Zaman Dahulu Disebut Film Kartun
Kategori
suntingCerita pendek anak
Pengantar
suntingPenulis
suntingPenulis bernama lengkap R. Ananta Kusuma Wibawa. Alumnus S1, Fakultas Hukum, Universitas Surabaya (Ubaya), Surabaya, tahun 1995. Berprofesi sebagai seorang advokat dan sejak tahun 2010, sering menjadi tenaga ahli fungsional dalam progam-program penyusunan kebijakan publik di berbagai instansi pemerintah daerah di Provinsi Jawa Timur.
Email: akwibawa88@gmail.com
Premis
suntingCerita ini menggambarkan upaya memahamkan anak-anak di tingkat pendidikan dasar tentang produk-produk budaya kreatif, berupa kartun, komik, dan animasi. Metode yang dipergunakan berupa paparan eksploratif dengan berdialog, dan dibantu alat peraga.
Tema
suntingLiterasi Budaya
Sasaran
suntingAnak usia 10-13 tahun
Tokoh
sunting- Belva
- Ayah
- Ibu
- Kak Fifi
Lokasi
suntingRumah kediaman keluarga Belva di Surabaya, Jawa Timur
Cerita Pendek
suntingMakan Malam Bertiga
suntingHidangan makan malam itu terasa istimewa bagi Belva. Ibunya menyajikan menu bakso campur kesukaan mereka sekeluarga. Lengkap dengan tahu isi, siomai, dan gorengan. Namun, kakaknya yang bernama Fifi, absen di meja makan. Sejak pukul empat sore, Kak Fifi telah berpamitan pada ibu dan Belva untuk menginap di rumah temannya hingga hari Senin. Mereka memiliki tugas kelompok kuliah yang harus dikerjakan untuk dikumpulkan pada hari Selasa.
Belva hanya makan bertiga bersama ayah dan ibunya di dapur, yang juga berfungsi sebagai ruang makan. Sembari makan mereka berbincang banyak hal. Mulai soal-soal keluarga hingga cerita seputar sekolah. Dia adalah seorang siswa kelas lima sekolah dasar yang memiliki rasa ingin tahu cukup tinggi.
Teringat percakapan dengan kakaknya tadi siang, ingin sekali dia berdiskusi dengan ayahnya. Biasanya, ayahnya akan menambahkan beberapa pengetahuan baru tentang hal-hal yang mereka bicarakan.
"Ayah, tadi siang kakak bilang akan mengajariku membuat film animasi. Kata kakak, dia banyak belajar bikin film dan gambar di kuliahnya,” ujar Belva membuka pembicaraan.
"Ooh, bagus itu," balas ayahnya seraya mengunyah tahu isi. "Kakakmu memang kuliah di jurusan desain kreasi visual. Di sana banyak diajarkan membuat kreasi program multimedia di komputer. Termasuk gambar dan film.”
“Begini-begini, ayahmu juga belajar banyak program komputer, lho,” timpal ibunya.
"Apa ayah juga bisa bikin film animasi?” tanya Belva pada ayahnya.
“Syukurlah, ayah juga bisa. Ayah gunakan itu agar paparan ayah dalam pekerjaan menjadi lebih menarik," jawab ayahnya yang sehari-hari bekerja sebagai seorang konsultan.
“Wah, berarti ayah juga suka film animasi dong,” sambut Belva sambil tersenyum lebar.
“Zaman dahulu, kita menyebutnya film kartun,“ ayahnya mulai menerangkan. “Sebenarnya, kartun adalah sejenis cerita bergambar pendek. Sebuah kartun terdiri dari gambar-gambar yang saling merangkai menjadi suatu cerita. Biasanya, kartun dimuat di majalah atau koran agar dapat dibaca masyarakat.”
“Dahulu orang bilang, kartun yang dijadikan satu buku disebut komik. Sedangkan kartun yang dibuat film, disebut film kartun. Seingat ayah, baru selepas ayah lulus kuliah, mulai sering disebut film animasi, hingga saat ini,” jelas ayahnya.
“Ooh, dari film kartun disebut film animasi. Mengapa bisa begitu?” tanya Belva penasaran.
Berpikir sejenak, ayahnya memaparkan, ”Rupanya ada salah pengertian yang dipahami orang-orang dahulu. Baru, seiring pengetahuan berkembang dan orang mulai banyak bisa bersekolah, maka pengertian orang jadi berubah.”
“Benar itu,” sela ibunya. “Zaman dahulu tidak semua orang bisa mendapat pengetahuan dengan mudah. Kesempatan bersekolah pun masih banyak yang tak bisa memperoleh.”
“Tidak macam zaman Belva sekarang. Banyak orang bisa bersekolah. Ada internet. Orang bisa cari keterangan dengan bertanya lewat Mbah Google,” tambah ibunya dengan tatapan kasih ke mata Belva.
“Usai makan, ayah akan tunjukkan beberapa hal tentang kartun, komik, dan film animasi. Biar Belva tahu perbedaannya,” janji ayahnya sambil tersenyum simpul.
“Asyik!” seru Belva dengan mata berbinar-binar. “Ayah pasti akan pamerkan koleksi menarik. Aku tak sabar melihatnya!”
Seusai makan, pembicaraan berlanjut di ruang tengah, yang juga berfungsi sebagai ruang tamu. Ayah Belva keluar dari ruang kerjanya sambil mengepit sebuah map besar dan menjinjing sebuah kotak. Sembari duduk di sofa, ayahnya meletakkan map dan kotak tersebut di atas meja.
Belva menatap semua bawaan ayahnya dengan saksama. Dia tahu ayahnya banyak punya koleksi menarik yang masih tersimpan dengan baik, sejak masa kanak-kanak. Acap kali dia ditunjukkan oleh ayahnya sejumlah koleksi yang membuatnya takjub.
Ayahnya mengambil dua lembar kertas HVS dari dalam map. Dalam tiap lembarnya tertempel sejumlah gambar, mirip gambar komik.
“Ini, loh, yang seharusnya disebut kartun,” kata ayahnya sambil membenarkan posisi selembar koleksi gambar ke hadapan Belva.
“Apakah ini koleksi komik, ayah?” tanya Belva
“Ini namanya kliping,” jawab ayahnya. “Kliping adalah guntingan dari koran, buku, atau majalah yang ditempelkan pada selembar kertas. Dahulu kalau ada berita atau gambar di majalah atau koran - yang kita anggap penting - akan kita gunting dan kita tempelkan di kertas. Lalu kliping ini kita simpan.”
Dalam lembar itu terdapat tiga kliping komik pendek. Semua kliping tertulis judul “Ferd’nand”. Ada keterangan tertulis di bawah tiap kliping yang tidak dipahami Belva.
Ayahnya melanjutkan, “Ini adalah salah satu koleksi kliping ayah tentang kartun. Kartun harus merupakan cerita bergambar pendek tentang suatu kejadian yang sedang berlangsung. Coba Belva hitung, ada berapa kotak gambar di tiap kliping?”
Belva mulai menghitung kotak gambar di setiap kliping. “Masing-masing ada empat kotak gambar,” jawabnya sambil tetap memandangi kliping-kliping tersebut.
“Nah, jelas, bukan? Kartun adalah cerita bergambar pendek. Tidak panjang macam cerita bergambar dalam komik ,” ujar ayahnya.
“ Ini kartun tentang apa, ayah?” tanya Belva.
“Itu kartun tentang seseorang yang bernama Ferd’nand. Dia adalah seorang ayah. Punya seorang istri dan seorang anak. Biasanya berkisah tentang kejadian lucu dalam kehidupan sehari-hari Ferd’nand, baik di rumah maupun di luar rumah. Kartun ini dibuat oleh pelukis kartun dan komik dari negara Kanada. Namanya Henning Dahl Mikkelsen,” jelas ayahnya.
“Ooh, buatan orang Kanada,“ gumam Belva sambil manggut-manggut. “Terus apa arti tulisan di bawah kliping ini, ayah? Ada tulisan Surabaya Post; garis miring, lima; garis miring, empat ...”
“Itu keterangan asal kliping,” sahut ayahnya. “Ayah tulis keterangan: Surabaya Post; garis miring, lima; garis miring, empat; garis miring, delapan dua. Artinya, kliping itu ayah gunting dari koran Surabaya Post, tanggal lima, bulan empat atau bulan April, tahun seribu sembilan ratus delapan puluh dua.”
“Ooh, begitu. Lucu kartun ini, ayah,“ komentar Belva sambil tersenyum-senyum memandangi kliping-kliping tersebut.
“Dari mana kamu tahu itu lucu? Padahal, itu cerita orang dari negara Kanada. Apa Belva tahu bahasa orang Kanada?” pancing ayahnya.
Belva tersenyum lebar. “Dari gerak gerik orang dalam gambar, ayah. Aku tahu maksud ceritanya walau tidak ada balon kata-kata.”
“Nah, itulah ciri-ciri kartun, nak. Kartun bisa bercerita dan dimengerti pembacanya, walau tanpa balon-balon kata, seperti dalam cerita komik,” jelas ayahnya.
“Coba Belva lihat lembar kliping yang satu ini,” kata ayahnya seraya menunjukkan lembar kertas HVS berikutnya. Di sana tertempel empat kliping kartun.
“Lho, ini lebih pendek-pendek! Masing-masing hanya satu kotak gambar!” seru Belva.
Tak lama, Belva tertawa terbahak-bahak sambil memandangi kliping-kliping tersebut. “Ini lebih kocak lagi, ayah!” serunya lagi.
Ayahnya mengangguk sambil tersenyum lebar. “Benar. Itu salah satu dari kumpulan kliping kartun humor buatan para pelukis kartun di Indonesia. Ayah ambil dari koran Jawa Pos, dan ayah simpan. Sampai sekarang pun, ayah masih tertawa-tawa melihat kartun-kartun itu.”
Mengenal Flip Page
sunting“Sekarang, ayah terangkan soal animasi. Dalam berbagai ensiklopedia, termasuk Wikipedia, pengertian animasi, singkatnya, adalah karya gambar buatan tangan yang bergerak. Maksudnya, gambar-gambar itu digambar oleh orang dan kemudian dengan cara atau teknik tertentu bisa dibuat bergerak-gerak untuk ditontonkan kepada banyak orang, “ jelas ayahnya.
“Seperti film, ya? Bagaimana cara gambar itu bisa bergerak-gerak? tanya Belva.
Ayahnya mengambil sesuatu dari dalam map yang seolah menyerupai selembar kertas kecil. Ternyata itu merupakan tumpukan dua lembar kertas kecil berukuran sama yang bagian atasnya disatukan dengan staples.
“Ini adalah contoh animasi sederhana. Kita pergunakan dua lembaran bergambar serupa, namun dengan sedikit perbedaan. Ini disebut lembar bolak-balik. Bahasa Inggrisnya, flip page," terang ayahnya.
Belva mencoba melihat-lihat kedua lembaran itu. Pada lembar pertama, terdapat gambar seorang penjinak singa, berseragam sirkus, berdiri di samping seekor singa yang membuka lebar mulutnya. Kemudian pada lembar kedua, tampak gambar yang sama. Tetapi bedanya, kepala penjinak singa itu dimasukkan ke dalam mulut sang singa.
"Mari, ayah tunjukkan caranya." Kemudian flip page itu diletakkan di meja. Lembar kedua ditahan di meja dengan jempol kiri ayahnya.
"Kini perhatikan gerak animasi dalam gambar ini, Belva,” kata ayahnya. Dengan tangan kanannya, dia menyingkap dan menutup lembar pertama secara cepat dan berulang-ulang. Terlihat dalam pandangan Belva, gambar penjinak singa itu, secara berulang-ulang, memasukkan dan mengeluarkan kepalanya di mulut sang singa.
“Hah! Kepala orangnya seperti keluar masuk di mulut singa, ayah!” seru Belva. “Tetapi gerakannya patah-patah.”
"Bisa terlihat?" ayahnya bertanya memastikan. “Gambarnya bergerak-gerak, ya?”
“Betul, ayah. Macam film animasi. Tetapi gerakannya kaku,” jawab Belva.
“Itu salah satu teknik menggerakan gambar dalam animasi,” ujar ayahnya.
“Sekarang, perhatikan cara yang lain.” Ayahnya membuka kotak dan mengeluarkan sebuah buku sebesar buku tulis kecil.
“Ini disebut buku bolak-balik atau dalam bahasa Inggris disebut flipbook. Buku ini merupakan kumpulan kertas polos yang ayah jadikan satu di penjilid kertas. Tebalnya mencapai empat sentimeter.”
“Dahulu, ayah gemar mempraktikkan teknik-teknik pembuatan film, termasuk animasi. Setiap lembar dalam buku ini, ayah gambar satu per satu, hingga menjadi gerakan orang berjalan, orang melompat, orang menendang, sampai orang menari berputar-putar,” papar ayahnya sambil tersenyum.
Ayahnya kemudian memamerkan teknik animasi berbeda. Dipegangnya buku itu dengan kedua tangannya dan posisi buku diarahkan di hadapan Belva. Kemudian buku itu sedikit ditekuk dengan kedua tangannya. Sedangkan pada sebelah kanan buku, ujung lembarnya di tahan dengan jempol kanan.
Lantas jempol kanan ayahnya melepas perlahan setiap lembar halaman buku. Dalam posisi sedikit menekuk, lembar demi lembar halaman buku itu terbuka satu per satu dengan cepat.
Kini, Belva dapat melihat animasi orang berjalan, orang melompat, orang menendang, hingga orang menari berputar-putar.
“Wow, ini lebih bagus, ayah! Orang-orangnya bisa begini, begini! seru Belva seraya menirukan gerakan animasi yang baru dilihatnya.
“Walau gerakannya cepat, tetapi tidak kaku seperti animasi yang tadi. Terus, gerakannya lebih banyak,” komentar Belva.
“Coba Belva lihat gambar orang berjalan di buku itu. Untuk gerakan kaki melangkah ke depan, ada berapa gambar? Hitung gambar gerakan awal langkah kaki ke depan saja,” pinta ayahnya.
Belva membuka lembar-lembar awal halaman buku dan mencoba menghitungnya satu per satu. “Astaga, ada lima belas gambar!” seru Belva. “Apa semua ayah gambar sendiri?” tanyanya keheranan.
“Itu namanya proses gerakan. Lima belas gambar itu menunjukkan proses gerakan kaki ke depan,” ujar ayahnya.
“Memang benar, ayah sendiri yang menggambar itu semua. Butuh waktu tiga minggu untuk menyelesaikannya. Tetapi ayah kerjakan dengan sabar. Karena ayah sangat berharap dapat menyelesaikan percobaan membuat animasi.”
“Aduh, lelah kita menggambarnya, ayah. Bisa pegal tanganku,” timpal Belva sambil tertawa-tawa.
Sontak ayahnya turut tertawa mendengar reaksi Belva. “Memang lelah. Bayangkan, satu proses gerakan, lima belas gambar. Padahal, semua itu ada berapa gerakan, coba?”
Ayahnya buru-buru menambahkan, “Tetapi hati senang karena berhasil menyelesaikannya. Bisa ayah pamerkan ke adik-adik dan teman-teman ayah. Kini pun bisa ayah pamerkan kepada Belva.”
Dengan girang Belva bertepuk tangan “Oh, iya. Betul, betul.”
Lanjut ayahnya, “Proses gerakan yang normal itu terdiri dari tiga puluh dua gambar. Barulah suatu gerakan akan terlihat lebih halus dan tidak kaku.”
“Yaah, tambah pegal lagi, ayah! Nanti jadi minta pijat ibu!” seru Belva tertawa-tawa. Ayahnya turut terkekeh-kekeh.
“Eh, apa itu kok sebut-sebut ibu?” terdengar sahutan ibunya. Terlihat dia memasuki ruang tengah dengan tersenyum-senyum sambil membawa nampan. Di atas nampan terlihat sepiring jajanan, tumpukan gelas plastik, dan seteko teh hangat.
Ayahnya segera mengatur barang-barang di meja, memberi ruang untuk meletakkan nampan. “Senang lihat koleksi ayah, Belva?” tanya ibunya penuh perhatian.
“Luar biasa, ibu! Bagus-bagus koleksi ayah. Boleh nanti pinjam kliping-kliping kartunnya?” pinta Belva penuh harap.
Ayahnya mengangguk mantap. “Boleh. Toh, besok hari Sabtu libur. Bisa dilihat-lihat sampai malam. Masih banyak lagi koleksi kliping ayah”
Tersenyum lebar, Belva mengangguk pada ayahnya dengan takzim. Kemudian dia memandang ibunya dan berkata, “Jadi ibu, bukan film kartun,...”
“...film animasi,” ucap Belva dan ibunya berbarengan. Mereka pun tertawa bersama.
“Ayo, dimakan jajanannya sambil minum teh,” ajak ibunya. Mereka pun menikmati jajanan malam sambil berbincang santai.
TAMAT
Keterangan
suntingKarya ini diikutsertakan dalam kompetisi di Proyek Yuwana 2023.