Wikibuku:Bak pasir
Kulit Telur Ayam: Hadiah Untuk Mama
Pagi ini Affan berangkat ke sekolah dengan cemberut. Kue bekal yang sudah disiapkan mama tadi pagi tidak dibawanya ke sekolah. Begitu pun dengan botol air minumnya juga ditinggalkan begitu saja di meja makan.
Ya, Affan sudah tidak mau lagi membawa bekal dari rumah. Dia malu diledeki sama teman-temannya yang sudah tidak lagi membawa bekal.
"Cieee, ini cewek atau cowok yeee?" ucap Fian dan genks nya dengan nada mengejek dan ke arah Affan. Ya, banyak teman laki-laki yang sudah tidak lagi membawa bekal ke sekolah. Mereka lebih suka membeli jajanan di koperasi sekolah atau di kantin Mbok Munah. Kecuali anak-anak perempuan yang hanya empat orang saja yang masih suka makan bekal dari rumah. Dan, tentunya Affan juga, satu-satunya anak laki-laki yang masih membawa bekal makanan dan minuman dari rumah.
Sebenarnya, Pak Ridho lebih menyarankan anak-anak untuk membawa bekal dari rumah, karena makanan lebih terjaga secara kebersihan dan pemilihan jenis makanannya. Tetapi, bagi Fian dan genks kecilnya suka mengolok-olok teman-teman yang membawa bekal sebagai anak Taman Kanak-kanak, anak kelas satu, atau bahkan sebagai anak perempuan. Itulah makanya, banyak anak-anak di kelas Affan yang tidak lagi membawa bekal makanan dan minuman. Tapi, kata Mama, Affan harus tetap membawa bekal makanan dan minuman dari rumah.
Karena malu, Affan kadang tidak membuka bekal makanan dan minumannya dari rumah. Dia membiarkan bekalnya di dalam tas dan memakannya jika sudah pulang ke rumah.
Tetapi tadi pagi, Affan sedang merasa kesal karena kesiangan, dan dia menjadi marah kepada Mamanya yang masih menyuruhnya membawa bekal lagi. Padahal, semalam Affan sudah menjelaskan kepada Mama kalau Affan tidak akan kelaparan di sekolah. Bukankah di sekolah juga ada kupon makan siang?
"Affan, apakah engkau sudah paham dengan penjelasan Bapak Nak?" Terdengar suara Pak Ridho yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya. Affan menjadi gugup dan tergagap. Dia menoleh ke arah Pak Ridho dengan lesu dan menghela nafas panjang.
"Ma maaf Pak, saya tidak mendengarkan penjelasan Bapak" ucapnya pelan.
"Apakah engkau sedang sakit?" tanya Pak Ridho.
Affan menggelengkan kepalanya.
"Cieeee, ada yang sedang mencari bekalnya nih Pak," ujar Fian dengan suara keras dari bangkunya. Terlihat dia membawa kotak bekal Affan di tangannya. Affan segera berdiri menuju Fian dan mengambil kotak makanannya. Bukankah dia tadi sudah meninggalkannya di rumah? Mengapa sekarang ada di tangan Fian?
"Wah, hari ini bekalan apa Affan? Bapak juga punya bekal untuk dimakan pada jam istirahat nanti." ujar Pak Ridho.
Affan tidak menjawab. Dia juga mengabaikan suara riuh teman-temannya yang mengarah kepadanya. Dia hanya berpikir mengapa kotak makanan dan minuman itu ada di dalam tasnya. Bukankah dia sudah meninggalkannya di rumah?
"Baiklah anak-anak. Kita kembali belajar tentang siklus hidup lingkungan ya. Nanti akan ada kegiatan yang menyenangkan buat kalian," ujar Pak Ridho.
Affan benar-benar masih heran dengan keberadaan kotak makanannya yang tiba-tiba ada di dalam tas. Dia tidak bisa menikmati pelajaran di sekolah hari ini. Bahkan saat Annisa menyapanya pun, tidak membuat Affan bersemangat.
Sepulang sekolah, hari sudah sore. Ya, Affan menyelesaikan sekolahnya sampai pukul empat sore. Setelah sholat Ashar berjama'ah dan muroja'ah hafalannya bersama Ustadz Khoiri, Affan baru pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, Affan melihat Mama sedang mencari-cari sesuatu di halaman sebelah kiri.
"Assalamu'alaikum Ma" salamnya kepada Mama.
"Wa'alaikum salam" jawab Mama dengan muka penasarannya.
Di tangannya terlihat sapu lidi bertangkai panjang yang biasa digunakan untuk membersihkan halaman depan.
"Ayo masuk segera masuk rumah. Sudah menjelang petang," ujarnya seraya menggantungkan sapunya pada tembok di ujung halaman. Ah, Affan jadi ingat cerita nenek sihir yang suka bawa sapu buat terbang. Tapi dia segera membuang ingatannya tersebut dari kepalanya.
Sesampai di kamarnya, Affan membuka bekal makanan tadi pagi. Sebenarnya makanan yang dibikin Mama sangat sederhana. Tapi selalu diselipi sayuran di dalamnya yang diolah sedemikian rupa, sehingga bisa dimasukkan ke dalam makanan cemilan buat bekal. Dan, yang pasti selalu ada telur di dalamnya. Entah itu irisan telur rebus, dibikin telur dadar dan Affan tidak tahu namanya.
Bubinya Kaylar
Sunting
Prolog Sunting
Senang bisa bertemu dengan sahabat semua, yang setia berkunjung di ruang ini. Berikut ini menulis sebuah cerita fiktif, bilamana terdapat kesamaan nama tokoh, nama tempat, hanya sebuah kebetulan, atau hasil imajinasi si penulis kisah ini. Menanti Ketidakpastian adalah judul yang ingin di sampaikan sesuai jalan cerita yang ada di pikiran sang penulis. Dalam konteks ini, ketidakpastian yang dimaksud sangat universal, tetapi penulis akan mengerucutkan dengan kisah penantian terhadap sebuah pertemuan sehingga tokoh yang akan memerankan kisah ini, antara tokoh utama yang terlibat langsung dengan sebuah ikatan janji untuk bersama dengan seseorang yang menunggu ketidakpastian. Agar bisa menjadi inspirasi.
==
Bab 1 {{{message}}} |
Menanti Ketidakpastian Sunting
Siang itu cuaca sangat tidak bersahabat, hujan yang tidak kunjung berhenti membasahi bumi. Di tengah-tengah hujan deras dan memutuskan berteduh di sebuah bangunan tua, yang tidak terlalu besar, diperkirakan bekas pos penjagaan. Sambil memperhatikan keadaan sekitar, dan suasana semakin mencekam dengan kilatan-kilatan petir yang menggelegar. Tiba-tiba "jeger, jeger" bunyi petir, seakan membelah suasana derasnya hujan saat itu. Selang lima belas menit berdiri di pos itu, dengan guyuran-guyuran hujan dari atap pos yang bocor, tiba-tiba dari arah sebelah kiri dimana saya berdiri, dari seseorang perempuan tua. Sontak saya kaget sekaget-kagetnya. Mungkin karena konsentrasi saya kepada petir yang barusan bunyi sehingga kehadiran wanita tua itu membuatku kaget. Selang beberapa detik, dia menatap saya dan melempar senyum tipis di wajahnya yang sudah berkerut. Sayapun membalasnya dengan senyum tipis, sambil saya bergeser dua langkah ke arah dalam pos penjagaan itu. Dengan rasa yang tidak bisa saya gambarkan, antara kaget dan sedikit bercampur rasa takut, saya memulai pembicaraan.
"Selamat siang, ibu," sapa saya dengan suara gemetar.
Dia pun menatap ke arah saya, sambil menjawab, "Siang, Mas. Mas dari mana? Sepertinya sedang menunggu sesuatu?"sambutnya dengan suara seorang nenek tua.
"Siang, Bu,"jawab saya sambil berlindung dari atap yang bocor dan saya melanjutkan pembicaraan.
"Saya sedang menuju ke Barelang, Bu,"lanjutku.
Saya berniat mau cabut, namun hujan tidak kunjung berhenti. Ibu tua itu, sepertinya ingin memberitahuku sesuatu, namun di wajahnya terlihat sangat kedinginan. Semakin mencekam, hujan, angin, dan sesekali kilatan petir, terus sahut-sahutan menguasai suasana siang itu. Dua puluh meter dari pinggir jalan di mana saya parkir kendaraan, juga terlihat sangat sepi, dan tidak ada rumah penduduk di sekitar itu. Apa yang terjadi ? Rasa-rasanya ingin saya lanjutkan, tetapi maaf harus terhenti sejenak, kuota internet mau habis, akan saya lanjutkan segera.
Selang satu hari berlalu, dan juga kuota internetku sudah ada, maka di sore itu, saya mengunjungi wikibuku dan melihat laporan terakhir dari tulisan yang sudah saya awali beberapa jam sebelumnya, dan langsung membukanya. Sesuatu yang sudah mulai, harus dilanjutkan apalagi suasana mendukung ditemani oleh secangkir kopi. Saya diam sejenak sambil membaca prolog dan beberapa baris dari tulisan ini, dan saya lanjutkan sesuai rangkaian imajinasiku yang sempat terhenti di kesempatan menyunting sebelumnya. Saya hampir melompat ke kisah pertemuan tokoh di kisah ini, tetapi pertemuan laki-laki itu dengan nenek-nenek tua di pos penjagaan belum selesai.
Seketika ketika saya melihat ke arah jalan raya, dan tidak satupun yang lewat. Jujur, saya sudah mulai ketakutan, saya sudah membalikan badan dan tatapanku kearah jalan. Si nenek juga berbalik badan ke arah yang berlawanan. Ternyata setelah saya perhatikan bahwa pos penjagaan itu, tidak jauh dari pantai. Saya tiba-tiba dihantui rasa takut yang parah.
bersambung