Vietnam: Why Did We Go?/Bab 1
BAB 1—Permulaan
Perang Dunia II, Pemisahan Sementara Vietnam, dan Permulaan Konflik Vietnam
Ketika pada 1940, Prancis dikalahkan oleh Hitler, Prancis menyerahkan Vietnam kepada Jepang yang mendorong mereka untuk meneruskan pemerintahan wilayah tersebut di tangan mereka. Boneka Prancis, Bao Dai yang memerintah negara tersebut pada dua puluh tahun sebelumnya, merestuinya.
Namun, Bao Dai berhadapan langsung dengan nasionalisme yang kuat. Ini menjadi sangat konkret dan mengambil bentuk perang gerilya yang makin efektif. Tujuan mutlaknya terdiri dari dua: mengusir kekuasaan Prancis dan Jepang, dan kemerdekaan penuh. para pejuang kemerdekaan yang disebut sebagai Viet-Minh, didukung oleh masyarakat umum dalam rangka agar mereka mewujudkan aspirasi nasional seluruh orang Vietnam.
Ketika Jepang kalah pada Agustus 1945, bangsa Vietnam menguasai sebagian besar Vietnam. Pada September tahun yang sama, para pejuang kemerdekaan mendeklarasikan kemerdekaan Vietnam. Boneka Prancis-Jepang, Bao Dai mengundurkan diri. Setelah lebih dari seabad, Vietnam bersempatan lebih bebas, atau setidaknya nampak demikian. Meskipun didominasi oleh komunis, bangsa Vietnam menyadari bahwa minoritas solid dari negara tersebut adalah orang Katolik. Mengakui bahwa kebanyakan Katolik mendukung perjuangan mereka melawan Prancis dan Jepang, mereka membalas dukungan mereka dengan mengangkat banyak orang Katolik berpengaruh pada pemerintahan baru mereka.
Ho Chi Minh, pemimpin mereka, mengangkat orang Katolik menjadi menteri ekonomi, yang memiliki Vikar Apostolik Katolik Roma. Selain itu, untuk menunjang agar ia tak terpengaruh melawan Gereja, meskipun seorang Marxis, ia memperingati hari minggu pertama pada setiap bulan September sebagai hari resmi Kemerdekaan Vietnam. Ini karena hari tersebut bertepatan dengan Hari Katolik Nasional.
Kebebasan beragama diberikan kepada semua orang. Pencapaian-pencapaian Viet-Minh sangat populer ketika pada bulan September, 40.000 orang Katolik berunjuk rasa mendukung Ho Chi Minh di Hanoi sendiri. Bahkan, empat uskup Katolik memohon secara langsung agar Vatikan mendukung Vietnam yang baru merdeka di bawah para penguasa barunya.
Ini nampak sebagai bab baru yang dimulai, tak hanya untuk Vietnam, namun juga untuk orang Katolik, yang sampai saat itu, meskipun dilindungi oleh Prancis, makin mengecam pengembalian kolonialisme Prancis.
Ketika pemerintahan Vietnam baru di Hanoi dibentuk untuk mendirikan republik demokratik di Vietnam utara, Inggris, yang mengetahui bahwa Jepang telah menyerah, merebut Vietnam Selatan dari Prancis. Prancis, yang menyesalkan kekalahan mereka di Eropa, menghimpun pemerintahan kolonial paling drastis, dengan tujuan memperluas kekuasaan pada belahan negara tersebut. Pasukan Vietnam melakukan perang gerilya untuk mencegah kekuasaan Prancis kembali.
Pada Februari 1950, AS mengakui pemerintahan Bao Dai. Kemudian, Prancis meminta bantuan militer. Pada Maret, dua kapal perang AS memasuki Saigon untuk mendukung Bao Dai. Tak lama setelah itu, pada bulan Mei, Washington mengumumkan bantuan Prancsi dengan menggelontorkan $10.000.000. AS sepakat untuk bersepakat dengan Prancis berkaitan dengan Vietnam ketika AS terlibat perang di Korea. Pada bulan Juni, Presiden Truman mengumumkan bahwa AS akan membiayai tentara Prancis untuk berjuang melawan pemerintah Vietnam Utara. Pada November 1952, AS mengirim 200 kapal angkut material, 222 pesawat perang, 225 kapal angkatan laut, 1,300 truk, membayarkan sepertiga biaya perang di Vietnam.
Ketika Eisenhower menggantikan Truman pada Juli 1953, sebuah gencatan senjata ditandatangani dengan Korea. Namun, pada 1953, dukungan keuangan AS mencapai 400 juta setahun. Pada bulan Oktober, Menlu John Foster Dulles mendeklarasikan bantuan AS untuk pemerintahan kolonial Prancis menjadi “pengabdian terbesarnya pada tahun itu.”
Pada 1954, AS bersiap memberikan 80% biaya secara keseluruhan. Pemerintah Prancis sendiri menyatakan bahwa AS menggelontorkan sebanyak $1.785 miliar untuk perang mereka. Pada akhir tahun yang sama, AS sebetulnya telah membayar $2 miliar untuk mempertahankan kolonialisme Prancis dalam kekuasaan.
Namun, Vietnam sempat memutuskan untuk menarik diri mereka sendiri dan bagi seluruh Prancis, keganasan yang mengejutkan para teman dan musuh. Pada saat kalah di Dienbienphu, Prancis meminta bantuan AS. John Foster Dulles menuntut campur tangan AS (untuk mempertahankan Indo-China dari komunisme). Kemudian, ia mengumumkan sebuah rencana, Organisasi Traktat Asia Tenggara (South East Asia Treaty Organization, SEATO). Pada bulan April, ia mengadakan pertemuan rahasia para pemimpin kongres. Tujuannya: untuk memberikan kekuasaan kepada Eisenhower untuk memakai pasukan udara dan laut AS untuk membantu Prancis di Vietnam. Rencana tersebut disebut “Operasi Vulture.” Lyndon Johnson, presiden selanjutnya, menentang pengerahan pasukan AS dan sebagian besar pemimpin kongres menyepakatinya. Namun, pada November, (dari 1950 sampai 1954) AS telah mengirim 340 pesawat dan 350 kapal perang.
Pada Mei 1954, Prancis menyerahkan Dienbienphu. Pada bulan Juli berikutnya, Perjanjian Jenewa ditandatangani. Paralel ke-17 dipakai menjadi garis demarkasi sementara antara Republik Vietnam di Utara dan Prancis di Selatan. Pada 21 Juli dalam “Deklarasi Akhir,” sembilan negara menjalin kesepakatan dengan pengecualian pemerintahan Bao Dai dan AS.
Deklarasi tersebut menekankan bahwa pembagian utara-selatan di Vietnam hanyalah pembagian “militer”, untuk mengakhiri konflik militer, dan bukan batas teritorial atau politik. Ini menandakan bahwa Prancis dipercayakan untuk Vietnam Selatan selama periode dua tahun, sampai pemilu diadakan dan masyarakat dapat memilih jenis pemerintahan yang diinginkan oleh mereka.
Pada masa tertentu, Perjanjian Jenewa memicu ketakutan bahwa jika pemilu diijinkan, Viet-Minh yang menjadi sangat populer di seluruh Vietnam, juga akan merebut wilayah selatan.
Militer dan seluruh lobi Katolik di Washington dihimpun, memutuskan untuk mendorong pemerintahan AS untuk mencegah pemilu tersebut. Paus Pius XII memberikan dukungan penuh kepada upaya mereka. Kardinal Spellman, penengah Washington-Vatikan, menjadi pembicara utama dari keduanya. Kebijakan Paus Pius XII dan John Foster Dulles kemudian diterima, dan mengimplementasikan kesalahan pemberian yang menyebar tanpa pendirian di AS dan Eropa.
Sebelum dan setelah keputusan fatal tersebut, Presiden Eisenhower sendiri memutuskan dalam sebuah acara politik bahwa “pemilu akan diadakan, kemungkinan 80% populasi akan memilih komunis Ho Chi Minh ketimbang Kepala Negara, Bao Dai.” Presiden Eisenhower menyatakan kepercayaan soal realitas situasi politik di Vietnam pada masa penting tersebut.