Vietnam: Why Did We Go?/Bab 19

BAB 19—Pembentukan Aliansi Berbahaya

Anggapan Retrospektif Dini Perang AS-Vietnam

Seringkali ditanyakan apa yang membuat AS terjebak dalam hisapan pasir dari komitmen Asia, terutama terkait dengan keruwetan Vietnam.

Penjelasannya banyak, beragam dan berseberangan. Sehingga bagian yang dimainkan oleh agama biasanya dianggap sebagai latar belakang atau pernyataan bersama. Merupakan unsur tak berwujud, ini umumnya tak dipandang dalam konteks masalah-masalah kontemporer, di tempat fokus nyaris dikhususkan untuk kepentingan ekonomi dan militer.

Beberapa faktor yang membawa AS ke Vietnam telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya. Kegiatan sejarah tertentu dilakukan oleh Gereja Katolik pada abad-abad lampau di berbagai belahan Asia mengikuti susunan yang serupa pada masa mereka sendiri. Susunan semacam itu berkontribusi pada tingkat paling besar pada keterlibatan AS dalam mimpi buruk Vietnam.

Komitmennya disana tak nampak langsung berkaitan dengan mesin perang AS, sehingga berkontribusi pada musibah AS. Sedikit orang di AS yang mengidentifikasi kepentingannya dengan orang-orang AS untuk menjalani waktu mengukir sejarah masa lalu khasnya.

Kajian susunan sejarah membongkar rumus yang dipakai oleh Gereja Katolik selama berabad-abad, yakni identifikasi tujuan agamanya dengan orang-orang dari kekuatan politik besar pada masa tertentu. Ketika kita melihatnya, ia memakai perumusannya di Asia ketika ia mengidentifikasi dirinya sendiri dengan kekuatan Katolik besar sepanjang waktu, Portugal, Spanyol, dan Prancis.

Di Eropa, perumusan tersebut diterapkan berkali-kali pada abad ini. Ia mengidentifikasikan dirinya pada berbagai kepentingan dengan Prancis, kemudian dengan Kekaisaran Katolik Austria-Hongaria pada Perang Dunia Pertama, dan dengan kediktatoran sayap kanan Italia dan Jerman sebelum dan saat Perang Dunia Kedua. ia mengedepankan kepentingannya terhadap kekuatan-kekuatan tersebut dengan mengidentifikasikan dirinya terhadap kepentingan ekonomi, politik dan perang mereka.

Sejak akhir Perang Dunia Kedua dan pemusnahan fasisme Eropa, ia mengadopsi AS sebagai mitra awamnya, dalam ketiadaan adidaya Katolik. Ini dijanjikan oleh kenyataan kemunculan Bolshevisme dunia dan peningkatan pengerahan militer Rusia Soviet setelah Perang Dunia II. Kenyataan dari keduanya menggetarkan Vatikan dan AS serta menggabungkan mereka dalam aliansi melawan komunisme yang dikenal sebagai Perang Dingin.

Sebagai sponsor Perang Dingin, AS dan Vatikan di bawah kepemimpinan Paus Pius XII menjalin aliansi mendalam yang ditimbulkan oleh teror ekspansionisme komunis. Aliansi mereka terrumuskan dengan tujuan pencegahan ekspansionisme komunis dari pengendalian bagian yang lebih besar dari dunia pasca-perang. Sementara Washington datang untuk memajukan bantuan ekonomi dan kontingen bersenjata, Roma menyuplai ‘pasukan tempur’ dengan dalih agama dan ideologi, bahan paling penting untuk perang suci.

Mereka menyebutkan seberapa jauh Paus Pius XII mengerahkan kekuatannya untuk menekan mimpi buruk Bolshevik. Sehingga, AS, untuk memenuhi peran militernya sebagai adidaya, memutuskan untuk bertarung nyaris dalam perang besar pada konflik korea pada tahun lima puluhan, ketika Katolik menanamkannya dua ratus tahun sebelumnya. Gereja Katolik beralih untuk berjuang dengan senjata gerejawi, bermula dengan ekskomunikasi Katolik yang memutuskan untuk bergabung atau mendukung gerakan komunis manapun, termasuk sosialis.

Pertempuran tersebut terjadi di dua front; di Eropa—di Cekoslowakia, Polandia, Hongaria dan negara-negara Eropa timur lainnya, dan di Asia—di Korea dan semenanjung Indo-China. Keruntuhan politik dan militer di Indo-China dan berpotensi diambil alih komunis, yang didukung oleh Moskwa dan Peking, mengkhawatirkan AS dan Vatikan. Keduanya menjalin kerjasama dengan merumuskan kebijakan perang saling menguntungkan: pengerahan tindak militer oleh AS dan pengerahan kegiatan agama oleh Gereja Katolik.

Campur tangan Vatikan dalam perkembangan anarki semenanjung Indo-China nyaris tak dipedulikan oleh masyarakat mancanegara. Ini membuat gereja tersebut menghimpun permulaan untuk operasi-operasinya yang nyaris rahasia di wilayah tersebut.

Promosi-promosi diam dari pasukannya tak hanya beroperasi langsung dari Vatikan dengan mobilitasi pergerakan gerejawinya di tengah-tengah Vietnam itu sendiri, namun juga melalui lobi Katolik di AS. pengaruh lobi Katolik dalam kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika seringkali sangat diminimisasi, ketika tak dihiraukan bersama, sehingga ini seringkali menyetir urusan luar negeri AS pada tingkat yang tak dapat dibayngkan oleh siapapun sesuai dengan persoalan-persoalan semacam itu.

Vietnam adalah contoh klasik penekanan Katolik efektif yang menekan Amerika, inchi demi inchi, ke dalam pasir hisap Vietnam.

Ini merupakan kekhawatiran Korea lain di wilayah lain di wilayah Asia yang menekankan agar AS bekerjasama dengan Vatikan di Vietnam. Sebuah tujuan umum, stabilisasi Vietnam, mengukuhkan kerjasama antar keduanya. Langkah berikutnya adalah perumusan strategi umum yang dimainkan oleh setiap pihak pada peran yang ditentukan.

Banyak suara, di dalam dan luar AS, memperingatkan bahwa pergerakan Amerika menuju peningkatan komitmen militer, memperingatkan AS untuk memakai kebijaksanaan. Setelah Prancis hengkang, kekhawatiran aakn masalah ideologi dan militer di wilayah tersebut, ditambah ketidakkompetenan kronis dari para politikus Vietnam anti-komunis, membuat AS mengadopsi kebijakan campur tangan bertahap. Visi mengagetkan dari Paus Pius XII dan niat melawan komunisme mendorong orang-orang Katolik di tempat manapun untuk mendukungnya (dan kemudian AS) dalam perang suci anti-Bolsheviknya.

Sebelum dan setelah pemisahan, para politikus Katolik di Vietnam dikerahkan, seperti halnya kalangan Katolik tertentu di AS sendiri. Terdapat bagian-bagian paling cerdik dari Katolik Amerika yang tak hanya didorong oleh para prelatus tertentu namun juga Kemenlu, dan bahkan oleh CIA, yang masing-masing didominasi oleh Menlu, John Foster Dulles, dan saudaranya Allen.

Promosi mereka tinggi, semenjak dua kakak beradik tersebut menjadi anti-komunis paling menonjol ketika berkuasa, hanya kedua setelah Paus Pius XII. Perpaduan strategi diplomatik Perang Dingin Kemenlu dengan agama membuat Vatikan menjadi kemitraan paling menonjol. Media massa membuat bombardemen sensasionalisme harian.

Strategi Katolik menjadi makin menonjol dengan pengecaman mereka terhadap wilayah yang berpotensi diambil alih oleh komunisme dunia, mencuatkan marabahaya untuk agama [Katolik]. Bahkan lebih efektif ketimbang lobi pribadi yang beroperasi di balik layar. Lobi tersebut dikhususkan dalam merekrut Katolik atau pro-Katolik dalam pemerintahan AS.

Perekrut paling berhasil dari semuanya adalah kepala penghimpun intrik politik—Kardinal Spellman dari New York yang mereka majukan. Spellman adalah teman dekat Pius XII dan juga dua Dulles bersaudara, meskipun hubungannya dengan mereka berusaha diminimisasi. Ia bertindak sebagai perantara paling berpengaruh antara Kemenlu beserta CIA, dan Vatikan.

Dulles bersaudara mengirim Spellman ke Vatikan untuk mengadakan negosiasi dan sering memakainya untuk menjalin komunikasi paling dekat secara langsung dan khusus kepada paus sendiri. Pada lebih sekali, pada kenyataannya, Spellman dilaporkan melakukan komunikasi lisan yang ketat dengan paus untuk mencegah alat penulisan atau telepon.

Tindakan tersebut dilakukan untuk mengurangi resiko kebocoran, selain juga untuk mendapatkan catatan resmi atau semiresmi, karena Vatikan maupun Kemenlu percaya akan jalinan diplomatik biasa. Tindakan komunikasi mereka membutuhkan tindakan semacam itu, mereka seringkali berkarakter sangat meledak-ledak.

Tiga pria tersebut bekerjasama, disatukan oleh keyakinan bahwa mereka ditugaskan khusus oleh Allah sendiri untuk menghancurkan pemimpin musuh Allah di dunia: Bolshevisme.

Tidak ada orang lainnya selain ketiganya yang membantu merumuskan dan membentuk kebijakan luar negeri AS dalam kemitraan Vatikan-AS tersebut. Dan ini merupakan aliansi yang benar-benar bertanggungjawab atas keterlibatan AS dalam keruwetan ideologi dan militer Vietnam.