Antologi Cerpen Jurnalis Kaltim Aku Membunuhnya Karena Aku Mencintainya/Tulah

Tulah
oleh Haboshasan Asyari


RUPANYA aku benar-benar sudah termakan tulah. Bahkan tulah itu telah memuruk dalam gelimang sial tak bertepi. Kini aku tak bisa menampik, tak mampu mengelak. Tidak bisa keluar dari pusaran ulak yang dahsyat, yang menggulung, yang terus melindas. Aku pun tengkorop dalam sesal berkepanjangan. Tanpa daya, pasrah.

Akhirnya, aku berusaha menganggap semua yang datang mendera adalah memang seharusnya diterima. Meski kuakui, kadang sesal itu pun datang menyelinap di relung hati. Menyusup di seluruh aliran darah. Perih. Perih…

Aku merasa gamang, karena tahun ini adalah Lebaran ketiga aku tidak pulang kampung. Tidak ziarah ke makam almarhum bapak dan makam para leluhurku. Meskipun aku menyadari bahwa ketidakpulangan ini sebagai perbuatan tuhing, tapi apa mau dikata. Aku tak bisa memaksakan kehendak sebagaimana dulu yang sering kulakukan. Langkah yang pepat kini terkungkung dalam ketidakberdayaan.

“Semoga Emak dan kakak-kakakku masih mau mengerti”. Demikian harapan yang berkelebat di dalam dada ini.

“Tetapi pada saatnya nanti aku juga akan pulang”. Aku mencoba menghibur diri. Namun aku masih ragu, mungkinkah itu secepatnya terjadi? Padahal dulu, pulang pada Hari Raya Idul Fitri adalah satu keharusan mutlak. Sebuah ketentuan tidak tertulis, namun harus dipatuhi. Hampir-hampir mendekati wajib.

“Selain pulang kampung itu menjadi adat kebiasaan, Lebaran juga kan salah satu kegiatan keagamaan yang pantas dirayakan. Kalau sampai dilanggar, bisa terkena tulah. Emak tidak ingin ada anak-anak emak yang melupakan adat dan meninggalkan agama”.

Nah, kalau kata-kata emak serupa itu sudah keluar, mana mungkin aku dan kakak-kakakku berani membantah. Kami pasti akan selalu mengiyakan ucapan beliau. Maklum saja, kami sangat patuh dan hormat pada orang tua. Berani membantah, artinya kami siap bussung pada orang. Dan sungguh itu dosa yang tidak terampunkan.

Membersihkan kuburan orang tua, kerabat terdekat dan leluhur menjelang awal Ramadan atau saat Lebaran, adalah sebagai bukti dari bakti kita yang masih hidup. Selanjutnya ketika seluruh keluarga telah berkumpul, akan dilaksanakan upacara haul. Membaca doa arwah untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Tujuannya, agar para arwah yang menghadap Allah Subhanahu wa ta’ala mendapat ampunan. Agar tenang di alam baka. Mendapat tempat yang layak di sisi-Nya.

“Meskipun bapak sudah meninggal dunia, kita tetap harus menunjukkan bakti. Caranya adalah dengan ziarah dan membersihkan kuburan almarhum. Paling tidak setahun sekali. Sehingga arwahnya akan menjadi tenang,” papar Emak, orang tuaku yang masih hidup. Sedangkan bapak sudah lama menghadap Yang Maha Kuasa. Ketika aku masih duduk di bangku kelas III Sekolah Dasar.

Dulu aku merasa percaya. Paling tidak berusaha untuk percaya sehingga harus mematuhi kata-kata beliau. Tapi itu dulu. Lebaran kali ini aku tidak bisa pulang. Aku tahu perbuatan ini tuhing dan bakal ketulahan. Satu hal yang dulunya paling aku takuti. Kini, aku mencoba pasrah menghadapinya.

Agar Emak tak menganggap diriku melakukan pembangkangan, maka aku mengutus istri dan ketiga anakku mudik. Berlebaran di kampung kelahiranku. Merayakan hari raya bersama emak dan seluruh keluargaku. “Tolong sampaikan pada emak, aku masih sibuk dengan tugas yang dihadapi. Aku harus melaksanakan tugas tersebut sampai selesai”.

Istriku yang menerima pesan itu, berusaha mengiyakan, meski nampak ada keraguan pada wajahnya.

“Tak usah ragu, sampaikan saja seperti yang kukatakan tadi. Usahakan agar emak percaya”, tegasku.

“Mas sendiri bagaimana? Masa Lebaran ini hanya sendirian, tanpa saya dan anak-anak mendampingi?” tanya istriku. Lirih.

“Jangan risaukan aku. Yang penting kau harus meyakinkan emak dan seluruh keluarga di kampung sehingga percaya kalau aku memang tak bisa pulang tahun ini, lantaran sibuk. Kalau kalian tidak ke sana, nanti malah dituding yang tidak-tidak. Aku tak ingin kalau sampai emak menjadi marah”.

“Aku sebetulnya tak tega meninggalkan, Mas..”

“Sudahlah, laksanakan saja apa yang kuminta. Kau harus menyelamatkan nama baikku, nama baik kita pada seluruh keluarga”.

Akhirnya istriku mau memenuhi harapan itu. Dia berjanji akan ke kampung bersama anak-anak. Meski konsekuensinya, harus meninggalkan diriku. Berlebaran seorang diri, tanpa kehadiran mereka seperti dulu.

Dan ketika mereka benar-benar telah pergi dan lebaran pun tiba, aku merasakan betapa seluruh ruang dalam diriku terasa kosong. Hampa. Bahkan diriku tak ubahnya sejumput kapas yang diterbangkan angin tanpa arah. Melayang gamang.

“Seharusnya Lebaran ini aku bersimpuh di hadapan emak. Memohon ridho dan doanya. Tapi sayang, takdir telah memainkan dawai nasibku seperti ini. Aku tak bisa bersama keluarga pulang ke tanah kelahiran. Bahkan tak bisa berlebaran bersama istri dan anak-anak seperti tahun-tahun sebelumnya”, batinku, disela ribuan rintih dan sesal yang besompo di benak.

Ada rasa sesal datang mengoyak. Memuruk dalam pusaran yang tak bertepi. Andai aku masih mau menurut nasehat emak, mungkin nasibku tak bakalan begini. Tapi aku telah lupa diri, sehingga dengan sengaja merentas rambu-rambu yang seharusnya jadi penuntun langkah.

“Bekerjalah yang benar. Pegang kejujuran. Jangan sampai kau menyalahgunakan jabatan dan kewenangan. Jangan mencari rezeki dengan cara haram. Lebih baik hidup sederhana tapi mendapatkannya dengan cara yang halal. Emak tidak bangga kau menjadi orang kaya, tapi didapat dengan yang salah. Lebih baik apa adanya, tapi mendapat ridho dari Allah.”

Nasihat serupa itu selalu dilontarkan emak setiap kali aku pulang kampung. Bahkan aku sudah hafal di luar kepala isi nasihat tersebut. Meski tak pernah membantah, namun kuanggap tak terlalu istimewa. Satu hal yang wajar dari orang tua. Lagi pula, beliau tak mengerti bagaimana situasi persaingan hidup para era global. Maklum, emak seorang yang buta hurup. Kelebihan beliau hanya pengalaman hidup, sesuai dengan usia yang menjelang 70 tahun. Tapi itu juga pada lingkup sangat terbatas. Beliau tidak tahu bagaimana ketatnya percaturan dalam kancah hidup modern.

Jabatan yang diberikan oleh instansi tempatku bekerja empat tahun silam, memang memberikan harapan cerah. Kedudukan sebagai kepala bagian, memungkinkan aku mendapatkan uang puluhan kali lipat dibanding gaji resmi. Aku memang berusaha memegang nasihat emak untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum negara dan agama. Dan itu sama artinya melakukan dosa. Beberapa bulan setelah memangku jabatan itu, seorang rekanan menawarkan fee 10 persen dari proyek bernilai miliaran rupiah. Syaratnya, aku harus membantu menggolkan agar dia bisa mendapat proyek dimaksud. Karena kebetulan proyek itu memang berada di bawah tanggung jawabku.

Fee pertama bernilai Rp 500 juta yang kuterima itu, membuatku belakangan menjadi ketagihan. Aku tenggelam dalam permainan mengasyikan. Sejak itu pula aku selalu merasa sibuk dan tak punya kesempatan pulang kampung di hari Lebaran.
Istriku yang sering mengingatkan agar aku jangan sampai berbuat melanggar hukum, tidak pernah kugubris.

“Percayalah, uang ini kudapatkan dengan cara halal. Ini memang jatahku, jatah kita. Aku tidak melakukan perbuatan haram. Semuanya bisa dipertanggungjawabku. Aku hanya membantu pihak pengusaha, dan dia memberikan fee karena berhasil mendapatkan proyek. Cuma itu”, jelasku panjang lebar.

Entah percaya atau karena tak ingin terjadi pedebatan, istriku akhirnya diam.

Lantas awal tahun ini, ada pemeriksaan di instansi tempatku bekerja. Bagian yang menjadi tanggung jawabku juga ikut diperiksa. Entah bagaimana, pihak pemeriksa melihat ada yang tidak beres dalam sejumlah proyek. Padahal surat-menyurat mengenai hal itu sudah dilengkapi. Akhirnya setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, aku dinyatakan tersangka. Melakukan tindak pidana korupsi. Setelah ditahan pihak kejaksaan, kini aku dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan. Namun emak dan seluruh keluarga di kampung tidak ada yang tahu, kalau aku kini berada di penjara menunggu masa persidangan setelah lebaran nanti.

Karenanya pada Lebaran kali ini aku tak bisa pulang. Tak bisa datang ziarah ke makam bapak, sungkem pada emak yang sudah mulai uzur. Aku merasa ini adalah akibat melanggar nasihat emak. Sehingga kini tulah pun lantas menimpaku.

Pagi ini, aku melaksanakan shalat Idul Fitri bersama narapidana lain yang penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Aku dengan khidmat mendengarkan khutbah yang disampaikan khotib. Setelah shalat, aku buru-buru kembali ke dalam sel, meski saat itu ada acara makan bersama.
di aula.

Aku tak ikut bersama yang lainnya bergabung di sana. Kini, aku tak kuasa menahan haru dan kepedihan yang menikam jongker hati. Aku ingat istri dan anak-anaku. Biasanya saat serupa ini kami selalu bersama. Merayakan dengan penuh kegembiraan, meskipun puasaku sendiri jarang penuh 30 hari. Biasanya pula, setiap lebaran aku dan keluarga selalu pulang kampung. Menemui emak dan keluarga. Tapi sekarang, aku sendirian meringkuk di kamar tahanan yang sumpek. Betul-betul sendiri. Terkurung di balik terali besi.

Tanpa kudasari, butiran bening mengalir dari pelupuk mata. Aku terkesiap, ketika menyadari telah menangis. Padahal selama ini ketika menghadapi persoalan pelik yang mendera, aku selalu bisa bertahan. Berusaha tegar.
Menurutku dulu, seorang lelaki pantang menangis. Tapi kini aku tak mampu menahan airmata. Tangis sesal pertama sejak aku berada di balik tembok penjara. Akibat lupa diri, lupa nasehat orang tua dan lupa agama, aku terpuruk dalam nestapa. Aku termakan tulah.

                                                                 ***


  • Tepian Mahakam, Oktober 2005

Catatan: tulah (bencana, kutukan), bussung (durhaka), tengkorop (karam), puruk (masuk), ulak (pusaran air), besompo (memikul,membawa), jongker (tepi, ujung).