Vietnam: Why Did We Go?/Bab 14

BAB 14—Penindasan Agama dan Bakar Diri

Opini Dunia Memaksa AS untuk “Menyayangkan Tindakan Represif” Diem

Kejatuhan kebijakan penindasan agama Diem dapat dibenarkan jika mereka mengingat bahwa Kekristenan di Asia Tenggara adalah minoritas kecil, meskipun Gereja Katolik membentuk kelompok terbanyak dari minoritas tersebut.

Di Vietnam, dari total populasi pada masa itu antara 10 sampai 11 juta orang, hanya 1.500.000 yang merupakan Katolik Roma. Dua per tiga diantaranya adalah pengungsi dari Utara, sementara Kristen lainnya, terutama Baptis dan Adventis Hari Ketujuh, berjumlah kira-kira 50.000. Kebanyakan orang dari negara tersebut adalah orang Buddha yang taat dan turunan agama dari Buddhisme.

Ini menandakan bahwa orang-orang Katolik terdiri dari 12 sampai 13 persen dari seluruh orang di Vietnam Selatan. Setara dengan jika 30 juta Buddhis, atau Hindu, atau Muslim dapat berupaya untuk menteror 230 juta orang di AS, yang sebagian besar adalah Kristen.

Kampanye pengikisan dan penyingkiran langsung dan tidak langsung pengaruh agama dan politik Buddha, secara keseluruhan, nampak di balik pembentukan negara polisi, dan meningkatkan penerapan Katolikisasi negara, tentara dan perwira polisi.

Ketika dilakukan, kegiatan anti-Buddhis Diem dipertahankan di latar belakang. Kebijakan tersebut dibenarkan, sejak sebelum menghadapi masalah tersebut, ia mula-mula memperkuat aparatus politik dan polisinya.

Percikan timbul ketika letusan sektarian yang timbul di bawah permukaan selama beberapa waktu pecah pada 5 Mei 1963. Orang-orang Katolik Roma merayakan hari itu untuk menghormati Uskup Agung Ngo Dinh Thuc, saudara Diem. Dalam perayaan tersebut, mereka mengibarkan bendera Vatikan di Hue, sebuah kota mayoritas Buddha. Tak ada perlawanan atau unjuk rasa kekerasan pada pihak Buddha.

Tiga hari kemudian, 8 Mei 1963, seluruh Vietnam Selatan mempersiapkan diri untuk merayakan Waisak ke-2.507. Perayaan tersebut terpusat di Hue, pusat budaya Buddha selama lebih dari 2.000 tahun. Orang-orang Buddha meminta ijin untuk mengibarkan bendera Buddha. Jawaban pemerintah Diem: Tidak! Ketika hari itu tiba, ribuan orang Buddha berunjuk rasa atas penolakan pemerintah. Sementara itu, Diem, pada ud ahari sebelumnya, mengeluarkan ulang perintah yang melarang pengibaran panji-panji agama. Perintah tersebut baru diberlakukan usai orang-orang Katolik mengibarkan bendera Vatikan. Pasukan Diem menembaki kerumunan dan menewaskan sembilan orang Buddha. Akibat sektarianisme Katolik semacam itu, unjuk rasa terjadi di seluruh belahan Vietnam Selatan. Para pemimpin Buddha ingin menengok Diem, memohon untuk mengakhiri diskriminasi semacam itu. Diem enggan membayar ganti rugi untuk para korban, menolak bertanggung jawab, dan menolak menghukum orang-orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.

Para pemimpin Buddha mengumpulkan 400 biksu dan biksuni. Pada 30 Mei, mereka duduk selama empat jam di hadapan Majelis Nasional di jantung Saigon. Kemudian, karena tak membuahkan hasil, mereka mendeklarasikan mogok makan 48 jam. Mogok makan tersebut menyebar ke tempat lainnya. Setelah menerima isyarat dari tiga pejabatnya, Diem menyatakan bahwa pembunuhan tersebut disebabkan oleh para agitator komunis.

Mogok makan menyebar ke masyarakat umum, sampai lebih dari 10.000 orang ikut serta di Saigon sendiri. Untuk menambahkan tindakan unjuk rasa massa, gong raksasa didengungkan kencang dari menara utamanya, gong Pagoda Xa Loi. Di ibukota Buddha lainnya, Hue, unjuk rasa damai beralih menjadi kekerasan dan pertikaian pun pecah. Kekerasan tersebut sangat tak terhindarkan ketika pagoda utama Tu Dam ditinggalkan nyaris runtuh.

Kesabaran orang-orang Buddha akhirnya beralih menjadi kemurkaan besar. Kerumunan Buddha memainkan hukum rimba dan membakar sebuah desa Katolik sampai rata dengan tanah di sebelah Da Nang. Di Hue, ketika kekerasan terjadi, otoritas memberlakukan darurat militer. Akibatnya, kerumunan Buddha, yang dipimpin pada pelajar, berunjuk rasa di depan gedung delegasi pemerintah, yang dijaga pasukan. Gas berracun dikerahkan dan lebih dari 77 orang dilarikan ke rumah sakit dengan luka bakar.

Unjuk rasa Buddha lainnya menyusul. Semuanya sia-sia. Pada akhirnya, seorang biksu Buddha tua, Superior Thich Quang Duc, mengirim pesan kepada Presiden Diem. Pesan tersebut: “memberlakukan kebijakan kesetaraan beragama.” Kemudian, ia duduk tenang di jalan utama Saigon, melumuri dirinya dengan bensin dan membakar dirinya sampai mati. Ini terjadi pada 11 Juni 1963. Bakar diri tersebut menimbulkan reaksi keras di dalam dan di luar Vietnam Selatan. Sebagian besar dunia yang tak memahami apa yang terjadi, media yang mengetahui, atau tak mengetahui, diberikan laporan kekacauan dan pertentangan tentang keadaan perkara sebenarnya. Namun, Diem tak goyah. Biksu-biksu Buddha lain mengikuti contoh Thich Quang Duc. Dalam periode singkat, enam orang bakar diri sampai mati sebagai bentuk protes.

Diem dan kebanyakan pendukung Katolik-nya tak bergeming. Meskipun beberapa dari mereka terhentak terhadap bakar diri para biksu tersebut. Madame Nhu, ipar Diem, contohnya, berkomentar soal orang-orang Buddha yang “membarbekyukan” diri mereka sendiri.

Unjuk rasa buddha berlanjut pada bulan berikutnya. Pada 30 Juli, 30.000 orang ikut serta dalam unjuk rasa di Saigon dan Hue. Di kota Hue pada 13 Agustus, terjadi kekerasan yang sangat tak terkendali. Biksu Buddha muda lainnya, Thich Thanh Tuck, bakar diri sampai mati di Pagoda Phuc Duyen, menyusul contoh lainnya, beberapa hari sebelumnya—Thich Mguyen Huong, yang melakukan hal yang sama pada 4 Agustus. Kemudian pada 15 Agustus, seorang wanita, seorang biksuni Buddha, Dieu Quang, bakar diri di halaman Pagoda Tu Dam.

Menyusul unjuk rasa individual dan massal Buddha semacam itu, Diem akhirnya melepas topengnya dan menyerukan pengepungan seluruh negeri dengan mendeklarasikan darurat militer. Kepolisian Diem dikerahkan. Mereka menduduki, menyegel dan menjarah pagoda per pagoda di ibukota, di Hue, Hkanhhoa, Da Nang dan kota-kota lainnya. Mereka menindak unjuk rasa dengan tindakan brutal dan memukuli banyak biksu Buddha. Pada akhirnya, sebuah perintah dikeluarkan untuk menutup seluruh pagoda. Perintah tersebut disambut dengan kemarahan kolektif. Kerusuhan terjadi. Di kota Hue sendiri, pada 21 Agustus, tak kurang dari seratus orang Buddha dibunuh oleh polisi Diem, tiga puluh orang diantaranya adalah pelajar Buddha.

Pembantaian tersebut disusul dengan penangkapan massal. Ribuan biksu dan biksuni Buddha ditahan di seluruh belahan Vietnam Selatan. Para agen Diem menembak secara acak atau mementung kerumunan Buddha. Pasukan khusus, di bawah naungan Ngo Dinh Nhu, menangkap para pemimpin Buddha yang ditemukan oleh mereka. Orang-orang Buddha penting disiksa oleh kepolisian khusus. Pagoda-pagoda dikepung. 200 murid ditangkap, dengan 6.000 orang lainnya pada 25 Agustus. Dua hari kemudian, pada tanggal 27, 4.000 orang lainnya ditahan. pada 3 September, 5.600 pelajar berunjuk rasa di sekolah-sekolah. Pada 15 September, 6.000 pelajar lainnya berunjuk rasa di Dalat, dan tempat lainnya.

Pada awal Oktober, ribuan pelajar Buddha ditangkap dan disiksa oleh para agen Nhu. Para pemimpin Buddha bersembunyi, salah satu yang lebih berpengaruh, Thich Tri Quang, mencari keselamatan di tembok Kedubes Amerika sendiri. Ini dilakukan supaya banyak orang Amerika dalam pemerintahan sipil dan militer agar mereka mengekspresikan kengerian mereka terhadap yang mereka saksikan dengan mata mereka. Kebanyakan dari mereka, meskipun sejalan dengan masalah-masalah dasar konflik agama-politik, menjadi sangat terkejut atas tindakan rezim Diem. Di Washington, perasaan tak kurang mendalam. Terdapat rekriminasi dan kritikan. Penindasan keagamaan Vietnam mengancam perdamaian domestik di AS sendiri. Disamping itu, belahan dunia lainnya mulai mengambil catatan perisstiwa tersebut dengan secara terbuka menanyakan pertanyaan canggung soal tujuan-tujuan sebenarnya keberadaan AS di Asia Tenggara.

Pada akhirnya, AS mengeluarkan deklarasi, “ . . . pemerintah Republik Vietnam nampaknya melakukan tindakan penindasan serius terhadap para pemimpin Buddha Vietnam . . . AS menyayangkan tindakan penindasan jenis ini.”

Tanpa penidirian tersebut, dan publisitas seluruh dunia, media Amerika tetap bungkam terhadap seluruh masalah tersebut. Ketika mereka terpaksa untuk melaporkan kabar penindasan agama Buddha oleh Katolik Diem, mereka memberikan penyorotan terkecil, atau meminimisasikan seluruh masalah yang tak selaras dengan kabar tersebut. Lobi Katolik-CIA-Diem memandang bahwa seluruh citranya menjadi samar, yang membuat rakyat Amerika bertindak.