Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 2/Divisi 2/Bab 2
GEREJA YUNANI BERIKUTNYA DI BAWAH KEKUASAAN TURKI
Riwayat berikutnya dari Gereja Yunani tak dapat menahan kami, karena meskipun Yunani tak pernah menikmati kebahagiaan negara yang sejarahnya membosankan, laman ini tak lagi diisi oleh keberadaan sosok agung atau gagasan segar. Selama lebih dari dua abad, gereja terkikis sepanjang kedalaman pengikisan. Suksesi cepat para patriark yang bertugas di Konstantinopel berada dalam keadaan genting. Uskup-uskup sementara—subyek dari patriark, yang menjadi subyek untuk sultan—dipercayakan dengan tindak pengendalian lokal atas penugasan mereka. Tatanan pejabat Yunani lainnya yang bertugas di bawah pemerintahan Turki terdiri dari "Phanariot," yang mengambil namanya dari kawasan Konstantinopel yang menjadi pusatnya. Kelompok tersebut mengurusi perpajakan, perhatian utama pemerintahan Utsmaniyah, yang seringkali terlalu lemah untuk melindungi umatnya dari serangan dan penyerbuan, dan sangat berbeda dari administrasi kehakiman, yang seharusnya menjadi obyek pertama dari pendiriannya, namun seringkali energetik dalam pengumpulan perpajakan. Tugas tersebut dipercayakan kepada otoritas lokal yang tergambar dari kalangan Yunani, yang disudutkan dan dibenci oleh para rekanan mereka, seperti para publikan Yahudi pada zaman Kristus. Usai para uskup dan Phanariots, tak ada orang dengan kekuatan atau pengaruh apapun di kalangan yunani. Rumah-rumah sakit dan yayasan-yayasan amal lenyap karena kurangnya dukungan. Para biarawan sangat miskin sehingga mereka nyaris mendatangi pasar untuk menjual ikon-ikon dan ternak. Perpustakaan melucuti harta benda mereka dalam manuskrip-manuskrip kuno, yang dijual kepada para penjual apapun dan mengarahkan ke segala arah di luar harapan pemulihan. Sepanjang waktu, pemerintah pusat kehilangan semangat dan akibatnya menjadi bertindak ekstrim. Disintegrasi parsial terjadi dan para pasha lokal berkuasa selaku despot. Bahkan para Phanariot memegang kekuatan tirani dengan sedikit penaungan, dan, selayaknya orang yang menjual diri mereka sendiri kepada penindas asing, menjadi lebih kejam ke sesama Yunani mereka ketimbang Turki itu sendiri. Garis pantai luas Yunani meninggalkan sebagian besar daratan utama serta kepulauan rentan penyerbuan bajak laut. Sepanjang dua ratus tahun, unsur paling karakteristik dari sejarah Yunani di bawah Turki meliputi penyerbuan-penyerbuan bajak laut berulang, baik Turki maupun Kristen, dan pertikaian timbul di kalangan petani dan penduduk pulau. Perhatian agama nampak terbayangi dalam perjuangan untuk keberadaan terang-terangan.
Serangkaian peristiwa penting memecah monotoni kisah penderitaan dan penghinaan tersebut, yakni perjuangan penaklukan venesia. Venesia mengalami persoalan umum yang menyapu puing-puing Kekaisaran Bizantium di bawah kekuasaan Mohammed ii. Namun secara bertahap, kelompok tersebut lebih dari memulihkan landasan yang direbut darinya di Eropa Timur, meskipun tak pernah memegang urusan sipilnya sendiri. Usai perang, Venesia melanjutkannya dengan merebut Morea (tahun 1684). Namun meskipun mereka kemudian mampu memulihkan sebagian Kekaisaran Utsmaniyah ke dunia Kristen, tindakan mereka menciptakan pergesekan terang-terangan dalam Gereja Yunani. Di tempat pertama, mereka adalah Katolik Roma, yang tak memiliki simpati terhadap yunani dalam posisi keagamaan, menghidupkan kenangan intrik Yesuit dan upaya Uniat untuk meleburkan gereja ortodoks. Kemudian, patriark Konstantinopel menjadi fungsioner di bawah pemerintahan Turki, dan sehingga secara resmi bertentangan dengan agresi Venesia. Sehingga, Morosini, pemimpin Venesia handal, memutuskan untuk mendirikan tatanan baik semacam tersebut agar sejumlah Yunani dari provinsi-provinsi Turki di utara berbagi pertumbuhan kemakmuran Morea. Bahkan, para Muslim juga menghadapi tantangan, dan beberapa dari mereka bergabung dengan Gereja Yunani, tanpa campur tangan apapun pada pihak otoritas.
Venesia mendirikan satu-satunya pemerintahan Katolik Roma liberal pada masa itu. Mereka membiarkan Yunani bebas untuk menerapkan upacara agama mereka. Untuk menghormatinya, pihak Venesia sepenuhnya berbeda dari Roma dan Yesuit, melalui Gereja Latin yang terwakili di Timur. Venesia memulihkan gereja-gereja Katolik Roma yang diubah menjadi masjid oleh Turki. Namun, keutamaan gereja-gereja tersebut telah dihimpun oleh Franka pada zaman Perang Salib atau masa berikutnya. Mereka tak mengijinkan Paus untuk campur tangan dengan Gereja Yunani, dan mereka mengijinkannya untuk memperrtahankan segala kekuasaan dan hak yang diberikan di bawah kekuasaan sultan. Namun situasinya menjadi runyam, karena seluruh uskup Yunani di Morea merupakan para calon patriark Konstanstinopel, yang juga mengangkat para abbas dari banyak biara. Venesia tak mengijinkan eksark patriark untuk tinggal di Morea atau wilayah patriarkal manapun yang diterbitkan oleh rohaniwan, dan mereka mengundang para anggota persekutuan Yunani untuk memilih uskup mereka sendiri. Ini dapat sulit dianggap sebagai tirani gerejawi. Ini adalah kebutuhan politik, dan, di bawah posisi patriark, sebuah kebutuhan disambut selaku Yunani patriotik. Para imam Katolik Roma, yang sebetulnya kini bebas untuk memasuki Morea, merupakan sosok berkarakter tinggi, berpendidikan baik, dan bertindak lebih menonjol, ketimbang rohaniwan Yunani lokal, dan sehingga mereka memenangkan penghormatan dari para penduduk. Selain itu, pendudukan Venesia disusul oleh kesenjangan kondisi daerah yang ditaklukan.
Secara bertahap, Morosini memajukan pasukannya lebih jauh ke utara dan merebut wilayah Grecia lainnya dari Turki. Pada September 1687, ia memasuki Piræas, merebut Athena, dan mengepung Akropolis. Ini berujung pada dampak besar yang melibatkan kehilangan terhadap dunia berperadaban. Parthenon kemudian berdiri dalam segala kejayaan seni rupa Yunani yang sempurna, hal menonjol dari arsitektur Dorik, menghimpun pedimennya dan adikarya-adikarya Pheidias, sebagian besar karya pahat tersohor di dunia yang pernah dilihat. Di dalamnya, pusat karya klasik tersebut meremukkan cangkang-cangkang Venesia, mengubah kuil menjadi reruntuhan, meruntuhkan beberapa pahatan menjadi puing-puing, dan meninggalkan hal terbaik darinya dalam kondisi luluh lantah dan remuk yang kami lihat saat ini di British Museum. Di samping perlakuan buruk yang dialami, karya tersebut masih diakui selaku salah satu keajaiban dunia dengan sebutan "Marmer-marmer Elgin." Ini merupakan penghinaan bagi Eropa untuk melihat reruntuhan relik seni di kota tersebut, menghimpun kerumunan dan bunga terhadap peradaban kuno, yang secara langsung disebabkan oleh sosok dari kota paling indah dari peradaban modern, yang merupakan pemilik dari St. Markus yang diurus Parthenon. Disini, kami dianggap penghinaan perang, yang mengibarkan bendera kejayaan dan hal itu sendiri merupakan peninggalan memalukan dari barbarisme brutal.
Seratus lima puluh tahun kemudian membmerikan sedikit peminatan untuk dicatat soal keberuntungan—atau mungkin kemalangan—Gereja Yunani di bawah kekuasaan Turki. Para pembajak masih mengerumuni pesisir, dan para pasya dan Phanariot masih menekan orang dalam yang di luar jangkauan pengelana laut liar. Simony lebih meraja lela ketimbang itu. Jabatan rohaniwan diperjualbelikan secara sistematis untuk memegang kekuasaannya dan iuran untuk jaminannya, dan kejahatan tersebut juga berlanjut di wilayah Venesia dari Yunani. Namun di Morea di bawah pengaruh para imam Katolik, pendidikan kini berjalan. Sehingga, Venesia menyemai benih masa depan yang baik. Di bawah pengaruh Petrus Agung, Rusia juga melangkah ke arena politik Eropa dan mempersiapkan perannya selaku pelindung Gereja-gereja Timur. Namun tsar tersebut kecewa karena tak ikut kebangkitan umum Kristen kala pada tahun 1711 ia memajukan serangan terhadap Kekaisaran Utsmaniyah, dan ia memutuskan untuk menyepakati perdamaian dalam sifat yang memalukan. Sehingga, tindak campur tangan serius pertama Rusia hanya menghasilkan kekeliruan. Mendapati kekuatannya, Porte berencana untuk memanfaatkannya dengan mengusir Vensia dari Yunani. Pada 1715, Turki merebut dan menjarah Korintus, membuat orang-orang Yunani yang ditangkap oleh mereka disana menjadi budak. Ini berujung pada serangan teror Yunani terhadap Morea untuk mempertahankan diri mereka sendiri terhadap musuh lama mereka, dan mengundang mereka untuk mendatangkan dan memulangkan Venesia. Mereka harus melihat alasan baik untuk menebus sifat pengecut mereka yang nampak pada jangka pendek kala mereka mengalami serangan yang dilakukan oleh janisari dalam peristiwa perebutan ualng. Peristiwa Morea dan perebutan Venesia lainnya terhadap Turki diselesaikan lewat perjanjian Passarovitz, yang menyusul kemenangan-kemenangan Pangeran Eugenius, dan ditandatangani pada 21 Juli 1718. Namun, Venesia masih mempertahankan kekuasaan di Dalmatia dan wilayah lain.
Setelah itu, secara bertahap, Rusia kembali memegang posisi jawara Gereja Timur membanggakan. Pada 1783, Yekaterina ii. mengusir kekuatan Mussulman dari Krimea, kala wilayah tersebut memegang landasannya dengan kurang lebih penekanan dari zaman invasi Mongol; dan sekitaran masa yang sama, ia menghimpun perjanjian dari Porte yang memberikan hak memakai bendera Rusia kepada orang-orang Yunani dari Kepulauan.
Meskipun demikian, Yunani tak melakukan apapun untuk diri mereka sendiri. Namun, hari baru kini terbit. Setelah lebih dari tiga abad penghinaan dan penindasan, sekali lagi Hellas mula menyadari keberadaan nasionalnya. Ini seringkali ditunjukkan dalam sejarah bahwa revolusi-revolusi tak terjadi kala rakyat sangat menderita akibat penindasan. Pada hari-hari kelam dan tak diinginkan tersebut, kekuatan tirani terlalu besar untuk memperkenankan harapan pemberontakan sukses apapun, dan kejatuhan korban-korbannya singkatnya memurungkan pikiran mereka dan melumpuhkan tenaga mereka. Ini merupakan permulaan waktu yang baik kala keberadaan despotisme fatal pecah, dan proyek-proyek terkait kemerdekaan dimajukan. Kemudian, rasa patriotisme timbul dari tindakan tak alami mereka dan para budak tirani mengingkatn bahwa mereka adalah manusia. Sehingga, ini terjadi di Yunani pada permulaan abad kedelapan belas. Lantas, peristiwa tersebut terjadi sepanjang kemunduran kekuasaan Utsmaniyah, kekuatannya memudar, tenaganya menyusut. Kepulauan Yunani menjadi wilayah berpemerintahan sendiri. Bahkan dataran utamanya tidaklah diperlakukan lebih buruk ketimbang sebelumnya. Para penindas terkejamnya bukanlah Turki sendiri, namun orang-orang Yunani, sesama Kristen—Phanariot. Pengaruh lainnya membuat terini terasa lebih akut, meskipun hal ini tak diterapkan secara lebih menonjol. Ini menyetir jiwa Yunani sendiri. Findlay menekankan bahwa ini dimulai dengan pendidikan. Yunani berada di belakang wilayah Eropa, bukan dalah hal pendidikan, seperti sifat alaminya. Jiwa modern, dengan kebangkitan zaman klasiknya, yang berkembang di Barat dengan Renaisans, tak diketahui di Eropa Timur. Timur tak mengalami Renaisans maupun Reformasi—dua faktor dunia menonjol yang diketahui oleh kita. Kebanyakan signifikansi dari tindakan berganda dapat dinilai terlalu berlebihan.
Yunani masih berada dalam Abad Pertengahan, atau malah zaman patristik. Perkembangan intelektualnya didapatkan pada kematian Yohanes dari Damaskus, Bapa Gereja terakhir. Sejak itu, pendidikannya tak dipersoalkan. Selama berabad-abad, hal ini jauh dalam hal laju yang dialami Barat yang kasar dan bruta, dan selalu diutamakan dalam beberapa ranah dengan yang lebih jauh. Namun, ini adalah pendidikan patristik, pendidikan gerejawi, pendidikan akan teologi kematian Gereja. Seluruh kehidupan dan jiwa, seluruh petualangan spekulasi, seluruh kegemaran syair, sepanjang ini dicurahkan. Dan meskipun terperosok pada masa lalu, hal ini tidak bergerak lebih jauh dalam pengarahan untuk mencari inspirasi. Tak ada yang peduli terhadap kejayaan Hellas kuno. Hal ini dibanggakan sendiri pada Krisostomus, bukan Plato. Penggelembungannya adalah ortodoks gerejanya, bukan seni rupa, syair, dan heroisme leluhurnya. Hal ini tak nampak di luar Konstantinopel. Hal ini tak pernah ditemukan di Athena dalam penyebutan yang berkaitan dengannya.
Kemudian, jiwa baru timbul. Yunani makin mengenang bahwa mereka adalah keturunan dan pewaris zaman klasik paling luar biasa. reformasi pendidikan dicetuskan oleh Eugenios Bulgares dari Corfu, yang memperkenalkannya kepada Joannina, Gunung Athos, dan Konstantinopel. Ini menggetarkan gerejawan konservatif dan meminta Phanariot yang berkuasa pada masa itu dan memiliki pengaruh terhadap sultan untuk memeriksanya. Namun, ini disambut di Rusia, kala Eugenios diundang pada tahun 1775, dan kala ia menjadi uskup Sclavonia dan Kherson. Ia menulis buku tentang toleransi beragama yang masih menyinggung pihak Gereja-nya, dan mendapatkan jawaban dari Antimus patriark Yerusalem. Tindak keliru tersebut disambut Yunani yang kabur dari pengaruh jahat Katolik, Lutheran, dan Calvinis, dan membuat versinya soal kebangkitan Kekaisaran Utsmaniyah sebagai tindak pengaruh surga untuk melindungi mereka dari bida'ah Barat yang mengusik para kaisar Bizantium akhir. Eugenios disusul oleh Adamantius Korais, sosok asal Chios, yang singgah di Paris, dan menempatkan Yunani modern ke dalam bentuk sastra. Pada saat yang sama, ia memajukan prinsip-prinsip kebebasan beragama dan mendorong perkembangan rakyatnya dari kelambatan intelektual dari kefanatikan ortodoks. Di bawah pengaruh tersebut, Yunani mulai menyadari kebangsaan mereka dan mengimpikan impian kebangkitan masa lalu besar mereka.
Meskipun, peristiwa-peristiwa awal dari kisah perjuangan untuk kemerdekaan Yunani tak memungkinkan. Pemimpin pertama komite revolusioner yang bekerja sampai akhir, yang dikenal sebagai Philiké Hetairia, adalah sosok berpendirian yang kehilangan kepercayaan diri dari para pengikutnya. Gerakan tersebut tak terlalu memajukan sampai diambil oleh para petani, dan kemudian dilakukan di beberapa tempat dengan tindakan sangar. Pada 5 April 1821, hari Pengucapan Syukur, kala dua puluh empat imam disahkan sembari 5.000 pasukan tempur berkumpul, timbul di Kalmata, di udara terbuka, melalui sisi arus deras, untuk merayakan keberhasilan Yunani di Messenia. Dua hari setelahnya, Petrobey, panglima pasukan pemberontak, mengeluarkan proklamasi diselaraskan dengan para primat—sejumlah pejabat Yunani lokal, didampingi Phanariot Konstantinopel—yang disebut sebagai "Senat Messenia." Ini dialamatkan kepada seluruh bangsa Kristen, dan tujuannya adalah untuk mencari bantuan dalam menggulingkan kekuasaan Ytsmaniyah. Namun, Yunani berjuang untuk kebebasan mereka. Peristiwa-peristiwa mematikan yang menyertai pemberontakan besar tersebut kini terjadi. Mungkin, kasus terburuknya terjadi di Morea. Disana, Yunani membantai seluruh penduduk Mussulman, terhitung sepuluh atau lima belas ribu pria, wanita, dan anak-anak diberangus di semenanjung tersebut, dan sangat tak terolong karena kalah kekuatan dalam hal jumlah. Mereka mula-mula membantai seluruh orang yang dapat mereka hampiri di belahan wilayah tersebut. Beberapa orang kabur ke kota-kota. Namun, satu per satu orang di kota-kota tersebut ditangkap, dan seluruh Turki yang berniat mengungsikan mereka juga dibantai. Ini bukanlah peristiwa yang terjadi begitu saja. Peristiwa tersebut direncanakan dan disulut oleh Hetairis. Dan peristiwa tersebut meraih keberhasilan. Morea dibebaskan dari tirani Turki. Fakta tersebut tak dapat disangkal. Bukti paling menonjol dari kekejaman despotisme nampak dalam penghancurannya terhadap simpati manusia alami di antara para budak yang terpacu oleh kekejamannya.
Metode kejam dari perebutan hadiah kebebasan terbayarkan dengan harga yang besar. Sultan lantas mulai mengambil tindakan keras untuk peredaman pemberontakan. Kala kabar pembantaian di Morea mencapainya, ia mengeksekusi enam belas Hetairis dalam satu hari. Kemudian, ia menjadikan sejumlah orang Yunani berpangkat tertinggi sebagai sandera, di bawah pengadaan kebijakan mengusik. Banyak orang dipenggal. Pada 22 April, tindakan despot mencapai puncaknya dengan menghukum mati Gregorios, patriark Konstantinopel, yang kini berusia tua, banyak dihormati oleh umatnya, yang tergantung dari jeruji gerbang patriarkat dengan hukuman ditusuk pada bagian dadanya. Jasadnya diperlihatkan selama tiga hari dan kemudian diberikan pada rombongan yang mengaraknya sepanjang jalan raya dan dilarung ke laut. Ditemukan oleh Kristen, jasadnya dibawa ke kapal Ionia menuju Odessa. Disana, jasad tersebut diterima sebagai relik suci oleh Rusia dan dikebumikan dengan makam besar. Tuduhan terhadap Gregorios bertumpang tindih dalam pemberontakan tersebut. Ia nampak tak mengambil bagian aktif apapun di dalamnya. Namun, di sisi lain, ia memajukan beberapa pengetahuan soal apa yang terjadi yang tak dikabarkan olehnya kepada pemerintah. Selain itu, tindakan tersebut adalah pengkhianatan melawan kekuatan Utsmaniyah atas pengangkatannya, sehingga sultan membenarkan penghukuman matinya; dan sehingga pengkhianatan para rekan Kristennya akan menjadi pengkhianatan terhadap ras dan agamanya. Ini adalah dilema mengerikan untuk sosok yang baik. Beberapa orang dapat menyalahkannya atas pilihannya, yang dilakukan secara diam-diam. Namun, tindakan tersebut adalah suatu buketi anomali besar lainnya dari jabatan yang diemban olehnya selaku pastor utama Gereja Timur dan pada masa yang sama, pejabat pemerintahan Muslim. Gregorios adalah sosok berkarakter tinggi, dan cara hening dan bermartabat kala ia wafat membantu kami untuk bersimpati dengan pandangan Yunani yang menghormatinya selaku martir.
Kematian akibat kekerasan yang sangat memuliakan sosok selaku patriark tua Konstantinopel mengirim kejutan mengerikan di seluruh belahan Eropa. Tsar Alexander menarik perwakilannya dari kota tersebut. Ini sebetulnya bukanlah tindak diplomatik, namun karena dubes Rusia nampak berada dalam bahaya. Pada akhirnya, tsar memutuskan untuk mengerahkan 100.000 pasukan di perbatasan kepangeranan.
Sementara itu, rentetan pemberontakan menyebar. Kala para biarawan Gunung Athos mendapati bahwa Rusia tak berniat untuk mendukungnya, mereka kembali memberikan sanksi mereka. Para pendahulu mereka memiliki kebijaksanaan kala bersinggungan dengan Mohammed ii., penakluk Konstantinopel. Meskipun pada suatu masa, mereka mendukung Hetairis, sebetulnya mereka sangat menyepakatinya, meyakini bahwa hak-hak Gunung Suci akan lebih dilindungi oleh Turki ketimbang revolusionis Yunani. Keadaan tersebut sangat berkomplikasi; karena dalam cikal bakalnya, revolusi berpadu dengan tuntutan untuk kebebasan beragama. Gereja Ortodoks, di bawah naungan patriark Konstantinopel dan para uskup yang bertugas di Porte, sejalan dengan pemerintahan Utsmaniyah. Di samping itu, ini merupakan ikatan tersembunyi dalam peresmian konservatif. Di sisi lain, masyarakat yang telah meningkati manisnya kebebasan dihauskan akan Gereja serta Negara. Namun, tak ada Gerejawan Yunani yang lebih konservatif ketimbang para biarawan Gunung Athos. Kala Kristen melawan Mussulman, dan secara alamiah akan berpihak dengan Kristen sejawat mereka dalam dorongan untuk membebaskan Gereja dari cengkeraman Islam, mereka memiliki antipati terbesar terhadap jiwa yang diwakili oleh Revolusi Prancis, hasutan yang didapatkan oleh para pemberontak Yunani. Revolusionis berpemikiran bebas modern sangat memperingatkan mereka alih-alih menjadi warga Turki bergaya lama. Sehingga, mereka akhirnya memutuskan agar seluruhnya akan menjadi baik untuk mereka untuk digerakkan kala mereka menjadi biarawan yang selalu menikmati hak pemerintahan sendiri yang besar, namun sedikit terjamah oleh pemerintah Turki. Keadaan mereka pada tanang genting terisolasi mereka memperkenankan mereka untuk menghidupkan diri mereka sendiri tanpa campur tangan dari dunia luar yang besar. Namun, pemastian para biarawan Gunung Athos bukan tanpa konfirmasi di sisi lain. Para primat dan uskup mendapati bahwa para pemimpin militer tak semuanya jatuh ke tangan kekuatan pemerintahan atas mereka, sehingga mereka sebetulnya mengerahkan kekuatan yang lebih sedikit di bawah naungan rekan Yunani mereka ketimbang kekuatan yang dikerahkan di bawah naungan Turki. Jiwa revolusi tak pernah bersimpati dengan pengesahan, entah awam atau rohaniwan.
Hal ini tak jatuh dalam batasan bab ini untuk menggambarkan peristiwa pendirian akhir kemerdekaan Yunani. Jika ada banyak yang tak menyepakati masalah tersebut, lantas ingatlah bahwa sejarah tak dapat terulang sendiri. Yunani modern dapat memegang nama Perikles dan Demostenes. Mereka tak dapat menyeimbangkan kehidupan lagi melawan kecerdikan dan kejayaan Yunani kuno. Yunani kini dihuni oleh populasi campuran. Seawal-awalnya, rombongan Slav memenuhi Balkan di selatan. Kemudian, Albania datang dalam jumlah besar. Di beberapa tempat, Yunani asli sangat kalah jumlah dengan para imigran asing. Populasi yang dihasilkan hanyalah Yunani dalam hal geografi, bahasa, dan agama, bukan kemurnian ras secara keseluruhan. Yunani saat ini bukanlah Yunani dari Solon, dan Perikles, dan Plato. Mereka merupakan ras campuran. Namun, mereka dengan berani memulihkan tradisi Yunani kuno. Mereka sangat menyambutnya atas dasar kebebasan yang diterima oleh mereka dan perjuangan yang masih dilakukan oleh mereka, tanpa terbebani kesempatan rancu yang didapatkan oleh mereka pada abad kedua puluh atas perbuatan pendahulu mereka pada abad keempat SM.
Usai Yunani meraih kemerdekaannya, hubungan Gereja di YIunani dengan patriark Konstantinopel sulit untuk dijelaskan. Mula-mula, seluruh hubungan baik diputus. Ini benar-benar terjadi, karena patriark menjadi pejabat terakreditasi di bawah pemerintahan Utsmaniyah. Rohaniwan berhenti untuk menyebut nama patriark dalam doa-doa mereka, dan dalam penghormatannya mengikuti contoh doa yang dipakai di belahan Gereja Yunani di luar kekuasaannya yang diakui. Kemerdekaan Gereja di Yunani tak berdampak tanpa perlawanan. Para uskup dari provinsi-provinsi Kekaisaran Turki, didorong oleh para biarawan Gunung Athos, datang ke Yunani dalam rangka mendukung klaim otoritas patriark. Namun, para uskup Yunani tak akan mengikuti bujukan mereka.
Pada tahun 1833, sinode nasional memutuskan bahwa gereja apostolik ortodoks Yunani, meskipun memegang persatuan dogmatis gereja-gereja ortodoks timur, tak bergantung pada otoritas luar dan secara spiritual tak memiliki kepala selain pendiri keyakinan Kristen. Dalam pemerintahan luar, yang memegang mahkota, mereka mengakyui Raja Yunani selaku kepala tertingginya. Sinode Suci tersebut terdiri dari para prelatus yang diangkat oleh raja, dan delegasi kerajaan menghadiri pertemuannya dan menandatangani dekrit-dekritnya, memiliki veto pada pelaksanaannya. Karena patriark menghiraukan keputusan dua pihak yang kini berkembang, yang satu mendukungnya, yang lainnya berpihak dengan Konstantinopel. Sejauh ini, usai banyak negosiasi, pada tahun 1850, patriark dan sinode Konstantinopel menerbitkan dekrit Gereja Timur yang mengakui kemerdekaan Gereja Yunani di bawah batasan tertentu, istilah yang diadopsi dua tahun kemudian oleh Parlemen Yunani. Menurut kesepakatan tersebut, hak sinode Yunani dalam urusan dalam negeri diakui, namun patriark dapat campur tangan dalam persoalan yang berdampak pada seluruh gereja. Pada tahun 1863, Pangeran George, penganut Lutheran, yang menjadi Raja Yunani, menyatakan bahwa "Gereja Ortodoks Yunani, mengakui Kepalanya Tuhan Yesus Kristus, bersatu dengan Gereja Yunani Konstantinopel dan dengan setiap Gereja lain yang memegang doktrin yang sama."
Patriark Konstantinopel adalah kepala spiritual seluruh gereja ortodoks, dan kepala sekuler Gereja Yunani di wilayah kekuasaan Turki. Ia memiliki yurisdiksi atas seluruh Turki Eropa, bagian dari Bulgaria, Rumelia, Asia Kecil, Kepulauan Ægea, dan Kreta. Dari 1843 sampai 1845, terdapat persaingan besar antara patriark Konstantinopel dan sinode-sinode patriarkat Yerusalem dan Siria atas hak untuk memilih patriark mereka tanpa rujukan dari Konstantinopel, dan pihak Konstantinopel mempersoalkan permasalahn tersebut. Namun, patriark ortodoks Aleksandria masih tunduk pada patriark Konstantinopel. Terdapat sekitar 37.000 Kristen Yunani ortodoks di Mesir, 28.000 di bawah patriark Antiokia, 15.000 tunduk pada patriark Yerusalem.
Melankoli selaku cerita Gereja Yunani pada abad-abad berikutnya dalam sejarahnya menekankan tanda-tanda nampak dari kehidupan membangkitkan pada tahun-tahun terkini. Ini berakar dalam dua arah.
Di tempat pertama, terdapat perkembangan pembelajaran menonjol di kalangan gerejawan tingkat tinggi. Pembelajaran tak pernah diperkenankan untuk mati dalam mendorong pusat-pusat monastik; namun ini menjadi pemahaman patriastik setidaknay tanpa pengakuan pembelajaran kritis. Kini, kritikan Barat pecah dalam pikiran Timur. Para pelajar dari Gereja Yunani kini didapati di universitas-universitas Jerman. AKibatnya adalah pembelajaran di Berlin, Heidelburg, dan Strasburg terbawa ke Konstantinopel dan Athena. Lantas, pembelajaran tersebut membuahkan hasil, dan Gereja Yunani maju ke depan dengan kontribusinya pada teolog historis.
Gerakan lainnya lebih bersifat populer. Ini terdiri dari pembentukan perhimpunan kajian Alkitab. Perhimpunan-perhimpunan tersebut sangat tak berbentuk gerejawi dan utamanya diurus oleh awam. Mula-mula, mereka dinaungi oleh rohaniwan. Namun dampak baik mereka dalam reformasi karakter memenangkan mereka pengakuan selaku persaudaraan Kristen sebenarnya, bahwa sosok yang memiliki kekayaan spiritual dan moral masyarakat harus disambut dengan bangga. Tak seperti gerakan serupa di Rusia, yang nyaris ingkar terhadap perpecahan resmi dari gereja nasional, perhimpunan tersebut tak terlibat dalam perenggangan semacam itu. Kami dapat menyandingkannya dengan bacaan Alkitab para anggota injili Gereja Inggris, seperti orang-orang yang disantapi oleh semangat Keswick. Namun mereka lebih terorganisir, dan tak dapat melakukan hal apapun selain diakui kala menyiratkan beberapa pengembalian ke gagasan primitif Gereja.
Gerakan tersebut tersebar dengan cepat. Di Konstantinopel, terdapat lebih dari sepuluh persaudaraan. Di Smyrna, kehidupan agama baru bertumbuh di kalangan asosiasi-asosiasi. Mereka muncul di Efesus, Heleopolis, Arreon. Di beberapa tempat, persaudaraan tersebut didorong pada dua kotbah pada Minggu, satu pada awal pagi di gereja, yang lainnya di tempat kumpul (Vereinhause) pada hari berikutnya. Namun, untuk kotbah kedua, terdapat beberapa hal yang menaungi katekisasi pria, wanita dan anak-anak. Di Athena, terdapat dua persaudaraan. Satu persaudaraan dibentuk di Patros, Siprus. Meskipun demikian, kebutuhan sekolah untuk rohaniwan ditekankan, dan lantas dikotbahkan oleh para pemimpin paroki di beberapa tempat dan tak lagi hanya oleh imam dan uskup kunjungan.
Pada awal tahun 1818, perhimpunan Yunani untuk peredaran kitab suci dibentuk dengan persetujuan patriark Cyril vi., dan bersamaan dengan British and Foreign Bible Society. Meskipun demikian, ketertarikan yang timbul pada tahun 1901 terhadap penerjemahan Alkitab dalam bahasa kedaerahan nampaknya akan menyulut gerakan reaksioner pada pihak obskurantis. Namun persoalan ini sangat berkomplikasi. Di tempat pertama, terdapat keberadaan rohaniwan kuat untuk penerjemahan yang didukung oleh awam tanpa sanksi gerejawi apapun. Kemudian, semangat baru untuk klasikisme disulut oleh pengikisan kitab suci. Pengucapan Yunani vulgata dikatakan tak dibutuhkan, karena anak-anak kini diajarkan untuk membaca Yunani klasik di sekolah-sekolah. Di balik semuanya, terdapat kengerian inovasi dalam Gereja Yunani, bersamaan dengan penaungan penduduk yang teracuhkan dalam mendorong bentuk pemuliaan lama Alkitab.
Apakah persaudaraan tersebut akan mampu bertahan dalam hubungannya dengan Gereja Yunani kuno, apakah mereka adalah sedikit ragi yang ditaburkan ke seluruh adonan—sebuah santapan untuk keinginan saleh, atau apakah garmen zaman kuno, dilipat dalam bordiran tiga lipatannya—doktrinal, seremonial, disipliner, akan terlalu melandasi ketidaklenturan untuk memperkenankan napas dan hidupnya, masa depan akan dinyatakan. Dalam kasus tersebut, kami melihat Protestanisme Yunani terpecah dari gereja ortodoks lama. Namun jika hasilnya dapat dicegah tanpa menyinggung gerakan baru tersebut, kami mengharapkan agar mimpi lama More dan Erasmus di Barat menjadi kenyataan pada masa kami sendiri di Timur, dan Gereja kuno bangkit dan direformasi dari dalam. Dengan demikian, sejarah Gereja menyedihkan di hadapan kami sulit untuk mencucurkan hasil semacam itu. Kami menangisi nabi skeptikal, "Dapatkah tulang kering hidup?" Namun pada seluruh kejadian, gerakan baru tersebut memajukan dorongan hangat dari orang Kristen terawal, bahwa cahaya yang timbul tak terbagi dan Gereja Timur besar tenggelam lagi dalam keredupan.