Antologi Cerpen Jurnalis Kaltim Aku Membunuhnya Karena Aku Mencintainya/Anjing

Anjing
oleh Mukhransyah


ANJING itu bukanlah anjing yang bagus. Bulunya yang hitam, sangat kotor dan tipis dengan bekas luka di sana sini. Kaki depannya yang sebelah kiri timpang. Dari bola matanya terpancar paduan ketidakberdayaan dan kebuasan binatang.

Aku sudah mengenalnya sebelum aku mengerti sepenuhnya arti kemanusiaan. Sayang aku tak begitu tahu dari mana ia berasal. Ia mulanya selalu mengikuti ke mana aku pergi,walau ia tahu aku cuma gembel tua sebatang kara yang takkan pernah sanggup memberinya makanan. Untuk makanku sendiri sukar kudapat. Sejak kematian istriku, tanpa kusadari hidupku telah berubah dari satu tempat sampah ke tempat sampah yang lainnya, atau mengharap belas kasihan orang.

Jadi begitulah, aku dan anjing itu sesungguhnya tak jauh berbeda. Dari sana lalu terjalin keakraban. Aku menyukainya. Ia banyak memberiku pelajaran, membimbingku menjalani kehidupan. Dengan gigi dan kukunya yang tajam, ia selalu siap membela bila ada orang yang ingin berbuat kurang ajar padaku. Dialah sahabatku satu-satunya. Sahabat yang tumbuh dari penderitaan dan kehinaan. Telah bertahun-tahun itu berlangsung, aku tak berharap dapat berpisah dengannya.

Sampai kemudian aku dikagetkan akan kedatangan seorang laki-laki di rumah kardusku. “ Maaf,bapak pemilik anjing di luar itu?” tanyanya. Aku sudah mereka-reka kekurangajaran apalagi yang telah diperbuat anjing itu.

“ Maaf nama saya Yon. Saya ingin membantu bapak. Saya ingin membeli anjing bapak,” lanjutnya tanpa peduli nasibku.

Aku tertawa.kukira orang ini salah alamat atau terlampau banyak menenggak minuman keras.

Tapi, dengan mata berkaca-kaca oleh ambisi ia menatapku. “ Saya sungguh-sungguh ingin membeli anjing bapak”.

Aku terkesima akan kesungguhannya yang menurutku ganjil. “ Mengapa tuan ingin betul memiliki anjing itu?” tanyaku.

“ Saya telah mendapatkan keyakinan”.

“ Jangan meyakini sesuatu tanpa kebenaran yang jelas, Tuan”.

Ia memperbaiki duduknya. Lalu ia pun bercerita:

Tuan Yon mempunyai sebuah toko tak seberapa besar terletak di dekat pasar. Setiap hari ia selalu bangun pagi untuk menyiapkan keperluan tokonya. Ia hanya mempunyai seorang pembantu. Usahanya yang tak terlalu maju tidak memungkinkannya merenggut banyak pekerja.

Beberapa bulan belakangan Tuan Yon dibuat dongkol oleh sampah-sampah yang berserakan di depan tokonya. Sumber dari kedongkolannya itu adalah seekor anjing bulukan yang berjalan timpang. Anjing inilah yang kerap rajin mengobrak-abrik sampah di depan tokonya pada waktu pagi.

Suatu hari Tuan Yon ingin menuntaskan kedongkolannya. Pagi itu sengaja ia menunggu anjing sialan itu. Ia yakin anjing itu pasti datang.
Benar saja, beberapa menit kemudian anjing itu datang dengan gayanya yang khas, lalu mengobrak-abrik bak sampah dengan acuh. Tuan Yon yang telah mempersiapkan diri segera melemparinya dengan batu hingga kocar-kacir melarikan diri. Tuan Yon puas.

Tetapi anjing itu ternyata tak mengenal kata jera. Beberapa hari kemudian ia mulai melakukan aksinya kembali. Bahkan sekarang kian menggila. Ia bukan saja menyerakkan sampah dengan dahsyat tetapi juga membuang isi perutnya seenaknya di depan toko.

Mulai hari itu Tuan Yon memutuskan berperang melawan anjing yang tak kenal jera itu. Dan anehnya,tiap kali Tuan Yon menyakiti anjing itu sebuah kesialan pasti menimpanya pada hari itu juga. Entah dagangannya yang tak laku, istrinya kecopetan atau anaknya diperas orang.

Suatu pagi, benak Tuan Yon yang telah diberati kesialan-kesialan itu meledak oleh kemarahan ketika ia merasa menginjak seonggok kotoran anjing di depan pintu tokonya. Dengan serta merata anjing yang tengah acuh menjilati tulang di pojokan itu ia gebuki dengan sepotong kayu hingga terkaing-kaing. Lalu setelah satu hari tokonya sepi dari pembeli, petang harinya terjadi perampokan. Uang simpanan dan sebagian perhiasan istrinya ludes digasak perampok.

“ Dari rentetan kejadian itu lantas saya berkesimpulan,kesialan hari itu dan juga hari-hari sebelumnya pasti ada hubungannya dengan menyakiti anjing itu. Kemudian pikiran saya berkembang, bila memang demikian bagaimana bila saya berbuat baik pada anjing itu,apakah saya akan dihinggapi keberuntungan? Anjing itu mungkin saja pembawa keberuntungan tapi karena saya selalu menyakitinya maka kesialanlah yang datang”.

Mendengar tuturan Tuan Yon itu aku lagi-lagi ingin tertawa. Anjing itu bulukanku dianggap pembawa keberuntungan!

“ Saya harap bapak bersedia menjual anjing itu.” Ia mengeluarkan segopak lembaran rupiah dari saku bajunya.

Aku tak tahu berapa besarnya. Yang pasti dengan uang segepok itu aku bisa bertahan hidup selama tiga atau bahkan empat bulan. Aku belum pernah memiliki uang sebanyak itu.

Kuakui, aku mulai sedikit suka pada orang ini, untuk sebuah keyakinan ia berani melakukan apa saja. Yang lucunya, kepercayaan dirinya itu tumbuh hanya oleh seekor anjing buruk.

“ Bagaimana Pak,”desak Tuan Yon.

Aku tak keburu menerima. Aku bimbang. Anjing itu memang buruk tapi setidaknya ia telah menemaniku melewati hari-hari yang suram. Anjing itu satu-satunya sahabatku, sahabat lelaki tua sepertiku. Tetapi aku juga butuh hidup yang tenang, ingin menikmati sisa hidupku dengan bahagia. Yah, apa boleh buat, kuterima uang itu.

Maafkan aku sahabat, aku terpaksa menjualmu. Dengan mata sendu aku menatap kepergian anjingku bersama Tuan Yon.

Namun itu tak berlangsung lama, dua hari kemudian anjing itu datang padaku dengan tali pengikat di lehernya. Aku sempat kaget juga, tak menduga akan kesetiaannya. Dengan penuh kerinduan aku mengelusnya.

Siangnya Tuan Yon datang menyusul. Ia ingin mengambil kembali anjing yang sudah dibelinya. Namun kali ini ia tampak ragu bisa memeliharanya. Anjing itu telah bertahu-tahun bersamaku.

“ Maukah bapak tinggal bersama saya?” tawar Tuan Yon. “ Saya sudah membuktikan keyakinan saya, anjing itu memang pembawa keberuntungan. Baru dua hari ini ia bersama saya keberuntungan sudah mulai datang pada usaha saya.”

Tawaran ini sungguh tak pernah terbayang dalam benakku. Aku cuma diam. Kurasa Tuan Yon mengerti dalam diamku. Impian seorang gembel tua cuma hidup berkecukupan.

“Bapak jangan kuatir, tugas bapak hanya merawat anjing itu. Segala kebutuhan bapak akan saya penuhi,” janji Tuan Yon.

Begitulah awalnya. Awal yang kemudian mengubah total kehidupanku. Keberuntungan seseorang kadang memang bisa jadi merupakan keberuntungan orang lain. Sejak aku tinggal bersama Tuan Yon segala kebutuhanku terpenuhi. Dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak. Di paviliun samping toko aku disediakan kamar, tak terlalu luas cukup untukku sendiri. Pekerjaan sehari-hariku pun hanya mengurus anjing itu. Memandikannya,memberinya makan, atau mengajaknya jalan-jalan. Kadang karena tak enak mengerjakan sesuatu, aku turut membantu pelayan Tuan Yon melayani pembeli tokonya yang kian laris.

Semua kemujuran itu aku terima sebagai anugerah Tuhan. Kupikir aku tidak merugikan atau membuat salah pada siapapun, Tuan Yon percaya dengan keberuntungannya. Yang aku sesalkan hanyalah kepergian istri dan anak Tuan Yon. Istrinya tak suka ia memelihara anjing, apalagi anjing yang buruk seperti ini. Sejak dulu ia paling takut melihat anjing, entah mengapa, mungkin sebuah trauma.

Tapi Tuan Yon seperti tak peduli akan hal itu. Karena keberuntungan itu memang terbukti. Hari demi hari keberuntungan menghinggapinya. Tokonya maju dengan pesat. Kemajuan tokonya terasa di luar perhitungan. Dari toko kecil akhirnya berkembang luas. Sejak memiliki keyakinan akan keberuntungannya Tuan Yon tambah giat bekerja.

Aku dan anjingku, turut kecipratan untung. Tapi kurasa Tuan Yon tak pernah menganggapku apa-apa selain perawat anjing. Dia tak pernah peduli padaku, ia lebih mengutamakan pemeliharaan anjing itu ketimbang aku. Anjing itu disediakan ruangan khusus, makanan yang enak-enak, daging, dan sayuran yang mahal. Mungkin bila anjing itu bisa mengenakan pakaian Tuan Yon akan memberinya pakain yang mahal.

Mengalami beda perlakuan seperti itu aku jadi terkenang diriku sendiri. Betapa hina diriku dahulu. Mengais-kais tong sampah dengan harapan mendapatkan sedikit makanan dan dengan sangat rakusnya melahap makanan kotor itu. Sungguh diriku tak berharga dibanding anjing itu kini.

Tahun demi tahun pun berlalu,dan menghantar Tuan Yon ke tangga kesuksesan yang gemilang. Tuan Yon tidak lagi memiliki toko kecil dengan satu dua pelayan, ia kini memiliki lima pasar swalayan, tiga diantaranya tersebar di daerah. Untuk mengisi peluang, ia membuka usaha baru berupa angkutan kota. Saham-sahamnya juga tersebar di banyak perusahaan. Semua itu sebenarnya hanya sampingan, usaha utamanya adalah menjalankan pabrik produk kebutuhan dapur yang lumayan besar. Maka wajar kalau ada orang yang menyebutnya konglomerat, walau bukan nomor satu.

Sesuai kesibukannya, Tuan Yon jarang berada di rumah. Bila berada di rumah paling-paling yang ia perhatikan cuma anjing keberuntungannya. Ia sadar keberuntungannya tak lepas dari anjing itu. Untuk itu ia tak pernah lengah dalam perawatan anjing itu. Segala kebutuhan mewah anjing itu dipenuhi. Malah anjing betina dari ras yang paling unggul di dunia disediakan Tuan Yoan buatnya. Tuan Yon berpikir, siapa tahu dari anjing itu ia memperoleh keturunan yang mewarisi keberuntungannya. Ini berarti sampai sekian turunan Tuan Yon akan selalu beruntung. Tapi sayang anjing itu tak seekor pun menghasilkan anak. Anaknya selalu mati.

Memang sukar diterima, seekor anjing bisa sampai taraf yang lebih terhormat dibanding manusia itu sendiri. Kadang aku berpikir siapakah yang sebenarnya majikan; si anjing atau Tuan Yon? Pertanyaanku itu selalu terbentur pada diriku sendiri, sebagai manusia tidak berharga di mata Tuan Yon.

Suatu kali aku membuat kesalahan teramat fatal, anjing itu jatuh sakit. Mungkin salah makan atau apa, aku tak tahu. Aku tak berani menduga macam-macam karena ini menyangkut nasibku. Anjing itu hanya terbaring lemas. Aku takut sekali bila Tuan Yon sampai tahu hal ini.

Pulang kerja sore itu Tuan Yon tampak lesu. Ia mengatakan salah satu rencana yang disiapkan berbulan-bulan dan bakal mengeruk keuntungan besar mendadak batal. Mandengar ia berkata begitu aku tak berani mengungkapkan perihal anjing itu. Ia pasti menghubungkan kegagalannya dengan sakitnya anjing itu, walau tentu benar.

Namun naluri Tuan Yon yang telah terbiasa menerima keberuntungan itu rupanya menangkap gelagat tak beres. Ia menanyakan keadaan anjing itu. Aku tak bisa berbohong, aku terpaksa mengatakan yang sebenarnya. Mendengar penuturan Tuan Yon seketika marah besar. Ia tak mau lagi mendengar penjelasanku. Ia memaki-maki dengan kata-kata kasar.

“Kau berada di sini untuk merawat anjing,bukan cuma makan dan tidur saja. Masak hanya merawat anjing saja kau tak becus!”

Hatiku tersinggung. Aku manusia, harga diriku jatuh begitu ia menganggapku pelayan anjing bulukan. Hari itu juga aku langsung pergi. Dengan sedih kuterima kehidupan yang dulu.

Rupanya anjing itu tidak bisa terima akan kepergianku. Dia datang menemuiku, di rumah kardusku. Tubuhnya bergetar, ia masih sakit. Aku tahu ia anjing setia, kami telah melewati masa-masa sulit bersama. Dia tak memikirkan segala kebutuhannya di rumah megah itu. Nalurinya berkata ia membutuhkanku, majikannya yang sesungguhnya.

Sehari sesudah minggatnya anjing itu Tuan Yon datang menemuiku, atau tepatnya menemui anjing itu. Wajahnya nampak sangat kusut. “Saya ingin minta maaf yang sebesar-besarnya pada bapak. Saya telah melakukan kesalahan besar. Saya harap sudi kiranya bapak memaafkan saya,dan kembali tinggal bersana saya,” katanya dengan teramat sopan.

Aku tahu ia cuma takut ditimpa kesialan yang besar. Dan, aku juga memaki-maki kesalahanku sendiri yang takut pada keadaan. Aku setuju untuk kembali. Aku butuh makan dan tempat tinggal. Usiaku kini sudah hampir enam puluh tahun, aku tak ingin menghembuskan nafas terakhir dan terkubur di kardus-kardus ini.

Sekembalinya aku, Tuan Yon memang lebih memperhatikanku ketimbang sebelumnya. Namun sekembalinya aku bukan berarti kesehatan anjing itu membaik. Kesehatannya tetap saja memburuk, walau Tuan Yon yang selalu menemaninya siang malam telah memberinya segala obat-obatan. Anjing itu diserang penyakit yang takkan bisa disembuhkan; ketuaan. Sebagaimana kodrat binatang, proses ketuaannya tentu lebih cepat dari manusia. Ini sudah ketetapan Tuhan, tak ada yang bisa mencegah.

Adalah ketetapan Tuhan pula bila tiga hari kemudian anjing itu mati. Tubuhnya kaku dalam posisi melingkar. Mengetahui hal itu wajah Tuan Yon memucat. Aku dapat membayangkan kesialan besar dalam benaknya yang terderak retak bagai bangunan tua menunggu waktunya runtuh. *


  • Samarinda, 20 Februari 1996