Vietnam: Why Did We Go?/Bab 13

BAB 13—Upaya Vatikan untuk Mencegah Perdamaian

Paus Yohanes XXIII Menolak Perjanjian Jenewa Ketika Presiden Katolik AS Memajukan “Komitmen Tanpa Batas”

Ketika Prancis mulai terpojok di bawah dorongan komunis Indo-China, Gereja Katolik menyambut campur tangan AS, berharap agar keterlibatan Amerika akan membantu penaklukan seluruh provinsi. Gereja tersebut telah berada dalam medan tempur kampanye retroaktif melawan ekspansionisme Merah.

Kesuksesan militer dan ideologi Viet-Minh, dan peningkatan popularitas atas kepentingan mereka, melampaui harapan vatikan. Ini berujung pada beberapa hal yang selalu ditentang oleh Vatikan, yakni pembagian Vietnam menjadi dua wilayah—Utara dan Selatan.

Perjanjian Jenewa, yang mengatur pembagian semacam itu, sehingga dianatemakan oleh para pakar strategi Vatikan seperti halnya para pendukungnya di AS. Namun meskipun AS menerima pembagian dalam hal militer dan politik, tidak ada peduli seberapa lama, yang tak pernah dilakukan oleh Vatikan. Peristiwa tersebut mengakibatkan pembagian tersebut sebaagi pembalikan keadaan besar yang nyaris sebesar kekalahan Prancis.

Namun, ketika menolak pembagian negara tersebut, Vatikan terus bekerjasama dan mendorong campur tangan AS yang lebih mendalam, yang lebih baik memakai kekuatan ekonomi dan militer Amerika yang dibawa dengan promosi penyatuan Vietnam, ketika Gereja memerintah di tingkat tertinggi, ketika perang dimenangkan.

Vatikan tak pernah menerima pembagian Vietnam yang dimajukan oleh Jenewa, karena konsistensi strategi umumnya. Ini dapat diidentifikasikan dengan keselarasan empat tujuan utamanya:


1) pengutamaan penyatuan Vietnam;

2) penyingkiran komunisme sepenuhnya;

3) Katolikisasi seluruh negara;

4) pembentukan negara Katolik totalitarian, untuk mencapai dan mengutamakan tiga poin pertama.


Langkah-langkah telah diambil lama sebelum pembagian dilakukan untuk konkretisasi kebijakan semacam itu. Ketika mereka nampak siap, Vatikan dengan bantuan lobi Katolik AS pimpinan Kardinal Spellman awalnya mengusulkan agar Diem berkuasa. Trio berkuasa tersebut, yakni Pius XII, Kardinal Spellman dan John Foster Dulles, berada di balik rangkaian rezim semi-totalitarian di Vietnam Selatan dari pembentukannya. Pada kenyataannya, mereka yang menasehati Diem untuk menentang Perjanjian Jenewa; untuk menolak pemilu yang dijadikan kepada rakyat Vietnam dalam rangka mencari tahu apakah rakyat Vietnam ingin penyatuan atau tidak.

Mereka memandang bahwa hasil penolakan semacam itu berdampak pada Vietnam dan AS sendiri. Upaya berikutnya untuk mencapai beberapa bentuk kesepahaman dengan Vietnam Utara secara konsisten dinaungi oleh Presiden Diem, atas bimbingan langsung Vatikan dan Washington. Pada Juli 1955, menurut Perjanjian Jenewa, Diem ingin memulai konsultasi untuk pemilu yang dijadwalkan pada 1956:


“Konferensi tersebut mendeklarasikan bahwa, sejauh yang diperhatikan Vietnam, penyelesaian masalah politik atas dasar penghormatan pada prinsip kemerdekaan . . . pemilu nasional harus diadakan pada Juli 1956 di bawah naungan Komisi Internasional . . .”


Republik Vietnam Utara menyarankan kepada Diem agar konferensi permusyawaratan pra-pemilu harus diadakan. Ini dilakukan pada Mei dan Juni 1956, pada Juli 1957, pada Mei 1958 dan lagi pada Juli 1959. Tawaran tersebut dinegosiasikan antara Vietnam Utara dan Selatan, atas dasar “pemilu bebas dengan suara rahasia.” Semua tawaran semacam itu ditolak. Diem menolak pemilu yang diserukan dalam Pasal 7 Deklarasi Perjanjian Jenewa. AS mendukung sepenuhnya. Akibat penolakan semacam itu menyebabkan perang saudara. Senator Amerika Ernest Gruening, dalam pidato yang disampaikan ke Senat AS pada 9 April 1965, berkata mengenai hal tersebut.


“Perang saudara itu dimulai . . . ketika rezim Diem—yang kita dukung—menolak niatan yang terkandung dalam Perjanjian Jenewa untuk mengadakan pemilu untuk penyatuan kembali Vietnam.”


Tuduhan Senator tersebut benar. Apa yang ia gagal mengatakannya kepada Senat. Namun, rakyat Amerika Serikat pada kenyataannya benar-benar menyadari pertanggungjawaban atas unsur keyakinan semacam itu yang tak disebutkan. Inilah alasan sederhana mereka aktif di balik layar, dalam koridor diplomasi rahasia yang di luar capaian pemerintah.

Tak ada cara lainnya, semenjak diplomasi rahasia semacam itu menjadi cabang otak dario gereja yang mendorong tujuan-tujuan ideologi untuk memutlakkannya sendiri. Sehingga, kebijakan-kebijakan yang dimajukan beralih ke salah satu perwakilannya pada politikus bawahan, yang meskipun tak pernah dipilih oleh pemilih Amerika, hal tersebut mendapatkan pengaruh lebih dalam pelaksanaan diplomasi Amerika ketimbang tokoh manapun dalam DPR, Senat, atau bahkan pemerintah AS sendiri. Nama orang itu adalah Kardinal Spellman.

Kardinal Spellman sangat diidentikkan dengan Perang Vietnam usai ia datang terbuka pada beberapa tahun berikutnya dalam kegiatan-kegiatan promosional tersembunyi, ia menjadi perlambangan populer dari perang itu sendiri, dan sehingga Perang Vietnam kemudian dicap Perang Spellman. Ini bukanlah sifat sinis. Ini adalah sifat verbal dari kenyataan yang ada. Kardinal Spellman, sebagaimana kendaraan yang dipersonalisasi dari strategi ganda Vatikan-Amerika, mulai mewakili kebijakan Katolik-Amerika sendiri. Dampaknya, ia sepenuhnya disertai dengan atribut-atribut baik. Ia merupakan perwakilan keagamaan militer dari kekuatan Katolik dan militer semenjak ia terwakili pada keduanya, sebagai Vikar Angkatan Bersenjata Amerika. Ia selaluditerbangkan dalam pesawat militer Amerika, giat mengunjungi pasukan AS di Vietnam, dan berulang kali mendeklarasikan, dengan persetujuan pribadi Pius XII dan J.F. Dulles, bahwa pasukan AS di Vietnam Selatan sebagai “para prajurit Kristus.” Yang dalam konteks ini, sebagai kardinal Gereja Katolik, memiliki arti prajurit Gereja Katolik.

Pada konflik tersebut, ketika Utara berupaay untuk mencapai beberapa bentuk perjanjian dengan Selatan, Vatikan bercampur tangan lagi dan lagi untuk mencegah jenis kesepemahaman apapun antar keduanya. Ini dilakukan lewat pemakaian agama yang sangat menonjol. Pada Kongres Marian tahun 1959 yang diadakan di Saigon, contohnya, acara tersebut menahbiskan seluruh Vietnam kepada Bunda Maria. Penahbisan tersebut diinspirasi oleh Roma.

Ini tersegel untuk kemungkinan kerjasama damai yang baik antara Vietnam Utara dan Selatan, semenjak jutaan katolik melarikan diri, penahbisan seluruh Vietnam kepada Bunda Maria memiliki dampak politik yang sangat besar. Bagi mereka, ini adalah satu hal: tidak ada kerjasama dengan Utara. Pada tahun berikutnya, Vatikan memajukan dan mengambil langkah yang lebih serius. Ini adalah pergerakan yang diperhitungkan dengan baik, yang meskipun nampak bersifat gerejawi, ini memiliki dampak politik yang menonjol. Pada 8 Desember 1960, Paus membentuk “hierarki episkopal Katolik biasa untuk seluruh Vietnam.” Sehingga, ia mengambil langkah yang lebih dekat, ia menciptakan keuskupan di ibukota komunis Utara itu sendiri.

Ini tak dilakukan oleh Paus Pius XII, musuh besar komunisme dan perancang strategi agama-politik Vietnam yang asli, yang telah meninggal pada 1958, namun oleh penerusnya, Paus Yohanes XXIII, inisiator ekumenisme dan kehendak baik untuk semua orang. Penerapan yang dilakukan oleh Vatikan tersebut menganggap seluruh Vietnam sebagai satu negara yang dipisahkan; yang dalam konteks ini menandakan bahwa Utara telah bergabung dengan Selatan, dipimpin oleh putra Gereja yang taat.

Para pemuda akan memiliki deskripsi yang lebih realistis, semenjak Vietnam Selatan yang kini menjadi kekuasaan politik keluarga tunggal, yang para anggotanya berbagi lahan dan kekuasaan pemerintahan dalam benteng yang diberlakukan Katolik pada masyarakat yang tak berkehendak.

Presiden Diem tak hanya menjadi kepala pemerintahan, ia juga menjadi kepala junta keluarga yang terdiri dari orang-orang Katolik menonjol, yang memonopolisasi jabatan paling penting dari rezim tersebut. Seorang saudara, Ngo Dinh Luyen, memerintah provinsi minoritas Cham, saudara lainnya Ngo Dinh Can, memerintah Vietnam tengah, sebagai panglima perang dari kota Hue—pusat agama Buddha. Saudara ketiga, Ngo Dinh Thuc, menjadi uskup agung Katolik provinsi Thuathien. Saudara lainnya—Ngo Dinh Nhu, seorang pemimpin serikat dagang, menjadi kepala Gerakan Can Lao yang semi-rahasia, dan kepala kepolisian rahasia yang ditakuti. Istrinya adalah Madame Nhu, yang lebih dikenal sebagai The Dragon Lady. Ayahnya menjadi dubes untuk AS. terdapat juga keponakan, kemenakan dan lainnya—semuanya orang Katolik menonjol. Selain itu, terdapat teman, perwira tentara, hakim, pejabat pelayanan sipil papan atas, semuanya Katolik yang bertindak selaras dengan Gereja Katolik dan tujuannya. Sehingga, dilihat dari sudut tersebut, pergerakan Vatikan lebih signifikan dalam hal agama dan politik.

Tak hanya karena keadaan di Vietnam secara keseluruhan, dan terutama Vietnam Selatan, itu karena semua bukanlah kejadian yang tak menonjol, seperti halnya yang terjadi di AS itu sendiri. Pemerintah Kennedy mengambil alih Presiden Eisenhower.

Kennedy, pelobi Katolik setia dan pendukung Diem, merencanakan lebih awal untuk mempromosikan kebijakan yang diadvokasikan olehnya selama jangka panjang ketika masih menjadi Senator. ini tak sesuai dengan yang kemudian terjadi ketika ia berada di Gedung Putih, Kennedy meningkatkan keterlibatan AS di Vietnam Selatan. Pada akhir 1961, 30.000 pasukan Amerika dikirim ke Vietnam untuk ikut perang, dan sehingga secara tak langsung menolong Katolik Diem dan rezim Katolik-nya. Ini adalah tangisan jauh dari 1,000 penasehat Amerika yang dikirim oleh pendahulunya, Eisenhower. Akibatnya adalah bahwa taruhan “berresiko terbatas” Presiden Eisenhower mendadak diubah menjadi “komitmen tanpa batas” oleh sponsor Katolik Diem, Presiden Katolik Kennedy. Ini merupakan permulaan sebenarnya dari keterlibatan Amerika dalam Perang Vietnam.