Vietnam: Why Did We Go?/Bab 7
BAB 7—Pria di Balik Perang Vietnam
Para Politikus, Jenderal, dan Prelatus dan Pemilihan Mereka terhadap “Juruselamat Vietnam”
Latar belakang Perang Vietnam tak dapat lebih baik maupun buruk. Ini selaras dengan keadaan yang cepat timbul di Indo-China, ketika Prancis diserukan agar mengalah oleh para gerilyawan Vietnam, dan AS mulai berpihak dengan pasukan Prancis dengan mengirimkan sejumlah bahan perang yang lebih banyak kepada mereka.
Dalam periode yang relatif singkat, bantuan Amerika menjadi menjadi lebih substansial. Pada kenyataanya, dari 1950 sampai 1954, AS mengerahkan lebih dari 400.000 ton bahan perang, 150.000 senjata api, 340 pesawat dan 350 kapal perang sebagaimana yang dikutip. Namun secara keseluruhan , Prancis akhirnya diarahkan. Ini menyusul Perjanjian Jenewa, ketika Paralel ke-17 dijadikan sebagai gadis demarkasi “sementara” antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, sebagaimana yang nampak.
Ini adalah kompromi yang menentukan. Namun pada masa itu, hal itu nampak dibenarkan, sepanjang memberikan ruang bernapas untuk AS dan para penandatangan Konvensi Jenewa. Dengan kehendak baik di kedua belah pihak, ini merupakan solusi akhir dan adil yang masuk aakan yang kemudian diwujudkan. Rakyat Vietnam dalam pelarian panjang memutuskan bentuk pemerintahan untuk mereka sendiri yang diinginkan oleh mereka lewat pemilu yang dicetuskan oleh Jenewa.
Namun, kompromi tersebut ttelah dicapai tanpa memberikan catatan kenyataan strategi asing berangkaian panjang bersama dari dua mitra anti-komunis besar, AS dan Vatikan, yang berencana bergerak di balik layar. Strategi bersama mereka terindikasi terinspirasi dan dipromosikan oleh kepentingan agama dan ideologi yang dibawa ke konflik terlokalisasi apapun, tanpa memperdulikan bagaimana pengaruhnya secara strategis.
Formulator-formulator siap diserahkan pada setiap sisi Atlantik. Di Roma, terdapat salibis anti-komunis paling menonjol dan tak tertandingi pada abad ini, yakni Paus Pius XII. Di Washington, terdapat rekanan politiknya yang bertugas, Menlu AS, John Foster Dulles. John Foster Dulles menjadi pusat kelompok antikomunis berkuasa dan lobi anti-Rusia, yang tujuan utamanya adalah berselaras sepenuhnya dengan Vatikan. Kelompok-kelompok tersebut dipengaruhi secara terpisah oleh unsur-unsur Katolik dan dengan beberapa pengecualian terkenal, didukung oleh Gereja Katolik di AS.
Perang salib anti-komunis Katolik terbuka lebar, tak tertandingi selama berdasawarsa-dasawarsa dan mengkhususkan diri dengan fenomena McCarthyisme, yang mempengaruhi kebijakan dalam dan luar negeri AS selama bertahun-tahun. McCarthyisme memberikan pengaruh tak terkira terhadap strategi anti-komunis AS. Ini berada dalam kepentingan Vatikan untuk melihat anti-komunisme secara itu diutamakan di dalam negeri, baik untuk mempengaruhi AS untuk mengerahkan kebijakan anti-komunis agresif serupa di luar negeri. Ini menandakan strategi anti-komunis di Asia.
Sehingga, ketika masalah Vietnam meningkat, Vatikan dan AS memfokuskan kegiatan bersama mereka pada negara tersebut. Kepala perumus strateginya adalah Menlu John Foster Dulles dalam bidang diplomatik, dan Kardinal Spellman dalam bidang gerejawi. Pengaruh Kardinal Spellman sangatlah tinggi, semenjak Kardinal Spellman menjadi patokan antara Washington dan Vatikan. Ini karena Spellman tak hanya mendengar para tokoh militer dan politikus berpengaruh dengan AS namun setara dengan Paus, teman pribadinya. Para tokoh Katolik lain tak memainkan bagian berarti, salah satunya adalah nJohn Kennedy, yang kelak menjadi presiden. “Penting bahwa Senat menunjukkan dukungannya terhadap tujuan-tujuan Tuan Dulles,” ujar Kennedy di pertemuan rahasia para pemimpin Kongres pada 3 April 1954. “Jika dibutuhkan, AS akan mengambil langkah mutlak—perang.”
J.F. Kennedy berbicara sebagai pakar politik lobi Katolik berkuasa di Washington. Sebelum itu pada Januari tahun yang sama, Laksamana Arthur Radford, Kepala Ketua Staf Bersama, menuntut agar AS campur tangan langsung di Vietnam, sebagaimana yang dilakukan John Foster Dulles sendiri.
Tuntutan mereka dukung oleh permintaan serupa dari vatikan yang ingin membantu Prancis dalam rangka mencegah Vietnam menjadi komunis. Namun usai Prancis kalah, dan komunis menguasai Vietnam Utara, Vatikan dan kelompok militer dan Katolik di Capitol Hill memperbaharui kegiatan mereka pada tempo sesingkat-singkatnya. Dengan dampak semacam itu, kebijakan baru yang radikal akhirnya dirumuskan dan diadopsi. Kebijakan baru merupakan kesederhanaan itu sendiri. Vatikan dan AS kini memutuskan untuk mencegah Vietnam Selatan dari mengadakan pemilu yang dijanjikan sesuai dengan Deklarasi Jenewa.
Salah satu pergerakan pertama yang diarahkan pada implementasi kebijakan rahasia tersebut dilakukan oleh Jenderal Collins. Pada Desember 1955, jenderal tersebut menandatangani sebuah perjanjian dengan Prancis atas nama AS. ASmengambil alih tugas-tugas militer di Vietnam Selatan. Prancis sepakat untuk meninggalkan negara tersebut, meskipun secara teoretikal Prancis bertahan di Vietnam Selatan selama dua tahun kemudian.
Kebijakan baru dijanjikan untuk menuntaskan situasi yang memburuk. Strategi jenderal dilakukan dalam bidang agama, politik dan militer. Menurut reaksi Vietnam Utara, tindakan tersebut telah menekan para gerilyawan di Selatan dan Amerika dan opini dunia.
Kebijakan tersebut terbagi dalam tiga bagian utama: Pencegahan pemilu, pengerahan orang yang dapat memerintah dengan tangan besi dan Katolikisasi Vietnam Selatan.
Salah satu tindakan pertama adalah pemilihan pria yang layak untuk tugas tersebut. Ini disiapkan di tangan. Namanya Ngo Dinh Diem. Diem yang secara hati-hati telah dipersiapkan oleh pihak Katolik, adalah orang yang amat relijius, anti-komunis fanatik, dan dogmatis keagamaan dan politik tak tertandingi. Ia disorot beberapa kali, baik oleh Vatikan maupun tokoh tertentu di AS. Ketika momen untuk pemilihan datang, keputusan tersebut diambil oleh kebanyakan Katolik Amerika, terutama Kardinal Spellman, Joe Kennedy dan putranya—kelak Presiden John F. Kennedy, dan terakhir namun bukan setidaknya, oleh John Foster Dulles dan Allen Dulles, dan perjalanan rahasia mereka.
Diem adalah ‘orang percaya’ yang taat, sehingga ia menganggap agama Katolik sebagai satu-satunya agama yang benar, dan mencurahkan hidupnya untuk pengutamaannya dan penyebarannya. Ia sangat relijius dari masa kecilnya, yang pada suatu saat ia ingin menjadi imam Katolik; bahkan biarawan. Namun ternyata, ia tidak dapat masuk imamat, karena kehidupan pendeta terlalu halus. Pada usia lima belas tahun, ia menjalani beberapa waktu di biara. Ia berdoa sepanjang dua jam penuh setiap hari dan giat menghadiri misa. Ia bekerja untuk Pemerintah Prancis dengan memegang jabatan-jabatan penting. Kemudian, pada usia 33 tahun, ia pergi dan mengasingkan diri selama sekitar 15 tahun.
Pada 1946, Diem purna tugas di biara Katolik dekat Hanoi. Pada 1947, ia pindah dekat Saigon bersama dengan saudaranya. Disana, ia menghimpun gerakan yang tak hanya mengadvokasikan pemberontakan melawan Prancis namun juga melawan [komunis] Vietnam. Tujuan uta,a Diem pada langkah ini bersifat signifikan. Ini mengindikasikan bentuk hal-hal yang datang: untuk menghimpun dan meningkatkan kekuatan Katolik Roma untuk mewujudkan persatuan yang nyata dan kemerdekaan Vietnam. Kegiatan-kegiatannya tak menghasilkan apapun, namun tujuannya disoroti dua pihak penting—Vatikan dan Washington.
Usai kegagalannya, Diem mulai melakukan perjalanan. Pada 1950, ia datang ke Jepang dan kemudian ke AS. Ia berziarah dengan saudaranya, Ngo Diem Thuch, yang menjadi uskup agung Katolik Roma ke Roma. Disana, ia dilirik oleh Paus Pius XII. Ketika ia datang ke AS, ia tinggal di berbagai seminari Katolik.
Ia sering datang ke New York dan Washington, D.C. Di sana, ia menemui tokoh-tokoh penting, termasuki John F. Kennedy, yang saat itu menjadi Senator. Diem diduga mendorong Kennedy untuk berpidato pada 1954 melawan negosiasi damai potensial di Vietnam.
Diem berada di AS sampai 1953. Setelah itu, ia datang ke Prancis dan kemudian ke Belgia. Disana, ia tinggal di biara Katolik lainnya, St. Andre-les-Burges. Disana, ia bertemu Padri Jaegher, yang kemudian menjadi penasehat utamanya dalam hal-hal politik. Pengasingan diri Diem berlangsung sekitar 21 tahun.
Diem menyakini sendiri bahwa ia dipilih oleh Allah untuk memenuhi tugas penting, dan bahwa suatu hari akan datang ketika ia siap untuk menjalankan misinya. Ketika ia mendapatkan waktu yang tepat, ia mendekati Kardinal Spellman, yang pada waktu itu tak hanya orang kepercayaan Paus, namun setara dengan tokoh-tokoh politik berkuasa di AS. Spellman memperkenalkan Diem ke William O. Douglas dari Mahkamah Agung. Douglas memperkenalkan Diem kepada Mike Mansfield dan John F. Kennedy, keduanya Katolik dan Senator. Allen Dulles, Direktur CIA mengadopsinya—menyusul keputusan saudaranya, John Foster Dulles dan Kardinal Spellman, yang bertugas untuk Paus Pius XII. Diem menjadi pilihan mereka; ia dimajukan menjadi kepala pemerintahan di Vietnam Selatan.
Keputusan tersebut diambil, Dulles menasehati Prancis untuk membujuk Bao Dai untuk memilih Diem sebagai perdana menteri. Prancis, yang kini memutuskan untuk meninggalkan Vietnam, bersepakat. Diem menjadi perdana menteri pada Juni 1954. Pada tanggal 19 bulan yang sama, Bao Dai memberikan Diem dengan kekuasaan diktatorial. Ini tak hanya pengendalian sipil namun juga militer di negara tersebut. Diem datang ke Saigon pada 26 Juni 1954 dan pada 7 on Juli membentuk pemerintahannya sendiri.