Seratus Hari/Menanti Mata Berkedip

"Ilmu dari gerakan yang tadi, yang aku peragakan itu dinamakan Menanti Mata Berkedip," jelas orang tua itu. Saat itu ia telah duduk bersama-sama dengan Arme di atas suatu batu ceper yang banyak terdapat di pinggir sungai kecil berair jernih di pinggir hutan itu.

"Menanti Mata Berkedip? Nama yang aneh, paman," tanggap Arme lekas.

"Engkau senang nama itu?" tanya orang tua itu balik.

Bocah itu mengangguk sambil tersenyum.

"Dinamakan demikian untu menunjukkan saat yang penting di mana gerakan tersebut baru tepat untuk dilakukan," jelasnya kepada sang bocah yang duduk dan memperhatikan penjelasannya, "sama seperti Pukulan Menghembus Napas dan Langkah Bergesar Menahan Napas."

Lalu dijelaskan oleh orang tua itu bahwa apabila gerakan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan arti tersirat dari namanya, tidak akan maksimal hasil yang diperoleh.

Mengagguk-angguk saja bocak itu mendengar penjelasan orang tua itu, orang yang bahkan belum ia kenal namanya dan mungkin juga tidak tahu namanya. Tapi mengapa mereka berdua telah panjang lebar bercerita ke sana-ke mari seakan-akan telah kenal lama.

"Nah, untuk awalnya ini buku yang aku janjikan," ucapnya sambil mengangsurkan sejilid kitab kusam yang berisikan tulisan yang rapih. Tulisan yang tertera berupa lambang-lambang yang Arme sendiri belum pernah melihat. "Dengan membaca ini, pertama-tama kamu hapalkan saja dulu, kita akan mulai gerakan menghilang tadi," lanjutnya.

"Tapi, paman... Bagaimana cara membaca tulisan-tulisan aneh ini?" kata Arme sambil menunjuk huruf-huruf yang tidak dikenalnya.

"Ah, aku lupa! Itu ada cara membacanya," jawab orang tua tersebut. Lalu ia pun menunjukkan kotak-kotak dan silangan yang diisi oleh angka dan huruf yang masing-masing menandakan padanan huruf-huruf itu dengan huruf-huruf yang dikenal oleh Arme dan orang-orang secara umum.

"Ini semacam sandi, paman?" tanya bocah itu. Ia pernah membaca bahwa orang-orang yang ingin bertukar pesan tanpa orang lain tahu dan dapat mengartikan pesan mereka menuliskan beritanya dalam huruf-huruf sandi yang kuncinya hanya diketahui oleh kedua pihak yang bersangkutan.

Mengangguk orang tua itu meniyakan, "Pintar kamu!"

Saat Arme mulai membaca, ia telah dapat menghafal kata-kata tersebut sehingga dapat segera membaca, orang tua itu menghentikannya, "Jangan kau lafalkan dengan bahasa biasa, nanti ada yang mendengar. Lafalkan dengan ini!" Ia kemudian mencoret-coret kota-kotak lain yang menjelaskan bagaimana huruf-huruf sandi tersebut 'dibunyikan'.

Mengangguk-angguk Arme atas petunjuk itu. Keanehan buku yang dibaca, adanya sandi membaca dan juga melafalkan rupanya tidak mengusik keingintahuan anak itu. Hal baru yang menarik telah menyedot semua perhatiannya sehingga malah tidak bertanya lebih jauh mengapa harus ada cara-cara untuk merahasiakan isi kitab tersebut.

"Baik, engkau sudah bisa bagian pertama. Lafalkan sekali lagi dan hafalkan!" perintah orang tua itu.

Setelah mendengar Arme dapat mengulanginya dengan baik dan tanpa salah, oran tua itu kemudian mengambil kitab tersebut dan menyimpannya ke dalam sela bajunya. Lalu katanya, "Sekarang kita bagaimana gerakan dari bagian pertama itu."

/ u L ) o c 7 n ^ -- delapan arah dan satu pusat o, '/ o' 'L ,L | )' '/ ), '/ ,o | o, 'u )' '/ ,u ,L '/ )' | ), 'L ,L 'L o' '/ )' -- tarik napas tenangkan pikiran ...

Demikian Armee membacakan apa yang telah dihafalkannya dari bagian pertama kitab tersebut. Disusul kemudian orang tua itu memperagakan, menunjukkan apa arti dari halapan tersebut, bagaimana pesan tersebut harus diwujudkan dalam gerakan dan juga tarikan napas serta penyatuan pikiran.

Terkejut juga orang itu demi melihat Arme dengan tanpa kesulitan berarti dapat menirukan apa yang ia tunjukkan. "Mungkin benar bahwa ini adalah anak yang dimaksud," gumamnya tak jelas. Arme yang sedang berkonsentrasi serius tak menyadari gumaman orang itu.

"Selesai untuk hari ini!" ucap orang itu setelah beberapa saat mereka melatih gerakan tersebut. "Latihlah sering-sering, tapi jangan sampai dilihat orang. Nanti paman kasih kabar kapan kita kembali bertemu dan di mana."

Sebelum Arme sempat berkata lebih lanjut orang tua itu pun telah menghilang saat matanya sekejap berkedip. Lamat-lamat didengarnya suara, "Setelah berlatih seminggu tubuhmu akan siap untuk gerakan 'menghilang'. Jangan buru-buru! Sampai ketemu lagi..."

Kembali Arme kagum akan menghilangnya orang tua itu. Tapi tidak seperti tadi ia sudah tahu sedikit dasar ilmu tersebut dari kalimat-kalimat yang dihapalkannya. Orang tua itu memanfaatkan kebiasaan mata, yang secara alami berkedip, untuk menutupi geraknya. Yang sulit adalah bagaimana kita tahu kapan mata orang yang hendak ditinggalkan itu akan berkedip. Dan ia belum bisa untuk itu. Gerakan yang baru bisa dilakukan oleh Arme adalah Merendah Tak Dianggap. Suatu gerakan dasar untuk bersembuyi ke arah bawah dari penglihatan orang dengan memanfaatkan keterbatasan sudut pandang mata manusia.


Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!