Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 1/Divisi 2/Bab 9

BAB IX

KEHIDUPAN DAN KESUSASTRAAN DALAM GEREJA BIZANTIUM

Organisasi Gereja Yunani yang rampung pada periode patristik tak pernah melakukan modifikasi vital dalam tiga cabang konstitusinya—dogmanya, upacaranya, pemerintahannya—sepanjang yang terakhir berdampak pada pengaruh politik. Kontroversi Monofisit dan Monotelet soal sifat dan kehendak Kristus menjadi diskusi serius terakhir soal pengakuan iman tersebut. Sehingga, ini menjadi tugas para cendekiawan dan logikiawan untuk mempertahankan dogma Gereja yang ditetapkan, yang terjaga kesuciannya utamanya karena ortodoks. Gereja Barat masih merasa bebas untuk mengembangkan kebenaran, dan ini menjadi pergesekan gagasan baru dengan loyalis konservatif dalam menetapkan doktrin yang menghasilkan keputusan akhir dan tak terhapuskan dengan Roma. Sehingga, para teolog Yunani bersifat apologis, namun utamanya tidak di wilayah bukti-bukti Kristen. Mereka lebih memperhatikan polemik bida'ah dalam Gereja ketimbang berperang dengan pihak tak percaya di luar perbatasan mereka. Selain itu, keberadaan tetap Islam juga menuntut pertahanan iman melawan orang tak percaya, dan menyerukan sastra apologetik yang bersifat lebih umum.

Gema kontroversi lama muncul pada Gereja tersebut dari waktu ke waktu. Pada masa kekuasaan Manuel Comnenus, terdapat diskusi skolastik soal apakah Kristus mempersembahkan pengurbanan-Nya untuk dosa-dosa dunia hanya untuk Sosok Pertama dan Ketiga dalam Tritunggal, atau juga Sosok Kedua, Logos. Seniode di Konstantinopel pada tahun 1156 memutuskan pilihan terakhir tersebut, dan sehingga menyatakan bahwa Kristus menawarkan kurban-Nya sebagian untuk diri-Nya sendiri. Sepuluh tahun kemudian, pertanyaan dua sifat tersebut dibangkitkan pada firman Kristus, "bapa-Ku lebih agung ketimbang Aku." Apa sifat yang mereka rujuk—Ilahi atau manusia? diskusi panas menyusul, dan banyak keterpikatan berkembang di kalangan seluruh kelas masyarakat. Kaisar Manuel terpikat pada pandangan bahwa frase tersebut ditujukan pada Allah-manusia, untuk seluruh kepribadian inkarnasi, dan pandangan tersebut dikonfirmasikan oleh sinode yang diadakan pada tahun 1166. Ini menekankan bahwa bahkan terkait dengan pertanyaan menjebak, tidak ada kebebasan pemikiran yang diperkenankan. Orang-orang yang enggan menerima dekrit sinode dicelak dan barang mereka disita. Namun diskusi tersebut, yang sangat menonjol pada masa itu, tak meninggalkan dampak permanen pada ortodoksi yang berdiri, dan sehingga kami tak dapat anggap sebagai markah tanah pengaruh apapun dalam sejarah doktrin.

Karena Gereja Yunani tak berubah secara materil dalam doktrin atau upacaranya sepanjang berabad-abad sampai zaman kami sendiri, hal ini juga sempat menyatakan seluruh poin kepentingan utama terkait subyek terakhir—yakni upacara. Doktrin tersebut telah dijelaskan pada halaman sebelumnya.

Tujuh sakramen diterima oleh Gereja Timur dan Barat. Baptisan terus diadakan dalam bentuk selam. Upacara tersebut diadakan pada para bayi. pada saat yang sama, mereka dijamah pada bagian mata, mulut, hidung, telinga, dan dada. Tak lama setelah itu, konfirmasi dapat diurus oleh para presbiter—berbeda dengan pelaksanaan kanonik Barat, yang mempercayakan upacara tersebut kepada uskup. Pengampunan diberlakukan, namun tak pernah dikembangkan di Timur pada proporsi-proporsi bersama dengan dengan alat-alat mekanikal yang menimbulkan penjualan indulgensi di Barat. Imam menyerukan pengampunan bahwa ia sendiri adalah pendosa, ia tak dapat mengampuni; hanya Allah yang mengampuni. Selain itu, ia menyatakan absolusi. Perjamuan kudus diperlakukan setara di kedua gereja selaku bagian paling kudus dari agama. Penahbisan hanya dapat dilakukan oleh uskup, dan sepanjang hierarki, orang tingkat rendah ditahbiskan oleh petingginya. Perkawinan menjadi sakramen yang dijaga dengan hati-hati oleh Gereja. Rohaniwan yang lebih tinggi tak dapat menikah usai penahbisan. Para uskup tak dapat memiliki istri secara keseluruhan, dan sehingga episkopat utamanya disuplai oleh para biarawan. Para presbiter menikah sebelum penahbisan dan mendampingi istrinya seumur hidup; namun jika orang yang menjadi duda, ia tak dapat mengambil istri kedua. Perkawinan kedua di kalangan awam diperkenankan, atau bahkan disarankan, namun tak diwajibkan. Perkawinan ketiga dilarang dan dianggap sebagai dosa. Pengurapan tak diterapkan sebanyak viaticum, yang dikenal sebagai "pengurapan ekstrim," untuk untuk manfaat orang-orang sakit yang dapat disembuhkan.

Pemerintahan Gereja diutapakan tanpa campur tangan material dalam bentuk hierarki yang ditetapkan. Namun keberadaan patriark Konstantinopel lebih diucapkan di provinsi-provinsinya sendiri, dan kurang berdampak di tempat lainnya. Perkembangan dua kali lipat tersebut sepenuhnya karena kepentingan politik. Pelemahan pemerintahan Bizantium memberikan cangkupan yang lebih besar dan luas pada otoritas Gereja. Selain pengangkatan kaisar baru, peristiwa paling penting di Konstantinopel adalah pemilihan patriark. Kami kini mendapati para patriark saling tegur dan bahkan menempati takhta dengan paksa dan kebebasan yang tak diketahui di Timur, dan lebih seperti roh gerejawi besar Roma. Di sisi lain, penaklukan Siria dan Mesir oleh para khalifah dan sultan membuat para patriark menjadi tahanan Aleksandria, Antiokhia, dan Yerusalem di kota-kota mereka sendiri, dan memutus mereka pada naungan besar dari perhubungan dengan Konstantinopel. Isolasi paksa dari tiga patriark timur tersebut menjadi faktor penting dalam penderitaan terakhir Gereja.

Pelaksanaan ibadah di Gereja Bizantium juga diteruskan tanpa ancaman serius pada masa ini. Upacara menjadi makin dan makin terstereotipekan. Ini terpusat pada upacara perjamuan kudus, yang, dikenal sebagai "misa" di Barat, sementara di Timur disebut sebagai "liturgi." Pada mulanya, setiap uskup bebas mengadopsi bentuk doanya sendiri, melalui liturgi Santo Yakobus yang sebagian besar diterima sebagai dasar umum. Dalam bentuk saat ininya, ini tidaklah lebih tua ketimbang akhir abad keempat, namun tak diragukan bahwa ini adalah perkembangan dari zaman yang lebih kuno. Ini utamanya ditujukan untuk dipakai di Gereja di Yerusalem. Berdampingan dengan liturgi St. Basil, yang dibentuk pada liturgi St. Yakobus, namun tak lebih lama dan lebih beragam; dan setelah itu liturgi St. Krisostom, yang tak lagi diadakan. Keduanya sama-sama mengikuti liturgi Bizantium, liturgi St. Basil selama ini hanya dipakai pada kesempatan-kesempatan tertentu. Bermula di Asia Kecil, ini menjadi dasar liturgi Armenia. Liturgi St. Krisostom utamanya merupakan bentuk ibadah yang diadopsi di Konstantinopel, dan ini menjadi pelayanan normal Gereja Bizantium pada setiap Minggu kecuali beberapa pihak yang memakai liturgi St. Basil.

Buku pelayanan Gereja Yunani terdiri dari empat belas quarto volume. Karya tersebut terdiri dari tiga bagian—kidung, syair, potongan kitab suci. Tak ada Alkitab terpisah yang diterbitkan untuk pemakaian orang-orang, meskipun tindakan British and Foreign Bible Society dalam mengedarkan Kitab Suci tak dicegah oleh pihak Gereja Yunani seperti halnya oleh hierarki Katolik Roma, dan dalam beberap kasus disambut dengan rasa syukur dan semangat. Gereja tersebut menyediakan buku panduan, vade mecum untuk pelayanan, khususnya untuk upacara pemakaman. Ini meniru Gereja Rusia yang memakai buku pelayanan lama dan inovasi lainnya.

Di Gereja Yunani, upacara perjamuan kudus lebih lama, beragam dan dramatis ketimbang misa Roma. Terdapat doa dan pembelajaran, namun setiap fungsi upacara disertai oleh beberapa tindakan. Kala upacara seremonial Barat terhadap roh utamanya melalui telinga, Gereja Timur mentujukannya untuk menayngi kepentingan dan jaringan perhatian yang lebih lewat penerapannya pada mata dalam tindakan yang lebih simbolis yang dilakukan oleh para imam dan deakon. Kongregasi mengamati penyetiran dan pergerakan fungsi yang dilaksanakan bersama. Kini lilin-lilin dinyalakan; kini mereka bersiap; pintu-pintu dibuka, ditutup lagi; rohaniwan mencium altar, mencium injil, menyilangkan kepala, mulut dan dada; terdapat pengayunan dupa; jubah liturgi kemudian diganti agar peserta ibadah dapat melewati tempatnya dengan ragam warna kaleidoskopik—setiap tinta memiliki simbolisme istimewanya; prosesi, pemurnian, sujud, semuanya memiliki bagian mereka dalam upacara besar. Kebanyakan dari upacara tersebut nampak dalam misa besar Roma.. namun tidak dengan volume dan varietas simbolisme yang ditunjukkan dalam pelaksanaan liturgi Yunani. Kemegahan dan upacara Gereja sebanding dengan kemegahan dan upacara istana yang dilakukan dengan banyak minyak suci oleh Kaisar Konstantinus Pogonatus. Ini selaras dengan jubah yang dibordir dan dihias, hiasan emas dan mozaik dari basilika-basilika yang menjadi unsur peribadatan. Tak ada upaya dalam semua ini umum mengembangkan keantusiasan; yang dapat dilakukan lewat kotbah yang didahului dan disiapkan untuknya, kala tepuk dan teriakan kongregasi dan mengerak kerajinan tangan mereka pada saat yang bersamaan dari beberapa pengkotbah populer. Dalam liturgi, di sisi lain, semuanya bersifat decorum. Orang-orang bersamaan dalam menanggapinya; mereka melantunkan Kyrie Eleison; mereka membuatdengungan lagi dengan puji-pujian Trisagion; namun ini semua diwajibkan dan dibiasakan, dan hasil yang diinginkan bersifat kesadaran dan keimanan, alih-alih tenaga dan perbuatan.

Selain itu, meskipun banyak yang dilakukan untuk membuat fakta-fakta utama Kristen diwujudkan dalam kisah hidup Kristus dan penekanan lewat sifat bersama pada pembayangan menonjol, ini bukannya orang-orang mendapati penyelarasan untuk pemikiran keagamaan terkuat mereka. Meskipun sebagian besar waktu mereka berkotbah masih menonjol, pembacaan Alkitab selalu dimajukan dalam Gereja Barat. Orang-orang dapat pergi ke Gereja dan membaca Alkitab untuk diri mereka sendiri. Tak seperti upacara Roma modern dalam bahasa yang tak diketahui, upacara Yunani diadakan dalam bahasa Yunani, bahasa masyarakat. Seluruh pelayanan kuno dilakukan dalam bahasa-bahasa yang dituturkan oleh kongregasi yang dilakukan pada mereka. Di samping fakta tersebut, unsur intelektual tidaklah menonjol, maupun menghimpun gagasan yang secara sangat terampil dirajut dalam simbolisme liturgi yang kaya benar-benar mengikat orang-orang yang menyaksikan uapcara tersebut dan ikut serta dalam menanggapinya. Ini disediakan oleh apa yang mereka pandang dalam kontroversi sejarah zaman Bizantium. Relik-relik lebih dinyatakan penting ketimbang upacara, ikon, ketimbang liturgi. Para pengajar terbaik dari Gereja mendorong penjamahan ibadah relik; namun mereka tak memiliki kekuatan untuk menunjukkan kesinambungan atas Timur dan Barat.

Setelah itu, Protestan menganggap penghormatan Bunda Maria dan orang-orang kudus, dan bahkan pemujaan yang ditujukan kepada mereka, dianggap serupa dengan tindakan kekanak-kanakan. Mitologi baru muncul, dan legenda-legenda orang kudus menggantikan mitos-mitos pagan. Kemudian, martir Phocas, seorang tukang kebun di Sinope, Pontus, mencetuskan Castor dan Pollux sebagai pelindung para pelaut. Di kapal, ia menempatkan bagiannya di meja dan kemudian dijual, hasilnya diberikan kepada kaum miskin sebagai rasa terima kasih untuk perjalanan yang berhasil.

Pemahaman dan sastra berkembang pada zaman Bizantium, meskipun tak sebesar kakayaan perpustakaan bibliofilia pada masa selanjutnya. Seperti biara-biara Benediktin di Barat, biara-biara Basilian dari Gereja Yunani menjaga dan menyebarluaskan tulisan-tulisan guru Gereja besar, para biarawan diarahkan untuk menyalin manuskrip-manuskrip dan sama-sama membangun catenæ dari opini-opini para Bapa Gereja. Namun meskipun bacaan mereka luas, ini tidaklah mendalam; mereka berpendidikan, namun tak kritis. Mereka kekurangan pembayangan, reka cipta, pembangunan. Ini merupakan fakta mencolok bahwa gelombang sejarah gerejawi yang berkembang terus disalin sepanjang berabad-abad sebelumnya kini mulai berjalan mengering, atau mungkin lebih dapat kami katakan, kini beragam dalam sungai utama dari sejarah politik dan sekuler. Ini menjadi zaman para sejarawan Bizantium berkarya. Siaappun yang berniat untuk menentang tulisan-tulisan mereka harus khawatir terhadap upaya tak membahagiakan mereka pada puncak retorika. Gaya tersebut mengingatkan kami pada prosa Viktoria populer soal hal terburuknya. Terdapat upaya mutlak terkini untuk menghasilkan dampak lewat memajukan klausa-klausa satu sama lain sampai kalimat terkadang diperluas menjadi sejumlah laman cetak. Teofanes nyaris menjadi penulis terakhir yang menyatakan beberapa jejak jiwa kesusastraan Thukidides. Ia memberikan bobot pada penjelasannya lewat kontribusinya sendiri terhadap kebijaksanaan puitis. Namun, secara gadis besar, penjelasan tersebut disertai dengan penjelasan tak berwarna—penjelasan yang tak berkarakter maupun memvitalisasikan penjelasan. Mereka menghimpun refleksi serius, di tempat mereka memiliki halaman-halaman penjelasan datar yang diragamkan oleh rangkaian sanjungan atau makian.

Usai diperkenankan untuk membelot tak terbantahkan, kami harus menganggap bahwa tak ada abad kegelapan, maupun mereka memasuki atau merasuki seturut jenis tersebut. Usai Yohanes dari Damaskus, Bapa Gereja terakhir, penulis ulung berikutnya dan terakhir dari kalibernya sendiri adalah Photius, yang wafat pada tahun 891. Karya utamanya adalah Bibliotheca, sebuah ensiklopedia kesusastraan, berisi catatan-catatan nyaris tiga ratus karya Kristen dan pagan dengan "penyarian elegan". Maalngnya, sebagian besar buku tersebut hilang. Nomokanon buatannya menjadi hukum kanon Yunani, aransemen sistematis pertama yang dikenal pada kami dituturkan oleh Johannes Scholasticus (Yohanes sang Pengacara), seorang presbiter di Antiokia, yang setelah itu menjadi patriark Konstantinopel (tahun 565). Pada sekitar tahun 1180, Nomokanon karya Photius dinyatakan oleh Theodore Balsamon, deakon Konstantinopel, sebagai kumpulan hukum kanon standar untuk Gereja Timur. Photius adalah seorang penulis berpandangan sempit dan bernada pahit. Karya-karyanya meliputi risalah-risalah kontroversial melawan Latin dan melawan Paulician, dan beberapa buku lainnya Amfilokia, yang mengandung jawaban-jawaban atas lebih dari tiga ratus pertanyaan yang diberikan kepadanya oleh Amfilokius dari Cyzicus. Dengan Photius, mereka mendatangi para penulis Gereja Yunani besar yang namanya tersohor. Namun masa dinasti Comnenian adalah zaman Augustan dari Kekaisaran Bizantium—dalam beberapa penghormatan terkait dengan zaman Ratu Anna alih-alih zaman kejayaan Elizabethan kami. Kemudian, mereka mendapati lawan kuat dan pemfitnah Paulician, Michael Psellus, seorang sosok yang kaya akan budaya, dan penulis berbagai tema, yang memberikannya reputasi selaku guru filsafat. Ia wafat pada tahun 1105, meninggalkan, di antara buku lainnya, sebuah karya tentang demonologi yang berisi penyetoran informasi berharga berkaitan dengan pernyataan abad pertengahan mengenai persoalan yang kala itu berpengaruh penting, dan pengantaran ilmu universal yang berdasarkan pada teologi, dipakai sebagai kiklopedia pengetahuan pada masanya. Teofilaktus, uskup agung Akrida di Bulgaria, adalah sosok sezaman dengan Psellus, yang mengumpulkan tafsir dalam bentuk catena. Euthymius Zigabenus, seorang biarawan di Konstantinopel, menulis jawaban untuk para bida'ah atas perintah Kaisar Alexius Comnenus, sebuah kompilasi terkenal pada masanya. Eustathius, uskup agung Tesalonika, menjadi penafsir terhadap Homerius dan Pindarius, selain juga teolog Kristen dan reformator monastisisme. Michael Acominatus, seorang negarawan terhormat di Konstantinopel, menghasilkan pertahanan ortodoks berlawanan dengan bida'ah, yang dianggap handal dan karyanya lebih independen ketimbang buku resmi Euthymius yang ditulis atas dasar perintah. Nikolas dari Methone di Messenia membuat jawaban terhadap Neo-Platonis Proklus, dalam rangka mencegah doktrin penebusan Anselm. Seluruh penulis tersebut masuk dalam periode kesusastraan Yunani akhir yang sama. Putri kaisar sendiri, Anna, juga disebutkan. Ia menempat tempatnya selaku sejarawan Bizantium.

Menjelang masa berikutnya, yang diikuti dengan ketegangan dan kegaduhan perebutan takhta Latin, kami mendapati dua abad kurang brilian, namun kurang lebih masih menjadi kegiatan sastra berkelanjutan di bawah naungan Palæologi (tahun 1250–1453), utamanya diwarnai dengan pertanyaan soal penyatuan kembali dengan Gereja Barat. Ini ditunjukkan pada penemuan sosok yang mengarahkan perhatian kami di tengah-tengah kontroversi dari polemik teologi dan gerejawi dari pergesekan abadi. Sosok tersebut adalah Nicolas Cabasilas, uskup agung Tesalonika, seorang mistikus, yang membela para saudara mistikusnya di Gunung Athos kala mereka didakwa bida'ah, dan bahwa kedalaman spiritual yang melontarkan cahaya keterpikatan yang, kala dipandang di kalangan biarawan, dipandang sebagai penjunjungan yang merendahkan. Judul buku tersebut seperti sorotan cahay dari sorga di dunia gerejawi yang sangat sekuler, karena judulnya adalah Mengenai Kehidupan dan Kristus. Para mistikus tak memandang usia atau segala usia. Mereka berdiri terlepas dari pengembangan doktrin logis dan mendorong mereka sendiri, yang selalu sama secara esensial. Cabasilas merupakan sosok sezaman dengan Yohanes Tauler, karena ia wafat pada 1354, sementara Tauler wafat pada tujuh tahun kemudian (pada 1361). Keduanya, Cabasilas di Yunani, Tauler di Jerman, yang nampak tak memiliki hubungan satu sama lain, sepakat dengan prinsip penting mereka dan berpegangan tangan dengan pseudo-Dionysius pada masa patristik dan dengan William Law pada zaman modern. Seperti para mistikus Barat kami yang menjadi para pelopor Reformasi, namun lebih terbuka dan aktif, Nicolas Cabasilas adalah pengaruh berlawanan melawan formalisme mutlak Gereja Yunani. Ia menulis menjelasan mistikal liturgi untuk memberikan pengartian spiritualnya. Penulis lain pada zaman berikutnya adalah Demetrius Cydonius, sosok sezaman dengan Cabasilas, yang menulis "Perhatian terhadap Kematian"—Simeon dari Tesalonika, yang muncul sekitar lima puluh tahun kemudian, dan membuat buku tentang Iman, Upacara, dan Misteri Gereja yang menjadi tempat penyetoran berharga dari arkeologi gerejawi—Markus Eugenikus dari Efesus, penentang ulung dari penyatuan yang memiliki dampak di Firenze, yang juga menulis pembelaan doktrin penghakiman abadi dalam memberikan jawaban kepada Yohanes vii., Palæologus, yang menentangnya karena tak konsisten dengan keadilan Allah dan kerapuhan manusia—Gennadius, yang kemudian disebut sebagai George Scholarius, yang didapati oleh kami, terpaksa menjadi pendukung penyatuan kala di Firenze, namun setelah itu menjadi penentang paling menonjolnya. Yang paling populer ketimbang karya-karya tersebut adalah kisah Barlaam dan Yosafat, sebuah buku yang pada Abad Pertengahan mengisahkan Gembala Hermas mendatangi gereja perdana di Roma, dan Perjalanan Seorang Musafir karya Bunyan telah memikar para pembaca modern. Ini adalah buku keagamaan kesukaan kami, karena konkrit dan dramatis. Pada kenyataannya, karya tersebut menjadi sebuah novel keagamaan pada masanya. Dalam versi Latin dari karya tersebut, buku tersebut bahkan lebih banyak dibaca di Barat ketimbang di Timur yang merupakan wilayah asalnya. Karya tersebut berisi bagian lengkap atau sebagian dalam sejumlah manuskrip. Pihak yang tak mengkritiknya dikaitkan dengan Yohanes dari Damaskus, yang sejumlah karyanya dicantumkan. Namun, tradisi tersebut tak dapat diutamakan. Buku tersebut lama dibaca sebagai sejarah yang disahkan, dan sesuai dengan Martirologi Roma yang menghormati dua karakter utamanya selaku orang kudus dan menjadikan 27 November sebagai hari raya mereka. Namun kemiripan menonjolnya dengan kehidupan legenda Buddha dalam Latita Vistara membuatnya dianggap berasal dari sumber India tersebut oleh Dr. Liebrecht. Yosafat adalah putra dari raja "wilayah Æthiopia yang disebut India," yang dibesarkan oleh ayahnya di taman kerajaan dan istana agar menghalanginya untuk melihat kejahatan atau keburukan dunia, dan secara khusus ia tak menjalin kontak dengan Kristen dan kebiaraan, yang ditindas oleh ayahnya. Namun ia memutuskan untuk pergi, dan kemudian melihat pria buta dan lumpuh, yang mengakibatkan ia sangat tertekan dan sedih. Kala ia berada dalam keadaan tersebut, ia menerima kunjungan dari Barlaam, seorang biarawan yang menyamar menjadi pedagang, yang dikirim ke India oleh sosok Ilahi. Akibatnya adalah perpindahan agama Yosafat. Kala raja mengetahuinya, ia sangat tertekan, dan dalam rangka menghalangi perhatian putranya berpisah dengannya beserta pemerintahan kerajaannya, selain ia selama ini tertuju pada Kekristenan oleh pengaruh putranya. Pada akhirnya, Yosafat menarik jabatan tingginya, melakukan perjalanan dengan guru spiritualnya Barlaam, yang setelah dua tahun mengembara, ia memutuskan hidup selaku eremit di gua. Ia singgah dengan Barlaam selaam sisa hidupnya, dan jasad para orang kudus tersebut ditemukan lama tak tersentuh dengan pembusukan dengan bau wangi.

Ini mengingatkan kami untuk menyatakan bentuk sastra lain yang bermula pada masa itu, puisi Kristen Yunani, yang utamanya terdiri dari kidung-kidung. Kebanyakan bersifat familiar pada para pembaca Inggris lewat versi-versi Neale dan lainnya. Kami menyusuri kidung-kidung Kristen dalam Perjanjian Baru, dan Pliny merujuk kepada nyanyian mereka di gereja-gereja Bitinia pada zaman Trajanus. St. Basil menyebut kidung martir Athenogenes, yang wafat pada tahun 169, "Karena ia khawatir akan penyempurnaannya lewat api yang ia tinggalkan sebagai bentuk hadiah perpisahan pada teman-temannya." Kidung-kidung dan mazmur-mazmur selalu memiliki tempatnya dalam ibadah Kristen. pada abad keempat, amazmur Gereja sangat dimajukan, mula-mula di Siria dan Efraim oleh Ephraim, kemudian di Konstantinopel oleh Krisostom dan lainnya, kemudian di Barat, khususnya di bawah pengaruh Ambrosius. terdapat pertanyaan kapan kidung Yunani pada abad keempat diterapkan; namun meskipun itu menjadi persoalan, tak ada keraguan bahwa dari abad kedelapan, kidung Yunani dilantunkan sederhana, bukan diperhitungkan, dan dipakai layaknya mazmur-mazmur untuk puji-pujian. Tiga stanza atau lebih, yang disebut troparia, terdiri dari satu ode, tiga ode terdiri dari satu triodeon, dan tiga triodia terdiri dari satu kanon. Biasanya, setiap ode diakhiri dengan satu doxa, seperti doksologi, dan theotokion, yang menjadi stanza penghormatan Maria selaku bunda Allah. Kidung-kidung tersebut mencangkup sebagian besar buku pelayanan Yunani. Kebanyakan darinya dihiraukan; beberapa dari mereka memiliki nilai berharga.

Zaman besar penulis kidung timbul pada abad kedelapan, dan di puncaknya berdiri Yohanes dari Damaskus, yang dianggap terinspirasi oleh Bunda Maria, pelindung konvennya di Mar Saba. Kanonnya untuk Hari Paskah, yang dikenal sebagai "kanon emas," dilantunkan di tengah malam pada Malam Paskah, yang dimulai dengan kata, "Kristus telah bangkit," yang dibalas dengan teriakan "Kristus benar-benar telah bangkit." Kemudian, kami mendapati saudara jauh dan biarawan sejawat Yohanes, Kosmas dari Yerusalem, "sang Melodis," yang dianggap oleh Neale sebagai penyair Yunani paling handal. Stefanus orang Sabait, keponakan Yohanes dari Damaskus, yang menjalani lima puluh sembilan tahun di konven Mar Saba, adalah pengarang komposisi Yunani yang didapati oleh Neale dalam kidung Inggris terkenalnya—

"Apa kau lelah, apa kau lesu?"

Penulis kidung lain adalah Teofanes sang sejarawan, yang dikenal sebagai "si Berjanggut," yang mencurahkan devosinya kepada ikon-ikon dan wafat pada sekitar tahun 820. Teodorus dari Studium dan saudaranya Yosef datang separuh abad kemudian (sekitar tahun 890). Terakhir, terdapat Theocristus, di biara yang sama di Konstantinopel, pengarang "kanon tambahan untuk Yesus," yang dianglikanisasikan oleh Dr. Neale dalam kidung—

"Jesu, nama di atas segala nama,
Jesu, terbaik dan tersayang,
Jesu, landasan kasih sempurna,
Tersuci, terbaik, terdekat!
Jesu, sumber kelengkapan rahmat,
Jesu terbenar, Jesu termanis,
Jesu, kehendak kekuatan Ilahi,
Ciptakanku, jagaiku, jadikanku milik-Mu," dll

Gereja yang dapat menghasilkan kidung semacam itu akan sepenuhnya keliru jika hanya dipandang dalam sorotan kelompok uskupnya dengan para bida'ah dan skismatik. Selain itu, pada akhir abad kesembilan, masa yang tergelap dari Abad Kegelapan di Barat, kala biarawan di biara Konstantinopel besar mencurahkan jiwanya dalam salah satu kidung adorasi terbenar dan kasih untuk Allahnya dibuat, mengantisipasi kidung yang sama terhadap devosi pribadi untuk Kristus dari dua Bernardinus di Clairvaux dan Cluny. Dalam kidungnya, kami dapat menyusuri penataan gelombang murni agama spiritual murni yang terkadang terpaksa dirahasiakan kala kami menonton penataan bagian luar sejarah Gereja—debat kemarahannya, ambisi besarnya, dan antipati yang menyengitkannya. Fenomena memalukan tersebut dibuat terlalu banyak dalam sejarah Gereja. Mereka sepenuhnya takut akan indikatif sejarah kekristenan, sejarah agama spiritual. Karena pemahaman ini, kami sangat terbantu oleh kisah-kisah kehidupan bergejolak dan napas jiwa-jiwa sederhana. Penulisan kidung dilanjutkan sepanjang abad kesepuluh, dan pada pertengahan abad kesebelas, kala hal tersebut tenggelam dalam kesunyian.Tak ada waktu untuk lagu kala Turki menyerbu sebagian besar wilayah Kristen Timur, dan keberadaan Gereja dan kekaisaran terrancam; lagi-lagi kala Barat memulihkan mereka dalam rombongan pasukan salib yang dikerahkan oleh Paus Roma, yang tak pernah dilakukan oleh mereka.

Sepanjang waktu, baik di Barat maupun di Timur, monastisisme diwarnai dengan gagasan kehidupan keagamaan dan biarawan sesungguhkan dipandang sebagai orang kudus yang khas. Dua pusat biara besar kini diperlakukan secara khusus. Salah satunya adalah biara di Studium, yang dikenal sebagai tempat berkarya dari Theodore. Disini, kehidupan umum yang sangat aktif diutamakan. Kami melihat bagaimana tempat tersebut menjadi pusat perlawanan terhadap gerakan ikonoklastik. Tempat tersebut adalah tempat serentetan penulis kidung wajib Gereja Yunani. Tempat tersebut juga merupakan tempat reproduksi sastra dalam bentuk manuskrip yang ditulis indah dibawa dengan kebesaran yang dipandu oleh rasa terbaik, sehingga biara tersebut dipandang sebagai tempat pers universitas modern dan sekolah teknologi dalam salah satu kesenian terbaik dan paling berkarakteristik pada Abad Pertengahan.

Tempat biara besar lainnya adalah kumpulan konven dan sel, kebanyakan laura, Gunung Athos. Gunung tersebut, yang berdiri dipuncak marmer putih setinggi 6.350 kaki di atas permukaan laut, merupakan markah tanah menonjol yang nampak dari dataran Troy dan lereng Olympus. Tempat tersebut mendapatkan namanya dari semenanjung di laut Ægea di titik paling selatan. Namun, tempat tersebut dikenal di Timur sebagai Gunung Suci pada catatan kumpulan rumah keagamaannya. Curzon menghitung 935 tempat ibadah, yang meliputi gereja, kapel, dan oretorium, setiap konven besar terdiri dari enam sampai dua puluh kapel, tembok yang ditutup dari atas ke bawah dengan fresko. Keluarga Comneni (tahun 1058–1204) memegang hak kusus terhadap para biarawan Gunung Athos. Ditindas dan ditekan di bawah kekuasaan Latin, mereka memohon kepada Paus Innosensius iii. untuk perlindungan dan direstui olehnya. Dengan pemulihan Konstantinopel oleh Palæologi, harta benda mereka dikembalikan. Kebanyakan kaisar pensiun disini dari ranah duniawi. Kuil-kuil banyak dihias dengan karya pandai emas bernilai tinggi, perpustakaan dengan manuskrip teriluminasi terbaik mereka, fresko-fresko yang sangat bagus, diakui sebagai salah satu jenis terbaik dari seni rupa Bizantium, dan kemajuan alami dari penarikannya di antara bebatuan dan sembak belukar dan lereng hutan, dengan sorotan laut surya, berpadu dengan Gunung Athos selaku tempat terpilih di Gereja Timur. para biarawan bersikap bijak dalam membuat permohonannya kepada Turki, akibatnya, meskipun mereka didera akibat serbuan Muslim sebelumnya dan meskipun mereka diperlakukan sangat kejam oleh rekan Kristen mereka dari Barat, kala Konstantinopel direbut oleh Muslim dan seluruh belahan Gereja Timur berada di bawah kekuasaan Turki, Gunung Athos diperkenankan menjadi tempat merdeka dari upeti—sebuah hak unik yang berlangsung hingga sekarang.

Namun, keadaan terkasihnya, ukurannya, jumlah penduduk biarawannya, sebagian besar bangunan sucinya, harta karun kesenian dan kesusastraannya, maupun aturan bagian dalamnya yang memberikan Gunung Athos dengan penghormatan tinggi dalam Gereja Yunani. Itu karena penyucian menonjol para biarawannya, dan secara khusus menjadi suatu karakteristik menonjol yang dipandang menjadi tanda spiritualitas tertinggi atau markah penjunjungan paling dihiraukan yang menguntungkan, dipengaruhi oleh mistisisme pseudo-Dionisius, dan mengikuti contoh Simeon, seorang abbas biara Konstantinopel, biarawan Gunung Athos menerapkan hipnotisme diri fakir India. Duduk di pojok selnya, menekan dagunya sampai dadanya, mengarahkan matanya ke pusatnya, memegang janggutnya sepanjang mungkin, sampai penghlihatannya menjadi redup, orang yang menerapkannya melewati kondisi depresi jiwa sampai perasaan suka cita disaksikan sendiri olehnya dikelilingi oleh sinar halo, sinar Allah yang menyorot di sekitaran Kristus kala Transfigurasi. Pengangkatan yang ia pegang menjadi kegembiraan tak tergali yang didapatinya, dan ia merasakan sendiri terbawa ke keberadaan Allah lewat pengalaman penglihatan mulianya. Selnya, biaranya, para rekan biarawannya, dunia, kepribadiannya sendiri, diwarnai kesadarannya, dan ia duduk terlentang, tanpa berpikir, atau berharap, atau bergerak, sepenuhnya dinaungi dengan pengalaman supranaturalnya.

Kesunyian dan pasivitas, kekosongan penuh pikiran dari seluruh pemikiran, dan pengecualian dari seluruh sensasi, yang menjadi kondisi mengakar, yang membuat orang-orang terdorong untuk menyebutnya "Hesikas." Sehingga, kontroversi tersebut membangkitkan kontroversi Hesikas. Kebisaan tersebut dimulai oleh Barlaam, yang menjadi utusan Andronikus iii. untuk paus di Avignon terhadap pertanyaan penyatuan kembali Gereja. Tak lama, sosok ini kembali ke Konstantinopel ketimbang ia dituduh para biarawan Gunung Athos sebagai bida'ah Diteisme—yang disebut mereka sebagai "jiwa pusar." Gregorius Palamas, usai menjadi uskup agung Tesalonika, membela mereka. Dengan melakukannya, ia dimasukkan dalam tuduhan-tuduhan Barlaam. Sebuah konsili diadakan terhadap persoalan tersebut di Konstantinopel pada tahun 1341, kala ketidaktenaran negosiasi Barlaam untuk penyatuan mendatangkan bantuan para biarawan Gunung Athos. Konsili tersebut memberikan sanksinya kepada doktrin sorotan yang tak tercipta, menghubungkannya dengan tenaga Ilahi, yang berbeda dari esensi Allah. Penuduh mengecamnya jika ia tak melantunkannya, setelah itu ia menarik diri ke Italia dan bergabung dengan Gereja Latin. Namun ini bukanlah akhir kontroversi, yang diambil oleh penasehat Barlaam, Gregorius Acnidynus dan Nicephorus sang sejarawan. Dua sinode lainnya diadakan terhadap persoalan tersebut—yang berakhir pada tahun 1351, dan keduanya mengikuti contoh sinode sebelumnya dan menyatakan dukungan terhadap para biarawan. Kemudian, gagasan sinar tak tercipta berulang kali dinyatakan ortodoks oleh Gereja Yunani.

Sulit bagi Barat, dan khususnya Protestan Anglo-Saxon, untuk tak merasa memperhatian dan menyamarkan apa yang nampak pada penaungan yang diuntungkan dan mengikis. Dan kala kami mengingat penelusuran para nabi—khususnya Yehezkiel—dan mengambil catatan fenomena yang disoroti lewat psikologi eksperimental terkini, kami dapat menunda penghakiman mereka dan memperkenankan kemungkinan agar beberapa orang, jika tak semuanya, yang menjalani pengalaman tak biasa tersebut, ini dapat menjadi kondisi persekutuan spiritual murni yang terrealisasikan, lewat cara pengarahan penuhnya terhadap kerusakan yang timbul dari esensi duniawi. Sehingga, walaupun ini nampak sepenuhnya bersifat materialistik, setelah semuanya tak lebih dari orang asing pada sorotan interal yang diceramahkan oleh George Fox, yang dipandang para pengikutnya sebagai kerahasiaan dan sumber kehidupan keagamaan terdalam mereka.

Kala kami beralih dari para biarawan ke badan utama Gereja, dan bertanya, Apa kondisi keagamaan dan moralnya pada abad-abad berikutnya dari era Bizantium? Kami menghadapi pertanyaan yang selalu sulit dijawab. Karena kebanyakan sejarawan mengarahkan perhatiannya kepada gerakan-gerakan besar dan sosok-sosok menonhol. Gosip Suetonius dari skandal istana di Roma di bawah kekuasaan para Kaisar tak memberikan gagasan kebiasaan petani di dataran Italia kepada kami, maupun satir Juvenal soal masyarakat bergaya pada masanya mengajarkan kami segala hal tentang perilaku warga terhormat dari kota-kota wilayah tersebut. Meskipun demikian, para pembuat kronik Bizantium mengarahkan sorotan pada tindakan dan sifat pihak-pihak yang diatur oleh Comneni dan Palæologi. Selain itu, kini dan nanti kami menjelaskan keberadaan hati nurani masyarakat yang merefleksikan moral pribadi seseorang. Finlay berulang kali menyatakan pendapatnya bahwa standar moralitas tinggi dijunjung di Kekaisaran Yunani pada masa itu, dan bahwa secara moral dan intelektual, Gereja Yunani kini lebih dijunjung ketimbang Barat. Kami melihat bahwa ini tak berarti abad kegelapan berkaitan dengan budaya, pembelajaran dan kesenian. Ini adalah berabad-abad kehidupan mewah dan baik, yang sangat kontras dengan barbarisme para baron yang menyulut Perang Salib. Penolakan pernikahan kedua dan pengecaman besar pernikahan ketiga menandakan beberapa pengetatan dalam hati nurani masyarakat yang memberikan dakwaan paling serius dalam hubungannya dengan hubungan intim. Namun, Finlay menunjukkan pengikisan moral pada abad kesebelas di bawah kekuasaan Permaisuri Zoe. Patriark Alexius enggan mengadakan pernikahan ketiga permaisuri tersebut, meskipun ia mengadakan upacara kala ia menikahi suami keduanya—seorang pelayan istana yang dikenal karena menjadi orang terkasihnya—pada malam kematian suami pertamanya. Suami ketiganya adalah Konstantinus ix., yang memiliki dua istri. Sehingga, patriark memahkotai kaisar baru dengan upacara Gereja biasa pada sehari usai pernikahannya.

Dalam membaca sejarah abad-abad tersebut, kami merasa ngeri akan kasus-kasus mutilasi berkelanjutan para pesaing dan korban mereka yang dilakukan oleh para kaisar. Pembutaan seringkali dilakukan kala orang berbahaya malangnya jatuh ke tangan musuhnya. Pangeran muda menandak dilucuti dari seluruh kemegahan dan kemewahan istana, dan dimasukkan ke penjara bawah tanah, yang dijalani sepanjang berdasawarsa-dasawarsa. Operasi pembutaan dilakukan dengan keterampilan ilmiah berdarah dingin. Ini dipandang sebagai tindak kemanusiaan dan pemurnian kala, di tempat tindakan brutal mencungkil mata, blobe tembaga ditempatkan di depan mereka yang memantulkan dan menyorotkan sinar matahari sehingga merusak penglihatan tanpa betul-betul menghancurkan organ mereka sendiri. Ini menunjukkan bahwa keperluan hukuman berat bukanlah penyiksaan atau kekejaman mutilasi balasan atau kehendaknya sendiri. "Mungkin kami harus katakan bahwa keperluan murni dari tujuan pembutaan umum tersebut tak sepenuhnya melumpuhkan fisik korban, karena melakukannya tak memungkinkan orang-orang harus berharap untuk mkengambalikannya pada posisi kuat, seperti yang dikatakan, untuk melumpuhkannya di mata publik." Adalah benar bahwa Dandolo buta adalah pemimpin ekspedisi Latin melawan Konstantinopel. Namun, ia adalah sosok yang dikenal karena kehandalan dan integritas terpercaya, setia pada Venesia, dengan tanpa kepentingan diri yang dipegang sebagian besar baron.