Merupakan bagian dari kumpulan cerpen Rintik gerimis di jendela oleh Anta Samsara

Langit berhenti gerimis. Dan ini hanya engkau ketahui jika duduk menghadapi taman kecil itu, yang hanya berukuran 3X3 meter. Lembayung telah menyala. Namun aku masih duduk di sini, di bangku ini, sambil membaca.

Lukisan A Seat in the Park by Pinwell dalam majalah mingguan Once a Week halaman 518, edisi 26 June 1869.

Hari telah jauh senja. Suasana telah senyap sekali. Pintu-pintu belum dikunci, namun tak ada seorang pun yang keluar ruangan. mungkin karena langit yang mendung, yang menyembunyikan matahari, yang meniadakan panas senja Jakarta. Mungkin juga karena mereka penat. Atau mungkin juga karena pengaruh obat neuroleptik.

Namaku Shen, dan ini adalah Dunia Kecil. Yang menampung orang-orang yang terlempar dari peradaban di luar sana. Yang dianggap lemah dan tak mampu menghadapi kenyataan. Tersingkir dan tersudutkan. Aku adalah orang yang sedang belajar memahami.

Telah lima tahun aku mondar-mandir kuliah di rumah sakit ini. Namun bangsal ini baru kurang dari sebulan kumasuki. Semula bagiku ini hanyalah bangsal biasa. Aku telah terbiasa dengan yang semacam ini selama empat tahun terakhir. Aku seorang calon dokter. Dididik untuk menjadi seorang profesional tanpa melibatkan banyak perasaan. Namun, di sini ternyata aku tak bisa. Aku tertaklukkan oleh Dunia Kecil ini. Bangsal yang hanya sepetak ini.

Danu adalah pasien untuk ujianku. Ia seorang yang diam membisu. Setelah hampir sebulan bahkan aku tak tahu apakah ia memang benar-benar bisu atau hanya menolak menggunakan lisannya. Ia hanya mau (atau bisa) menulis. Dan kali ini aku sedang membaca tulisannya.

Saya lahir di Bandung. Bapak saya orang Jakarta. Ibu saya orang Jawa. Namun saya tak bisa berbahasa Sunda. Jawa juga tak bisa. Hanya bisa berbahasa Indonesia. Saya kecil di Jakarta, kota yang saya benci sekali. Orang-orangnya kejam; sukar bertegur sapa. Disangka maling: dipukuli. Benar-benar maling: dibakar. Saya tahu sebagian besar orang Jakarta adalah tukang bohong, termasuk bapak saya.

Sebetulnya saya punya masa kecil yang bahagia. Ibu saya sayang sekali sama saya. Ketika TK dan SD kelas satu dan kelas dua, Ibu saya selalu mengantar dan menjemput saya bersekolah dengan mobil tuanya. Juga kadangkala kami pergi bersuka ria bersama-sama pada hari libur.

Namun tiba-tiba semuanya berubah suatu hari. Ketika saya kelas tiga SD, Bapak mendadak menjemput saya di sekolah dan bilang bahwa Ibu kecelakaan. Bapak mengajak saya untuk ikut ke rumah sakit. Rumah Sakit ini: Cipto.

Saya tidak mengerti tapi sesampainya di rumah sakit, Bapak mengajak saya ke kamar mayat. Dia bilang, "Tunggu di luar." Tapi saya menolak dan ingin ikut ke dalam. Saya menangis keras-keras sambil terus bertanya-tanya: "Di mana Ibu? Di mana Ibu?" Bapak saya menitipkan saya pada petugas jaga di luar ruangan. Bapak masuk ke dalam. Ia berbincang sesaat dengan petugas di dalam. Tapi kemudian ia melihat siapa di laci mayat?

Mengapa Bapak menutup mukanya? Saya dipegangi kencang sekali. Namun saya terus meronta. Pada suatu ketika, saya mampu menyentakkan tubuh saya dengan sekuat tenaga yang saya punya. Saya berhasil lepas dari cengkraman. Saya berlari untuk melihat siapa yang dilihat Bapak di laci mayat.

Ketika dekat, saya terperangah. Ada orang yang gosong terbakar. Tangis saya makin keras dan bertanya, "Itu siapa, Bapak? Itu siapa?" Tapi Bapak cuma memeluk saya dan menangis histeris. Ia tidak menjawab. Tak bisa menjawab. Bapak kemudian tak sadarkan diri.

Lalu rumah kami ramai oleh orang. Pak RT memasang bendera kuning. Tapi saya tidak percaya kalau itu Ibu. Bagaimana mereka tahu? Sedang saya saja yang anaknya tidak yakin. Sebab muka mayat itu gosong. Mukanya tidak sama dengan Ibu. Mayat itu kemudian dikubur.

Setiap malam saya menangis mengharapkan Ibu pulang. Tapi sepertinya Ibu telah melupakan saya. Ia tak pernah pulang, hingga hari ini.

Saya sudah tahu semenjak semula bahwa Bapak itu pendusta. Ibu yang katanya meninggal terbakar karena kecelakaan cuma akal-akalan Bapak saja. Nyatanya setelah itu, Bapak malah kawin lagi. Tidak ada perasaan berdukanya sama sekali.

Saya tahu Ibu saya yang baru hanya pura-pura baik sama saya. Ia hanya mau kawin sama Bapak dan karena itu ia bersekongkol membuat kebohongan bahwa Ibu meninggal terbakar pada sebuah kecelakaan. Padahal Ibu dicerai, dan ia pergi meninggalkan kami karena sakit hati.

Namun hari demi hari saya jalani jua dalam rumah itu. Sebab saya tak boleh pindah ke rumah nenek di Semarang. Kata Bapak nanti sulit mengawasinya. Lagipula nenek sudah tua.

Hampir tiap malam dalam beberapa tahun saya bertemu Ibu; dalam mimpi. Saya yang tadinya seorang yang periang berubah menjadi seorang yang pemurung. Sering menyendiri.

Tak mau lagi mau berkawan dengan teman-teman. Karena saya cuma mengharapkan satu: kepulangan Ibu.

Saya sampai pada masa remaja saya. Pada suatu siang yang terik, ada suatu suara yang sangat lembut yang menyuruh saya untuk mencari Ibu ke Sumatera, ke Kota Bukittinggi. Saya mencuri uang Ibu tiri saya dan pergi ke sana sendirian dengan bus antar-pulau. Tapi saya benar-benar kecewa, karena Ibu tidak ada di sana. Saya kehabisan uang, lalu mulai mengemis dari rumah ke rumah. Sampai suatu ketika saya ditangkap polisi. Saya bertanya, "Apa salah saya?" Katanya kamu termasuk daftar pencarian orang hilang. Dan akan dikirim ke Jakarta.

Sejak saat itu saya semakin banyak mendengar suara-suara yang menyuruh saya ini dan itu. Namun kini saya tak bisa apa-apa karena seorang paman dari pihak ibu tiri saya, ditugaskan untuk menjaga ke mana pun saya pergi, termasuk ketika di sekolah. Ruang gerak saya semakin sempit. Saya merasa menjadi tawanan.

Suara-suara itu semakin banyak dan mulai mengajak saya berbincang-bincang ketika saya sedang sendirian. Namun, sejak saat itu pula Bapak jadi sering memarahi saya. "Kenapa?", saya bertanya. Katanya saya sering berbicara dan tertawa sendiri. Saya jawab itu tidak benar. Suara-suara itulah yang mengajak saya mengobrol. Mereka adalah kawan-kawan setia saya.

Bapak saya benar-benar seorang yang keji. Ia malah memasukkan ke rumah sakit jiwa Grogol. Saya berulang kali berteriak bahwa saya tidak gila, saya tidak pernah mengamuk.

Namun Bapak saya yang bengis tak peduli, ia tetap menyeret saya. Dari Grogol, saya pernah kabur namun tertangkap lalu dimasukkan ke dalam ruang yang pengawasannya lebih ketat. Yang mirip neraka. Sebab pasien-pasien di dalamnya saling membenci dan kerap berkelahi satu sama lain. Sudut bibir saya pernah berdarah sekali. Karena kena tinju. Karena saya mengeluh, kemudian Bapak saya memindahkan saya ke Bogor. Di sana lebih tenang, saya suka. Namun, lagi-lagi bapak saya bertindak sewenang-wenang, ia mengeluarkan saya setelah tiga tahun berada di sana. Katanya di sana saya tak sembuh-sembuh.

Di sini, di RSCM, saya sudah dua bulan. Saya menolak berbicara dengan siapa pun, sebagai cara untuk protes terhadap kelakuan Bapak saya, termasuk memprotes kepindahan saya kembali ke Jakarta, kota yang keji; setelah saya lahir dan menghabiskan masa perawatan saya di Jawa Barat. Satu-satunya komunikasi yang saya lakukan adalah dengan surat ini, kepada Anda.

Semoga pada suatu hari, ibu saya benar-benar pulang dan menjemput saya di sini. Dan membebaskan saya dari kekangan Bapak saya yang tak berperasaan. Amin.

Saya berterima kasih kepada Anda, dr. Shen yang sudi membaca keluhan saya. Semoga Anda senantiasa berbahagia. Tidak seperti saya.

Salam,

Danu.

Azan magrib telah berkumandang. Awan-awan kapas pelan-pelan sirna ditelan kelam. Malam mulai datang. Lampu-lampu mulai menyala.

Di sini, Danu pertama kali berkomunikasi denganku, lewat surat ini. “Ia mengira ibunya akan kembali,” ayahnya berkata dua hari yang lalu, “dan ia menyalahkan saya atas semua yang telah terjadi. Tolong sadarkan dia, Dokter, ibunya telah meninggal, takkan bisa kembali. Tolong juga katakan padanya, saya menikah lagi setelah ibunya meninggal pada waktu ia kecil agar ia ada yang merawat. Bukan karena saya ingin menyingkirkan ibunya.”

Aku termangu. Apa yang akan aku lakukan? Ah..., Aku hanyalah seorang dokter muda. Aku hanyalah seorang yang akan ujian. Tak lebih. Namun nuraniku berkata ada “sesuatu” yang lain dengan tempat ini. Sesuatu yang di luar jangkauan rasionalitas atau mencari keuntungan akademis semata. Apakah itu? Misteri batiniah? Atau apa? Aku tak bisa mengatakannya secara pasti. Namun senja ini aku memutuskan, bahwa aku akan kembali setelah meraih gelar dokter nanti. Aku harus jadi seorang psikiater untuk menjawab pertanyaan itu. Danu yang satu ini mungkin tak mampu kutolong, namun akan kutolong Danu-Danu yang lain.

Kulongok ia dari jendela, Danu telah tertidur setelah meminum Clozapine 100 miligram. “Mimpi indahlah, Danu. Setidaknya untuk malam ini.”

Pada Pak Surya, perawat yang berjaga sore itu, aku pamit pulang. Dengan pikiran yang penuh dan perasaan yang terharu, aku beranjak pergi. Lampu tabung yang remang-remang dan bayangan pada dinding-dinding putih rumah sakit mengiringi langkahku keluar dari bangsal psikiatri itu.

Seribu kepak sayap kelelawar tak berbunyi di angkasa. Begitu juga dengan ruang yang baru saja kutinggalkan. Senyap. Tak ada suara.