Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 1/Divisi 1/Bab 4
ZAMAN ARIAN AKHIR
Kematian Konstantinus (tahun 337), disusul oleh perpecahan kekaisarannya antara tiga putranya, Konstantinus ii. dan Konstans di Barat, dan Konstantius di Timur, memperkenalkan kami pada bab baru dalam sejarah Arianisme. Para penguasa pertama tersebut wafat tiga tahun kemudian kala bertarung melawan saudaranya Konstans, yang kemudian menjadi penguasa tunggal Barat, dan memenangkan kepentingan Athanasian tanpa kesulitan, semenjak Arianisme mendapatkan seluruh dukungannya di provinsi-provinsi Timur. Di sisi lain Konstantius memiliki pemahaman Arian, dan ia menindas ortodoksi yang meraih kemenangan di Nikea pada beberapa tahun sebelumnya. Dalam bertindak, ia banyak dipengaruhi oleh kedengkian terhadap Athanasius, yang mempengaruhi persaingan dengan kaisar tersebut. Ini merupakan kebijakan yang sangat sulit dari penindasan kelompok Nikea oleh Konstantinus, yang selalu disematkan atas nama toleransi, dalam rangka mendorong Athanasian untuk berdampingan dengan Arian. Konstantius yang sombong, angkuh, kejam dan keras kepala tak mampu mewariskan gagasan besar ayahnya. Ia sangat intoleran, menempatkan pengaruh sepenuhnya pada faksi Arian. Namun, mula-mula, ia memutuskan untuk meneruskannya dengan hati-hati dan melakukan tindakan-tindakan pertamanya yang memikat golongan Nikea, sehingga pada kesempatan tersebut, kebangkitannya dapat dianggap sebagai akhir penindasan ortodoksi. Ini bersifat sederhana karena pengaruh para kaisar Barat. Sampai ia meraih kekuasaan, Konstantius tak secara terbuka peduli akan harapan para saudaranya. Sehingga, mereka bersikap paradoks pada pengasingan Athanasius, yang berlangsung sampai akhir masa kekuasaan Konstantinus yang berpikiran liberal, ditangguhkan oleh putranya yang ter-Arianisasi, Konstantius (tahun 338). Kemudian, patriark tersebut disambut kembali ke Aleksandria dalam nuansa populer yang terpadu sebanding dengan penyambutan Yesus kala memasuki Yerusalem. Ini adalah penyambutan jangka pendek. Eusebius dari Nikomedia, juru intrik istana pada masa lampau, memajukan dirinya sendiri untuk mengesankan Konstantius, diangkat pada keuskupan Konstantinopel, dan sehingga menyingkirkan para penasehat kekaisaran yang memiliki pengaruh pemerintahan penuh yang mengesankan golongannya. Percobaan Arian melawan Athanasius disambut positif; namun perubahan baru yang dibawa oleh mereka melawannya memiliki beberapa penunjukan pembenaran. Ia diangkat oleh kekuatan sipil tanpa direstorasi oleh pihak gerejawi usai pengusirannya dalam konsili Tyre. Apa yang dapat menyetarakan dakwaan semacam itu pada golongan tersebut melanggar dekrit-dekrit konsili gereja yang dikedepankan, tanpa memandang uskup-uskup yang menganutnya, dan tanpa ragu menerima campur tangan kaisar untuk mengakhirinya? Masih berhasil; dan Athanasius lagi-lagi dicekal dan seorang Cappadocian, Gregorius, dikirim dari istana, dipaksa memprotes Gereja di Aleksandria di tengah-tengah nuansa kekerasan (tahun 339).
Karena keadaan tak terelakkan nampak di markas besar ortodoksi di Timur, hal ini mengejutkan untuk mengamati bagaimana secara diplomatik Arian bekerja di tempat lain. Dalam pergantian tersebut, beberapa konsili—kebanykan berupa pertemuan—diadakan di berbagai tempat dengan harapan memberikan penyelesaian akhir, dan mengakhiri golongan Arian yang jatuh dan lebih bersikap netral. Di Sardica—kini Sophia (tahun 343), Athanasian benar-benar menjadi mayoritas, dan para lawan mereka hanya dapat memberikan jalan mereka lewat penumpasan timur jauh, ke Philippopolis—terdapat pendaftaran keputusan mereka yang diselaraskan tanpa diusik perlawanan. Ini menunjukkan bahwa misa Gereja selaras dengan Athanasius. Eusebius yang berkuasa wafat setahun sebelum konsili Sardica, dan dua tahun setelah peristiwa tersebut, Gregorius juga wafat—mungkin dibunuh. Hal-hal tak berjalan baik bagi Arian, dan Constans mengambil kesempatan untuk memajukan saudaranya, di bawah ancaman perang, untuk membiarkan Athanasius kembali ke tahtanya. Konstantius sendiri sebetulnya menerima patriark tersebut dengan sangat baik. Namun kematian Konstans pada 350 mengakhiri keadaan tersebut. Kini, Konstantius menjadi pemimpin kekaisaran yang tak tertandingi, Arian memegang kekuatan dan menjadi sangat tersemat dan sangat bersahaja. Setelah memotong janggut dan petualangan romantis, Atanasius kabur ke Nil dan mengungsi dengan para biarawan di gurun. Venerabilis Hosius dan Liberius uskup Roma ditempatkan dalam penahanan sampai kesabaran mereka turun dan mereka sama-sama menandatangani pengakuan iman Arian. Peristiwa tersebut menjadi masa kegelapan bagi keyakinan Nikea. Meskipun demikian, waktu itu tak sepenuhnya hilang. Atanasius benar-benar menarik dirinya untuk menulis beberapa karya pentingnya, termasuk Empat Penjelasan tentang Arianisme dan Sejarah Kesesatannya yang terkenal. Sehingga, hal-hal tersebut timbul selama sebelas tahun, sampai kematian Konstantius (tahun 361) membawa keadaan tak diinginkan dengan berkuasanya kaisar pagan.
Julian, sepupu dan penerus Konstantius, disebut dalam Gereja sebagai "Murtadin." Kala dibebaskan untuk menunjukkan penanganannya, ia bersikap sangat antipati dengan Kristen, setelah nampaknya dibaptis pada masa bayinya—sebuah fakta, jika ini benar-benar terjadi, yang akan sulit untuk membuatnya bertanggung jawab. Kala masa kekuasaan sepupunya Konstantius, ia merasa nyaman, karena ia terikat tanpa ia mengembangkan hati nurani martir yang sangat dini. Namun kala kemudian ia bebas untuk bertindak bagi dirinya sendiri, ia mengeluarkan sikap benci terhadap agama penentangnya. Anggapan dalam apa yang menyoroti Kristen seharusnya nampak pada masa kecil Julian. Ini adalah agama orang yang membunuh ayahnya dan setiap keluarganya kecuali satu saudara, dan itu sebenarnya sesuai dengan kebijakan drastis penguasa Timur dalam menyingkirkan para pesaing berbahaya. Kemudian, Julian tak pernah mengetahui Kristen yang sebenarnya. Aliran yang diajarkan pada masa kecilnya adalah Arianisme; namun ini tak mengartikan unsur terburuk dari kasus tersebut—rasul besar bangsa Goth adalah Arian. Arianisme dapat mempersembahkan aspek atraktif. Namun penguasa muda tersebut terbenam dalam cara-cara kebiarawanan yang beras. Kala ia berjalan keluar, ia menjaga matanya selaras pada jalan dalam rangka menghindari pandangan sombong. Ia tak mengijinkan para pendampingnya dari usianya sendiri. Contoh-contoh pekerjaan Kristen yang disaksikan olehnya dalam lingkup pengaruhnya memiliki sedikit rasa kesalehan. Mereka adalah para kapelan istana—yang mengurusi intrik politik, memajukan partisan teologi polemik, kegerejawian yang pecemburu. Tak ada yang dilakukan untuk dibangkitkan dalam apresiasi Julian terhadap rahmat-rahmat asli injil. Namun ia memutuskan untuk menghadirkan sikap tak berhati yang ia pendam. Siapa yang dapat mengesankan pemuda ini, yang bersikap memberontak, agar dorongan jiwanya menjadi penuh kepahitan? Di sisi lain, larangan menghadiri ceramah Neo-Platonis Libanius, yang menjadi guru terbesar pada masa itu, ia buat salinan-salinannya, membacakan mereka dengan sangat lantang bak "air yang dicuri menjadi manis," dan sepanjang membolehkan dirinya sendiri untuk diam-diam berinisiasi di kuil Artemis. Kala Julian diijinkan untuk pergi ke universitas Athena, ia menempatkan dirinya sendiri pada keantusiasan besar terhadap kehidupan intelektual dari pusat pembelajaran pagan tersebut. Ia mempelajari karya-karya klasik, menyesuaikan diri dengan budaya Yunani, baik mitologi dan filsafatnya. Perbincangan dengan masyarakat pagan yang terliberalisasi di Athena menjadikannya berbalik dengan sikapnya pada hari-hari penahanan lama, di tempat para pengajarnya dijadikan tahanannya. Disana, ia merasa dorongan kehidupan yang lebih besar, bebas dan lincah, cerah dan alami.
Julian tak memiliki ambisi politik. Seperti Markus Aurelius, seorang kaisar filosofis paling agung, ia menekankan panggilan tugas yang mendorongnya untuk menangani urusan praktikal kala ia banyak menjalani kehidupan berkesinambungan. Kesulitan kekaisaran membuat Konstantius menariknya dari pembelajarannya dan menjadikannya Kaisar, Julian berujar, "Wahai Plato, itulah tugas bagi seorang filsuf!" Sehingga, ia menjadi jenderal yang handal kala mengerahkan pasukan di Gaul, yang membujuknya untuk menjadi kaisar melawan sepupunya, dan konflik berdarah akan timbul bila Konstantius tak wafat tempat pada waktu untuk mencegahnya. Mula-mula, ia menyambut seluruh golongan—Kristen dan pagan; karena tirani Konstantius telah menjadi runyam dan tak menentu. Julian memulai masa pemerintahannya dengan proklamasi kebebasan beragama sepenuhnya. "Hembusan dan luka," ujarnya, "bukanlah hal-hal yang mengubah agama seseorang." Dampak pernyataan kebijakan tersebut terbagi dua. Yang pertama, hal ini berujung pada pemulangan para uskup Katolik ortodoks dari pengasingan. Kematian Konstantius menjadi tanda bagi masyarakat Aleksandria untuk membangkitkan pemberontakan dan membunuh George dari Cappadocia, yang, seperti Gregorius pada masa sebelumnya, dipaksa menjadi patriark untuk kepentingan Arianisme. Kemudian, Athanasius dapat kembali ke pangkuannya.
Yang kedua, penindasan agama-agama pagan lama yang dilakukan oleh Konstans dan Konstantius berakhir sepanjang masa singkat kekuasaan kaisar pagan tersebut. Para pendirinya memerintahkan seluruh "penaungan" untuk berhenti di kuil-kuil dan bahkan mengancam orang-orang yang secara pribadi dikurbankan mati—karena mereka harus memahami rujukan-rujukan legasi sebelumnya dalam hukum Theodosian. Namun penindasan aktif tak terjadi di luar penyitaan harta benda untuk dikembalikan tanpa ganti rugi, kerja keras para pemiliknya untuk kali ini sangat berseberangan dengan kehendak Konstantinus untuk memakai dana Negara dalam membeli lagi harta benda Gereja untuk Kristen. Seluruh pengaruh Julian sangat berdampak pada pihak pagan. Seluruh istana diangkat dari orang-orang agama lama; dan di bawah despotisme mutlak, hal ini hperlu banyak diartikan terpisah dari perubahan legislasi apapun. Mengetahui arah angin yang berhembus, para musuh Kristen mengambil banyak tindak kekerasan di beragam tempat, dan selalu dengan pengampunan, dan pemberontakan lokal berujung pada kasus-kasus kemartiran, mengingatkan dengan orang-orang pada masa-masa kelam penindasan Diokletianus. Sehingga, karena menghina kesakralan, Basil dari Ancyra dikuliti hidup-hidup, secara perlahan, tujuh lapis kulitnya dirobek dalam sekali. Psikologi modern akan mengenang beberapa hal soal kisah pemuda bernama Theodore yang disiksa di Antiokhia oleh prefek yang menjabat di bawah perintah dari Julian untuk menghukum orang-orang yang berpengaruh dalam prosesi pengantaran peti mati martir Babylas dari Daphne, di tempat penyakralan hendak membungkam orakel kala Julian menasehatinya, yang sangat mengesalkan kaisar. Rufinus mendapat cerita tersebut langsung dari mulut pelakunya, yang menjawab pertanyaan soal apakah dalam proses pemajuan dan pengumpulan ia tak mengorbankan luka mendalam, berujar bahwa ia merasakan luka tersebut namun sangat kecil meskipun, bagi pemuda yang diberdirikan olehnya mencucurkan keringat dan sangat menguatkannya pada waktu pengadilannya menjadi musim kegemirangan.
Kemudian pada masa kekuasaannya, Julian, yang menyayangkan kegagalan upayanya untuk menghimpun jasad paganisme lama untuk hidup lagi, memulai serangan terhadap Kristen dengan melarang mereka mengajar klasik di sekolah-sekolah, atas teori bahwa kitab paganisme hanya boleh diajarkan oleh orang-orang yang meyakininya. Sehingga ia berujar pada mereka, "Jika kalian merasa kalian menjauh dari dewa-dewi, biarlah kami datang ke gereja-gereja Galilea dan menjelaskan Matius dan Lukas." Untuk mendatangkan hembusan kencang dalam budaya Gereja, dua Apollinaris—ayah dan putra—mengantar diri mereka sendiri untuk bertugas menurunkan kitab-kitab suci dalam ayat, mengadopsi idiom-idiom Yunani Klasik dalam pengerjaannya.
Julian dapat mendorong kekerasan sebenarnya yang tak ia berlakukan pada pertengahan masa kekuasaannya. Kematian dininya kala bertarung melawan Persia timbul sebagai pembebasan besar pada Gereja yang mengkhawatirkan. Ini adalah akhir tragedi aneh. Dengan seluruh niat seriusnya, kaisar tersebut tak membuat pandangan bahwa kehidupannya adalah sebuah kegagalan. Agamanya sendiri menjadi bahan persoalan paganisme gaya lama dan gagasan Neo-Platonik. Ia mengembalikan pemujaan dewa-dewi di banyak kuil yang ditentukan, dan memperbaharui pengurbanan di atas altar yang lama terbengkalai; namun kekeliruan dari semuanya adalah bahwa masyarakat tak menanggapinya. Ia menghalau Kristen dengan penghormatan tiruan, menghimpun hierarki reguler dengan layanan paduan suara dan liturgi dan dorongan untuk mengkotbahi dakwah-dakwah pagan. Ia mendirikan biara dan rumah sakit pagan. Itu semua sia-sia. Tak ada orang yang peduli. Ia memiliki seluruh jiwa revivalis. Sehingga, ia ditertawakan oleh orang-orang dari agamanya sendiri. Ini menandakan bahwa jika ia mempromosikan agama Romawi alih-alih Yunani, ia mungkin meraih beberapa kesuksesan.
Sosok yang aneh!—sekotor-kotornya orang suci, jika hanya Juloian yang menjadi Kristen, tangan kotornya, janggut kusutnya — yang ditertawai orang-orang Antiokhia, pakaian lusuhnya yang jarang diganti, akan memberikannya penghormatan kesucian. Tak diragukan, ia merupakan pengikut agama yang taat, karena ia juga pengurus jujur yang pantang menyerah. Dan sehingga secara langsung, ia meninggal pada seluruh lembaran paganisme yang direnovasi yang ia himpun namun dengan tangan sendiri menjadi rata dengan tanah seperti rumah kartu. Ia dikatakan gagal karena ia memiliki tujuan yang terlalu tinggi. Menganggap bahwa paganisme lama sekarat akibat tindakannya sendiri, ia menghimpun dirinya sendiri menjadi reformatornya serta jawaranya. Ia akan mendukung para pendeta pagan dan menyumbangkan altar-altar dengan pengurbanan; namun kemudian para pendeta tersebut harus melihat penindakan Kristen atas perilaku mereka. Namun mereka tak berharap untuk menghimpun standar kebajikan baru atas nama dewa-dewi lama yang ditinggalkan para pemuja mereka atas hal yang lebih mudah. Kegagalan telak dari upaya terakhir pengembalian paganisme dengan reformasinya untuk jalan beriringan membuktikan bahwa seluruh sistem tersebut telah usang. Dengan segala niatnya, upaya penekanan Julian tak menimbulkan hal baik selain membaringkan jasad. It is true that paganism was not actually extinguished for years to come; indeed it is with us to-day, for it is inherent in human nature. Gereja dapat menempatkan dirinya lewat pengembangan hagiologinya, yang menaungi penjunjungan kuno atas panteon mati. Namun kegagalan Julian menunjukkan sekali secara keseluruhan bahwa pemujaan dewa-dewi lama, terbuka dan diakui, telah ditinggalkan, dan tak kan kembali lagi.
Prajurit sederhana Jovian yang dipilih para tentaranya ke jabatan tinggi kaisar untuk menyelamatkan mereka dari Persia adalah penganut Kristen ortodoks, yang, menurut Theodoret, diwariskan untuk menerima penghormatan sampai ia mendapatkan simpati kristen, dan dengan kebangkitan kekuasaannya, sorotan singkat sinar matahari yang tak diinginkan pada keyakinan rezim lama yang mati takkan kembali. Yak hanya paganisme, namun sekutu singkatnya Arianisme, juga tertekan oleh kebangkitan kaisar yang masuk golongan Nikea. Jovian tak kehilangan waktu dalam mengembalikan kebijakan pendahulunya, memberikan indikasi awal perubahan ini dengan memulihkan Labarum yang disingkirkan Julian. Ia mengeluarkan edik yang memberikan kebebasan beragama penuh pada warganya. Ini adalah kebangkitan kenegarawanan berpikiran besar Konstantinus; hal ini membolehkan Arianisme dan bahkan paganisme—yang ditindas Konstantius. Kekebalan rohaniwan dikembalikan dan pemberian uang publik untuk para janda dan perawan tahbisan di Gereja diperbarui. Jovian mengeluarkan dekrit yang menghukum mati siapapun yang memaksa para perawan agar menikah atau bahkan merencanakan pernikahan mereka. Atanasius kini menjadi sosok teragung di Gereja. Usai mengijinkannya kembali ke Aleksandria, Julian merasa pengaruh kuatnya menghalangi rencananya dan mencapnya sebagai "musuh besar dari para dewa." Kami harus membedakan tindakan ini yang jelas-jelas menjadi kilasan penindasan pagan terhadap Kristen dari banyak serangan Arian yang ditujukan melawan Atanasius. Dengan kenaikan tahta Jovian, uskup besar tersebut menjadi bebas untuk kembali ke jabatannya. Kaisar melayangkannya surat penyambutan hangat, dan memberikan jawaban darinya yang menyatakan bahwa keyakinan ortodoks berlawanan dengan Arianisme.
Sialnya, keadaan hal-hal tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang sangat pendek. Jovian meninggal akibat kecelakaan hanya usai memerintah delapan bulan, akibat sesak kala tidur di ruangan yang dipanaskan dengan pemanas batubara. Ia digantikan oleh perwira militer, Valentinianus (tahun 364), yang bersifat ortodoks dan toleran. Namun, Valentinianus menyerahkan provinsi-provinsi timur kekaisarannya kepada Valens saudaranya, yang merupakan Arian taat yang dipengaruhi oleh istrinya, seperti yang dituturkan oleh Theodoret. Disamping kenyataan tersebut, Valentinianus dapat membujuk Valens untuk bergabung dengannya dalam penandatanganan edik yang memerintahkan agar "orang-orang yang mengabdi di bidang Kristus takkan ditindas maupun ditekan, dan bahwa para pengawa Penguasa Besar tak dijauhkan." Setelah itu, kami dikejutkan bahwa Valens seharusnya dibiarkan untuk menindas golongan Nikea, dan Gibbon memajukannya untuk menyudutkan gagasan bahwa ia melakukannya sebelum kematian Valentinianus, yang terjadi pada tahun 375.Namun, ia merasa ragu terhadap pernyataan tak terelakkan para sejarawan Gereja, yang sepakat dalam menyebutkan tindak kekejaman, termasuk orang yang nyaris melakukan kejahatan barbar, seperti yang dilakukan semasa hidup kakaknya. Cerita perbuatan tersebut terjadi pada delapan puluh orang—Theodoret sebut "presbiter"—yang didatangkan sebagai buangan ke Konstantinopel dikirim ke laut dalam kapal tak berawak dan disana dibakar sampai mati oleh orang yang menyertai mereka di kapal lain dalam rangka mengeksekusi mereka dalam cara mengerikan (tahun 370).
Meskipun kami diturunkan untuk meyakini ketakjuban cerita—dan tak mudah untuk menerimanya bahkan pada pernyataan positif otoritas kami—tak ada yang dapat dipertanyakan kala keributan terjadi di Aleksandria usai kematian Valentinianus telah meninggalkan Arian pada separuh wilayah Valens dari kekaisaran tersebut bebas dari segala perlawanan. Kaum pagans mengambil kesemaptan untuk menyatukan pasukan dengan lawan-lawan gereja ortodoks, dan seluruh pasukan hanya akan siap untuk merebut pilihan pembagian mereka dalam pergerakan apapun yang terjadi. Penekanan umum menarik kami untuk menyebutkan unsur-unsur bawah dari masyarakat, kumpulan kota yang runtuh, yang tak meliputi Kristen namun "bida'ah" yang ia anggap tak merahmati dirinya sendiri. Kemudian, gerombolan tersebut menyerbu gereja St. Thomas; seorang pemuda berbusana wanita menari di altar; pemuda lain duduk tanpa busana di kursi uskup, di tempat ia secara terbuka berkotbah secara tak pantas kepada kerumunan yang disertai dengan tawaan terhadap apa yang mereka anggap lelucon bagus; para perawan gereja dilucuti, dikumpulkan, didera. Pada kenyataannya, kengerian Bulgaria dan Armenia ditimbulkan oleh kejahatan Alexandria yang dilakukan atas nama teologi Kristen. Pada ketegangan tersebut, sebuah upaya dilakukan untuk merebut Athanasius, namun sekali lagi pria tua tersebut kaburlewat mukjizat, dan kali ini ia menyembunyikan dirinya sendiri di makam ayahnya. Pernyataan terbaik pada bobot pengaruh uskup besar tersebut nampak dalam fakta bahwa usai seluruh kejadian ini, Valens memutuskan untuk membiarkan Athanasius kembali ke kelompok tercintanya. Ini adalah akhir pengembaraannya. Meskipun penindasan Arian masih timbul di tempat-tempat lain, namun patriak mulia Aleksandria dapat menanganinya sendiri tanpa penjamahan lebih lanjut hingga kematiannya pada tahun 373. Tidak ada pahlawan romansa yang pernah muncul melalui petualangan paling aneh dan lolos dari jeratan. Dicap oleh empat kaisar — Konstantinus, Konstantius, Julian, dan Valens—selaku sosok berbahaya, dibenci dengan niat pembunuhan oleh faksi Arian, tak kurang dari lima kali dibawa ke pengasingan, Athanasius selalu menghimpun dampak dari golongannya, dan sepanjang penindasan lama yang diketahui di seluruh dunia sebagai jawara sebenarnya keyakinan Nikea. Ia bukanlahteolog menonjol seperti halnya sosok sezamannya Hilary di Barat, maupun sebagai golongan Kapadokia dari generasi penerus di Timur; namun tak diragukan ia merupakan pria yang sangat besar, menunjang integritas, keyakinan taat, keberanian tanpa kendala, kenegarawanan bijak, kepedulian berhati besar; sosok utama pada zamannya, dan salah satu Kristen terbaik, terbenar, terkuat di dunia yang pernah dilihat.
Atanasius mengabdikan hidupnya untuk melihat perubahan menonjol dalam persaingan Arian dan beberapa modifikasi posisi ortodoks, meskipun posisinya sendiri masih berlandaskan pada dasar pengakuan iman Nikea pada masa mudanya. Arianisme terpecah dalam banyak golongan dengan sudut pandangnya sendiri. Ketonjolan paling berpengaruh adalah golongan Semi-Arian, yang terdorong untuk merumuskan gagasan-gagasan jalan tengah yang nampak pada masa konsili Nikea dalam penjelasan pengakuan iman yang diberikan oleh Eusebius dari Kaisarea kepada Gerejanya. Tak adil menyebut sejarawan tersebut sebagai Semi-Arian. Tak ada golongan yang dapat menyematkan nama tersebut yang diketahui pada masanya: ia menerima pengakuan iman, kemudian Semi-Arian ingin merombaknya, meskipun ia menjelaskan kata pengujiannya homoousious dengan caranya sendiri, dan ia hidup dan mati dalam persekutuan dengan gereja ortodoks. Pengamatan Semi-Arian adalah Homoiousios—"seperti dalam esensi." Sarkasme Gibbon terhadap perpecahan Gereja sedangkal kepahitan. Perbedaan mencolok dalam pengucapan melibatkan perbedaan pengartian seluruh dunia. Tak ada yang dipertanyakan bahwa dengan Athanasius mengartikan homoousious sebagai identitas esensi atau substansi, sehingga Ia yang berasal "dari esensi" Bapa tak hanya mengingat Bapa namun tak terpisahkan dari hal esensial Bapa. Sehingga ia berkata, "Kita tak harus membayangkan tiga unsur pembagian Allah, seperti di kalangan orang, yang memandang mereka sendiri reka cipta beragam dewa-dewi, namun dengan aliran timbul dari air mancur dan tak terpisah darinya meskipun ada dua bentuk dan nama," dan menjunjung "identitas Putra dengan Bapa-Nya sendiri."
Sebuah dakwaan kemudian dinyatakan tak selaras dengan penerapan fakta tak dipertanyakan yang menjadi contoh-contoh kata homoousios yang dipakai oleh Athanasius dari beberadaan terpisah dalam esensi identitas pada sifatnya. Ia dianggap memberikan penggunaan penekanan sebelumnya dari kata tersebut dan akan membolehkan siapapun seperti ortodoks yang mengadopsinya bahkan dalam esensi yang diterapkan manusia ke manusia. Namun jika tergerak—dan Atanasius tak memiliki simpati dengan sifat verbal dan benar-benar menjunjung kepentingan pengamalan dan perdamaian—ia tak harus menyepakati posisi Semi-Arian, karena ia tak menerima Semi-Arian itu sendiri apalagi Arian yang dianut sepenuhnya.
Kemudian, dua golongan lainnya timbul. Yang pertama, Arian ekstrim yang memegang posisi mereka dan mempertajam antitesis mereka melawan jalan tengah Semi-Arian. Sehingga, mereka sepenuhnya mengubah taktik mereka. Pada masa sebelumnya, Athanasius menuduh mereka berpaling dan berbahasa tak jelas yang dipilih dalam rangka melemparkan debu ke mata lawan mereka. Ini adalah kebijakan mereka di konsili Nikea kala mereka memandang diri mereka sendiri selaku minoritas tanpa harapan, dan ketidaktaatannya menjadi salah satu tuduhan paling memberatkan melawan mereka oleh Athanasius dalam Orations buatannya. Namun pada masa kebangkitan Arian di bawah kekuasaan Valens, keadaannya sangat berbeda, dan kini Arian ekstrim, yang nampak tak membutuhkan kompromi lebih lanjut, datang jauh-jauh untuk menyatakan bahwa Putra "tak sama dengan" Bapa, dan sehingga ia dicap "Anomœan." Mereka juga disebut "Aëtian," yang diambil dari nama Aëtius seorang deakon di Antiokhia, yang sangat bersengketa dengan penekanan logika Aristotelian murni yang umum mengkarakteristikan Arianisme dengan masalah-masalah mutlaknya, dan sehingga menyatakan bahwa Putra adalah makhluk, ia harusnya tak seperti Bapa, bukan hanya dalam esensi, namun juga dalam kehendak.Nama lain yang diberikan pada ultra-Arian adalah "Eunomian," yang diambil dari nama Eunomius uskup Cyzicum, yang lebih jauh, menghiraukan segala misteri dalam agama dan meyakini bahwa manusia dapat mengetahui banyak sifat Allah seperti yang dapat dipahami oleh Allah Sendiri.
Keluarbiasaan semacam ini berujung pada pemberontakan pemikiran. Golongan istana memegang ranah yang lebih politis. Terkadang disebut "Acacian" yang diambil dari nama Acacius penerus Eusebius dari Cæsarea, mereka memajukan pandangan menengah dan samar nyaris dari sejarawan besar, yang datang ntara Semi-Arian dan Anomœan, meskipun dalam penekanan yang sangat berbeda. Mereka berujar bahwa Putra seperti Bapa,—dan sehingga disebut "Homœan,"—dan untuk menunjang definisi lebih lanjut, yang berdampak pada berbalik jatuh pada bahasa Kitab Suci dan mengecam Semi-Arian disamakan dengan uskup-uskup Nikea untuk menyelesaikan istilah tak alkitabiah. Namun kini terlamat untuk permohonan konservatisme yang Arius upayakan untuk dimenangkan pada para pastor daerah di Nikea. Para Homœan dianggap sebagai politisi kejam dan licik, yang benar-benar bersepakat dengan Arian ekstrim, namun berpisah dari mereka kapanpun sesuai keinginan mereka. Keberadaan golongan semacam itu dalam pengaruh di istana bahkan di bawah kekuasaan Valens adalah landasan bahwa keyakinan Nikea memiliki pegangan masyarakat yang kuat secara keseluruhan; dan perpecahan Arianisme manjdi faksi-faksi antagonistik menguntungkan menjadi tanda sempurna dari keruntuhannya yang diinginkan, karena ini juga menjadi bukti bahwa tembakan dan peluru yang dilontarkan oleh para teolog ortodoks besar menjadi karya mematikan melawan posisi Arian. Tiga golongan tersebut—Homoiousian, Anomœan, dan Homœan—melalui antagonisme antar mereka disiapkan untuk kemenangan Homoousian.