Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 1/Divisi 1/Bab 2
KONSTANTINUS AGUNG
DIYAKINI LAHIR 274; WAFAT 337Nama Konstantinus menandai permulaan era sejarah baru baik dalam kekaisaran maupun Gereja. Transisi dari bentuk pemerintahan lama yang bersifat republik, dengan kaisar selaku pangeran Senat, kepala panglima angkatan bersenjata, Pontifex Maximus, dan banyak lainnya, terhitung dalam sosoknya sendiri selaku kepala jabatan-jabatan republik, menuju bentuk pemerintahan baru yang bersifat despotik cerdas, yang banyak dikaitkan denagn Diokletianus. Ini adalah penguasa yang sangat menonjol yang memandang bahwa waktu telah tiba untuk pembubaran rumus kosong dan penghimpunan seluruh mesin pemerintahan. Diokletianus meninggalkan segala unsur yang menjunjung kesederhanaan perilaku Romawi, dan diperkenalkan kemegahan dan upacara istana dunia Timur ke istana. Dengan mensentralisasi pemerintah, dan kemudian memecahnya, sehingga terdapat dua Augusti—seorang di Timur dan seorang di barat—dan dua Kiasar di bawah naungan mereka, ia menekankan otoritas kekaisaran yang kala Augustus senior wafat, Augustus junior memegang tempat pertama selaku persoalan sebetulnya, dan salah satu Kaisar menjadi Augustus junior. Setiap Augustus menominasikan Kaisarnya sendiri. Seluruh dekrit yang berlaku pada seluruh kekaisaran ditandatangani oleh para penguasa bersama, otoritas tertinggi ditempati Augustus senior. Dalam perjalanannya, tiga laju terjadi: sebagian besar pengerjaan pemerintahan dibagi-bagi; persatuan kekaisaran dihimpun; dan pergantian diatur, dalam metode damai dan tertata. Kemudian, dengan penetapan istananya di Nikomedia, Diokletianus lantas mulai memindahkan pusat acuan di kekaisaran dari Roma ke Timur. Konstantinus naik takhta di bawah keadaan tersebut. Ayahnya adalah Konstantius Klorus, dari keluarga bangsawan Dardanianus, menjadi Kaisar pada provinsi-provinsi Gaul, Spanyol, dan Britania, dan kemudian Augustus. Ibunya adalah Permaisuri terkenal Helena, yang merupakan "Pereka Cipta Salib" telah menjadikannya sosok menonjol dalam seni rupa Kristen. Dengan penggabungan tradisi, ia diambil menjadi putri Britania dengan nama yang sama; namun ia sebetulnya adalah orang Kilikia dan pelayan di sebuah penginapan. Helena disebut sebagai "gundik" Konstantius; namun ia tak selalu dianggap sebagai satu-satunya gundik kaisar. Tak diragukan bahwa mereka adalah pasutri menurut silsilah perkawinan sekunder yang diakui di kekaisaran pada masa itu.
Konstantinus muda dibesarkan di kampung halaman ibunya sampai ia berusia enam belas tahun, kala Diokletianus membawanya ke istana di Nikomedia, dijadikan sandera untuk tindakan baik ayahnya. Kala Konstantius menjadi Augustus, ia mengirim putranya untuk membantunya dalam pemerintahan (tahun 305). Melalui persaingan, Galerius, yang menjadi Augustus senior pada masa itu, benar-benar tak mengkehendaki untuk membiarkannya maju, dan Konstantinus telah diselipkan diam-diam dan mengkhawatirkan wilayah barat kabur dari perebutan ulang. Pada tahun berikutnya (tahun 306), Konstantius wafat di York, menobatkan putranya selaku penerusnya. Di York, Konstantinus dihormati oleh para prajurit selaku Augustus. Kala ia meraih kekuasaan tertinggi, Konstantinus, seperti Diokletianus, menghimpun pusat pemerintahannya di Timur. Pada masa itu, Nikomedia, bukan Roma, menjadi ibukota kekaisaran yang sebenarnya. Kemudian. Konstantinus memutuskan untuk membangun Roma baru. Dengan sorotan cerdik, ia memilih Bizantium sebagai tempatnya, dan membangun kota disana dengan nama Konstantinopel yang mengambil nama dari pendiri terkenalnya. Berada di Bosphorus lewat jalan raya antara Eropa dan Asia, kota tersebut biasanya menjadi kunci menuju gerbang-gerbang kekaisaran di kedua arah. Kota tersebut berada di Eropa, bukan di Asia, seperti halnya kasus dengan Nikomedia. Kami menganggap fakta tersebut bukan tanpa signifikansi. Meskipun hidup sepanjang masa itu, Diokletianus menyoroti wilayah timur dan menempatkan despot-despot Timur dalam metode istananya. Namun meskipun ibunya berdarah Asiatik dan walaupun ia sendiri menjalani masa mudanya di Asia, Konstantinus bersimpati dengan budaya Yunani, dan Konstantinopel menjadi kota Yunani. Dari permulaan dan sepanjang sejarahnya hingga direbut oleh Turki, kota baru tersebut menjadi pusat kehidupan dan pengaruh Yunani. Signifikansi fakta ini sulit dilebih-lebihkan. Kekaisaran Romawi di Timur cepat terkikis dalam despotisme Asiatik mengikuti gaya Persia. Konstantinus menyelamatkannya dari nasib tersebut. Selain itu, ia menekan rentetan kebijakan paling signifikan yang dimajukan oleh Diokletianus; sesambil menyajikan karakter Eropa dari pemerintahan, ia mengakui bahwa pusat acuan harus berada di Timur dan diperlakukan demikian. Dampaknya sangat menonjol pada Gereja seperti halnya pada kekaisaran. Pencabutan dari Romadilarikan dari tradisi pagan Romawi dan pengaruh aristokratik Romawi. Hal ini mematikan pengaruh terakhir Senat. Sehingga, kekaisaran tersebut,kecuali dalam satu unsur vital, hanyalah Romawi dalam hal nama. Penguasa kota tak lagi pada provinsi-provinsi taklukannya. Daerah tersebut menjadi kekuasaan pangeran dan para koleganya, yang berasal dari kebangsaan manapun. Satu unsur vital yang menyajikan integritas seluruh kekaisaran dan penjamahannya terhadap para penguasa Romawi merupakan hukum Romawi. Seperti "kerajaan Allah," pengaruh peradaban besar tersebut timbul "tanpa teramati." Dalam pendiriannya dalam penggunaan sipil lama dari zaman republikan, dan dibangun oleh para yuris yang sangat tidak diketahui sampai terkenal dari zaman Markus Aurelius, ini ditujukan untuk menjadi basis yurisprudensi dan etika masyarakat abad pertengahan dan Eropa modern. Hukum Romawi hanya berdiri kedua setelah Kristen sebagai pengaruh yang merasuki peradaban Eropa. Sistem tersebut didirikan pada masa pemindahan kursi pemerintahan utama ke Timur, yang menyelamatkan dunia dari apa yang dapat menjadi keruntuhan total, dari penggabungan unsur kehakiman Romawi dan penyematan hak pribadi serta publik yang memanfaatkan banjir adat Timur.
Pendirian Konstantinopel utamanya berdampak pada cabang Barat dan Timur dari Gereja Katolik, dan dalam cara yang sangat berbeda. Di Barat, hal ini membawa kebebasan gerejawi, dan membuat kepausan menjadi memungkinkan. Kini, kala kepausan menjadi tirani dalam Gereja, pihak tersebut memberikan batas kebebasan dari tirani pemerintah kekaisaran atas Gereja. Di Roma, Paus kemudian memegang jabatan yang akan tak memungkinkan terhadapnya jika kaisar bermukim disana. Sementara kota-kota lainnya—Trêves, Milan, Ravenna—kemudian menjadi pusat-pusat untuk kekaisaran di Barat, Roma ditinggal sendiri, dengan dampak yang membuat Paus menjadi warga nomor satu dan bahkan mengambil tempat kaisar selaku pemimpin pusat kekuatan dan pengaruh di kota tersebut. Hal ini menjadi tak berimbang pada atribut dan kekuasaan yang diterima kepausan selain penugasan Paus. Pada lebih dari satu krisis Eropa, Paus dianggap menjadi penyelamat masyarakat. Kala lengan kekaisaran lumpuh, kekuatan Gereja menyelamatkan peradaban, dalam menghadapi invasi-invasi barbar. Leo i. dapat melindungi Italia sepanjang ia menjadi pangeran berkuasa, meskipun satu-satunya senjatanya adalah dorongan dan diplomasi. Gregorius Agung menjadi pengaruh menonjol dalam menyelamatkan peradaban di Dunia Lama, serta atas karya misionaris Gereja di kalangan bangsa-bangsa yang baru bangkit di Barat. Hildebrand menganggapnya bahwa sorotan pemenang kekuatan spiritual berseberangan dengan sikap brutal tirani abad pertengahan. Abad Pertengahan diwarnai dengan persaingan jangka panjang antara para paus dan kaisar, dan keseluruhan paus berada pada sudut agama, budaya dan perjuangan. Hal ini menjadi lain kala Abad Pencerahan dan Reformasi disusul oleh kontra-Reformasi. Kemudian, seluruh unsur ketidakjelasan dan despotisme merasukkan diri mereka sendiri dengan kepausan, sementara cahaya, kehidupan dan kebebasan baru digerakkan pada lahan-lahan segar.
Sangat berbeda dengan yang di Timur, di tempat Gereja berkegantungan dengan Negara sepanjang segala masa! Tak diragukan bahwa mereka perlu mengatributkan perseberangan antara sejarah Eropa Timur dan Barat dalam hal perbedaan rasial. Dalam beberapa hal, Timur lebih bersekutu dengan Asia ketimbang Eropa. Sehingga mereka dapat mengakarkan seluruh Gereja Timur dalam sorotan umum. Namun kala ini menjadi kasus yang harus disoroti bahwa pergerakan politik Konstantinus berakhir dan secara efektif memindahkan pusat pemerintahan dari tepi Tiber ke pesisir Bosphorus benar-benar memicu penekanan despotisme sipil untuk memecahkan kebebasan Gereja. Gereja Timur, semenjak zaman Konstantinus, hidup di bawah bayang istana kekaisaran. Sehingga mereka mengambil perlambangan sejarahnya; dan fakta tersebut berakar langsung dari pendirian Roma Baru oleh Konstantinus.
Meskipun hal tersebut masih terjadi sampai saat ini, dan menjadi fenomena paling signifikan dalam kemunculan Konstantinus pad panggung sejarah kala dilihat dalam sorotan besar sepanjang masa, ini menjadi hal lain dari tindakan kaisar tersebut yang menjaring perhatian tokoh-tokoh sezaman. Sosok tersebut benar-benar mengeluarkan ikatan yang melumpuhkan Gereja Timur pada Negara dihormati oleh Kristen pada masanya sebagai emansipator, teman dan pelindung mereka, dan para panegiris menyematkan namanya dengan segala pujian atas jasanya terhadap Kristen.
Kisah perpindahan agama Konstantinus masuk dalam romansa sejarah; namun, seperti kisah romansa lainnya yang dibuat untuk menghalau api kritikan, ini bukanlah tanpa cela. Sanjungan panegiris, kehausan alami akan keajaiban, dan rentetan seni rupa abad pertengahan terpadu dalam niat Konstantinus pada jalan menuju Romawi berdampingan dengan niat St. Paulus pada perjalanannya menuju Damaskus. Kala dilihat dalam sorotan senjarah, entah kejadian tersebut, entah apa yang terjadi, maupun dampaknya, berada dalam jalan yang sebanding dengan krisis menakjubkan dan titik balik dalam karir rasul besar tersebut. Newman berpendapat bahwa keyakinan tersebut merupakan mukjizat nyata, sebuah campur tangan supranatural langsung oleh Allah, pada waktu yang selaras. Namun kala kami menyoroti bahwa bahwa kejadian tersebut merupakan panji perang yang dikatakan menginspirasi Pangeran Damai, dan kala kami melirik sifat sosok berikutnya yang dikatakan disenangi dan seluruh dampak perlindungan Kristen oleh kekaisaran, tak mudah untuk meyakini bahwa semua itu tak menandakan apapun selain jari Allah. Namun, kala kami dayang ke bagian bawah dari sejarah sederhana, hal aneh yang terjadi perlu disoroti, dan bahwa kejadian ini, apapun itu, menjadi kejadian berdampak menakjubkan. Catatan-catatannya beragam; namun itu tak lebih dari harus menyatakan segala laporan independen dari peristiwa yang sama. Apa yang terjadi adalah bahwa, pada Oktober 312, kala Konstantinus berkirab menuju Roma melawan perampas kekuasaan Maxentius, pemenang paganisme, terkadang ditujukan untuk mendorong klaimnya selaku simbol Kristen untuk panjinya dalam pertempuran yang terjadi. Terlepas kami menerima penjelasan yang dituturkan Eusebius, kaisar menjadikannya sumpah—yang mungkin kami tidak terlalu berselaras dengan fakta tersebut—bahwa kaisar "dipandang dengan matanya sendiri selaku trofi salib terang di sorga, di atas surya, dan menyematkan keterangan, "Ditaklukan olehnya," dan menerima penjelasan dari Kristus dalam mimpi; atau memperkuat kepercayaan kami terhadap keajaiban yang masih ada dan sebagian besar catatan Sozomen pada masa berikutnya, yang menyatakan bahwa para malaikat muncul pada waktu penglihatan dan memberikan penjelasan disana dan saat itu; atau jatuh pada pernyataan Lactantius, yang melaporkan laporan terawal dari semuanya, dan yang menyelesaikan segala kejadian dalam mimpi—yang penjelasannya diterima oleh kami, atau apakah mereka berniat untuk memadukan unsur apapun yang terkandung pada mereka, kami tak dapat lari dari kesimpulan bahwa sesuatu hal terjadi mengirim Konstantinus pada keputusan mutlak pada krisis besar sepanjang hidupnya. Mungkin, ada beberapa dampak yang mengherankan dari sorotan surya—seperti itu diketahui astronom sebagai "parhelion," kala silang cahaya nampak terbentuk dari matahari, yang tak mempbuat namun mendorong perasaan kaisar pada masa itu untuk menyambut sebagai tanda dari surga. Itu adalah poinnya. Rasa terkesima terhadap mukjizat fisik telah mendapatkan perhatian dari proses psikologi paling terminati. Tak seperti St. Paulus, Konstantinus tak pernah bertentangan dengan Kristen. Ia diwariskan dari ayahnya perasaan bersahabat terhadap Kristen. Eusebius menyatakan laporannya soal apa yang kaisar katakan kepadanya tentang penglihatan dengan deskripsi kebingungan Konstantinus dan doanya terhadap sinar pada kejadian mengerikan. Tak ada penjelasan yang akan memperbolehkan kami untuk mengaitkan penerimaannya terhadap Kristen dengan pekerjaan negara atau pembuatan kebijakan.
Kala pertempuran di Jembatan Milvian ketika tiran Maxentius dibunuh memberikan kemangan luar biasa Konstantinus, ia merasakan dibenarkan untuk menerima keyakinan Kristen dan mengadopsi lambangnya. Ini menjelaskan bahwa ia menyerahkan nasibnya pada Gereja dengan yakin. Bagaimana keyakinan tersebut merasukinya tak mudah untuk dituturkan. Sinkretisme berikutnya dan perlakuan khususnya terhadap kepercayaan Kristen melarang kami untuk meyakini bahwa ia memiliki pegangan intelektual dalam persoalan ini. Selain itu, ia dengan jujur menerima Kristus selaku Pemimpin Ilahi, dan ia secara konsisten berada pada pihak Kristen dalam perseteruan mereka dengan kaum pagan. Peristiwa tersebut berjalan dalam ranah sejarah sampai menjamah sangat dalam pada pertanyaan soal apa yang disebut perpindahan agama Konstantinus membawakannya perubahan sifat yang nyata. Ia merupakan pasifis berpikiran besar sebelumnya; dan ia masih demikian pada masa setelah itu. Sehingga, ia tak dapat didakwa kejam bahkan usai "perpindahan agama"nya. Mungkin, ia tak bersalah atas pembunuhan istrinya Fausta, namun ia tak menyatakan ketidakbersalahan pada putranya Krispus. Alasan-alasan negara dipakai dalam membela tindakannya dalam persoalan ini. Buktinya, hal ini menjadi pembunuhan politis. Selain itu, dakwaan darah dan darah anaknya sendiri menyelimuti Konstantinus pada masa kehidupan Kristen-nya. Dalam kata lain, ia menjadi sosok terhormat dan terpandang, dan suami kepercayaan, bebas dari segala tuduhan ketidakmurnian di antara cobaan berat istana Timur.
Kebanyakan orang bertindak dari motif campuran, dan tentunya kami tak dapat menyamakan Konstantinus dengan sorotan tunggal terhadap George Washington atau John Bright. Terdapat alasan kuat Negara untuk mendorong kepala pemerintahan untuk mengikuti simpati tanpa keraguannya terhadap Kristen dan kurang lebih keyakinan solih akan kepercayaannya dengan pratek perlindungan. Sejauh ini, ia terdorong untuk menganggap bahwa ini merupakan pihak yang menang dalam konflik pangeran dan golongan. Ia menjadi sandera di Nikomedia kala penindasan Diokletianus terjadi. Ia menyaksikan fanatisisme gila Galerius yang gagal meredam keberanian Kristen; Maxentius sang perampas takhta, dan kemudian Licinius, mitranya, namun juga rivalnya, memerintahkan pasukannya untuk mendukung paganisme. Dengan demikian, ini menjadi kepentingan Konstantinus untuk memiliki pengaruh yang bertumbuh kuat pada Kristen yang tergambar dalam skala dukungannya. Hal ini sangat berperan pada anggapannya terhadap konflik berkepanjangan kekaisaran dengan Gereja, dan memandang bahwa kala waktu telah tibak, tak hanya membuat perdamaian, seperti yang dipandang oleh Galerius dan Gallienus pada masa sebelumnya, namun menerima keadaan tersebut dan mengalihkannya menjadi catatan terbaik. Kami akui kecerdikan keputusan Konstantinus akan kebenaran Kristen dan kejujuran keputusannya untuk menganutnya, dan masih berjalan lama dengan Seeley menyatakan, soal perpindahan agama Konstantinus ke Kristen, bahwa "dengan melakukannya, ia dikatakan menjual gelar tak terkalahkan dengan sebuah piagam. Ia memberi kebebasan tertentu dan ia meraih pergerakan pasif sebagai balasannya. Ia menerima sanksi atas teori pemerintahan Timur; sebagai balasan ia menerima hukum Gereja. Ia menjadi tak bertanggung jawab atas persoalannya pada kondisi yang menjadi pertanggungjawaban terhadap Kristus."
Hal ini dibutuhkan untuk menghimpun posisi ini dan datang untuk beberapa pemahaman jelas dari hal tersebut, karena kami disini bersumber dan bermuara dari sejarah politik Gereja Yunani. Apa yang terjadi pada Gereja, tak hanya hubungannya dengan Negara, namun juga dalam kehidupan dan karakternya sendiri, sebagian besar ditentukan oleh tindakan Konstantinus dalam melindungi Kristen dan keputusan Gereja dalam menerima perlindungannya. Pada titik ini, kami menyatakan bahwa kematian berperan, ujar Rubicon, pada penyegelan nasib dunia Kristen—atau setidaknya Gereja Timur, karena Barat sendiri kemudian mengambil kebebasannya. Sehingga, hal ini diperlukan kehati-hatian dalam menelusuri tahap-tahap perlakuan Konstantinus terhadap Gereja sampai kami mencapai persoalan akhir yang mengecap kebijakan gerejawi kekaisaran pada sepanjang masa berikutnya. Ada empat hal yang dianggap dikarakteristikkan secara terhormat yakni simpati, keadilan, perlindungan, dan pengendalian.
Pada tahap pertama, Konstantinus merasa terpikat pada Kristen dan mengadopsi simbol Kristen; pada tahap kedua, ia memberikan kebebasan agama untuk kemaslahatan Kristen; tahap ketiga, ia memberikan hak, kekebalan dan dana Gereja dari dorongan Negara; pada tahap keempat, ia campur tangan dengan persoalan gerejawi, menteranisasikan para uskup dan kongregasi dan memajukan mereka atas kehendaknya.
Pengakuan iman terbuka pertama Konstantinus terhadap Kristen terdiri dari pengadopsiannya terhadap Labarum menjadi lambang pertempurannya. Lambang tersebut terdiri dari sebuah busur dengan batang menyilang di dekat ujungnya, tulisan emasnya terkandung inisial Yesus Kristus (I dan X) sebagai sebuah anagram () yang ditempatkan di bagian atas dan panji tergantung di bawah potongan menyilang. Usai kemenangannya atas Maxentius di Jembatan Milvian, Konstantinus disambut oleh warga Roma sebagai pembebas mereka dari tirani kejam, dan tak ada yang lebih hangat ketimbang Kristen. Kaisar membenarkan dukungan antisiastik mereka dengan memberikan patungnya sendiri dengan salib di tangannya didirikan di bagian paling menonjol dari kota tersebut. Sebuah keterangan menyebutkan kemenangannya sebagai "tanda keselamatan ini." Konstantinus kini mempertunjukkan keterpikatannya terhadap kristen dalam berbagai kesempatan, dan tak ada penindasan Kristen yang memungkinkan pada masa pemerintahannya.
Ini akan nampak dari frase dalam edik Milan yang pada masa pemerintahan Konstantinus mengeluarkan penjelasan keterpikatan resminya terhadap Kristen. Namun pengumuman hukum yang memberikan kebebasan beragama sepenuhnya pada mereka menyusul pertemuan Konstantinus dengan Licinius di Milan pada 13 Juni 314. Magna Charta kebebasan beragama tersebut menjadi salah satu dokumen paling signifikan sepanjang sejarah. Edik tersebut memberikan kebebasan mutlak terhadap agama, meskipun penyebutan Kristen secara khusus membutuhkan karunia, menyatakan bahwa "Kristen dan seluruh golongan lain harus memiliki kebebasan untuk mengikuti gaya beragama yangsetiap orang dari mereka pandang terbaik." Edik tersebut diberlakukan di seluruh belaahn kekaisaran—kepada segala ras, segala pengakuan iman, segala pemujaan. Tak ada larangan yang berbenturan dengan kepentingan Kristen. Selain itu, edik tersebut mengijinkan masyarakat untuk mengubah agama mereka, mengijinkan mereka untuk memeluk Kristen dan agama lainnya. Terakhir, edik tersebut memerintahkan harta benda Kristen yang disita untuk dikembalikan, "dan dengan tanpa syarat atau kontroversi"; tak ada ahli hukum yang mempermasalahkan harta benda tersebut. Ganti rugi pada para pemegang bangunan Gereja saat ini dibayarkan dari perbendaharaan kekaisaran.
Ini adalah gagasan kebebasan beragama, meskipun bukan "Gereja Bebas dalam Negara Bebas" menurut Cavour. Karena sampai negara tersebut bebas, terdapat kesulitan bagi Gereja untuk lari dari campur tangan Pemerintah bahkan kala pemimpin despotik memulai niat terjujur dari menghormati kebebasannya. Selain itu, pembuatan edik Milan berpengaruh dalam napas liberalismenya. Kala kami membacanya, kami merasa bahwa penulis dokumen semacam itu harus dikelompokkan dengan pikiran langka yang selama berabad-abad memajukan zaman mereka, dan memiliki kecerdikan terhadap gagasan brilian dari cangkupan sebenarnya yang berada di luar prinsip-prinsip mereka sebenarnya. Kecuali untuk penjelasan yang sangat singkat, sebagian besar kandungan edik Milan tak terwujudnyatakan di Barat sebelum Reformasi, dan sehingga bukannya tanpa sedikit perpecahan seperti Baptis, Bapa-Bapa Independen dan Ziarah awal, dan seabad kemudian Quaker. Kami harus menyoroti sosok Belanda William iii. selaku penguasa yang menerapkan apa yang ditekankan oleh Konstantinus dalam edik terkenal dari nyaris seribu empat ratus tahun sebelumnya. Sementara itu, gagasan tersebut tak pernah diwujudnyatakan dalam Gereja-gereja Timur.
Pada kenyataannya, hukum kebebasan beragama tersebut menjadi ijin kekaisaran, yang timbul dari keterpikatan baik Konstantinus. Ini merupakan satu-satunya hukum kekaisaran karena ini merupakan kehendak kaisar. Sehingga dari awal, edikt ersebut berlandaskan pada dasar yang sangat ganting. Dunia tak hanya menerima kebebasan beragama penuh; tak ada golongan di Negara atau Gereja yang benar-benar bersiap untuk memajukannya pada lawan. Kami dapat melihat pada abad keempat soal apa yang sebagian besar dunia Kristen tak terlalu menerima atau bahkan menginginkannya. Sehingga, kami tak harus sepenuhnya terkejut untuk memandang bahwa dari perijinan seluruh agama—dan sehingga membebaskan Kristen dari batasan hukum—Konstantinus dengan cepat berupaya untuk melindungi agama yang secara terbuka dianut olehnya, maupun para pemimpin Gereja yang dengan bangga menerima penerimaannya, tanpa memandang fakta bahwa mereka menjual kebebasan mereka, hanya berjalan dalam sebuah kandang.
Keterpikatan Konstantinus mengambil dua bentuk. Pertama, ia mengkecualikan rohaniwan dari kewajiban memenuhi tugas kewilayahan—sebuah penerimaan yang sangat memberatkan. Ini lantas dinikmati oleh imam pagan, sehingga denagn pemberian hak untuk rohaniwan Kristen, Konstantinus hanya menempatkan mereka setara dengan para pendeta di kuil-kuil lama. Selain itu, kala para pendeta Nonkonformis Inggris mendapatkan pengecualian rohaniwan Gereja Negara dari kewajiban yang diputuskan pada hakim, mereka tak mengaitkannya sebagai pemanfaatan Nonkonformitas. Selain itu, dalam kedua kasus, terdapat pengakuan jelas dari status resmi. perintah Konstantinus mula-mula diterapkan pada Afrika Utara, kemudian memperluasnya ke seluruh belahan kekaisaran.
kedua, Konstantinus memberikan kontribusi dari perbendaharaan kekaisaran untuk pembangunan gereja-gereja dan dukungan terhadap rohaniwan. Pemberian yang sama dikatakan dilakukan kepada kuil-kuil pagan dan para pengurus mereka, sehingga ini menjadi kasus penyumbangan berkelanjutan. Namun, sejauh yang kami ketahui, seluruh keterpikatan Konstantinus dalam bentuk ini adalah untuk ditujukan pada Kristen. Sehingga, ini menjadi kekuatan berbahaya—kekuatan derma. Dalam menerima uang Negara, gereja menempatkan dirinya sendiri kurang lebih di bawah kendali Negara. Disamping itu, keterpikatan tersebut, yang datang dari liberalisme besar Edik Milan yang menjiwai, meskipun tak dalam kata-kata, menimbulkan rasa iri dan peringatan otoritas kuil lama. Sehingga, Konstantinus memusuhi golongan mempertaruhkan kepentingan pribadinya. Golongan tersebut meraih junjungan dari Licinius, Augustus kedua. Licinius hanya dapat memiliki pendukung separuh hati Edik Milan; ia tak dapat mengusik keinginan Konstantinus untuk pengadaannya kala edik tersebut dikeluarkan, yang ia harap dilakukan. Namun pada masa berikutnya, ia menyorot kepentingannya dengan golongan pagan yang tak berdampak, dan dengan lewat dukungan ia kemudian memutus hubungan dengan Konstantinus dan mengklaim kemerdekaan. Sepanjang ia dapat memegang kepentingannya sendiri, ia mendorong kebijakan pagan terbuka, melarang Kristen untuk berkumpul di gereja-gereja mereka, dan bahkan mungkin memberikan hukuman mati pada beberapa kasus. Namun sebelum ia dapat bergerak lebih jauh dalam pengarahan tersebut, kekalahannya atas Konstantinus, disusul oleh kematiannya, mengakhiri reaksi pagan tersebut (tahun 324).
Selaku kaisar tunggal, Konstantinus kini memiliki kebebasan. Untuk kedua kalinya, disertai dengan kemenangan atas pesaing paganisme, ia memutuskan untuk memberikan perlindungan yang lebih empatik pada Kristen. Ia bahkan mengeluarkan perintah agar orang-orang dekatnya menjadi Kristen. Tak ada pertentangan langsung dari edik toleransi dalam dekrit tersebut. Setiap orang masih bebas mengikuti pilihannya sendiri. Namun, dekrit tersebut bersifat nasehat. Masih banyak ditafsirkan. Kemudian, kami melihat Konstantinus campur tangan dalam persoalan pemerintahan Gereja. Pada contoh pertama, ini berada pada undangan Kristen untuk penyelesaian skisma Novatian, sebuah skisma yang utamanya berlandaskan pada pertanyaan akan kedisiplinan. Konstantinus berulang kali campur tangan, dan kala ia melakukannya, ia dengan bijak mengangkat para uskup sebagai para penilai. Meskipun demikian, langkah fatal diambil. Sebelum itu, para kaisar terlihat berurusan dengan persoalan gerejawi atas inisiatif mereka sendiri, tanpa sikap apapun dari Gereja, dan bahkan dalam pertanyaan-pertanyaan doktrin.
Selain itu, Konstantinus secara hati-hati tak sepenuhnya mencampakkan golongan pagan. Ia mempertahankan jabatan Pontifex Maximus dan sehingga mengamankan pengaruhnya di Roma. Ia memiliki gambar dewa surya yang terkandung pada satu sisi koinnya, dengan monogram Kristus dicetak pada sisi lainnya. Ia memerintahkan kantor-kantor pemerintahan dan pengadilan-pengadilan hukum ditutup pada hari raya Kristen, namun ia menyebut hari tersebut dengan sebutan pagannya sebagai "hari pemuliaan matahari." Ia sejauh ini mengarahkan sinkretisme untuk menata dua teisme murni untuk dipakai dalam ketentaraannya. pembentukan Kristen-nya tak pernah sangat terhimpun. Di dalam hati, ia nampak menjadi teis ekletik dengan ketonjolan khas untuk Kristen dan sikap kepercayaan sebenarnya di dalamnya; dan dalam penghormatan tersebut, kebijakan negaranya menggambarkan gagasannya sendiri.
Dampak Kristen pada hukum, selalu seturut dengan kadar konservatif sebuah wilayah tempatnya berada, dengan harapan dimulai di bawah kekuasaan Konstantinus. Kaisar tersebut mengakhiri penyaliban—sebagai penghinaan terhadap salib Kristus, mematahkan kaki para penjahat, dan penjualan budak. Menurut Eusebius, ia melarang pengurbanan kepada berhala, ilahi, menampilkan gambar, dan pertarungan gladiatorial. Namun, hukum tersebut menjadi surat mati; karena tentunya segala hal tersebut berlangsung dari generasi ke generasi setelah zaman Konstantinus. Mungkin, kami memiliki rujukan untuk beberapa tindak salehnya, seperti bahwa ia mengundang seluruh orang dekatnya untuk menjadi Kristen. Namun meskipun Konstantinus melindungi amfiteater pada akhir tahun 323, kala ia memberikan pidato publik, dan dua tahun kemudian melarang pembuatan permainan gladiatorial baru di Spello, Umbria—tindakan penyemangatan terbuka terhadap olahraga kejam tersebut singkatnya tak terlepas di kalangan orang Italia—hal ini tak pernah diberlakukan di kota barunya Konstantinopel. Kemudian, walaupun perbudakan dilanjutkan, para majikan dilarang membunuh atau menyiksa budak mereka, dan pembebasan budak diberlakukan. Tindakan kejam terhadap para tahanan dimitigasikan; mereka tidaklah dirantai untuk dihalangi dari terang dan udara. Tukang hutang tidak didera, dan mereka dibawa ke pengadilan secepat mungkin. Secara keseluruhan, derajat wanita ditingkatkan. Zinah dianggap sebagai kejahatan yang harus dihukum; pergundikan dilarang, hubungan dengan budak perempuan tak dianggap; kebebasan perceraian lama ditiadakan; perkawinan meraih junjungan tinggi; serangan terhadap perawan dan janda tahbisan dijerat dengan hukuman mati. Kemudian, legislasi Konstantinus beralih ke arah kemanusiaan dan kemurnian—dua gagasan khas dari etika Kristen.