Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 1/Divisi 1/Bab 1

BAGIAN I

GEREJA DAN KEKAISARAN


DIVISI I

ZAMAN BAPA-BAPA GEREJA

BAB I

KRISTEN DI TIMUR DI BAWAH PARA KAISAR PAGAN

Kala kami mulai menyelidiki soal keberadaan Kristen, kami dihadapkan dengan pertanyaan: Seberapa wilayah geografi yang berada di bawah pengaruh penginjilan?—Kapan waktu setiap wilayah dicapai?—Apakah wilayah tersebut benar-benar mengalami penyebaran agama Kristen? Pertanyaan terakhirnya adalah seberapa jauh pengaruh ketiganya, dan ini sangat sulit untuk dijawab. Mereka dapat memberikan gagasan yang sepenuhnya aman di wilayah yang pengetahuan injilnya telah dibawa dan beberapa Gereja tertanam dalam tiga abad pertama pada era Kristen. Italia, Spanyol, dan Gaul di Barat, Inggris di Utara, provinsi Afrika Romawi di Selatan, semuanya telah menerima agama Kristen dalam beberapa keadaan; namun meskipun Roma menjadi markas besar Gereja Barat, sampai setelah zaman mayoritas penduduknya, Senat, dan "Masyarakat," masih menjadi pagan. Dan di luar beberapa bagian Italia dan provinsi Afrika, agama Kristen di Eropa Barat tak dapat dianggap selama sebagian besar masa ini melebihi sinar yang menjamah kegelapan. Ini meragukan jika terang tersebut telah membayangi seluruh paganisme di desa-desa hutan Jerman. Di Timur, kami melihat kemenangan besar kegiatan misionaris awal dan kehidupan menonjol dari gereja perdana.

Gerakan agama didapati maju ke depan dalam gelombang atau pasang melebihi arus yang berkelanjutan. Terdapat waktu kebangkitan alternatif dengan pergerakan datar, pudar dan tak berbuah. Tiga zaman kebangkitan semacam itu nampak dalam sejarah Kristen pada tiga abad pertama.

Yang pertama adalah Zaman Apostolik. Pada zaman tersebut, "bermula di Yerusalem," injil mula-mula disebarkan di daerah sekitar. Kemudian, Samaria diinjili secara sistematis. Namun kemudian, api yang nampak timbul pada Pentakosta tak selaras dengan misi yang tertata resmi. para peziarah yang telah mendengar St. Petrus pada perayaan tersebut membawa kabar mengenai mereka dan menyebarkannya ke masyarakat mereka sendiri, dan kala Roma mula-mula mendengar injil pada peristiwa ini. Kemudian, pendirian Gereja Yerusalem, yang mengalami penindasan oleh Sanhedrin dan setelah itu oleh Herodes Agrippa, mengirim para anggotanya ke luar untuk menyebarkan benih kerajaan Allah dimanapun mereka inginkan, karena pada hari-hari awal, keantusiasan setiap Kristen dipanggil untuk menjadi misionaris. Langkah penting ke depan diambil kala Gereja Asing bermula dalam upaya-upaya menonjol dari Kristen Yunani tertentu yang sepenuhnya tak resmi didirikan di Antiokhia. Karena Gereja tersebut menjadi pusat Kristen yunani, sementara Yerusalem masih menjadi markas besar Kristen Yahudi. Ini menunjang sebagain besar kehidupan Gereja Zaman Apostolik. Pengabdiannya memberikan hadiah untuk umat Kristen di Yerusalem kala mereka menderita akibat kelaparan; dan semangat misionarisnya disediakan oleh pemanfaatannya terhadap perluasan dakwah terorganisir ke dunia yang lebih luas pada zaman awal yang mereka catat. Sehingga, pada zaman kuno, Gereja besar ini maju terdepan, sebuah posisi yang bertahan selama berabad-abad sebagai metropolis Kekristenan di Siria. Biasanya bergantung pada karya St. Paulus, yang telah dikirim oleh Gereja Antiokhia selaku rekan Barnabas, pada masa itu menjadi sosok menonjol, injil kemudian mencapai Siprus, selatan dan barat Asia Kecil, Makedonia dan Achaia, dan bahkan meluas sampai sejauh Illyricum. Setelah Yerusalem dan Antiokhia—dua pusat metropolitan—pusat kota Kristen pada Zaman Apostolik adalah Efesus, ibukota Asia; Tesalonika, ibukota Makedonia Selatan; dan Korintus, ibukota Achaia; yang perlu menambahkan sebuah pos luar besar Gereja Apostolik di Barat, Roma sendiri, takhta kekaisaran. Gereja mungkin berkembang pada zaman awal di Aleksandria, metropolis Mesir, meskipun sedikit bobot dapat dilampirkan pada legenda bahwa Gereja tersebut didirikan oleh St. Markus, karena tak muncul dalam tulisan Klemens dan Origenes yang masih ada, dan mula-mula bersamaan dengan Eusebius, yang hanya mencatatnya sebagai tradisi.

Tak ada yang lebih signifikan dari keberanian dan kepercayaan dari para penginjil gereja perdana selain fakta bahwa dari mula-mual mereka menetapkan pusat-pusat metropolitan untuk misi mereka. Menurut St. Paulus, karakteristik tersebut berujung pada prolepsis yang luar biasa. Dengan keantusiasan yang akan menjadi tetap jika agama tersebut tak disebarkan dari iman dan kemudian menemukan pembenaran pada faktanya, rasul banyak berbicara di provinsi-provinsi Romawi—"Asia," "Makedonia," "Achaia"—melalui kemenangan mereka, kala ia melakukan lebih sedikit ketimbang menanamkan standarnya di kota-kota utama mereka. Selama generasi ke generasi, agama Kristen menjadi agama kota. Kecerdikan, kecepatan dan tenaga penduduk kota lebih siap menanggapi perlakuan baru dari injil ketimbang unsur yang lebih lambat dan lebih konservatif dari kepercayaan kedaerahan. Selain itu, terdapat pencurahan dari pusat-pusat kota yang ditimbulkan wilayah sekitar dalam berbagai tingkat. Sehingga dalam penulisan terhadap jemaat Korintus, St. Paulus mampu untuk melibatkan "seluruh orang kudus yang berada di seluruh Achaia. Tak ada persaingan yang dapat menggantikan tradisi tak otentik dari para pengikut rasul lain di berbagai belahan dunia, khususnya persaingan antara gereja-gereja yang berujung pada keinginan yang didorong untuk mengklaim cikal bakal apostolik—dan otoritas berikutnya—di tempat manapun keberadaan jenis tersebut dapat dimajukan. Pada dasawarsa berikutnya pada abad pertama, sejarah gereja dihadapkan pada tantangan yang hanya sebagian tergambarkan disini dan itu oleh kejadian sesaat. Tulisan-tulisan Yohanes menyebutkan beberapa sorotan terhadap daerah Efesus, dan menandakan bahwa pada zaman awalnya, pemikiran Yunani telah merasuki gereja-gereja yang berada di Asia. Surat Klemens (tahun 95) menunjukkan kami Gereja di Korintus, pecahan yang timbul pada zaman St. Paulus, dianggap oleh gereja rekanannya di Roma karena tak bersifat kristiani akibat kurangnya rahmat kasih yang dikeluarkan para tetuanya. Jika Didaché dipakai pada awal masa tersebut, mereka memiliki gambaran kehidupan komunitas kecil Kristen Non-Yahudi dalam Panduan Gereja kecil tersebut, mungkin di Sria, yang sangat bertentangan dengan Yahudi, dan terjaga dalam sentuhan dari gereja-gereja lainnya lewat kunjungan para penjelajah Kristen yang dikenal sebagai "rasul" dan "nabi."

Penghancuran Yerusalem oleh Titus (tahun 70) dan reruntuhan Negara Yahudi berikutnya dan kekuasaan memiliki dampak campuran pada keadaan umat Kristen. Di satu sisi, mereka dibebaskan dari penindasan musuh terburuk mereka. Di sisi lain, ini menunjukkan kepada dunia perbedaan antara Kristen dan Yahudi. Kristen tak terlibat dalam pemberontakan. Menjelang pengepungan tersebut, mereka telah menarik diri ke Pella. Pada masa awal, mereka diperlakukan baik oleh pihak pemerintahan kekaisaran. St. Lukas mendapatkan luka besar untuk menjelaskannya, dan pernyataannya didukung oleh St. Paulus, yang selalu menulis hukum dan otoritas Roma dengan hormat.Pembantaian keji Nero terhadap Kristen di Roma tak menandakan penindasan besar, meskipun sikap antagonisme baru yang lebih pahit pada Pemerintah kekaisaran dikisahkan lewat Apokalips—sehingga penjelasan sepenuhnya dijelaskan lewat kitab-kitab Perjanjian Baru pada masa sebelumnya—dapat menimbulkan keterkejutan yang dihasilkan oleh pemberontakan besar di kalangan Gereja di Timur. Profesor Ramsay beranggapan bahwa sikap Roma terhadap Kristen diubah oleh Kaisar Vespasianus. Namun jika ada hal yang sangat menonjol, tak ada tradisi yang memiliki dampak yang diberikan oleh para penulis gerejawi. pada kenyataannya, Kristen selalu dianggap ilegal, sampai agama tersebut dianut oleh Konstantinus, meskipun agama tersebut menikmati masa-masa kebal dari penindasan dan disukai oleh satu atau dua tindak pengampunan. Sepanjang waktu itu, tak ada "agama berijin" seperti halnya dalam kasus Yahudi, dan tak pernah ada hukum yang melarang agama tanpa ijin khusus. Yahudi diijinkan—pada segala perayaan khusus Yahudi—Kristen tak terjamah sepanjang agama tersebut hanya dianggap sebagai bagian agama Yahudi yang diakui. Namun setelah tahun 70, kala dua keyakinan tersebut berdiri bersama dalam sorotan penuh, penyamaannya dengan perlindungan Gereja pada masa berikutnya tak lagi memungkinkan.

Memang benar bahwa Roma menunjukkan toleransi yang berpikiran luas dalam membiarkan provinsi-provinsi taklukannya menikmati agama-agama mereka sendiri. Sepanjang keyakinan agama apapun setia dengan pihak berwajib, mereka akan memikirkannya tak menawarkan keilahian penduduk asli, dan orang cerdik Romawi dari pemerintahan menghindari kerisihan yang tak perlu. Namun mereka tak mengijinkan penyebaran agama asing ke belahan kekaisaran yang berbeda. Tak ada keraguan agama semacam itu tersebar dalam keadaan liar; namun pada sebagian besar, mereka berusaha untuk berdiri berdampingan, tanpa mengusik satu sama lain, seperti berbagai spesies burung yang tinggal bersama di sebuah pohon. Mereka bahkan lebih jauh dari ini: mereka mengadopsi upacara dan legenda satu sama lain, mengadakannya bersama, bersatu dalam keadaan sinkretik. Proses semacam itu dapat didorong sebagai pertolongan terhadap persatuan kekaisaran. Namun Kristen menjadi kelompok yang sangat berbeda. Misionaris secara antusias terdorong dan agresif tak toleran terhadap keyakinan lain, karena mereka mengklaim satu keyakinan mutlak terhadap satu Allah yang benar, dan menganggap seluruh agama lain sebagai kepalsuan dan cacat dan keilahian mereka sebagai iblis terkutuk dan tak terhiraukan. Karena alasan ini, Kristen menjadi sangat tak populer. Beberapa dari mereka tak segan-segan mencemooh dan menghina takhayul tetangga mereka sampai tak hanya menghina, namun, sepanjang yang diyakini umat pagan, sangat berbahaya. Gempa bumi dan musibah dikaitkan dengan kemurkaan dewa-dewi terhadap "ateisme" Kristen. Akibatnya, agama tersebut umum menerima cercaan besar disusul oleh pemberontakan melawan Kristen yang mendadak memprovokasinya. Sehingga, mereka sering didera akibat penindasan kepanikan. Kemudian, penolakan mereka untuk berbagi ruang umum kala mereka menentang pertunjukan teater dan kekejaman berlumuran darah di amfiteater, penolakan mereka untuk bergabung pada hari raya umum atau menerima ketentuan-ketentuan daerah yang melibatkan upacara pengurbanan pagan, dan prediksi penghakiman mereka yang akan datang dan mengakhiri dunia dengan api, menyebabkan mereka dipandang sebagai "musuh umat manusia." Kami dapat memahami bagaimana Pemerintah resah untuk mencegah ketegangan di sebagian besar wilayah kekuasaannya akan membuat sebuah sekte yang ada menimbulkan perlawanan dan memperkenalkan unsur baru dalam masyarakat. Secara keseluruhan, pemujaan besar yang baru terhadap kaisar, yang mendadak disertai dengan pemujaan wujud inkarnasi Roma, dan ketidaktaatan umat Kristen, yang menempatkan mereka atas dakwaan pengkhianatan, berujung pada tuduhan læsæ majestatis yang mengerikan. Karena alasan tersebut, mereka selalu ditindas.

Serangan tersebut timbul dalam berbagai bentuk. Terkadang, hal ini menjadi pemberontakan gerombolan fanatik, meskipun, seperti halnya di wilayah kekuasaan Turki saat ini, terdapat alasan baikyang dimajukan bahwa hal tersebut ditimbulkan atau bahkan didalangi oleh otoritas. Terkaddang, ini menjadi kasus pendakwaan oleh orang tunggal, di hadapa magistrat yang bersikap untuk memberlakukan hukum secara paksa dan memberikan keputusan yang didapati untuk memperlakukan tahanannya; terkadang hal tersebut diperintahkan langsung oleh kaisar, hanya dalam kasus yang berlarut-larut—bahkan sangat langka—yang menimbulkan penindasan besar yang serius. Tak ada bukti bahwa penindasan semacam itu, sebagai tindakan mutlak kebijakan negara, dialami di bawah kekuasaan Vespasianus atau Titus, atau para kaisar yang memiliki gagasan apapun untuk menghapus sekte Kristen saat itu. Domitiausn (tahun 81–96) nampak menghimpun sorotan diam-diamnya terhadap pemicu marabahaya, dan mungkin eksekusinya terhadap orang-orang berposisi tinggi pada "ateisme" dan karena beralih ke "adat Yahudi" merupakan serangan terhadap Kristen. Namun contoh yang diketahui berjumlah sedikit. Pernyataan Irenreus bahwa St. Yohanes diasingkan ke Patmos pada masa kekuasaan Domitianus merupakan indikasi bahwa terdapat beberapa penindasan kala itu di Timur. Namun, kala mereka menyoroti, penindasan sporadik selalu memungkinkan, dan mungkin tak pernah sepenuhnya berhenti pada masa itu. Tak ada tanda penindasan besar yang umum di bawah kekuasaan Domitianus.

Kala kami beranjak ke abad kedua, sejarah Gereja Perdana mulai mendapati rintangan dalam dua bidang kepentingan besar, pada masa kekuasaan Trajan (tahun 98–117). Mula-mula, kami mendapati surat menyurat Plinius dengan kaisar, yang kami pahami bahwa kuil-kuil Bitinia nyaris rangsek, agar tak ada penjualan terhadap korban pengurbanan, dan bahwa Kristen menjadi penduduk mayoritas. Plinius selaku prokonsul telah mengerahkan penyelidikan terhadap kondisi serius di provinsinya, menempatkan dua deakon pada penyiksaan, untuk membongkar rahasia sekte tersebut dari mereka; namun ia tak mendapatkan apapun dari mereka. Sehingga, ia memandang Kristen sebagai "golongan tak wajar dan buruk," dan ia menghukum mati banyak pengikutnya. Menjadi orang berperikemanusiaan dan tak mempergantungkan dirinya sendiri, Plinius menarik persoalan yang menghadapinya. Ia menjauh dari sikap-sikap drastis yang akan melibatkan upaya untuk meredam gerakan populer; sehingga gerakan tersebut menjadi ilegal. Pada kenyataannya, hukum tersebut kini diragukan, karena Trajanus kini mengeluarkan perintah melarang keberadaan perhimpunan rahasia, dan gereja-gereja nampak pada masyarakat semacam itu. Sehingga, kesulitan tersebut berakhir lewat pelibatan mereka selaku perhimpunan penguburan, semenjak pengecualian dibuat dalam menarik kelompok-kelompok berjasa tersebut. Penjelasan Trajanus menjawab penyelidikan Plinius soal bagaimana ia harus memperlakukan Kristen dengan sangat signifikan. Tak ada posisi yang memburu orang-orang tersebut, dan para pengadu tak didorong. Namun kala itu, Kristen yang benar-benar didakwa harus dihukum. Kristen sebetulnya memaklumkan bahwa mereka harus dihukum. Mereka tak dapat ditanyai seperti apa yang dilakukan. Hukumannya adalah mati. Dr. Lightfoot menganggapnya sebagai perintah belas kasih; dan tak meragukan bahwa ini bertujuan baik. Selain itu, kini untuk pertama kalinya—sejauh yang kami sadari—Kristen didakwa sebagai kejahatan berat. Sebelumnya, agama tersebut bersifat konstruktif; sehingga hal tersebut disebutkan secara sangat jelas, atas perintah kaisar.

Kasus kedua yang kami soroti terhadap negara Gereja pada masa kekuasaan Trajanus adalah soal tujuh surat Ignatius yang kini banyakl diterima dalam bentuk Yunani pendeknya. Ignatius, uskup Antiokhia, dibawa ke Roma pada masa penugasannya dibunuh oleh hewan-hewan buas di Coliseum.

Hadrianus (tahun 117–138), "penguasa besar" yang membuatnya kebanggaan untuk mempercantik kota-kota kekaisarannya dengan bangunan-bangunan megah sementara ia tinggal dalam kemewahan dan foya-foya, tak mengikuti sifat kaku Trajanus, dan ia tak nampak mengambil bagiannya sendiri dalam penindasan Kristen. Sehingga, ada contoh-contoh kemartiran bahkan di bawah kekuasaan longgarnya; dan pemberontakan Yahudi yang didalangi oleh Bar Cochbar (tahun 131) berujung pada penjagalan besar Kristen di tempat musuh-musuh lama mereka dikerahkan Pemerintah Romawi. Ini meniadakan sisa-sisa terakhir persamaan antara Kristen dan Yahudi dalam pikiran resmi.

Dulunya, hal ini biasanya dianggap masa kekuasaan orang adil, kaisar Antoninus Pius (tahun 138–161) bebas dari bentuk penindasan; namun delusi yang disepakati telah ditinggalkan beberapa tahun lampau, kala tanggal kemartiran Polikarpus, uskup lansia Smyrna dan guru Ignatius, dinyatakan dijatuhkan pada masa kekuasaan tersebut (tahun 155 atau 156). Selain itu, ini merupakan urusan lokal, kebanyakan dipicu oleh sikap Yahudi, yang tak diperhatikan langsung oleh kaisar. Penerusnya, non-Yahudi Markus Aurelius, santo dan filsuf (tahun 161–180), harus memegang tanggung jawab atas penindasan kejam Kristen di Lyons dan Vienne—sangat tergambarkan dalam surat dari Gereja-gereja untuk persaudaraan mereka di Asia Kecil—karena ia telah dikonsultasikan oleh otoritas lokal. Rujukannya sendiri kepada Kristen menunjukkan bahwa ia menganggap mereka sebagai golongan yang mengiklankan diri dan merintangi yang sepenuhnya menjadi pengusik tatanan masyarakat. Markus Aurelius bergerak jauh dari Trajanus baik mengadakan penindasan secara langsung dan dalam membangkitkan praktek pemanfaatan pengadu. Menurut Melito dari Sardis, penindasan menyebar ke Asia Kecil, dan dari Athenagoras kami harus memutuskan bahwa agama tersebut menyebar dalam wilayah yang luas. Ini merupakan periode apologis awal, Quadratus dan Aristides menulis pada zaman kekuasaan Hadrianus, Yustinus Martir dan Atenagoras pada zaman Antonines. Martabat hening nan berani dari pertahanan Kristen kini menawarkan kepada Pemerintah dengan orang yang menempatkannya resiko penyiksaan dan kematian, menyerang seperti nilai intelektualnya dan keantusiasan moral yang langka. Ini tak pernah menurun pada perasaan ngeri, dalih pengecut, atau tanggapan murka, meskipun hal tersebut selalu dipersiapkan untuk mengerahkan perang argumen terhadap wilayah musuh. Ketenangan, keterbukaan, kejujuran, kehormatan, ini mengungkapkan para penulisnya sebagai sosok yang menentukan bahwa mereka dapat membenarkan posisi mereka dan percaya akan kemenangan mendatang dari kepentingan mereka, meskipun mereka sangat siap untuk menumpahkan darah mereka sendiri dalam keadaan martir.

Kejadian tersebut adalah ironi sejarah yang lebih terwujud pada fakta kala dua kaisar Romawi terbaik, Antoninus Pius dan Markus Aurelius, disusul oleh sosok paling kurang menguntungkan Komodus (tahun 180–192), penindasan ditindak dan musim kemakmuran tak sebanding dengan umat Kristen. Pria muda tersebut tak benar-benar berniat untuk menindas, dan ia nampak mengambil kesenangan bodoh dengan mengulang kebijakan ayahnya. Pada waktu yang sama, Marcia, gundik kesayangannya, sangat bersahabat dengan Kristen, beberapa kali ia nampak dibesarkan pada kehidupan sederhana, ia mempertaruhkan dirinya sendiri untuk membawakan pesan para pengasingan dari Sisilia. Kini untuk pertama kalinya, orang Kristen terlihat dan diakui seperti itu dalam istana kekaisaran.

Pada masa itu, zaman kedua dari kegiatan dan pertumbuhan di Gereja dimulai. Dengan pengecualian penindasan jangka pendek sepanjang musim panas yang makmur kini telah dihimpun. Commodus digantikan oleh Septimius Severus (tahun 193–211), seorang kaisar baik yang memerintah dengan baik, dan sehingga menjadi penindas Kristen. Namun penentangannya terhadap pertumbuhan Gereja nampak dihasut oleh hasutan Puritan pada abad kedua, Montanis. Terdapat dua pihak pada persoalan tersebut. Montanis menganggap bahwa pertumbuhan jumlah, kekayaan dan kemakmuran besar, Gereja kehilangan kemurnian awalnya dan keantusiasan kepahlawanan terbaik dari masa yang lebih sederhana. Mereka tak hanya menerapkan rangkaian disiplin baru dalam Gereja. Mereka juga menunjukkan diri mereka sendiri terdorong untuk mengenakan mahkota martir dengan menyulut permusuhan terhadap otoritas. Kini, Septimius Severus pada perjuangannya di Timur telah berada di bawah pengaruh pendeta Isis dan Serapis, menjadi sangat memusuhi Kristen. Sehingga, tak mengejutkan bahwa dalam keadaan tersebut, ia mengeluarkan dekrit melawan pembentukan doktrin baru atau perubahan agama apapun (tahun 203), sebuah hal ketidakkonsistenan yang dianggap terjadi agar ia sendiri dapat menginisiasikan misteri-misteri Mesir. Namun dekrit tersebut singkatnya ditujukan pada Kristen, yang menjadi pihak utama, jika bukan tunggal, yang didera dari hal tersebut. Penindasan berikutnya meluas di sepanjang Afrika Utara dan sangat dirasakan di Mesir, di tempat Leonidas, ayah Origenes, yang mula-mula menyegel keyakinannya dengan darahnya. Disitu bahkan menjadi tempat percintaan Potameia, gadis cantik yang memenangkan penjaga militernya Basilides agar ikut menjadi martir. Setelah itu, mereka menjalani empat puluh tahun perdamaian, bukan tanpa kejadian penindasan lokal—karena Kristen bersifat ilegal sepanjang masa itu—namun dengan tanpa upaya serius untuk menekan pertumbuhan Gereja, yang kini nampak nampak berdiri pada siang hari dan menantang perhatian dunia. Seorang kaisar, Alexander Severus, memiliki patung Kristus yang ditempatkan di istananya bersebelahan dengan patung-patung Abraham dan Orpheus; yang lainnya, Filipus orang Arab, bahkan dirumorkan telah menjadi orang Kristen, meskipun perayaannya terhadap permainan sekuler berseberangan dengan pernyataan tersebut.

Kemudian semuanya nampak menguntungkan, dan Gereja, yang berkembang kuat dan kaya, dapat dianggap bahwa sejak itu Gereja telah meniup badai hari-hari awalnya yang Gereja dapat kini maju ke depan menuju sikap perjuangan tak terhindarkan, sampai seluruh kekaisaran menang atas persebaran Kristus, kala terdapat penindasan keras, dalam perbandingan dengan seluruh serangan sebelumnya yang bersifat ringan dan lokal. Kejadian itu adalah penindasan Decian besar (tahun 250). Kaisar Decius, naik takhta dari apa yang timbul pada kekaisarannya, yang memutuskan untuk membuat upaya tertinggi untuk mengembalikan kebajikan dan nilai Romawi lama. Tentunya, ia menganggap Kristen sebagai pemicu paling berbahaya dari adat kuno. Menurutnya, ia memasuki tugas besar yang diambil untuk mengakhiri Kristen. Penindasan yang menyusul adalah perjuangan hidup dan mati. Ini utamanya berbeda dari penindasan sebelumnya yang dilakukan oleh sosok penentu yang kuat dalam mendorong kebijakan yang berakar dari yang penulisnya yakini sebagai tindak paling serius pada Negara, imperium in imperio, pertumbuhan yang mengancam keberadaan kekuatan sipil. Hal ini dicetuskan oleh Decius sendiri, penjagalan kejam tersebut terhadap Gereja—yang makin dicari dan tak berkompromi ketimbang hal apapun yang terjadi sebelumnya—adalah penindasan umum pertama yang sebenarnya, upaya Roma pertama untuk memakai segala kehendaknya untuk menindak Kristen. Dan itu gagal. Gereja dianggap terlalu kuat bagi Negara. Kala Decius memutuskan mengalihkan perhatian pada perang dengan bangsa Goth, penindasan diurungkan dan ditarik. Gallus membangkitkannya dan Valerianus lebih serius, sampai penangkapannya oleh Persia yang disusul oleh pengeluaran edik toleransi oleh putranya Gallienus (tahun 260). Terdapat sekelompok martir; namun pria dan wanita lemah menjadi ketakutan sampai murtad, dan gereja kini berhadapan dengan masalah "kemurtadan," sebuah permasalahan yang berujung pada perpecahan serius. Meskipun demikian, perintah yang ada telah banyak disingkirkan, dan kini lagi-lagi Kristen menikmati masa kebebasan yang panjang, dengan kesempatan untuk mendorong penaklukan mereka ke depan pada musim ketiga dari kehidupan saleh dan tenaga misionaris.

Pada waktu itu, kemenangan nampak terhimpun. Namun lagi-lagi sekelompok musuh menyulut konflik perlawanan terakhir. Setelah lebih dari empat puluh tahun perdamaian dan kemakmuran, seluruh penindasan paling berat timbul. Kristen kini sangat diakui sebagai agama; di kota-kota besar dan gereja-gereja yang berdiri berada diantara bangunan-bangunan umum utama; banyak Kristen mendapatkan jabatan-jabatan tinggi di istana; dan kaisar Diokletianus ngin menyingkirkan mereka. Meskipun penindasan tersebut menyematkan namanya, dan walaupun seperti Augustus senior, ia benar-benar bertanggung jawab terhadapnya dan bahkan mengisyaratkan edik-edik sebelumnya, pengarang aslinya adalah koleganya Galerius, yang disebut oleh Laktantius sebagai "Hewan Liar"; dan edik terakhir yang memerintahkan seluruh Kristen untuk melakukan pengurbanan atau mati dikeluarkan oleh kolega yang lain, Maksimianus, kala kaisar tua tersebut mengalami kesehatan yang buruk dan keadaan melankoli yang nyaris gila. Eusebius memberikan mereka catatan martir Palestina di bawah upaay terakhirnya untuk menekan Kristen. Namun jika penindasan Decian dengan segala sumber daya negara untuk mendukungnya telah gagal separuh abad sebelumnya, gagasan menghancurkan Kristen yang kini bertumbuh lebih kuat bersifat tak masuk akal. Seluruh pertumpahan darah menghabis-habiskan banyak tujuan penindas yang terlibat. Dalam keadaan sekarat menjelang ajalnya, pengarangnya Galerius mengeluarkan edik yang meminta untuk menghentikannya dan bahkan memerintahkan Kristen untuk berdoa untuknya (tahun 311). Setelah itu, tak terlalu menakjubkan bahwa dua tahun kemudian Konstantinus datang ke pihak yang menang dan secara terbuka menganut Kristen. Baginya, ia adalah penguasa handal yang telah menyaksikan kejadian penindasan dari pemerintahan Diokletianus dan mengamati hasilnya yang sia-sia.

Tak mudah memperkirakan posisi yang dipegang oleh Gereja di Timur usai berabad-abad ditekan, namun gagasan yang tersebar terbentuk dari data yang didapatkan kami lewat sejarah. Profesor Harnack menekankan Asia Kecil sebagai "daerah Kristen κατ' ἐξοχήν pada zaman pre-Konstantinus." Separuh Nikomedia kini menjadi Kristen; Bitnia dan Pisidia Barat mengalami penyebaran Kristen yang besar; di Asia dan Caria, Kristen berjumlah sangat banyak; provinsi-provinsi selatan Siria, Pamphilia, dan Isauria mengirim dua puluh lima uskup ke Konsili Nikea dan Kilikia mengirimkan sembilan. Trakia, Makedonia, Dardania, Epirus, dan Yunani semuanya menjadi provinsi Gereja dengan metropolitannya sendiri, meskipun sejarah mereka sedikit yang diketahui. Utara dan barat, terdapat gereja-gereja muda yang tumbuh sampai sejauh tepi Danube, dan karya misionarius telah dimulai di kalangan bangsa Goth sampai barat laut Laut Hitam.

Di Palestina, terdapat sedikit gereja—Profesor Harnack menyebutkan nama nyaris tiga puluh—dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Terdapat tiga gereja di Foenisia dan sejumlah besar di Cœle-Syria, dengan keuskupan penting Antiokia sekalu kepala mereka. Kurang dari seabad usai zaman itu, Krisosotom menyebutkan jumlah anggota gereja utama—mungkin, seperti yang diujarkan oleh Gibbon, menandakan total populasi Kristen di kota tersebut—berjumlah 100.000. Kemudian terdapat gereja-gereja di Arabia, dan seawal-awalnya zaman Origenes, sejumlah keuskupan di kota-kota selatan Hauran. Di Mesir, Kristen berjumlah banyak, para penganutnya di Aleksandria jauh mengalahkan jumlah Yahudi. Gereja-gereja tersebar di kota-kota Nil sampai sejauh Philæ dan pada dua oase. Terakhir, Edessa kini menjadi pusat Kristen penting, dan terdapat banyak gereja di Mesopotamia, dan beberapa bahkan berada di luar jangkauan kekaisaran di Parthia dan Persia.