasangnya telinga Marva benar-benar. Semakin lama suara itu semakin jelas.  Sampai dia membuka mata. Dia mulai siuman. 


      "Mas, bangun. Putranya sudah lahir, cantik banget," kata bidan yang muda  yang berdiri sampingnya.


     Marva melihat ke pojok langit-langit. Dia berusaha mengingat kejadian yang dialaminya tadi. Sampai dia pada posisi terlentang di atas depan. Sementara di dalam tubuhnya terasa seperti ada yang mengalir perlahan. Mulai dari kepala sampai ujung kaki.  Lalu keringatnya mulai keluar membasahi baju yang dikenakan. 


      “Sebentar,” kata bidan itu sambil berjalan ke luar ruangan.
     Seiring perginya bidan yang mendampingi,  Marva fokus dengan suara yang ada di luar ruangan.


     “Anak masih kemarin sore menikahi anakku.  Jadinya ya begini. Sok jagoan saja anak itu,” suara pak  Salkam.
      “Sudah lah  pak. Kenyataannya dulu pacaran sama si anak orang kaya itu ditinggalkan juga. Justru aku curiga jangan-jangan anak itu anak Tomsir. Kalau dilihat dari fisik bayi usianya bukan 7 bulan tapi sudah genap. Lihat saja kuku,  rambut dan bulu-bulu yang ada di badan anak itu menandakan kalau  dia  sudah waktunya lahir. Padahal anak itu masih 7 bulan menikah.  Bapak kan juga ingat,  anak kita tiba-tiba menjadi pendiam  di dalam kamar,”  kata  kata Nemi.


     “Tapi harusnya yang menikahi bukan anak kecil itu,”  bela  pak Salkam.


      “Sssttt,  Jangan begitu nanti dengar anaknya,”  lanjut Bu Nemi  sambil mengintip Marva dari celah  jendela. 
      Marva yang tahu kejadian itu segera memejamkan mata. Dia pura-pura  masih  pingsan. 


      Malam itu malam yang cerah. Selepas magrib terdengar suara  Bu de Jum yang lantang akan memasuki rumah.  Bibi Marva itu memang sudah tua. Tapi gaya bicaranya masih saja seperti   masih  muda.  Suaranya lantang. Berbicara apa adanya. 


      Setelah salamnya mendapatkan jawaban dari Marva dan pak Jasman,  dia memasuki rumah. 


      “Mana anakmu. Begitu itu lho bu denya kok ya tak dikabari kalau anakmu sudah lahir,” katanya  menyalahkan. 


     Dengan tersenyum Marva membimbing bu de Jum menuju kamar.


      “Ini bu de,”  jawab Marva.


      “Walah le syukur alhamdulillah. Kamu bisa punya anak. Kata dokter penis yang terpotong kepalanya itu tidak bisa mempunyai anak. Eh ternyata bisa,”  kata Bu de Jum  sambil mengelus bahu Marva yang duduk di sampingnya. 


      Miyuki  kaget  bukan kepalang dengan perkataan Bu de Jum itu.  Dia segera memandang kearah  Marva. Dipandanginya mata Marva penuh dengan kecewa. 


      Hati Marva bagai disambar petir. Rahasia yang selama ini dipendam kini diobral oleh Bu de Jum. Melihat pandangan Miyuki  yang melotot, Marva segera menunduk. Pikirannya campur aduk.  Dia sangat malu dan  takut  kepada Miyuki. Sampai-sampai dia tidak bisa berpikir untuk menghentikan kata-kata Bu de Jum yang Terus menceritakan masa lalu Marva. Akhirnya bu de Jum ke luar dari kamar setelah merocos ke sana kemari.  
      Marva ingin menyusul Bu de Jum ke luar kamar.  Saat  tangan kirinya akan menyibak kelabu  pintu kamar,  Miyuki  menahan tangan kanan Marva. Lalu perlahan dia berdiri. 
      “Benar kata Budi Jum kalau kamu….?”  kata  Miyuki  terhenti.


      Dia memandangi bagian vital milik Marva. Marva hanya diam saja. 
     “Mengapa kamu tidak cerita dari dulu. Aku kecewa sama kamu. Tidak mau terbuka kepada orang yang sudah kamu nikahi,”  kata Miyuki sambil mengibaskan dengan kasar  tangan Marva. 
     Marva membalikkan badan ingin ke luar kamar. Dia tidak mau membicarakan permasalahan itu.  Kembali  tangan Marva di sahut oleh Miyuki. Miyuki kini memegang dua tangan Marva. Mereka saling berhadapan. 
      “Aku terlanjur cinta padamu,” ucap  Miyuki lirih dengan senyum termanisnya.



                                         Tamat