Vietnam: Why Did We Go?/Bab 11

BAB 11—Konsolidasi Terorisme

Legislasi Anti-Protestan; Penahanan, Penangkapan, Penyiksaan dan Eksekusi

Jika demokrasi terinspirasi oleh prinsip-prinsip demokrasi dasar tertentu, dan kediktatoran komunis didirikan di atas landasan Marxisme, maka totalitarianisme Katolik harus dipromosikan lewat doktrin-doktrin yang diberlakukan oleh Gereja Katolik. Karena itu, Diem memutuskan untuk menciptakan model Negara Katolik di Asia Tenggara. Penekanan tersebut banyak menginspirasinya dalam mewujudkan ajaran-jaran sosial dari tiga tokoh favorit Diem; Paus Leo XIII, Paus Pius IX dan Paus Pius XII.

Diem memberikan ajaran para Paus tersebut secara harfiah. Contohnya, ia menyatakan, seperti halnya Paus Pius IX menyatakan dalam Silabus Kesalahan, “meyakini bahwa gereja tidaklah benar dan masyarakat yang sempurna merupakan kesalahan.” Bagi Gereja untuk menjadi sempurna, negara harus diintegrasikan dengannya sehingga keduanya menjadi satu, karena kembali mengutip Pius IX “meyakini bahwa Gereja harus dipisahkan dari Negara dan Negara dari Gereja merupakan kesalahan,” sebuah prinsip yang secara bulat bertentangan dengan Konstitusi AS, sponsornya.

Sehingga, unsur-unsur yang menghalanginya disingkirkan. Ini menandakan, Protestan, yang pada waktu itu berjumlah sekitar 50.000, kebanyakan Baptis dan Adventis Hari Ketujuh. Diem berencana untuk menyingkirkan mereka utamanya lewat legislasi yang melarang misi mereka, menutup sekolah mereka, dan menolak lisensi untuk berkotbah atau mengadakan pertemuan keagamaan. Ini dia lakukan secara sah sesuai dengan konkordat mendatang yang ditandatangani dengan Vatikan sesuai dengan model Spanyol pada masa kepemimpinan Franco. Legislasi anti-Protestant semacam itu akan diberlakukan saat berang berakhir dan negara Katolik benar-benar terbentuk.

Ini bukanlah spekualsi belaka, ini dikonfirmasi pada masa itu di London, Inggris. Pengarang saat ini pada masa itu hanya tinggal beberapa ratus yard dari Kedubes Vietnam Selatan, Victoria Road, Kensington. Ia dipanggil ke kedubes tersebut sebanyak beberapa kali untuk menemukan alasan kenapa rezim Diem “menzalimi sekte-sekte Buddha tertentu.” Dokumen-dokumen semua pejabat memberikan pembenaran terhadap penzaliman tersebut. Penjelasan resminya adalah bahwa orang-orang Buddha “didakwa” bukan atas dasar agama namun atas dasar politik. Ketika penulis saat ini menyebut Protestan, sebuah penjelasan resmi menyatakan bahwa ini adalah kasus istimewa. Karena mereka adalah Kristen, “pendakwaan” mereka akan dibenarkan ketika situasi dalam negeri menjadi normal, atas dasar bahwa negara—dalam kasus ini, Negara Katolik Vietnam Selatan—terinspirasi oleh penekanan-penekanan yang melandasinya. Sehingga, Negara Katolik yang sempurna tak dapat mentoleransi Protestan maupun Kristen yang tak meyakini kekhasan Gereja katolik. Hal ditekankan bahwa Paus John XXIII meluncurkan era ‘ekumenisme.’ Pihak berpangkat tinggi yang memberikan penjelasan yang harus diketahui, karena ia tak lain adalah saudara Presiden Diem sendiri, yang juga seorang Katolik taat, Dubes Ngo Dinh. Seorang pihak lainnya, seorang mantan pengikut Gereja Baptis, kemudian menyatakan bahwa terdapat penyiapan cetak biru untuk penyingkiran resmi Protestanisme di kelak Vietnam Bersatu.

Itu bukanlah rencana teoretikal yang sebenarnya untuk masa depan yang disiapkan pada kenyataannya yang memulai program Diem lebih awal. Sebelum menyingkirkan Protestan atau Buddha, ia mula-mula mengkatolisasi susunan Vietnam. Sebuah bagian paling penting dari hal tersebut adalah pendidikan. Gereja Katolik dilibatkan akan hal tersebut.

Untuk menciptakan Negara Katolik Sepenuhnya,seseorang harus membentuk masa mudanya, menjadikannya warga negara masa depan. Ini merupakan penekanan yang tak berujung ketegangan di banyak wilayah, termasuk AS sendiri, dengan masalah bantuan paroki dan klaim gereja Katolik untuk mengkhususan pendidikan istimewa. Semenjak Diem tak memiliki pembatasan, ia memndang bahwa komando Gerejanya diberlakukan secara ketat.

Pada 1957, ia melembagakan universitas Katolik Roma di Dalat. Pada 1963, universitas tersebut memiliki lebih dari 500 mahasiswa. Diem juga memberikan kursi kepada para profesor dan dosen Katolik di dua universitas negeri, masing-masing di Hue dan Saigon. Pada tahun berikutnya, Yesuit mendirikan seminari di kota-kota yang sama. Rezim tersebut membangun 435 yayasan amal; antara 1953 dan 1963, dari hanya tiga SMP dan SMA pada 1953, Diem mendirikan 145 SMP dan SMA, 30 sekolah diantaranya berada di Saigon sendiri, dengan jumlah 62.324 murid.

Pada masa yang sama, Gereja Katolik menggandakan jumlah sekolah menjadi 1.060 pada 1963 dalam periode singkat sepuluh tahun. Sebagaimana yang disebutkan di atas, Diem membangun 92.000 meter persegi rumah sakit, yayasan dan lembaga pendidikan. Selain itu, 526.000 meter persegi dipakai untuk membangun kediaman mewah dan Gereja Katolik.

Pada saat yang sama, Diem membangun Negara Katolik-nya dengan doktrin-doktrin sosial paus. Pada permulaa abad kami, ini terinspirasi dari gerakan sosial yang menyebabkan reperkusi mendalam di Eropa, terutama di seluruh belahan Italia.

Ini sebetulnya adalah jiwa doktrin sosial kepausan, yang mula-mula menginspirasi fasisme Italia, dan kini untuk menghimpun Negara Korporat di Vietnam, namun disesuaikan dengan zaman dan dengan modifikasi tertentu yang selaras dengan negara Asia.

Untuk menambahkan sentuhan orisinalitas tambahan, Diem menciptakan filsafatnya sendiri, yang tak hanya berasal dari ajaran para Paus, namun juga dari keadaan sosial, yang mula-mula dimajukan oleh kelompok intelektual Katolik pada sekitar tahun 1930, ketika fasisme berada pada puncaknya dan disebut “personalisme.”

Setelah upayanya untuk menghimpun pengendalian korporat, Diem mulai mengesahkan hukum-hukum untuk memberlakukan rencanaya. Ini tak hanya berkaitan dengan legislasi yang represif, namun juga pemakaian tindakan brutal.

Pada saat yang lain, Diem menemukan inspirasi dalam ajaran kepausan tertentu, yakni Paus Pius IX, yang menurutnya, merupakan sebuah kesalahan untuk meyakini bahwa “gereja tak memiliki kekuasaan memakai pasukan, maupun memiliki kekuatan temporal, langsung atau tidak langsung.” (Kesalahan No. 24—Silabus Kesalahan)

Pembenaran penjunjungan agamanya dengan ambisi politik pribadinya, Diem, sepanjang delapan tahun, makin menjadi diktatorial, tak mengakui formalitas demokratik apapun yang lebih terbuka, mengambangkan nasehat apapun, menjadikannya lebih kebal dari kritikal apapun, termasuk kritikan dari militer dan “penasehat” sipil AS tertentu. Kebanyakan mereka mengirim laporan berarti dari apa yang didatangkan ke Washington, memprediksi bencana. Namun, lobi Dulles-CIA-Katolik memandang bahwa mereka tak pernah mencapai hak tersebut, bermula dengan Presiden Eisenhower sendiri.

Sementara itu, egosentrisme agama-politik Diem menimbulkan kekhawatiran. Filsafat “personalisme”-nya beralih menjadi pemujaan kepribadian terang-terangan seperti halnya yang dipromosikan di Rusia Soviet oleh Stalin dan di Jerman Nazi oleh Hitler. Potret-potretnya tersebar di setiap sudut wilayah tersebut. Jika gambarnya tidak ada, bahkan di rumah-rumah pribadi, maka siapapun dapat didakwa oposisi dan sehingga menimbulkan penangkapan mendadak, penjara dan kamp penahanan. Kultus pribadi, seperti halnya kediktatoran Eropa, menampilkan potret-potretnya pada altar-altar yang didirikan di jalanan. Di tempat tersebut, lagu kebangsaan dimainkan atau dinyanyikan sebagai himne pujian kepada Diem.

Dengan pemujaan pribadi, ini mengembangkan kebencian fanatik terhadap segala bentuk oposisi apapun. Keduanya tak terpisahkan. Ini menandakan penyingkiran sejumlah kebebasan sipil atau kebebasan berpikir, beragama dan politik. Diem menghimpun pengendalian diri yang sangat ketat pada kepolisian, seperti yang kami katakan, oleh salah satu saudaranya. Jaringan-jaringan keamanannya berlapis dan kokoh. Regu komando dibentuk. Pengendalian kerusuhan—seringkali disiapkan—dilatih dengan sangat efisien. Ini perlu disoroti oleh pembaca Amerika bahwa model semacam itu diciptakan, dilatih dan digaungkan oleh kelompok Universitas Michigan Selatan, di bawah dukungan CIA.

Kekerasan mencolok terhadap kebebasan sipil, kebebasan pribadi, diikuti oleh ribuan orang. Para pembangkang dari segala usia dan kelompok politik atau agama diperintahkan untuk dibawa ke penjara atau kamp konsentrasi. Untuk lebih pasti dalam memeriksa pembangkangan tersebut, setiap penduduk desa diminta untuk memperlihatkan kartu identifikasi.

Dengan adanya rezim Diem, pembangkang tak lagi hanya komunis atau orang Buddha. Orang Katolik juga kini bergabung dengan oposisi. Ini merupakan orang-orang Katolik yang awalnya dipindahkan dari Utara oleh Diem. Ribuan orang dari mereka menuntut agar Diem menarik kata-katanya. Mereka berunjuk rasa, menuntut lahan, rumah, dan pekerjaan yang dijanjikan oleh mereka. Peningkatan jumlah akhirnya menyatakan bahwa mereka ingin dikembalikan ke Vietnam Utara. Tanggapan Diem seperti biasa. Unjuk rasa ditumpas habis-habisan; orang-orang atau kelompok-kelompok, entah Buddha atau Katolik, ditangkap, ditahan, dikirim ke kamp atau bahkan ditembak di tempat.

Hal ini telah diperhitungkan, dan jumlahnya—meskipun kekurangan konfirmasi resmi—dianggap bersifat konkrit, yang pada masa teror tersebut—yang berlangsung dari 1955 sampai 1960—setidaknya 24.000 orang luka-luka, 80.000 orang dieksekusi atau dibunuh dengan cara lainnya, 275.000 orang ditahan diinterogasi dengan atau tanpa siksaan fisik, dan sekitar 500.000 orang dikirim ke kamp konsentrasi atau penahanan. Ini adalah perkiraan konservatif.

Pembentukan rezim Katolik totalitarian tak berjalan mulus. Perlawanan dari segala sektor di negara tersebut meningkat. Serangan-serangan terjadi makin sering, utamanya karena situasi ekonomi yang bergejolak. Pada Mei 1957, 200.000 tenaga kerja berunjuk rasa di Saigon sendiri. Pada Hari Buruh 1958, pengunjuk rasa meningkat menjadi 500.000. Terdapat serangan dan demonstrasi di seluruh penjuru negara pada tahun-tahun berikutnya. Orang-orang Katolik dari Utara utamanya meminta ganti rugi.

Namun penindasan yang dikendalikan negara menjadi terlalu efisien untuk dilemahkan oleh pemberontakan manapun, entah dari bidang ekonomi atau politik. Penduduk asli dan pakar Amerika diperintahkan untuk melakukan pengendalian penduduk dan pergesekan orang manapun, bekerja seperti mesin mukjizat. Peristiwa tersebut utamanya terjadi karena Diem merasa yakin bahwa ia dapat mengendalikan ketegangan di jalanan, dan juga utamanya karena mesin penindasan ajaib yang akhirnya dirasakan oleh Diem sangat kuat untuk menjalankan tindakan lain, yang ditujukan untuk pendirian Vietnam Katolik-nya.

Ia beralih ke konfrontasi langsung dengan apa yang ia anggap menjadi rintangan utama dari impian agama-politiknya. Karena itu, ia menyerang agama utama di negara tersebut—Buddhisme itu sendiri.