Tukang Ojek Itu Memenuhi Janjinya
Pengantar
suntingSeorang anak tukang ojek perempuan berhasil meraih cita-citanya karena pengorbanan sang Ibu yang dalam segala keterbatasan penghasilan dan keadaan terus berupaya membiayai dan menabung untuk pendidikan anak semata wayangnya.
Cerpen
suntingSaya teringat, dulu saya sekolah di SMP elit di kota saya. Saya bisa dapat beasiswa di sekolah itu karena juara kelas terus sewaktu di SD. Teman sekolah saya kebanyakan anak-anak orang kaya dan terpandang. Teman-teman baik saya namanya Nabila dan Siu Lan. Ibu Nabila dokter, kepala puskesmas kecamatan kami. Papa Siu Lan dealer motor. Ibu saya? Tukang ojek.
Ibu dan Bapak berpisah waktu saya masih kecil. Bapak menikah lagi, sedang Ibu tidak. Saya tak pernah lagi bertemu Bapak. Kata ibu, Bapak tak pernah menanyakan kabar saya atau menengok, apalagi memberi uang untuk biaya hidup. Ibu sendirian mati-matian membesarkan dan membiayai saya.
Ibu jadi tukang ojek sejak pisah dari Bapak, karena Ibu tidak punya keahlian apa-apa, hanya punya motor. Kata Ibu, kebanyakan tukang ojek perempuan memang janda-janda yang terpaksa mengojek karena suaminya meninggal, atau karena anak-anaknya tidak dibiayai mantan suaminya.
“Makanya, kamu mesti sekolah tinggi, biar gak seperti Ibu, Rani. Jangan pernah bergantung pada orang lain, termasuk pasanganmu. Untuk pendidikan kamu, Ibu rela lakukan apa pun,” kata Ibu suatu hari.
Saya kasihan melihat Ibu ngojek sampai malam setiap hari. Banyak sekali suka duka Ibu yang saya ingat. Lebih banyak dukanya, sih, sepertinya. Ibu sering pulang lewat tengah malam. Kata Ibu, di jalanan sering banyak masalah. Kadang motor mogok, kadang ban bocor. Pernah Ibu tidak dapat uang sama sekali, karena motor rusak, dan Ibu harus dorong motor sampai rumah malam-malam. Ibu sering kepanasan sampai kulitnya hitam legam. Setiap pulang dari ngojek, rambut Ibu acak-acakan dan badan Ibu bau sekali.
Ibu bangun setiap subuh. Sesudah itu ibu buat sarapan, atau lebih tepatnya, makanan kami untuk sepanjang hari, meski seringkali tidak cukup sampai malam. Habis itu ibu mencuci dan mandi. Habis mandi ibu berangkat ngojek.
Ibu pernah ditabrak mobil sampai jatuh, berdarah, dan pelek motornya penyok. Yang menabrak kabur, tidak bertanggung jawab. Sampai beberapa hari kemudian, Ibu tidak bisa ngojek. Kami tidak ada uang buat makan, dan terpaksa ngutang ke warung.
Suatu malam, Ibu pulang sangat larut. Ibu tanya saya, “Rani sudah makan?” Saya menggeleng. Ibu lihat di lemari hanya ada telur. Tinggal satu. Ibu ceplok telur itu, lalu bilang, “Makanlah, Rani. Ibu sudah makan tadi di jalan.” Saya tidak percaya. Saya tahu Ibu tidak pernah makan di luar supaya hemat. Saya bagi telur saya pada Ibu. Kami makan dalam diam. Saya lihat Ibu makan sambil menangis, tapi makannya lahap, jadi saya tahu Ibu memang belum makan.
Di hari ulang tahun saya ke-sepuluh, ibu pulang lebih awal, sekitar jam enam sore. “Rani, hari ini ulang tahunmu yang istimewa. Kemarin usiamu satu angka, hari ini sudah dua angka.” Ibu ajak saya makan di restoran cepat saji yang lambangnya huruf M warna kuning itu. Kami jarang sekali makan di luar rumah seperti itu. Itu suatu kemewahan bagi kami. Ibu pesan makanan hanya satu porsi, buat saya saja. “Ibu sudah kenyang, Rani. Makanlah, ini hari istimewa-mu.”Saya heran, di hari istimewa saya kok Ibu sudah makan duluan. Tapi saya diam saja. Saya habiskan ayam goreng ulang tahun saya dengan lahap.
Ibu pernah ditipu pelanggan yang minta dibelikan makanan. Ibu bayar pakai uang Ibu dulu, lima puluh ribu Rupiah lebih. Ternyata alamatnya palsu. Kok ada ya, orang yang tega ngerjain orang kecil seperti Ibu. Ibu bawa makanan itu pulang. Saya senang kami makan banyak malam itu, tapi sedih karena uang ibu habis.
Ibu pernah juga hampir dibegal motornya malam-malam. Motor dengan dua penumpang laki-laki berusaha memepet motor ibu. Ibu memacu motor dengan ketakutan ke tempat yang lebih ramai. Di dekat tikungan, motor mereka berhasil memepet motor Ibu. Ibu teriak sekeras-kerasnya, dan orang-orang berdatangan. Begalnya ketakutan melihat orang banyak, lalu kabur.
Pernah juga ada tamu datang mencari Ibu. Katanya Ibu sudah beberapa bulan tidak bayar motor. Dia mau tarik motor Ibu. Ibu cuma bisa bilang, “Saya usahakan Pak, kasih saya waktu, ojek lagi sepi.” Orangnya bilang “Ini peringatan terakhir, Bu!” Saya lihat wajah ibu jadi sedih dan kuatir, tapi seperti biasa, di depan saya, Ibu selalu berusaha senyum dan terlihat kuat.
Ibu kadang juga suka marah pada saya kalau sudah capek, pusing soal uang, dan kalau saya kadang nakal dan tidak menurut kata Ibu. Saya takut kalau Ibu lagi marah, tapi lebih takut menyakiti hati Ibu yang sudah berjuang begitu susah payah buat saya. Ibu tidak pernah marah sampai lama. Besok paginya biasanya Ibu selalu minta maaf karena sudah emosi pada saya. Saya juga selalu minta maaf pada Ibu.
Suatu hari, Ibu Atje, wali kelas saya mengumumkan di kelas, bahwa saya terpilih mewakili kelas VIII A untuk lomba busana hari Kartini. Saya senang sekaligus juga sedih. Ada biaya sewa baju dan rias seratus ribu yang harus dibayar peserta sendiri.
“Bu, Rani terpilih mewakili kelas untuk lomba hari Kartini,” kata saya sambil hati-hati memberitahu Ibu biayanya.
“Wah, anak Ibu pasti nanti paling cantik pakai kebaya. Nanti ya, Rani, Ibu harus bayar dulu kontrakan rumah dan cicilan motor yang tertunggak,” kata Ibu, antara tersenyum dan sedih. “Ibu gak mau pakai uang tabungan untuk sekolahmu. Kalau kita rajin nabung dan gak diambil ambil, biar sedikit, nanti waktu kamu kuliah pasti sudah banyak.”
“Iya, Bu,” jawab saya tertunduk. Saya tahu uang segitu berat untuk ibu.Sampai sehari menjelang acara, Ibu belum dapat cukup uang. Saya bicara pada Bu Atje siang itu, “Maaf, Bu. Saya tidak bisa mewakili kelas ikut lomba, karena tidak ada uang untuk baju dan rias,” kata saya. Saya menunduk, tidak berani menatap Ibu Atje. “Tenang saja soal itu, Rani. Besok kamu tetap ikut lomba,” jawab Bu Atje di luar dugaan saya. Bu Atje ternyata mengetahui keadaan keuangan kami. Beliau bersama Nabila dan Siu Lan diam-diam urunan untuk membayar biaya sewa baju dan rias untuk saya.. Saya salim pada Bu Atje, saya peluk Nabila dan Siu Lan sambil terus sesenggukan tersedu-sedu. Ibu juga terharu waktu saya ceritakan.
Besoknya, di aula sekolah, semua peserta, guru-guru dan penonton berdandan rapi. Guru-guru dan siswa perempuan memakai pakaian daerah nusantara. Para orang tua siswa juga banyak yang datang, termasuk juga para bapak. Saya sangat iri melihat mereka yang bapak-bapaknya begitu peduli. Saya lihat, ibu-ibu teman-teman saya semuanya tampil cantik dan wangi. Semakin dekat giliran saya, saya semakin gelisah. Saya mencari Ibu di tempat duduk para penonton. Ibu tidak ada di sana. Saya maju tampil dengan gundah dan kesal. Kok, Ibu tega sih, tidak peduli saya mau tampil? Saya membatin.
Dari atas panggung tempat saya tampil, saya lihat seorang perempuan yang mengenakan jaket motor berwarna hijau dengan lambang ojek online, berdiri di belakang, dekat pintu aula, memandangi dan memperhatikan saya, dan bertepuk untuk saya. Terlihat rambut dan jaketnya basah kuyup. Ibu datang menyempatkan diri menonton saya dengan menembus hujan lebat yang tak cukup dibendung dengan jas hujan dan helm.
Saat giliran saya selesai, saya tengok lagi, Ibu sudah tidak ada di sana. Ibu sudah kembali ke jalanan, kembali berjuang untuk saya. Bagi saya, dialah Kartini sejati yang tak pernah bersanggul dan berias. Kartini itu hadir dalam perjuangan dan kesulitan hidup yang nyata, dalam balutan jaket ojek hijau yang lusuh, dalam kulit yang legam kepanasan, dalam rambut yang kuyup kehujanan, dan dalam tubuh yang bau ketiak setiap hari.
Saya tersadar dari lamunan panjang saya saat seseorang menyapa dan menyelamati saya. Hari ini, sembilan tahun setelah hari Kartini di aula SMP itu, Ibu dan saya berada di sebuah aula yang lain. Saya kembali pakai kebaya sewaan, yang kali ini terbalut toga, seperti semua wisudawati di aula universitas ini. Ibu berdandan cantik dan wangi. Tak henti hentinya dia tersenyum. Sudah lama sekali saya tidak melihat Ibu begitu bangga dan bahagia seperti saat membalas ucapan selamat dari orang-orang di aula ini.
Ibu memenuhi janjinya yang dulu terucap. Tukang ojek itu sudah melakukan segalanya bagi anaknya. Hari ini, kami memetik buah dari ketekunan dan pengorbanan Ibu menabung untuk pendidikan saya, dalam derasnya kucuran keringat, air mata, dan sesekali, juga darah. Rasa terima kasih saya pada Ibu tidak akan pernah habis ....