Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 1/Divisi 1/Bab 9

BAB IX

ORGANISASI DAN IBADAH

Gereja yang dianggap sebagai persaudaraan sederhana Kristus kini berkembang menjadi organisasi hierarkial yang sangat disanjung. Kekristenan asli dengan harapan keselamatan mendatang diambil pada keberlanjutan dengan keanggotaan dalam Gereja Katolik. Keanggotaannya dinaungi oleh pembaptisan, dan menaati pengarahan disiplin. Ortodoksi dalam kepercayaan dan pembenaran yang ditoleransi dari tindakan merupakan keadaan yang diakui, kegagalan terkait hal yang tersebut dapat dihukum dengan ekskomunikasi—khususnya pengecualian dari kehadiran di Perjamuan Kudus. Namun pada kenyataannya, disiplin tersebut nyaris diyakinkan pada pertanyaan ortodoksi, dan itu nyaris dikhususkan di kalangan rohaniwan; sehingga kebanyakan keadaan timbul di kalangan kaum awam, yang, walaupun disorot dalam hal pastoral, terkadang mendera penghakiman ekstrim pengusiran dari Gereja. Dalam kata lain, dari komunitas terpilih yang dicurahkan untuk kehidupan suci, Gereja menjadi naungan pada dunia Kristen, khususnya dengan kekaisaran yang dianggap sebagai Kristen, meskipun sebetulnya hanya sebatas dibaptis. Kemudian, pria dan wanita yang menginginkan kehidupan yang lebih tinggi mulai memisahkan diri mereka sendiri dari Gereja tersekulerisasikan. Sehingga, mereka tak menghimpun gereja dalam Gereja. Mereka menjalani kehidupan astektis, entah terpisah atau dalam komunitas. Orang-orang tersebut—yang dapat kita lihat pada bab berikutnya—kebanyakan lari dari disiplin gerejawi. Sebagian besar biarawan melepaskan diri dari para uskup.

Pusat sistem hierarki tersebut adalah uskup; rohaniwan yang lebih rendah adalah padrinya; namun, rohaniwan yang lebih tinggi merupakan uskup kota-kota penting dengan otoritas luas atas uskup-uskup mereka. Episkopasi menjadi karakteristik esensial organisasi Gereja.

Rohaniwan melingkupi segala ranah kehidupan. Tak ada pelatihan khusus yang dianggap perlu untuk melaraskan mereka untuk tugas-tugasnya, dan beberapa datang langsung dari karya sekuler untuk mengurusi perkara Gereja. Di kota-kota kecil, para uskup menjalankan kehidupan untuk penghidupan mereka—sebagai petani, gembala, penjaga toko, dll. Hal ini secara khusus memerintahkan agar uskup tak boleh mengabaikan kelompoknya dengan mengunjungi parokinya untuk keperluan bisnis, mengambil kepentingan untuk penawaran, atau menurunkan daya tawar dari pekerjanya. Sehingga, kami membaca dalam Kanon-kanon Athanasius: "wahai imam lewi, mengapa engkau menjual atau membeli? Kuberikan padamu buah-buah sulung dari semuanya," dll. Sehingga, keunggulan dari jabatan tersebut terjadi pada beberapa kasus karena penghormatannya; dan para uskup ingin agar uang yang diberikan pada mereka harus dipakai untuk membantu para janda dan yatim biatu atau kebutuhan pihak lain yang membutuhkan. Konsili Kalsedon terang-terangan melarang uskup, imam, dan biarawan untuk melakukan perdagangan. Pada abad keempat, uskup yang diberikan adalah orang yang berrumah tangga. Sehingga dalam Kanon Atanasius, pernyataan Paulus kembali dinyatakan "uskup harus bebas dari segala hal bercacat, menikahi satu istri," dll; dan lagi "para imam harus memperlakukan diri mereka sendiri seturut para rasul yang ditahbiskan; sehingga uskup haruslah bebas dari kesalahan, menikahi satu istri," dll. Ayah Gregorius dari Nazianzus adalah uskup kota tersebut. Sebetulnya, kasus biarawan yang menjadi uskup adalah hal yang berbeda.

Kala pelatihan perguruan tinggi tak dianggap dikhususkan sebagai persiapan untuk pelayanan, uskup paling terkenal adalah sosok berpendidikan tinggi. Budaya sastra timbul di Kaisarea, Aleksandria, Konstantinopel, dan semuanya berada di Athena; pelatihan teologi diambil usai hal tersebut berada dalam satu aliran teologi besar, di Aleksandria, Antiokhia, atau Edessa. Zaman kanonikal untuk imamat dan keuskupan menjadi keperluan. Salah satu kanon Sardika (tahun 346, 347) memerintahkan bahwa jika pria kaya atau pakar hukum yang diperlukan sebagai uskup yang tak harus dilantik sampai ia diangkat lewat tingkat-tingkat melalui jabatan pembaca, deakon, dan imam, dan bahwa ia harus menjalani waktu yang dibutuhkan dalam setiap tingkat pelayanan. Namun aturan peringatan tersebut seringkali dikesampingkan, dan para pakndidat khawatir akan peringkat rendah kala pelantikan mereka bermasalah. Para uskup mendadak dipilih oleh kongregasi-kongregasi mereka; namun seringkali mereka diangkat oleh metropolitan provinsi mereka, dengan kerjasama dari para uskup tetangga. Meskipun imamat rohaniwan kini diakui secara luas, pemisahan sosial mereka dari kaum awam berjalan lambat dan bertahap. Mula-mula, mereka tak mengenakan busana khas. Pada permulaan abad kelima, beberapa orang dari mereka mulai mengenakan busana yang lebih megah alih-alih bergaya pada masa itu. Sehingga, mereka nampak seperti Puritan atau Quaker di kalangan gay pada masa kita. Hieronimus mengecam kekhasan busana tersebut. Pada abad keenam, pencukuran rambut dilakukan. Rohaniwan kini dilarang memiliki rambut panjang pada masa mereka. Rohaniwan yang melajang hidup bersama di bawah naungan uskup mereka dan tidur di ruangan umum.

Uskup memimpin gerejanya sendiri dan juga wilayah sekitar, yang dikenal di Timur sebagai "paroki", bukan "keuskupan"—kata yang diterapkan dalam bidang politik pada wilayah besar kekaisaran. Hal ini berfungsi untuk melantik dan mentahbiskan rohaniwan rendah. Ia menjadi bendahara dana Gereja dan penjaga doktrin dan disiplinnya. Suara para uskup yang menetapkan pengakuan iman dan kanon-kanon disiplin dalam sinode-sinode. Uskup-uskup memiliki hak dan kekebalan tertentu. Mereka tak disumpah dalam ruanhg pengadilan; mereka dapat bertindak sebagai perantara, mereka memimpin pengadilan Gereja. Setiap uskup sangat dipercayakan pada parokinya sendiri. Mereka datang dengan sejumlah uskup di suatu distrik semacam itu, maupun dengan rombongan yang dihimpun Gereja Barat pada masa berikutnya kala seorang prelatus menjadi tuan rumah tetamu Gereja. Hal tersebut dengan jelas dilarang di Kalsedon.

Persatuan Gereja utamanya dipersembahkan lewat interkomunikasi antara para uskup dan pertemuan mereka bersama dalam sinode lokal atau konsili besar. Sinode dan konsili tersebut tak diadakan dalam gaya Presbiterian modern dalam pertemuan reguler untuk transaksi bisnis biasa, dalam setiap peristiwa pada masa permulaan. Mereka menjadi pihak khusus yang dimajukan pada persoalan untuk penyelesaian perbedaan. Namun konsili Kalsedon memerintahkan agar sinode harus diadakan dua kali setahun. kalakonsili ekumenikal selalu diadakan oleh kaisar, sinode lokal dipanggil bersama oleh para uskup dari gereja-gereja utama di daerah-daerah terkait.

Uskup kota utama di sebuah provinsi dikenal sebagai "metropolitan," dan ia dinaungi uskup agung dari sebuah provinsi di Barat. Fungsi khusus metropolitan adalah untuk bertindak dengan uskup lainnya dari provinsinya dalam uskup-uskup tahbisan—perhatiannya sangat khusus pada pemilihan sah; untuk menaungi para uskup dan bertindak kala disiplin dibutuhkan; mengadakan dan memimpin sinode-sinode; mengkomunikasikan keputusan sinode ke metropolitan lainnya.

Terakhir, mereka memiliki patriark, yang bahkan lebih tinggi ketimbang metropolitan, dengan tugas-tugas terkait, yak ni untuk menahbiskan satu sama lain dan metropolitan; untuk menghimpun penaungan tertinggi dan disiplin atas bagian gereja mereka; memimpin sinode besar dan konsili ekumenikal; untuk berkomunikasi satu sama lain dan bekerjasama untuk persatuan dan ketentraman Gereja, namun tak selaku komite pemerintahan bersama, karena pada penetapan terakhir, setiap pihak bersifat independen dalam lingkupnya sendiri; untuk melayani selaku jaringan hubungan dengan Negara, berkomunikasi dengan kaisar dan pemerintah sipil.

Dalam cara ini, kami melihat segala bagian Gereja Katolik terhubung bersama, sementara sejumlah aturan daerah diijinkan untuk uskup-uskup individual. Rohaniwan rendah bertanggung jawab langsung pada uskup mereka sendiri. Meskipun bebas dan independen di bawah kondisi biasa, para uskup terikat oleh kanon-kanon konsili, dan mereka dikhususkan menaungi pengakuan iman; karena mereka adalah penjaga ortodoksi dari ortodoksi mereka sendiri menjadi bahan persoalan tertinggi. Sehingga dalam kontroversi teologi utama, terjadi pertikaian antar-uskup. Pada masa krisis, dalam kedaruratan khusus, para metropolitan dapat campur tangan dengan para uskup provinsi mereka; dan dalam perkara besar yang berdampak pada seluruh Gereja atau cabang-cabangnya, para patriark mengambil tindakan.

Kebanyakan sistem tersebut berkembang pada zaman ante-Nicene. Satu unsur yang menjadi berpengaruh secara khusus pada masa berikutnya adalah patriarkat. Terdapat lima patriarkat. Dari antara mereka, hanya satu sosok di Barat—patriark Roma. Yang lainnya di Yerusalem, Antiokhia, Aleksandria, dan Konstantinopel. Uskup Romawi memimpin prefektur-prefektur Italia dan Galisia; namun Milan dan Ravenna—yang berada pada ibukota kekaisaran—serta Afrika Utara, lama mempertahankan kemerdekaan mereka. Patriark Yerusalem adalah pengecualian. Ia hanya memimpin wilayah yang sangat kecil, memegang jabatannya untuk mengurusi kotanya. Patriark Antiokhia mengurusi urusan lima belas provinsi yang terdiri dari Siria, Kilikia, Arabia, dan Mesopotamia; patriark Aleksandria menaungi sembilan provinsi Mesir; patriark Konstantinopel memiliki sebanyak dua puluh delapan provinsi di bawah kendalinya, yang terdiri dari tiga keuskupan kekaisaran Pontus, Thrace, dan Asia Kecil.

Pada masa konsili Nikea, hanya ada tiga patriark—yakni di Roma, Antiokhia, dan Aleksandria. Meskipun tempat pertamanya diperkenankan kepada Roma, mereka dianggap setara, dalam pengakuan adat yang ada. Kanon vi. dimulai sebagai berikutnya: "Silahkan adat kuno diterapkan di Mesir, Lybia, dan Pentapolis; sehingga uskup Aleksandria memiliki yurisdiksi atas seluruh provinsi tersebut, karena ini juga merupakan adat untuk uskup Roma. Seperti jalnya Antiokhia dan provinsi lain, silahkan gereja-gereja tersebut mempertahankan prerogatif mereka." Konstantinopel tak seketika muncul. Pembangunan kota tersebut baru rampung lima tahun usai konsili tersebut (tahun 330). Separuh abad kemudian, patriarkat ibukota kekaisaran baru tak hanya diakui dalam konsili ekumenikal kedua—konsili Konstantinopel (tahun 381); namun patriarkat tersebut dianggap lebih tinggi ketimbang senior-seniornya di Timur dan diasosiasikan dalam jenis keutamaan ganda dengan Roma. Kanon ketiga dari konsili tersebut bertutur sebagai berikut: "Uskup Konstantinopel harus memiliki prerogatif peringkat berikutnya setelah uskup Roma; karena Konstantinopel adalah Roma baru."

Yunani umumnya menafsirkan kanon tersebut sebagai penerapan ketiadaan perendahan atas kota mereka sendiri dengan memberikan esensi temporal pada preposisi μετά. Dalam karya itu sendiri, penafsiran tersebut nampak rapuh; namun ini nampak dikonfirmasikan oleh bahasa yang kurang ambigu pada konsili berikutnya. Konsili Kalsedon (tahun 451), dalam Kanon xxviii., kala merujuk kepada "prerogatif gereja paling kudus Konstantinopel, Roma baru," dekritnya adalah sebagai berikut: "Bagi para Bapa Gereja benar-benar memberikan prerogatif pada takhta Roma yang dituakan, karena kota tersebut adalah ibukota. Dan 150 uskup paling relijius, diperlakukan dengan rancangan yang sama, menghimpun prerogatif setara pada takhta paling kudus dari Roma baru, dengan memutuskan bahwa kota tersebut dihargai selaku kedaulatan Senat, dan menikmati hak setara dengan kekaisaran Roma yang dituakan, seharusnya dalam persoalan gerejawi juga diperlakukan demikian, dan diperingkatkan setara dengannya." Disini, kami memiliki ambiguitas dalam pemakaian proposisi μετά; namun dalam kasus ini mengikuti istilah kesetaraan yang tak ambigu. Sebetulnya, rekonsiliasi tidaklah terlalu sulit dari dua bentuk ekspresi bahwa Roma singkatnya dianggap sebagai primus inter pares. Dua patriark tersebut sebetulnya berperingkat setara; namun penekanan tertentu diberikan kepada uskup Roma, karena dalam kasus ini, esensi temporer μετά diperkenankan.

Dua fakta penting harus dicatat disini. Mula-mula, kesetaraan esensial patriark Roma dan Konstantinopel; kedua, dasar politik murni dari kesetaraan tersebut. Ini adalah peringkat kekaisaran dari kota baru yang memberikan martabat pada uskupnya. Roma Baru tak memiliki Santo petrus; tak ada kekuasaan penting; ia didukung dalam kasus kebutuhan dengan beberapa hal yang sangat berbeda dari hak mistik—lewat kekuatan pedang. Sehingga dari permulaan, kami memandang Erastianisme dari gereja di Konstantinopel.

Mula-mula, persaingan dengan Roma yang jauh tak terasa. Alexandria mengirim kembali penghormatan seturut dengan patriarkat yang dijunjung. Kami melihat bagaimana kontroversi-kontroversi teologi abad keempat dan kelima diwarnai dengan kedengkian pribadi para patriark Aleksandria dan konstantinopel, dan kala dinyatakan, persaingan dari kota-kota yang dipimpin oleh mereka makin melebar. Kemudian, kami mengembangkan perpecahan nasional dan rasial, Koptik di Mesir menyatakan pertentangan terhadap Yunani di Konstantinopel. Antiokhia tak secara langsung berkaitan dengan persaingan mematikan antara dua patriarkat Barat yang bersaing tersebut. Kala kami menetapkan komunikasi lewat jalan besar lalu lintas perdagangan, Laut Ægea, ibukota Siria kembali ke naungan Timur. Meskipun demikian, ia memiliki perbedaan besar dengan Aleksandria, dan ia secara langsung dikaitkan dengan Konstantinopel, sehingga ia lebih berpihak pada patriarkat kekaisaran.

Pada tahun 550, Yustinianus menyatakan hak penerimaan banding kepada patriark Konstantinopel dari patriark lainnya. Pada masa itu, dibekingi oleh kekuatan otokrat, uskup kota utama kekaisaran diancam menjadi paus yang sebenarnya, dalam esensi berikutnya dari gelar mereka. Ini akan membutuhkan penekanan kala tak ditujukan pada Konstantinopel, namun Roma, ditakdirkan untuk mengembangkan asumsi besar atas supremasi universal atas Gereja. Kota tersebut dipandang selaku kota reruntuhan, diatur oleh kaisar, target balas dendam para pasukan invasi berturut-turut, dijarah dan dimiskinkan, dengan nasib di ujung tanduk, jika bukan kepunahan, dengan takhta episkopalnya dan seluruh klaim Petrusnya. Sementara itu, metropolis brilian di Bosphorus, dengan basilika-basilika dan istana-istananya, kekayaannya, pengeluarannya, kemewahannya, tak hanya menjanjikan untuk mengambil peringkat pertama secara politik dan sosial—yang disiapkan dengan sangat berdampak—selain juga mengamankan keutamaan gerejawi. Tak ada pihak yang kemudian dapat mengimpikan kemenangan membanggakan dari seorang Hildebrand. Namun Gereja Latin tak pernah menguasai Konstantinopel kecuali pada masa berikutnya, dan kemudian hanya berlangsung singkat dan berunsur kekerasan.

Persaingan antara dua patriark tersebut timbul pada krisis akut sebelum akhir abad keenam. Beruntungnya bagi Gereja Barat, salah satu Paus terbesar kemudian duduk di kursi Petrus. Ia adalah Gregorius Agung—paus misionaris yang sepenuhnya menyinari Inggris Selatan dengan Injil. Ia juga merupakan pahlawan Italia yang menyelamatkan Roma dari Lombard kala Eskark di Ravenna dengan tanpa harapan gagal untuk mengusir pasukan invasi tersebut. Kemudian, ia mengikuti tradisi brilian dari pendahulu terbesarnya, Leo I., penyelamat Roma yang nyaris ajaib dari bangsa Hun. Kemudian, Gregorius dianggap selaku Bapa Gereja Latin terakhir. Jika bukan teolog asli, ia tetap memegang peran kunci teologi abad pertengahan, dan meninggalkan karya-karyanya nyaris dalam seluruh catatan doktrinal yang diselaraskan pada Abad Pertengahan. Sosok yang menonjol dan paling dipihakkan kini maju selaku jawara kebebasan Gereja, menegur klaim-klaim luhur dari saudaranya di Konstantinopel.

Gregorius datang ke kota kekaisaran tersebut pada masa sebelumnya dengan tujuan membantu pasukan kaisar untuk mempertahankan Roma dari pasukan invasi Utara. Kala ia menyaksikan pengangkatan asketis terkenal, "Yohanes the Faster," ke tampuk patriarkal. Tak ada tuduhan dakwaan yang dibuat melawan karakter patriark tersebut, yang dikatakan berkepribadian sederhana dan tak ambisius. Namun ia memajukan klaim-klaim tertinggi untuk jabatannya, klaim-klaim yang sepenuhnya sangat berbahaya karena mereka dikerahkan dari individualitasnya sendiri dan menyatakan rasa kesetiaan terhadap Gerejanya. Dalam mengadakan sinode di Konstantinopel pada tahun 588 untuk menyelesaikan persoalan Gereja di Antokhia, Yohanes memegang gelar "Uskup Agung Universal." Gregorius mengecam apa yang ia anggap sebagai kekhususan gelar tersebut. "Aku harap pada Allah yang Mahakuasa," tangisnya, "bahwa kehendak Yang Mulia Tertinggi akan mendapati celahnya." Ia mengirimtawaran pada patriark tersebut dalam tulisan kepada kaisar yang disebut olehnya sebagai "tindakan manis dan sederhana", yang ia ujarkan, "kejujuran dan kemurahan hati terpadu," menjanjikan banding untuk Gereja jika hal ini gagal. Gregorius juga menulis kepada Kaisar Maurice dengan menyatakan bahwa gelar "Uskup Universal" bersifat karangan dan tak terdengar, dan berlawanan dengan pernyataan injil yang bersifat menghina, dan selain itu, menjauhkan patriark dan uskup lain dari penghormatan pada mereka. Dalam kedua surat tersebut, ia mengklaim gelar tersebut diberikan oleh konsili Kalsedon kepada uskup Roma, namun tak pernah dipakai olehnya. Sehingga, seperti yang ditekankan oleh Gieseler, adalah sebuah kekeliruan—dalam cara yang dimengerti Gregorius—untu gelar yang umumnya dipakai untuk seluruh patriark.

Kejadian tersebut ditekankan sebagai contoh keagresifitasan kepausan, dan Gregorius mendakwa keangkuhan dan ambisi imamat. Namun pandangan semacam itu tak dibiarkan maupun dibenarnya. Ia memang memakai bahasa kuat dalam penjelasannya; namun para patriark terbiasa menulis pada satu sama lain dengan dorongan moral dan dalam nata otoritatif kala mereka meyakini bahwa mereka membenarkan Gereja di belakang mereka. Gregorius tak membuat klaim langsung untuk dirinya sendiri atau jabatannya. Fakta mengherankan adalah kala gelar "Uskup Universal" mula-mula diterapkan, hal ini bukan oleh paus Roma, namun oleh paus Konstantinopel, dan bahwa patriark Roma menegur saudaranya, bukan untuk merebut gelar yang dipakai dirinya sendiri—walau ia menyatakan bahwa hal tersebut ditawarkan kepada pendahulu—namun karena mengadopsi hal yang tak berhak diambil oleh uskup, karena itu merupakan pelecehan terhadap para rekan uskupnya. Gregorius disini menindak para lawan kepausan dengan argumen-argumen yang didorong untuk dipakai melawan klaim-klaim berlebihan terhadap orang-orang yang menduduki takhtanya sendiri pada masa berikutnya.

Sisi demi sisi dalam perkembangan organisasi Gereja, terdapat peningkatan penyamaan ritus dan upacaranya. Dalam penerapan ibadah, berbagai fungsi ditujukan pada tatanan rohaniwan berbeda, berdasarkan pada tempat mereka dalam skala hierarki yang dijunjung. Di gereja-gereja kota, para uskup berada di puncak kongregasi mereka sendiri mengambil tempat utama dari fungsi tunggal, dan, sesuai aturan, mengkotbahi jemaat mereka. Seluruh upacara peribadatan dipusatkan pada Perjamuan Kudus. Ini dikenal sebagai "misteri" sesuai penjelasannya. Ini merupakan fakta yang sangat signfikan bahwa, dalam Kristen Roma, dengan penghormatannya terhadap hukum dan otoritas, disebut pemimpin jawatan agamanya dalam Sakramen, atau sumpah kesetiaan, saudara Yunani-nya memakai kata yang familiar pada orang-orang sebagai gelar ritual rahasia yang hanya disaksikan lewat inisiasi dan penjagaan secara hati-hati dari unsur vulgar. Sehingga kata tersebut, yang dalam Perjanjian Baru selalu diartikan kebenaran yang dulunya tersembunyi, namun kini melalui Kristus dibongkar sejarah terbuka, datang dari ketonjolan gereja perdananya dan dipakai bersama dalam esensi pagan konvensionalnya. Selain itu, terdapat perkiraan pertumbuhan pada ritual pagan dalam upacara-upacara Gereja dan perasaan sadar terhadap yang dilakukan oleh mereka. Perayaan kasih, kala orang kaya dan miskin duduk berdampingan dalam acara santapan umum, sesambil mereka memperingati kematian Allah mereka dengan menyantap dan meminum sejumlah roti dan anggur atau susu yang disediakan untuknya, memberikan tempat fungsi tunggal dari potensi mukjizat. Baptisan dijadikan hak untuk berbagi dalam misteri yang ditekankan tersebut, sebagai pelepasan yang dibutuhkan untuk orang-orang yang melaksanakan upacara rahasia Demeter di Eleusis. Imam di altar dianggap menampilkan tindak berdampak yang sebenarnya. Meskipun doktrin keberadaan nyata tak secara formal dan resmi diumumkan dan diatur oleh Gereja, hal ini kini sangat umum dilaksanakan dan sangat diajarkan.

Pada abad keempat, kami melihat sifat mistis tubuh Kristus diperlakukan dengan melibatkan doktrin transubstansiasi, meskipun pernyataan tersebutt elah lama memiliki pengartian resmi dan konfirmasi selaku dogma Gereja. Hal ini telah ada sejak zaman yang lebih kuno. Bahkan seawal-awalnya paruh pertama abad kedua, kami mendapati Ignatius memakai bahasa ekstatis soal tubuh dan darah Kristus yang membayangi gagasan tersebut ditujukan untuk menjadi faktor utama keyakinan Katolik. Guru-guru Aleksandria Klemens dan Origenes menyatakan pengartian simbolis dari persekutuan; dan kemudian Eusebius pada abad keempat, seperti kala ia menyebut "pengenangan" pengorbanan Kristus, "lewat lambang tubuh dan darah-Nya yang menyelamatkan." Di sisi lain, Atanasius menunjukkan tanda-tanda dari unsur mistis yang dikaitkan dengan unsur tersebut, khususnya sebagai sumber kekekalan lewat dampaknya pada tubuh mereka kala mereka ikut serta. Kemudian, ia berbicara soal "altar suci, dan di antasnya roti dari sorga, dan kekelahan, dan yang memberikan kehidupan bagi seluruh pihak yang melibatkannya. Tubuh-Nya dan seluruh tubuh kudus"; dan sehingga di bagian lain, ia menyatakan bahwa sangat menekankan kenaikan untuk menggambarkan sosok dari pemikiran penyantapan tubuh. Buktinya, mereka berada pada tahap transisi. Beberapa orang memikirkan hal lainnya, dan pikiran yang sama berkisar antara konsep simbolis dan mistik.

Basil terbiasa pada perayaan perjamuan kudus dan manfaat keikutsertaan sehari-hari di dalamnya; namun ia jauh dari penyebutannya terhadap dampak yang sangat magis tanpa memandang gagasan intelijen. Sehingga ia berkata, "Dengan tanpa melakukan penghormatan, ia memanfaatkan sosok yang datang pada perjamuan kudus tanpa memahami firman seturut dengan keikutsertaan tubuh dan darah Tuhan yang diberikan. Namun, ia yang ikut serta tak lantas mengecamnya"; dan lagi-lagi, secara lebih definitif, "Apa yang menjadi manfaat kekhasan pada orang-orang yang menyantap roti dan meminum cangkir Allah? Untuk mempertahankan kenangan berkelanjutan dari-nya yang wafat bagi kita dan bangkit lagi."

Namun kini kami beralih ke saudara Basil, Gregorius dari Nisa, kami mendapati nada yang sangat berbeda. Gregorius adalah seorang Platonis dan Origenis yang antusias. Namun disini, ia sepenuhnya beralih dari simbolisme aliran Aleksandria yang sederhana. Kami terkadang diujarkan bahwa dogma transubstansiasi berasal dari Konsili Lateran Keempat, pada akhir abad ketiga belas. Itu adalah kebenaran yang berkaitan dengan pengerahan otoritatif dari penerimaannya di Gereja kepausan, walaupun Berengar dikecam pada lebih dari seabad sebelumnya (tahun 1059) karena menyangkalnya. Cendekiawan abad pertama tersebut adalah sosok pertama yang mengupayakan penjelasan metafisika dari doktrin tersebut. Namun gagasan esensial tersebut nampak sepenuhnya dihembuskan pada awal abad keempat, dan tidak ada hal yang menjadi perumusannya yang lebih diatributkan kepada Gregorius dari Nisa. Penanggalan dan Bapa Gereja asli ini menulis, "Tubuh Kritus berubah menjadi daging Allah lewat penyampaian Allah Firman. Aku melakukannya dengan baik dalam meyakini bahwa kini roti Allah juga merupakan Firman, yang kala ditahbiskan, berubah menjadi tubuh Allah Firman." Bersama dengan pernyataan transubstansiasi, Gregorius juga memiliki gagasan dampak mukjizat yang dihasilkan lewat santapan Ilahi pada orang-orang yang menerima perjamuan kudus. Kemudian ia berujar, "Seperti halnya sedikit ragi, seperti yang diujarkan rasul, berubah dan berbaur dengan seluruh dagingnya sendiri; sehingga tubuh Kritus yang diserahkan oleh Allah kala kematian, datang ke tubuh kita, berubah dan menjadikannya semua dalam sifatnya sendiri. Karena kala unsur destruktif diwarnai dengan suara (tubuh), semuanya diwarnai dengan tak membuat keuntungan darinya, sehingga tubuh abadi juga datang di dalamnya yang menerimanya, merubah seluruhnya juga dalam sifatnya sendiri. Namun sehingga, ini tak memungkinkan hal apapun untuk datang ke dalam tubuh kecuali kebaikan yang bercampur dengan hidangan yang disantap dan diminum. Sehingga, hal ini patut untuk diterima, dalam cara yang memungkinkan pada sifat kita, kekuatan Roh Kudus yang menuntun kita." Kami dapat sangat terdorong pada pernyataan penggunaan Sakramen yang lebih materialistik. Namun, kami harus mengamati semuanya seturut dengan materialistik yang berujung pada pandanagn teologi. Tubuh Kristus berubah menjadi tubuh komunikan yang harus menyelamatkan gelombang kematian dan dapat dibangkitkan. Sehingga, menyantap dan meminum bahan-bahan Perjamuan Kudus oleh Kristen dilakukan untuk mengamankan tubuhnya yang ditujukan orang Mesir dengan cara pembalseman, apa yang para Firaun akan dengan ragu membuatnya dengan sarkofagus granit dan piramida masif.

Apa yang dikerjakan oleh Gregorius dari Nisa yang dijelaskan dan diberlakukan dengan diterima dan sering dikotbahkan oleh Krisostom, dan sehingga menjadi doktrin normal gereja. Barat tak lampat untuk mengadopsi gagasan yang sama. Mereka memiliki pergerakan terhadap mereka dalam tulisan-tulisan Hilarius; dan Ambrosius menyatakan hal-hal aneh dari dampak ajaib dari unsur-unsur yang dikeramatkan. Selain itu, dengan doktrin yang banyak diartikan untuk Gereja Latin pada sepanjang masa berikutnya, seperti kebanyakan doktrin lainnya, para teolog Yunani yang mula-mula memberikan pernyataan mutlak terhadapnya. Selain itu, keyakinan akan transubstansiasi tak membuat jalan tanpa kesulitan dan pertentangan pada beberapa ranah. Contohnya, Palladius menyebut seorang birawan tua dekat Sketis yang sangat menekankan dua rekannya karena tak dapat menerimanya. Mereka sepakat untuk berdoa sepekan agar peragu tersebut dapat diterangkan. "Dan Allah menggetarkan keduanya," ujar Palladius. "Dan kala sepekan dipenuhi, mereka datang pada Hari Tuhan ke gereja, dan ketiganya bediri bersama di satu meja, dan pria tua itu berada di tengahnya. Dan mata mereka terbuka, dan kala roti ditempatkan pada meja suci, hal ini menampakkan pada ketighanya hanya sebagai kanak-kanak, dan kala presbiter mengulurkan tangannya untuk memecah roti, lo! sesosok malaikat Allah turun dari sorga dengan pedang dan menghunus kanak-kanak tersebut sebagai kurban, dan menuangkan darahnya ke cangkir. Namun kala presbiter memecah roti menjadi potongan-potongan kecil, malaikat tersebut juga mulai memotong kakank-kanak tersebut menjadi potongan-potongan kecil; dan kala mereka mendekat untuk mendapatkan hal-hal suci yang memberikan daging yang berdarah kepada pria tua sendiri; dan ia menangis seraya berkata, 'Aku percaya. Allah, roti itu tubuh Engkau dan cangkir itu darah Engkau.' Dan di pertengahan, daging di tangannya menjadi roti seturut dengan misteri, dan ia ikut serta, memberikan terima kasih kepada Allah. Dan pria tua tersebut berujar kepadanya, 'Allah tau sifat manusia, yang tak dapat menyantap daging mentah, dan pada catatan ini mengubah tubuh menjadi roti dan darah-Nya menjadi anggur bagi mereka yang menerima keyakinan.' Dan mereka berterima kasih kepada Allah seturut dengan pria tua agar ia tak kehilangan para rekannya; dan ketiganya datang dengan rasa gembira dalam sel-sel mereka." Disini, hal tersebut didorong agar Berengarius, Wycliffe, dan para Reformator diseturutkan oleh biarawan skeptikal tua tersebut. Titik penekanan dalam cerita tersebut adalah bahwa keraguannya dipatahkan oleh penghilatan dalam jawaban atas doanya. Ini harus dimaknai sesuai dengan banyak keajaiban biarawan lainnya yang diisi oleh Palladius dalam laman-lamannya. Tak ada orang yang berprasangka dapat membaca ceirta tersebut tanpa meyakini dan menaati tiga biarawan berpikiran sederhana tersebut. Hal ini dibawakan kepada kami di luar wadah sejarah untuk mengamati ranah-ranah psikologi, dan disitu mereka harus diisikan untuk meninggalkannya.