Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 1/Divisi 2/Bab 6
SKISMA BESAR
Fakta paling berkenang dalam sejarah dunia Kristen pada Abad Pertengahan adalah perpecahan antara Gereja Timur dan Barat. Kala kami melirik dua persekutuan besar tersebut, masing-masing saling mengklaim dirinya selaku gereja murni, kami memandang mereka sangat umum mereka menunjukkan tindakan yang benar-benar irekonsilasi yang mereka utamakan satu sama lain. Dalam disiplin, upacara, dan doktrin, mereka lebih dekat ketimbang Katolik Roma dan Protestan, nyaris mendekati Anglikan Tinggi dan Gereja Injili. Keduanya berhubungan episkopal, sakramental, ortodoks dalam pengakuan iman historis. Pernyataan Gereja Timur dikatakan ortodoks dan bahwa Katolik Barat, yang pihak tersebut disebut "Gereja Ortodoks Suci," dan lainnya "Gereja Katolik." Untuk beberapa hal perbedaan sebutan tersebut menjadi tanda pembedaan dalam sifat esensial dari gerakan yang diwakili oleh mereka. Yang satu secara khusus menyoroti pertahanan pengakuan iman, lainnya dengan penakann penyatuan murni. Dan sehingga Gereja Barat menghimpun ortodoksi dalam klaim kebanggaannya terhadap kesucian, dan Timur sama-sama tak intoleran terhadap bida'ah, skisma, atau insubordinasi. Perpecahan tersebut menyusul berabad-abad komunikasi yang sangat saling menguntungkan, dan secara bertahap meliputi banyak pemikiran umum dan kehidupan patristik dari yang mereka temukan dalam setiap cabang besar tersebut. Kala kami mendapati perpecahan dini mereka, kami teringat pada kiasa terkenal Coleridge dalam Christobel—
"Mereka berdiri teguh, menyisakan cakaran,
Bak tebing yang telah didaki,
Laut mengerikan kini mengalir di antaranya."
Dalam mencari sebab perpecahan besar dunia Kristen tersebut, kami terkejut kala menyaksikan bagaimana beberapa hal insignifikan dan tak berpengaruh di antara mereka. Pertikaian pribadi antar dua patriark, sebuah langkah kemajuan besar dalam penerapan klaim sebutan, dan terakhir dari kesemuanya, sebuah penekanan mendalam pada pengartian Tritunggal—ini adalah beberapa pengaruh yang sepanjang waktu lewat dampak kumulatif mereka menimbulkan perpecahan besar, seperti air mengalir yang memisahkan pada zaman lampau sepanjang memisahkan seluruh pegunungan. Selain itu, kami tak harus menghimpun hasil akhir pada ranah persoalan yang sebenarnya. Peristiwa berbagai kejadian—setiap pihak itu sendiri nampak sangat tak berpengaruh—dalam serangkaian kedatangan beberapa abad yang menekankan keberadaan sebab menonjol yang timbul. Terbentang mendalam, bergerak lambat, berunsur raksasa, berjalan sepanjang abad, bekerja dengan ketidakselarasan nasib.
1. Yang pertama dari sebab tersebut yang harus kami tempatkan bersifat rasial. Adalah benar bahwa ras Yunani dan Latin nyaris berkerabat, para anggota Arya umum yang meliputi India, Persia, dan Eropa. Namun dalam sejarahnya, pada zaman mereka berada, ras tersebut bergesekan sendiri atau tak berpadu dengan unsur-unsur asing. Orang Latin timbul dan bertransformasi dengan terpadu dengan darah Jerman yang dihasilkan dari invasi Gothik beruntun. Di sisi lain, orang Yunani berpadu dengan ras Utara dan Timur, khususnya Slav dan Armenia serta suku bangsa Asia Barat lain. Mungkin Yunani kini menjadi minoritas populasi Yunani, kalah jumlah oleh Slav. Konstantinopel berhenti menjadi kota Yunani selain dalam bahasa dan budaya. Kewarganegaraannya menjadi lebih Timur ketimbang Yunani, dan khususnya Armenia. Para penguasa terkuat dari Kekaisaran Romawi yang menyerukan agar Bizantium menjadi penduduk asli Asia Kecil. Sehingga, simpati alami dan kedekatan dua cabang Gereja tersebut sepanjang berabad-abad saling menjauh.
Kami melihat kenapa pada permulaan Kekristenan yang lebih bebas, Paulin, yang diemansipasi dari Yahudi, adalah Grecian. Sastra abad pertama dan kedua di Roma dikomposisikan dalam bahasa Yunani. Gereja-gereja Lyons dan Gaul terpisah dari koloni Yunani di Marseilles, dan uskup terkenal mereka Irenæus adalah orang asli Smyrna yang menuturkan bahasa Yunani, yang menulis karyanya Melawan Bida'ah dalam bahasa Yunani. Sastra Kristen Latin mula-mula muncul di Afrika utara pada beberapa tahun kemudian. Bida'ah-bida'ah besar Gereja nyaris semuanya timbul dari cabang timur Gereja, dan meskipun mula-mula mereka menyebar ke Roma dan tempat Barat lainnya, pada pertengahan abad keempat, mereka berhasil dipukul mundur lewat sistem hierarkial yang didirikan di Barat. Barat mengalami skismanya pada pertanyaan disiplin—mula-mula Novatian, kemudian Donatis, dan satu bida'ah besarnya, Pelagianisme, yang menyoroti sisi manusia dari agama. Timur menjunjung ortodoksi Gereja. Pengakuan Iman Rasuli berkemabng di barat, namun disesuaikan dengan ajaran kateketikal, yang mungkin bermula pada penyesuaian Timur sebelumnya. Barat juga—nampak pada biara di Lerins—melahirkan Pengakuan Iman Atanasian; namun ini lebih ke arah kidung yang dilantunkan oleh sudut mazmur pujian Latin besar lainnya, Te Deum, yang tak dianggap pengakuan iman Gereja sepenuhnya. Pihak yang menguji pengakuan iman adalah Nikea, dan ini adalah Timur. Penerapan terbesarnya berada di Timur. Setelah abad keempat, selain kekuatan Ambrosius, dan kecerdikan masif, Agustinus, pusat intelektual gravitasi Gereja berada di Timur. Roma menerima rangkaian doktrin Tritunggal dari Timur. Adalah benar bahwa melalui sorotan yang menginspirasi kebijaksanaan politik ia melangkah dalam kenangan kritis dan mengujarkan kata yang menetapkan ortodoksi seluruh Gereja sepanjang masa berikutnya; karena Tome karya Leo menyepakati keputusan Kalsedon. Namun, anggapan yang diterima Paus besar tersebut dari Timur bahwa ia mampu menaungi dokumen kekekalan tersebut. Setelah itu, Barat, yang menghadapi masalah penerapannya sendiri, memandang perbedaan menonjol soal rambut-memicu kontroversi Gereja Timur. Ia dianggap selaku ortodoks, dan lagi-lagi ia terpacu dengan kata otoritas yang menyelamatkan keadaan. Namun mula-mula, Nestorian dari Efreat, dan kemudian Monofisit di Mesir dan Siria, berpisah, Roma menjadi kurang memiliki hubungan vital dengan apa yang kini disebut sebagai Gereja Bizantium, yang identik dengan wilayah Kekaisaran Bizantium.
2. Pengaruh kedua bekerja dengan bertahap namun dengan dampak tak terelakan terhadap dampak Gereja menjadi pemisahan Kekaisaran Timur dan Barat, disusul oleh pembubaran Kekaisaran Barat secara perlahan, dan kemudian pemulihan mengejutkannya selaku kekuatan independen, tak lagi menjadi Kekaisaran Romawi secara keseluruhan selain namanya. Proses tersebut dimulai kala para kaisar berhenti memperlakukan Roma selaku pusat pemerintahan. Diokletianus sepenuhnya meng-Orientalisasikan pemerintahan dengan markas besarnya di Nikomedia. Namun fakta paling signfikan dalam hubungan tersebut adalah pendirian Konstantinopel. kala Konstantinus memindahkan pusat pengaruh sosial dan kehidupan intelektual, serta pusat pemerintahan, dari tepi Tiber ke pesisir Bosphorus, ia mulai membuat pergerakan yang tiada henti. Kemudian, keadaan tersebut diwarnai dengan invasi Gothik—pendirian kerajaan Gothik, hanya menjadi bawahan kaisar di Timur selaku penguasa berdaulatnya—kegagalan eksark di Ravenna untuk menaungi Italia dari pergerakan bangsa Hun—dan mula-mula meneruskan Leo, kemudian Gregorius, dalam menerjang dan menyelamatkan peradaban dan Gereja, kala pelindung yang diangkat oleh mereka di Konstantinopel menghimpun pertahanan yang tak diandalkan. Sementara di Timur, Gereja menjadi makin dan makin teridentifikasi dengan kekaisaran. Mereka mengikatkan tangan dan kaki sesuai kehendak kekaisaran. Para kaisar dan permaisuri melantik dan menggulingkan para aptriark dan uskup. Gereja Bizantium berubah menjadi badan birokratik yang sangat terorganisir Kekaisaran Biznatium. Sebetulnya, Barat bertanya. Kenapa Gereja Latin yang bebas harus mengikatkan diri dengan cara-cara penaungan Gereja Yunani? Jika kaisar tak dapat melindungi Gereja di Barat, tak ada alasan kenapa ia tak harus menjadi independen dari para pelayannya di Timur. Kala Paus memahkotai Charles Agung selaku kaisar di Roma pada hari Natal, tahun 800, ia memisahkan diri dengan kaisar di Konstantinopel, yang memandang Frank menjadi perampas takhta. Lagi-lagi sorotan politik luar biasa Roma dijadikan pembenaran. Ini tak berguna untuk melirik Adriartik selaku pelindung melawan Lombard; kemudian penjelasan bijak mendapati keamanan dalam kekuatan yang bangkit di sepanjang Alpen. Namun harga untuk aliansi baru tersebut telah terbayarkan. Sehingga, kepausan, dengan seluruh impiannya menjadi Gereja universal, harus menerima sendiri kenyataan bahwa pengaruh dominan hanya ada di gereja-gereja barat, dan memandang paruh dunia Kristen lainnya sepenuhnya berada di luar lingkup otoritasnya.
3. Pengaruh ketiga berkaitan dengan pergesekan dua gereja tersebut terdeteksi dalam persaingan antara patriarkat Roma dan Konstantinopel, dan khususnya klaim-klaim yang dimajukan oleh kepausan. Kami memandang bagaimana Gregorius Agung bergesekan dengan John the Faster, kala patriark tersebut mengklaim gelar "Uskup Ekumenikal." Sebelumnya, meskipun tak berniat mengeluarkan klaim penyebutan yang sama, para paus membuat tuntutan besar atas dasar suksesi mereka pada kursi Petrus. Konsili Sardika (tahun 344) memberikan hak banding pada wilayah uskup yang digulingkan oleh paara uskup sejawatnya kepada Yulius uskup Roma. Namun ini adalah bahan sengketa soal apakah ini hanya ditujukan untuk menyebut paus tertentu atau juag para penerusnya, dan kemudian bagaimana ia dapat mengambil inisiatif tersebut. Dalam konsili tersebut, Gereja Timur serta Barat nampak terwakili. Terdapat para uskup dari Mesir, Arabia, Palestina, Thessaly, dan wilayah Timur lainnya. Namun semenjak para uskup Eusebia menarik diri dan Hosius dari Cordova memimpin, terdapat kemungkinan mayoritas uskup Barat kala pelaksanaannya menyatakan persetujuan. Kemudian, Leo Agung (tahun 440–461) memajukan klaim kepausan tinggi, menyebut Petrus dan para penerusnya meletakkan batu di atas Gereja yang didirikan. Petrus adalah pastor dan pangeran seluruh Gereja. Perlawanan terhadap otoritasnya adalah tindakan tak terpuji dan layak masuk neraka. Dianggap beberapa kali Paus membaut tuntutan besar dalam berbagai cara, sulit untuk memikirkan Gregorius Agung sepenuhnya memisahkan diri kala ia menarik saudaranya di konstantinopel karena secara arogan menyebut dirinya "Uskup Ekumenikal." Gregorius mengklaim beberapa jasa karena tak mengadopsi sebutan untuk dirinya atas dasar bahwa hal itu telah diperkenankan pada para paus sebelumnya. Namun, penjelasannya tidaklah akurat, karena pemakaian istilah tersebut pada masa sebelumnya bersifat generik, diterapkan pada seluruh patriark, pertanyaan yang kini beralih pada pemakaian eksklusif darinya tentunya untuk satu patriark.
Konflik antara paus dan patriark mencapai kondisi akut pada abad kesembilan. Ignatius, patriark Konstantinopel berdalih untuk menarik kekekalan Cæsar Bardas, enggan mengikuti sakramen dengannya pada Minggu Advent tahun 857. Tak ada gerejawan di Gereja Timur yang dapat mengikuti kekebalan contoh menonjol Amborsius di Barat, kala ia mendirikan pintu gerejanya dan enggan masuk dengan Kaisar Theodosius. Ignatius ditangkap dan ditahan atas dakwaan pembangkangan palsu, dan pada saat itu, kaisar menominasikan dan sinode secara resmi memilih sosok paling menonjol untuk kepemimpinan Gereja Bizantium. Ia adalah Photius, yang sangat diperlakukan buruk oleh kelompok kepausan, namun sosok yang benar-benar nampak berkepribadian tinggi, meskipun angkuh dan ambisius. Bergantung pada pemahaman di gereja yang telah membanggakan dirinya atas pembelajarannya , Photius menyebut kurang lebih 280 pengarang pagan dan Kristen yang karya-karyanya telah dibaca olehnya. Ia hanya berada di peringkat kedua setelah Yohanes dari Damaskus di kalangan gerejawan utama pada zaman Biznatium akhir. Jika Yohanes adalah Bapa Gereja terakhir, Photius dianggap menjadi pemimpin terdidik terakhir berpangkat pertama dalam Gereja Yunani. Tulisan-tulisan kontroversialnya menguak perhatian intelektual yang timbul dari pengetahuan dan budaya superior, yang tak ia persoalkan untuk menunjukkan kesepakatan dengan penekanan rekanan baratnya, paus, seorang sosok yang lebih rendah darinya dalam hal pembelajaran dan kekuatan otak. Disini, kami melihat perampungan Yunani terhadap peradaban Latin.
Photius adalah orang awan kala ia mendadak dipanggil untuk menjabat di Gereja. Namun, ia lahir dan berpangkat selaku sosok bangsawan, dan ia kemudian memegang jabatan jurutulis utama negara. Ia berjuang melewati peringat-peringkat kecil dengan menghadang hal-hal terskandalisasi, mengambil satu langkah sehari, sampai ia dipromosikan ke peringkat tertinggi secara keseluruhan. Ambrosius adalah orang awam kala ia terpilih menjadi uskup Milan lewat aklamasi, dan meskipun ia mengambil beberapa waktu untuk persiapan dan promosinya tak terlalu secepat Photius, ini menjadi nyaris sama. Dalam kedua kasus, kemampuan menunjang dalam pemerintahan urusan sipil diambil sebagai kualifikasi untuk regulasi pemerintahan Gereja. Namun, terdapat satu perbedaan vital antar dua kasus tersebut. Ambrosius dipilih oleh rakyat Milan dalam majelis populer; namun Photius dipaksakan pada rakyat Konstantinopel oleh pemerintah.
Pelaksanaan tingkat tinggi tersebut menghadapi perlawanan serius, dan dalam rangka menyelesaikan persoalan tersebut, Kaisar Mikael mengundang Paus Nikolas i., untuk mengirim para delegasi ke konsili umum. Hal ini dilakukan, dan konsili diadakan di Konstantinopel pada tahun 861. Konsili tersebut menggulingkan Ignatius, meskipun ia didukung masyarakat, dan keputusannya diratifikasi oleh para delegasi kepausan. Kemudian teman-teman Ignatius, yang dikatakan, perwakialn sebenarnya Gereja Yunani, mengajukan banding pada Paus, yang melontarkan para delegasinya, dan mengadakan sinode di Roma, yang memutuskan pemilihan Ignatius, dan memberlakukan ekskomunikasi terhadap Photius dalam kasus bahwa ia harus menuruti peralihan patriarkat tersebut (tahun 863). Photius menjawab dengan menyatakan kesetaraan pangkat patriark Roma dan Konstantinopel. Kaisar mengadakan konsili lain di Konstantinopel pada empat tahun kemudian, yang dihadiri para perwakilan patriark Antiokhia, Aleksandria, dan Yerusalem; dan konsili tersebut menyatakan pernyataan penggulingan terhadap kepausan Roma. Namun Photius berada dalam posisi genting, hanya dapat bertindak atas dukungan pelindungnya Mikael; dan kala itu dihapuskan lewat pembunuhan kaisar, ia ditangkap dan ditahan di sebuah konven, dan Ignatius memulihkan patriarkat tersebut. pada tahun 869, sebuah konsili diadakan di St. Sophia, yang disebut oleh pihak Latin sebagai "Konsili Ekumenikal Kedelapan." Konsili tersebut mengecam Photius dan menyatakan hak Ignatius selaku patriark Konstantinopel.
Penyelesaian persoalan tersebut berakhir bahagia. Para patriark pesaing sama-sama benar0benar menjadi orang baik, dan mereka secara mutlak terekonsiliasi. Bahkan Igantius, yang lebih kuat ketimbang kepausan, tak dapat melakukan campur tangan arogan terhadap Paus Yohanes viii. dengan karya misionaris Gereja Yunani yang dilakukan di Bulgaria dengan kesuksesan menonjol; dan Paus mengancam untuk mengekskomunikasikannya juga, kala kematian mendepaknya dari perbedaannya (23 Okt. 877). Tiga hari kemudian, Photius dengan cepat direstorasi ke patriarkat. Hal ini tak diharapkan agar paus akan mendapatinya lebih tumpang tindih. Pada tahun 879, sebuah konsili, yang tiga kali lebih besar dari konsili Ignatius, mendatangkan lebih banyak dorongan di St. Sophia, menyatakan bahwa konsili sebelumnya adalah penyimpangan Pengakuan Iman Nikea tanpa klausa Filioque yang dipakai oleh Latin, dan diakhiri dengan pernyataan jasa dan pemahaman Photius. Konsili tersebut terkadang disebut oleh gereja Timur sebagai "Konsili Ekumenikal Kedelapan," meskipun umumnya hanya tujuh konsili umum yang diakui di Timur. Meskipun jika konsili kedelapan terhitung secara keseluruhan—dan bahwa kasus tersebut berada pada Gereja Roma, meskipun kurang berpengaruh pada Yunani—peristiwa tersebut dimaknai secara berbeda di Barat dan Timur. Bagi Latin, ini adalah konsili Igantius tahun 869. Bagi Yunani, ini adalah konsili Photius tahun 879. Para delegasi kepausan menyatakan pengesahan konsili yang terakhir, dan memutuskan agar Paus kembali ke Roma dengan menyatakan bahwa ini merupakan klaim Bulgaria-nya. Kala ia memahami kebenaran tersebut dan mendapati bahwa ini tak dilakukan dari golongannya, ia menyatakan anathema terhadap Photius karena membangkang dan tak menghormati Takhta Suci. Namun ini tak nampak bahwa patriark tersebut mengambil andil apapun dalam diplomasi yang diterapkan para legatus kepausan. Photius mengakhiri masa hidupnya dengan menjalani waktu luang di biara, dan wafat pada tahun 891. Pergesekan antara dua gereja tersebut kini terjadi dan hanya berakhir dengan keretakan akhir dan bulat.
4. Tahap terakhir persoalan panjang tersebut berkaitan dengan kontroversi atas klausa Filioque dari Pengakuan Iman Nikea. Ironi sejarah kini lebih nampak ketimbang kenyataan bahwa perbedaan utama antara dua gereja besar bersejarah tersebut berada pada titik doktrin yang orang biasa tak dapat pernah mendapatkan pengaruhnya. Tak ada orang yang dapat mencegah untuk memutuskannya tanpa menjamah misteri menonjol Sosok Allah. Kedua gereja tersebut sama-sama menerima Pengakuan Iman Nikea sesuai yang dikonfirmasikan dalam konsili-konsili gereja besar. keduanya setia pada gagasan homousion, dan kepada keilahian penuh Roh Kudus serta Putra; keduanya masuk dalam Tritunggal. Namun kala Gereja Timur menganggap bahwa Roh Kudus datang dari Bapa sendiri melalui Putra, Gereja Barat menyatakan bahwa Roh Kudus datang dari Bapa dan juga dari Putra selaku sumber bersama. Tak hanya Gereja Yunani yang menantang gagasan kedua tersebut, Gereja Latin dituduh bertindak salah dalam memutuskan untuk menyematkan sebuah kata dalam Pengakuan Iman Nikea yang dimuliakan. Klausa dalam versi Latin menganggap pemunculan Roh Kudus pada awalnya dengan tulisan: "Qui ex patre procedit." Gereja Roma kini menyebut klausa tersebut: "Qui ex Patre Filioque procedit." Penyematan Filioque pada bagian dalam pengakuan iman tersebut menjadi landasan perpecahan utama antar dua gereja tersebut, dan masih terjadi hingga sekarang tanpa harapan rekonsiliasi apapun, setiap komunitas menganathemakan komunitas lainnya atas dasar bagian dari doktrin tersebut.
Seperti kebanyakan kontroversi, setiap pihak memungkinkan untuk menekankan pernyataan dalam tulisan-tulisan bapa-bapa gereja zaman kuno yang dimuliakan yang nampak menyelaraskan kandungan spesifiknya sendiri. Ini nyaris selalu menjadi kasus, karena ini merupakan kontroversi yang mempertajam pengartian; dan kebanyakan terdapat beberapa hal tertentu yang dikatakan bagi kedua belah pihak sebagai argumen yang dicetuskan sosok yang handal dan tulus, ini sangat menentukan bahwa sebelum gagasan-gagasan terpadatkan pada satu pihak atau pihak lainnya, mereka akan mendapati keadaan solusi bercampur. Kemudian, Tertullianus di Barat nampak mengagumi apa yang diadopsi kemudian selakun pandangan Timur, kala ia menyebut, Spiritum non aliunde puto quam a Patre per Filium, dan Hilarius dari Poitiers, pembela kesuastraan paling penting dari Pengakuan Iman Nikea di Barat pada abad keempat, menulis, Loqui de Eo (artinya Roh Kudus) non necesse est, Qui a Patre et Filio auctoribus confitendus est, dan pada bagian penutupnya, menyebut Roh Kudus, dengan ia berkata, ex te per unigenitum suum; dan lagi-lagi secara jelas, A Patre procedit Spiritus Sanctus, sed a Filio et a Patre mittitur. Di sisi lain, Athanasius di Timur nampak menindak pandangan Barat kala ia menyatakan, "Firman diberikan kepada Roh kudus, dan apapun yang ditempatkan Roh Kudus, Ia tempatkan dari Firman." Ini tak merujuk kepada sosok asli. St. Basil lebih mengartikannya dengan menyatakan, "Karena Roh Kudus … bergantung dari Putra, dan menempatkan-Nya bergantung dari Bapa selaku kepentingannya, sehingga Ia juga berproses." bagian akhir dari kalimat tersebut nampaknya akan diminati pandangan Timur. Selain itu, di tempat lain, Basil menyatakan, "Allah menciptakan, bukan selaku manusia, namun benar0benar menciptakan. Dan yang diciptakan-Nya dibawa maju kepada Roh Kudus lewat mulut-Nya." Di sisi lain, Gregorius Nazianzen dengan jelas menganggap bahwa Roh Kudus hanya timbul dari Bapa.
Ambrosius nampak mula-mula mengajar dalam perkataan yang dimajukan bahwa Roh Kudus timbul dari Bapa dan Putra. Sehingga, ia berujar, "Roh Kudus juga kala ia berproses dari Bapa dan Putra, tak terpisahkan dari Bapa, tak terpisahkan dari Putra"; dan Epifanius giat mengajar bahwa Roh Kudus berasal dari keduanya.
Agustinus giat mengajarkan bahwa prosesi dari Bapa dan Putra. Namun, tak ada seorang pun yang selaras dengan pengakuan iman yang dimuliakan selaku yang mencantumkan gagasan tersebut di dalamnya. Sejauh yang ditekankan, "contoh pertama yang diketahui dari Filioque dicantumkan pada Klausa Simbol Prosesional" terjadi di konsili Toledo ketiga (tahun 589). Hal ini munvul kembali di konsili-konsili Toledo keempat (tahun 633) dan keenam (tahun 638). Doktrin tersebut mencapai Inggris pada konsili Hatfield (tahun 680). Menjelang abad kedelapan, kami mendapati Tarasius dalam suratnya mengumumkan pengangkatannya pada patriarkat Konstantinopel dengan menuliskan Roh kudus "timbul dari Bapa melalui Putra"—doktrin Yunani. Pernyataan tersebut sangat dipersengketakan dalam Kitab-kitab Caroline—tulisan-tulisan teologi mengklaim sanksi terhadap Charles Agung, yang memajukannya kepada Paus Hadrianus, dan kontroversi tersebut kini masih sepenuhnya hidup. Ysai konsili di Aix-la-Chapelle (a.d. 809), Charles mengirim para legatus untuk mendatangi Paus (Leo iii.) dalam rangka membahas persoalan tersebut. Leo, yang masih menyepakati doktrin tersebut, memutuskan penyematannya dalam pengakuan iman yang dimuliakan. Empat tahun kemudian, konsili Aries resmi menyudutkan prosesi ganda.
Setelah itu, kala pecah pertikaian antara Photius dan Nicolas, patriark mencap Gereja Roma selaku bida'ah karena menerima apa yang ia anggap kekeliruan dalam doktrin Barat terkait Roh Kudus. Meskipun demikian, di samping kesulitan tersebut dan seluruh dasar pertikaian lainnya, tak ada pergesekan romal antar dua gereja tersebut sampai permulaan abad ketujuh. Sementara itu, klausa yang menjadi sumber banyak pergesekan secara bertahap diadopsi oleh seluruh gereja lokal di Barat. Yang jadi pertanyaan kapan penyematannya dalam pengakuan iman pernah secara resmi diberlakukan oleh Gereja Roma dalam konsili yang diwakili oleh Paus.
Kami kini mendapati perpecahan akhir. Michael Cerularius, yang ditahbiskan menjadi patriark Konstantinopel pada tahun 1043, memngeluarkan surat ensiklik kepada para uskup Apulia, pada sekitar sembilan atau sepuluh tahun kemudian, kala ia berupaya menjalin persatuan dengan Gereja Barat, pada saat yang sama menyebutkan kesulitan dalam cara penyatuan semacam itu, utamanya pemakaian roti tak berragi oleh Barat dalam Perjamuan Kudus. Barang terakhir yang ia sebut sebagai Dogma Prosesi dari Putra. Surat tersebut sampai ke tangan Paus Leo ix., yang memberikan jawaban kepada patriark tersebut dengan jiwa yang sangat berbeda, berakhir dengan ancaman bahwa jika ia tak akan perlu "melihat kanak-kanak dalam susu ibunya," namun "menggosok persembunyiannya dengan cuka dan garam pahit." Patriark tersebut enggan menuruti arahan Paus, para legatus kepausan resmi dijejerkan pada altar St. Sophia dengan kalimat anathema yang mengecam sebelas doktrin jahat dan praktek Mikael dan para pendukungnya, dan mengecam mereka dengan pernyataan jelas: "Lekas kalian menjadi Anathema Maranatha, dengan Simoniak, Valerian, Arian, Donatis, Nikolaitan, Severian, Pneumatomachi, Manichee, dan Nazarene, dan dengan seluruh bida'ah; tentunya dengan iblis dan para malaikatnya. Amin. Amin. Amin" (16 Juli 1054). Skisma tersebut kini rampung.
Pemikiran modern biasanya takjub bahwa bencana besar pada dunia Kristen dapat dipromosikan secara serius lewat poin kontroversi selaku klausa Filioque. Kami memandang bahwa ini bukanlah satu-satunya dasar penyematan tersebut. Namun, ini merupakan bahan terakhir dalam cangkir pahit yang Gereja Timur enggan diambil dari tangan para prelatus Roma yang tinggi hati. Kemudian, kami harus mengingat bahwa, sepanjang keseluruhan, kekeliruan besar terhadap ortodoksi doktrinal yang diturunkan pada keyakinan pribadi diutamakan oleh kedua cabang Gereja. ini menjadi titik doktrinal yang berada di bawah sengketa tanpa apa yang orang-orang anggap berdampak serius. Beberapa orang menyinggungnya pada saat ini. Kala gagasan sifat Allah telah menyatakan bahwa keberadaan Ilahi dapat terjadi tanpa perantaraan Kristus, Roh Allah dikatakan didatangkan kepada mereka dari Kristus; yang lainnya menghimpun injil Kristen khusus. Namun ini bukanlah pertanyaan pada sengketa tersebut. Ini bukanlah soal mereka menerima Roh kudus; namun soal keberadaan misterius Sosok Ketiga dalam Tritunggal didatangkan sendiri. Yunani memperkenankan agar mereka menerima Roh Kudus melalui Kristus. Selain itu, para lawan mereka menganggap bahwa penghormatan Kritus dilibatkan dalam kontroversi tersebut. Ini terjadi di Barat, contohnya dalam Pengakuan Iman St. Agustinus dan Athanasian, yang menyokong penyetaraan Putra dengan Bapa. Klausa Filioque nampak sepakat dengan kesetaraan tersebut, penolakan Yunani terhadap klausa tersebut mendiskreditkannya.